Menata Ulang Indonesia
Oleh Dr Masri Sitanggang
SULIT untuk mengatakan bahwa Indonesia dalam keadaan baik-baik saja. Indonesia, dari segi mana pun dalam Ipoleksosbudhankam, sedang digerogoti penyakit yang mendorong negeri ini pada situasi sangat mengkhawatirkan. Mudah-mudahan saja imaginasi Peter W Singer, di novel Ghost Fleet (2015), tidak terjadi. Khalayan Singer yang sempat menjadi trending topic di awal-awal 2018 itu, semoga tetap sebuah khayalan : Indonesia tidak akan bubar di tahun 2030, bahkan tidak untuk selamanya.
Tapi memang, bila berkaca pada Pembukaan UUD 1945, keadaan sekarang ini sebagai pepatah “jauh panggang dari api”. Atau, ibarat sebuah tulisan dengan judul bombastis tapi isinya kosong : tidak ada apa-apanya. Seperti “koran Kuning” pada masa sebelum era digital. Kita pun malu menenteng koran itu, karena ia menggambarkan kelas sosial rendahan. Kelas masyarakat pemimpi yang rindu untuk menikmati hiburan pelepas penat setelah kerja seharian.
Bayangkan, Pembukaan UUD 1945 menggambarkan satu bangsa yang gagah dengan tekad kuat membangun bangsanya untuk berdiri tegak, tampil di tengah gelanggang dunia untuk memainkan peran menghapus penjajahan di atas dunia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tetapi kenyataannya, sudah 76 tahun merdeka, jangankan tampil di pentas dunia, tegak berdiri di kaki sendiri pun sempoyongan.
Para penyusun Pembukaan UUD 1945 tidaklah salah. Semangat perlawanalan –sebagai akibat sakitnya sekian lama menjadi bangsa terjajah dan kemenangan dalam perjuangan, memberi keyakinan kuat bahwa mereka bisa. Bangsa ini harus bangkit, kuat dan dapat berdiri dengan kepala tegak di hadapan bangsa-bangsa lain. Sampai di situ tugas mereka, menghantar bangsa memasuki gerbang kemerdekaan, harus diakui berhasil gemilang.
Lalu, dari mana datangnya musibah ini? Tentu dari pelanjut, pewaris negeri, terutama mereka yang diberi amanah mengelola. Para pengelola kurang menghayati arti perjuangan kemerdekaan dan cita-cita Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 oleh the founding fathers. Malah, perlahan, mereka menjelma menjadi penguasa yang merasa mewarisi segalanya tentang negeri ini : tanahnya, airnya dan apa saja yang ada di dalam isi perut buminya. Bahkan juga menguasai rakyat yang mendiami negeri ini. Mereka bermetamorfosa menjadi penjajah baru, atau mewakili negeri penjajah baru, untuk (membantu) mengeksploitasi sumber daya alam dan menindas anak negeri. Bukan sebagai nahkoda yang membawa kapal dan penumpangnya menuju labuhan hati sesuai navigasi Pembukaan UUD 1945.
Mungkin ungkapan di atas terlalu menyakitkan gendang telinga. Tapi, memang sulit mencari frasa yang enak didengar –tetapi juga tidak menjadi obat penenang tidur, untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini.
Barangkali saja lebih baik kita mengambil ilustrasi dari cerita kanak-kanak tentang kepemimpinan kodok serta semut dan bagaimana kemudian nasib negari masing-masing yang dipimpinnya.
Diceritakan, ada sekumpulan kodok yang hidup di sebuah kolam terpencil. Rajanya adalah kodok yang badannya paling besar, paling gembrot. Semua kodok, apalagi yang kurus kerempeng (meski dapat melompat jauh dan tinggi ke atas pohon), tunduk pada si Gembrot yang kerjanya cuma menghabisi makanan. Si Gembrot pun puas dengan potensi dirinya yang besar dan dapat mengembang lebih besar lagi. Dengan ini, dia yakin takkan ada yang bisa menggantikannya.
Satu Ketika si Gembrot, yang tahu dunia ini hanya selebar kolam itu, mendengar dari anak-anaknya yang baru saja melakukan perjalanan ke luar “negeri” kolam. Di ceritakan, anak-anak itu bertemu seekor kerbau yang tubuhnya sangat besar. Si Gembrot lalu mengembangkan tubuhnya seraya bertanya : “Apakah dia sebesar ini ?”
“Tidak ayah”, lebih besar lagi”, jawab anak-anaknya
“Sebesar ini ?”, tanya si Gembrot setelah memperbesar lagi tubuhnya.
“Tidak ayah, lebih besar lagi”, jawab mereka lagi.
“Sebesar ini?”, tanya si Gembrot lagi setelah berupaya lebih membesarkan tubuhnya dengan menyerap udara lebih banyak lagi.
“Lebih besar lagi, ayah”, jawab anak-anaknya lebih keras.
Begitulah terus. Kodok-kodok yang kerempeng dan yang kurus kurang gizi (karena hanya makan dari apa yang disisakan si Gembrot), yang berkerumun menyaksikan itu, mulai khawatir. Mata si Gembrot sudah nampak melotot seperti hendak keluar menahan tekanan udara di perutnya. Garis-garis pada perutnya pun sudah membayang. Lalu seekor kodok kerempeng menasehati:
“Sudahlah Tuan Gembrot, tak perlu melakukan itu. Setiap makhluk punya ukurannya sendiri-sendiri dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jangan kau paksakan dirimu.”
