“Obat Cacing” Itu Obat Keras, Bukan Bansos!

Oleh : Mochamad Toha

Ternyata yang mempromosikan penggunaan obat Ivermectin tidak hanya Menteri BUMN Erick Thohir saja. Ketum HKTI yang juga Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga turut “promo salah” obat cacing seperti Erick Thohir.

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, menyatakan, Ivermectin tak boleh didistribusikan langsung ke masyarakat. Obat ivermection itu adalah obat keras anti-parasit, belum ada bukti yang saintifik valid dapat membantu untuk atasi orang dengan Covid-19.

“Hentikan promosi dan testimoni. Jangan mengobati sendiri,” tegasnya. Menurut Pandu, Ivermectin itu obat keras, bukan Bansos. Tak boleh didistribusikan langsung ke masyarakat. Perlu dilakukan sanksi pada Ketum HKTI dan PT Harsen Laboratories atas tindakan yang tak sesuai dengan regulasi obat di Indonesia.

PT Harsen perlu disidak karena mendorong obat Ivermectin menjadi mudah didapat untuk terapi Covid-19, tidak sesuai ijin edar dan tidak patuh aturan sebagai obat keras. Bila BPOM RI melakukan pemeriksaan dan penindakan sesuai tupoksinya dan tak terkait dengan upaya penanganan pandemi.

Pandu mengingatkan, Obat Keras tidak boleh dijual bebas. Perilaku Perusahaan Farmasi yang tak mematuhi aturan regulasi harus ditindak tegas, tanpa kecuali. Kita lihat obat keras mudah dibeli di semua toko obat.

“Dalam situasi darurat, harus dilakukan pemeriksaan dan tindakan. Tegas dan jelas,” ujar Pandu. Ivermectin itu hanya boleh dipakai dalam uji klinik. Jangan dipromosikan, jangan diresepkan, jangan konsumsi obat yang belum terbukti bermanfaat dan aman.

Jangan selebriti promosikan pengobatan sendiri dan klaim obat tersebut bermanfaat. Mari kita edukasi masyarakat. Tidak semua negara sampai harus membiayai riset uji klinik calon obat Covid-19 dengan biaya uang rakyat.

Seharusnya produsen obat yang membiayai riset tersebut. Pandu menyebut, perlakuan khusus kepada Ivermectin memang luar biasa. Salah satu kejutan di era pandemi dan lonjakan kasus. Ada apa ya?

Apalagi, ternyata BPOM terbitkan PPUK, persetujuan uji klinik Ivermectin berdasarkan protokol versi 0.1. Protokol masih bermutasi, kini ingin menguji pada semua kasus Covid-19 yang ringan, sedang, dan berat.

“Upacara PPUK yang dihadiri oleh Erick Thohir dan digaungkan oleh semua BUMN, ya iklan obat. Anjuran WHO jelas dan tegas dalam tata-laksana terapi Covid-19. Regulator patut dipertanyakan bila mengizinkan penyimpangan.

Seperti Ivermectin, obat anti-parasit, yang hanya diijinkan untuk uji-klinis. Mau diperluas aksesnya oleh BPOM untuk saving lives? Produsen obat akan senang.

Anomali Protokol Uji Klinik ivermectin versi 2.0, ingin menguji orang dengan Covid-19 berspektrum ringan sampai berat. Artinya, agar bisa dipakai pada semua orang. Padahal tidak ada justifikasi ilmiah dibutuhkan obat tersebut.

“Jelas tujuan komersialisasinya, bukan menyelamatkan kehidupan!” tegas Pandu.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan pihaknya melakukan penindakan pada pabrik pembuat Ivecmertin PT Hansen karena adanya sejumlah pelanggaran yang ditemukan pihaknya.

Menurut Penny, apa yang dilakukan BPOM tersebut untuk menegakkan aturan dalam melaksanakan tugas melindungi masyarakat. Pihaknya sudah melakukan pembinaan dan pengawasan pada pembuatan ivecmertin PT Garsen.

“Tahap pembinaan, perbaikan hingga pemanggilan namun masih belum ada niat baik PT Harsen memperbaiki kekurangannya sehingga ada langkah tindak lanjut sanksi-sanksi yang diberikan,” kata Penny dalam jumpa pers Jumat, 2 Juni 2021.

Ia mengungkap, sejumlah pelanggaran PT Harsen, yaitu mulai dari bahan baku Ivecmertin melewati jalur tak resmi, kemasan siap edar tidak sesuai aturan, penetapan kadaluarsa sesuai badan POM dicantumkan 18 bulan setelah tanggal produksi, tapi PT Harsen mencantumkan 2 tahun setelah produksi.

Selain itu, distribusinya tidak melewati jalur resmi termasuk promosi obat keras tidak bisa langsung dilakukan kepada publik, tapi harus di tenaga kesehatan hanya ke dokter. “Harusnya mereka memahami regulasi yang ada,” ujar Penny.

Direktur Marketing PT Harsen Laboratories, Riyo Kristian Utomo menyebut pemblokiran BPOM telah menggangu produksi. PT Hansen Laboratories mengklaim obat cacing produksi mereka dapat menyembuhkan pasien Covid-19.

“BPOM harus berhenti mengintimidasi, kami menyediakan senjata Ivermectin melawan Covid. Jangan ada upaya sengaja agar kita kalah. Kita harus menang melawan Covid. Jangan ada yang menghalangi,” tegas putra politisi PDIP Ribka Tjiptaning Proletariyati ini.

