Komisi XI DPR Buang Sampah Calon Anggota BPK ke MA
by Luqman Ibrahim Soemay
Jakarta FNN – Komis XI DPR berkelit soal seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang nenggantikan Barullah Akbar yang pensiun Oktober 2021 nanti. Kini giliran tumpukan sampah yang bau amis, yang dibuat dan diproduksi oleh Komisi XI DPR, dibuang ke Mahkamah Agung. Publik diarahkan untuk mengalihkan semua kesalahan yang telah dibuat Komisi XI ke Mahkamah Agung.
Dua calon anggota BPK, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Seoratin jelas-jelas tidak memenuhi syarat administratif sebagai calon anggota BPK. Namun dalam tahan selekasi administratif, diloloskan oleh Komisi XI DPR. Setelah skandal ini diungkap Majalah FORUM Keadilan, Komisi XI panik. Lalu minta perlindungan ke Mahkamah Agung. Aliran lumpur dan sampahnya dialirkan ke Mahkamah Agung.
Sebelumnya Komisi XI DPR melalui surat nomor 061/MS.V/KOM.XI/VI/2021 menyurati Ketua DPR, perihal Panyampaikan Daftar Nama Calon Anggota BPK RI, bahwa berdasarkan hasil pedaftaran dan seleksi administrasi calon anggota BPK RI, dalam rapat internal tanggal 24 Juni 2021, Komisi XI DPR telah memutuskan 16 nama calon anggota BPK yang memenuhi persyaratan administrasi.
Berkaitan dengan keputusan yang dibuat Komisi XI tanggal 24 Juni 2021 itu, pimpinan DPR diminta untuk menyapaikannya kepada Dewan Pertimbangan Daerah (DPD untuk mendapatkan pertimbangan selama satu bulan. Terhitung sejak surat Pimpinan DPR diterima pimpinan DPD. Walampun dalam kenyataannya, pertimbangan DPD tidak selalu didengar oleh DPR. Nantinya pertimbangan DPD tidakp berpengaruh terhadap keputusan Komisi XI DPR.
Dua diantara 16 orang calon anggota BPK yang diloloskan itu, ada yang aneh, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Soeratin. Mereka bedua pejabat eselon dua dan tiga di Kementerian Keuangan. Baik Nyoman Adhi Suryadnyana maupun Hary Zacharias Soeratin boleh cukup dua tahun atau 24 bulan meninggalkan jebatan sebatan pejabat publik pengelola keuangan negara atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Hary Zacharias Soeratin sejak 13 Juli 2020 lalu diangkat Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jendral Perbendaharaan Keuangan. Sementara Nyoan Adhi Suryadnyana baru 18 bulan meninggalkan jabatan sebagai Kepala Kantor Pengasawan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Manado, menjadi Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai di Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Selatan sejak 20 Desember 2019 lalu.
Dengan demikian, baik Hary Zacharias Seoratin maupun dan Nyoman Adhi Suryadnyana belum cukup 24 bulan meninggalkan jabatan mereka sebagai pejabat publik pengelola keuangan negara atau KPA. Maka secara admisntratif jelas-jelas bertentangan dengan syarat imperativ untuk menjadi calon anggota BPK. Namun masih diloloskan oleh Komisi XI DPR yang memang dungu, dongo, keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng.
Padahal pasal 13 huruf (j) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK telah memberikan batas yang jelas dan tegas. Tidak ada yang abu-abu, sehingga tidak perlu minta fatwa lagi ke Mahkamah Agung. Misalnya, sang calon harus telah meinggalkan jabatan sebagai pejabat publik pengelola keuangan negara atau KPA minilam dua tahun atau 24 bulan.
Melalui surat nomor 075/MS/KOM.XI/VIII/2021 tertanggal 02 Agustus 2021 kepada Ketua DPR yang ditandatangani Ketua Komisi XI DPR, Dito Ganinduto, perihal Pemintaan Petimbangan Mahkamah Agung terkait Calon BPK RI, khususnya untuk Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hari Zacharias Soeratin, Komisi XI meminta piminan DPR menyurati Mahkamah Agung untuk mendapatkan pendapat, pandangan atau fatwa Mahkamah Agung mengenai permasalahan tersebut.
