Mental Penjajah dan Negara Menuju Bangkrut

Draft RUU perubahan kelima UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menambah masalah bagi negeri. Sudah Omnibus Law kontroversial, UU KPK diobrak-abrik, lalu draft KUHP "bid'ah" akan menghukum penghina presiden, kini RUU revisi KUP pun rentan kritik. Selain telah menaikkan tarif pajak, pemerintah juga akan memperluas obyeknya. Urusan sembako dan "hajat hidup orang banyak" akan dihajar pajak.

Oleh M Rizal Fadillah

Bandung, (FNN) - TUJUAN bernegara pasca kita menyatakan kemerdekaan antara lain "memajukan kesejahteraan umum". Siapa pun yang diberi amanat untuk berada dalam pemerintahan, berkewajiban mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya, bukan memberatkan dan menyengsarakan.

Kita merdeka karena tidak enak dan pahit dijajah. Kehidupan sulit dan segala tertekan serta dipaksa-paksa oleh pemerintah penjajah. Upeti ditarik dari berbagai sektor, urusan kebutuhan pokok dipajaki. Penjajah hidup senang sementara rakyat jajahan menderita.

Segala diawasi dari ngomong hingga batuk-batuk. Sedikit membicarakan keburukan "tuan meneer" dicap ektremis bahkan pemberontak.

Negara kita adalah negara merdeka, tetapi tontonan perilaku penguasa belum menampilkan sosok pemerintahan negara merdeka. Kedaulatan rakyat sebagai ciri khas kemerdekaan terambil habis.

Justru kedaulatan negara yang menjadi ciri primitivitas bernegara sedang ditegakkan. Memperkaya diri dan kroni. Membungkam aspirasi dan menginjak-injak hak asasi.

Upeti dengan bahasa santun pajak tengah digalakkan. Tema agak akademis "PPN" atau Pajak Pertambahan Nilai merambah ke mana-mana. Rakyat bukan penikmat, tetapi menjadi obyek.

Di tengah pemborosan dan kegilaan korupsi justru rakyat semakin diperas. PPN akan dikenakan antara lain pada sembako, pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa surat berperangko. Beban berat kembali berada di pundak rakyat kebanyakan.

Dua kemungkinan atas kondisi ini yaitu para penyelenggara negara yang telah dihinggapi penyakit mental penjajah, mumpung berkuasa dan menikmati kekuasaan, atau memang negara sedang bangkrut. Sudah tidak mampu membiayai rakyatnya lagi. Pajak rakyat adalah pilihan terpaksa. Duit negara cekak karena pemerintah tidak amanah dan salah urus.

Draft RUU perubahan kelima UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menambah masalah bagi negeri. Sudah Omnibus Law kontroversial, UU KPK diobrak-abrik, lalu draft KUHP "bid'ah" akan menghukum penghina presiden, kini RUU revisi KUP pun rentan kritik. Selain telah menaikkan tarif pajak, pemerintah juga akan memperluas obyeknya. Urusan sembako dan "hajat hidup orang banyak" akan dihajar pajak.

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah bermental penjajah (koloniale mentaliteit)? Jika ya, rakyat harus mengubah segera dengan pemerintahan yang bermental merdeka (vrije mentaliteit) dan berorientasi kerakyatan (populitisch). Atau apakah negara sedang mengalami kebangkrutan (pailliet) karena salah urus? Jika ya, rakyat pun harus mengubah segera dengan pemerintahan yang lebih mampu (beter in staat) dan amanah (eerlijk).

Perubahan adalah suatu keniscayaan atas situasi karena rakyat sudah tidak percaya lagi pada pemerintah yang sulit untuk dipercaya. **

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

357

Related Post