Tampaknya pernyataan Riyo Kristian Utomo itulah yang membuat keder Penny, sehingga akhirnya membuat BPOM menerbitkan PPUK, persetujuan uji klinik ivermectin berdasarkan protokol versi 0.1. Upacara PPUK yang dihadiri oleh Menteri Erick Thohir.

Anjuran WHO yang sudah jelas dan tegas dalam tata-laksana terapi Covid-19 tak digubris. Di sinilah BPOM sebagai regulator patut dipertanyakan bila mengizinkan penyimpangan.

Belakangan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap dugaan keterkaitan anggota parpol, pejabat publik, dan pebisnis dalam penggunaan obat Ivermectin untuk menanggulangi Covid-19.

Polemik Ivermectin menunjukkan krisis saat pandemi ini dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk mendapat keuntungan.

Peneliti ICW Egi Primayogha mengungkapkan, polemik Ivermectin dimulai sejak Oktober 2020 ketika dokter dari Departemen Penelitian dan Pengembangan PT Harsen Laboratories, Herman Sunaryo, menyebut Ivermectin bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19.

“Polemik lalu berlanjut pada awal Juni 2021, saat PT Harsen Laboratories, mengumumkan telah memproduksi Ivermectin, obat yang diklaim sebagai alternatif terapi Covid-19,” lanjut Egi dalam keterangannya, Kamis (22/7/2021).

Selang beberapa waktu kemudian, Menteri BUMN mengirimkan surat ke BPOM dengan nomor S-330/MBU/05/2021 yang berisi pengajuan permohonan penerbitan Emergency Use Authorization untuk Ivermectin.

Setelah mendapat peringatan dari BPOM, Erick Thohir menyatakan akan memproduksi Ivermectin sebanyak 4,5 juta dosis yang akan diedarkan oleh PT Indofarma.

Egi juga menyampaikan, distribusi Ivermectin menambah daftar panjang obat-obat yang ditawarkan oleh pemerintah meskipun belum dilakukan uji klinis yang tepat. Selama 18 bulan pandemi, pemerintah telah mengedarkan obat seperti Chloroquine, Avigan, wacana Vaksin Nusantara, hingga Ivermectin.

Menurutnya, terdapat potensi rentseeking dari produksi dan distribusi Ivermectin. Praktik itu diduga dilakukan oleh sejumlah pihak untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan krisis kesehatan.

“ICW ikut menemukan indikasi keterlibatan anggota partai politik dan pejabat publik dalam distribusi Ivermectin,” ungkap Egi.

Berdasarkan penelusuran ICW, Ivermectin akan diproduksi oleh PT Harsen Laboratories, perusahaan yang bergerak di bidang farmasi, dengan merek Ivermax 12. Diduga, perusahaan tersebut dimiliki oleh pasangan suami-istri Haryoseno dan Runi Adianti.

“Kedua nama itu tercatat dalam dokumen Panama Papers dan diketahui terafiliasi dengan perusahaan cangkang bernama Unix Capital Ltd yang berbasis di British Virgin Island,” lanjut Egi.

Sebelum pandemi Covid-19, PT Harsen pernah menjalin hubungan kerjasama dengan PT Indofarma dalam pendistribusian obat. Berdasarkan laporan konsolidasian, PT Indofarma pada 2020, tercatat punya utang ke PT Harsen sebesar Rp 8.579.991.938 per 30 Juni 2020.

“Jumlah ini meningkat dari 31 Maret 2019 yang berjumlah Rp 3.238.035.238,” beber Egi.

Salah satu nama yang terafiliasi dengan PT Harsen adalah Sofia Koswara. Sofia adalah Wakil Presiden PT Harsen dan mantan CEO dari B-Channel. Ia juga menjabat sebagai Chairwoman Front Line Covid-19 Critical Care (FLCCC) di Indonesia.

Adapun warga Indonesia lainnya yang berada di FLCCC adalah Budhi Antariksa, bagian dari Tim Dokter Presiden, serta dokter paru-paru di Rumah Sakit Umum Persahabatan dan pengajar plumnologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

“Budhi juga merupakan ketua tim uji klinis Ivermectin di Indonesia,” ungkap Egi.

Keterlibatan pejabat publik diindikasikan melalui kedekatan antara Sofia Koswara dan Haryoseno dengan Moeldoko, Kepala Staf Presiden sekaligus Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Sejak 2019, PT Noorpay Nusantara Perkasa, perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara menjalin hubungan kerjasama dengan HKTI terkait program pelatihan petani di Thailand.

Pada awal Juni lalu, Ivermectin didistribusikan ke Kabupaten Kudus melalui HKTI. Selain itu, anak Moeldoko yang bernama Joanina Rachman, merupakan pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa.

Selain Sofia, Egi menyebut anggota direksi lain di PT Harsen adalah Riyo Kristian Utomo yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran. Riyo adalah anggota PDIP dan menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Komunikasi dan Budaya di DPC PDIP Tangerang Selatan.

Menurut Egi, Riyo adalah anak kandung anggota fraksi PDIP Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ribka adalah anggota Komisi Energi, Riset dan Teknologi.

Sebelumnya Ribka adalah anggota Komisi Kesehatan, namun dipindah akibat menyatakan menolak vaksin Covid-19 dalam sidang rapat kerja Komisi Kesehatan. Ia menjabat sebagai Ketua Bidang Penanggulangan Bencana (Baguna) PDIP.

Pada April 2020, ditemukan video amatir yang menunjukkan Baguna tengah membagi-bagi sembako dan masker yang disediakan oleh PT Harsen dan diterima Ribka selaku Ketua Baguna PDIP.

Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

306

Related Post