Mestinya sejak di selekasi administratif, nama Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Soeratin sudah gugur atau tidak diloloskan. Namun Nyoman masih lolos karena dodorong habis-habisan oleh Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah yang menjadi anggota Komisi XI DPR. Akhirnya Nyoman lolos.
Kalau hanya Nyoman saja yang lolos, maka terkesan Nyoman terlalu menonjol. Untuk itu, diloloskan lagi Hary Zacharis Soeratin. Jadinya, ada dua calan anggota BPK yang tidak memenuhi syarat administratif, namun sangaja diloloskan oleh Komisi XI DPR. Sekarang, giliran barang busuk yang berbau amis itu dilemparkan ke Mahkamah Agung. Kalau sampai diloskan dengan fatwa Mahkamah Agung, maka nanti Mahkamah Agung yang terkena image tentang barang busuk dan berbau amis tersebut.
Berdasarkan informasi dan sumber yang didapat Majalah FORUM Keadilan dan FNN dari kalangan Komisi XI DPR, Said Abdullah berkepentingan meloloskan Nyoman, agar kelak bisa mengendalikan anggaran dari APBN. Dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan dan audit akhir dari BPK. Sebab hanya audit dari BPK yang menentukan pelaksanaan anggaran APBN itu mengandung korupsi atau tidak.
Nyoman bukan saja didorong Said Abdullah. Menurut sumber Majalah FORUM dan FNN, Nyoman juga didukung atasannya Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebab hasil audit dan opini BPK belakangan mengenai penggunaan dana Covid Rp. 1.035 triliun dan potensi pemerintah tidak mampu membayar utang, membuat Sri Mulyani kini tidak nyaman.
Untuk meloloskan Nyoman, anggaran yang digelontorkan untuk DPR tidak kecil. Dana sekitar Rp. 75 miliar disediakan untuk hajatan ini. Diperkirakan setiap anggota Komisi XI DPR didekati dengan uang antara Rp. 1,5 miliar sampai Rp. 1,7 miliar. Sementara untuk Ketua Poksi atau yang biasa disebut Kapoksi Rp. 2,5 sampai Rp. 4 miliar. Sedangkan untuk Ketua Fraksi, berkisar antara Rp 5 miliar sampai Rp. 10 miliar.
Ketika ditanya asal-muasal uanganya, sumber FORUM dan FNN tak bersedia menyebut. Dilanjutkan sang sumber, bisa saja, baik itu Nyoman, Said Abdullah maupun Sri Mulyani tidak tahu-menahu dengan uang saweran kepada Komisi XI, Kapoksi dan pimpinan Fraksi DPR untuk meloloskan Nyoman itu. Namun kita lihat saja di ujung seperti apa? Apakah Nyoman lolos atau tidak?
Yang pasti, soal meloloskan pejabat melalui fit and proper test di Komisi XI dengan sejumlah uang untuk anggota DPR, bukanlah hayalan.com semata. Meskipun dulu itu namanya Komisi IX, namun kasus Travel Cheque Miranda Gultom untuk menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia menjerumuskan sejumlah anggota Komisi IX DPR, Miranda Gultom dan Nunun Nurbaetie, isteri Adang Daradjatun ke penjara.
Masa iya sih, Komisi XI DPR mau mengulangi kesalahan yang sama lagi? Seperti kasus Travel Chaque Miranda Gultom dulu itu? Tupai saja tidak akan mau jatuh di lubang yang sama kedua kalinya. Harusnya Komisi XI hindari stigma sebagai DPR dungu, dongo, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng, dengan tidak melanjutkan Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias ke proses fit and proper test.
Bikin lagi saja keputusan Komisi XI yang baru. Hanya ada 14 nama calon anggota BPK. Tanpa ada nama Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Soeratin yang ikut fit and proper test. Sebab pasti bakal dibatalkan juga oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena cacat prosedur sejak awal.
Penulis adalah Wartawan FNN.co.id