Nasehat si Kerempeng diamini oleh kodok-kodok lain. “Ya, menghirup dan menahan udara di laur batas kemampuan kita akan berbahaya, “ sambung si Cungkring pula.
Tapi nasehat-nasehat itu dirasakan si Gembrot sebagai penghinaan dan ancaman terhadap kekuasaannya. Dia pikir, kalau mereka percaya ada makhluk lain yang lebih besar, maka dia tidak akan menjadi penguasa lagi di kolam itu. Karena itu, dengan nada sangat marah dan berat menahan tekanan udara, ia masih paksakan lagi menambah udara ke perutnya. Sampai akhirnya : dooaar…! Perut si Gembrot meledak menyemburkan isinya.
Tidak diceritakan apakah negara kodok itu kemudian bubar menyusul si Gembrot meledak. Atau malah lebih damai karena, mungkin, digantikan si Krempeng atau si Cungkring yang bijak. Pak Suparjo, guru SD-ku dulu, yang menuturkan cerita ini, cuma bilang : “Begitulah kalau pemimpin sombong, tidak pernah melihat dunia luar dan tidak pula mau mendengar nasehat; itulah makna ungkapan ‘bagai katak di bawah tempurung’”, katanya. Kalau Bahasa sekarang : tidak punya wawasan luas, atau, kurang rekreasi. Tapi yang pasti, rakyat kodok di kolam itu lega karena tidak ada lagi yang memonopoli makanan.
Berbeda dengan kepemimpinan semut. Pak Suparjo, guru SD-ku dulu itu (semoga pahala ilmu yang diajarkan kepadaku terus mengalir kepada Almarhum), menceritakan bahwa raja semut mampu membagi tugas kepada rakyatnya sesuai keahlian masing-masing (istilah zaman now: right man on the right place. Raja semut membangun suasana kekeluargaan di antara rakyatnya, sehingga meski tugas mereka berbeda-beda tetapi terjalin kerjasama yang sangat harmonis. Tidak pernah ada kegaduhan sesama rakyat, meski pun penampilan fisik dan status sosial mereka berlainan. Semut hanya akan berkelahi dengan semut lain yang datang dari kerajaan lain. Meraka tidak membiarkan orang asing masuk ke wilayahnya. “Jadi, nasionalisme semut sangat luar biasa”, tegas pak Parjo –begitu kami akrab memanggilnya. (Guru SD-ku ini, selain suka berkisah tentang binatang, juga mengajar sejarah. Beliau senantiasa menanamkan semangat nasionalisme “bangga jadi Indonesia”. Pesan beliau, kita harus tetap pegang teguh semangat Sumpah Pemuda.)
Satu kerajaan semut tidak pernah menggantungkan makanannya kepada kerajaan semut lain (Bahasa manusia, “gak mengandalkan import”). Mereka membangun lumbung makanan di sarang kerajaan masing-masing dengan usaha sendiri, dengan kekuatan modal dan tenaga rakyat sendiri. Dengan begitu, di musim paceklik (mungkin seperti musim ekonomi pandemi sekarang), mereka tidak kekurangan pangan.
“Jadi, semut benar-benar berdaulat secara politik, wilayah, ekonomi dan pangan”, tutur Pak Parjo.
Satu ketika, raja semut mendapat berita bahwa segerombolan gajah akan masuk wilayahnya untuk melahap tanaman di sekitarnya. Tentu ini mengancam sarang-sarang semut. Maka, raja semut segera mengumpulkan rakyatnya. Dia memerintahkan untuk menyongsong gerombolan gajah itu di jalan mana gajah akan datang. “Jangan sampai gerombolan gajah mencapai wilayah kita”, tegas sang raja.
“Bagaimana kita bisa melawan gajah yang tubuhnya begitu besar dan kulitnya begitu tebal ?” Seekor semut, yang ternyata mewakili suara kebanyakan semut lainnya, bertanya lantang pada sang raja.
“Kita memang ditakdirkan bertubuh mungil. Tetapi bukan berarti kita tidak punya kelebihan dan kemampuan. Apa yang selama ini kita lakukan dalam membangun kerajaan, adalah menunjukkan kelebihan dan kemampuan kita yang harus terus kita lakukan dalam situasi apa pun.” Kata sang raja dengan keras. Para semut faham apa yang dimaksud rajanya, yakni : kerja ulet tanpa pamrih, kerja sama harmonis antar warga kerajaan dan semangat nasionalisme membela kerajaan.
“Gajah memang ditakdirkan bertubuh besar dan berkulit tebal. Tetapi bukan berarti gajah tidak punya kekurangan dan kelemahan.” Suara raja terdengar lantang.
“Kelemahan gajah adalah lobang telinganya besar, belalainya panjang dengan liang yang besar pula, matanya lebar dan lembut serta jangan lupa liang duburnya pun besar. Fokuslah menyerang titik-titik lemah itu, masuklah ke dalamnya. Jadikanlah tubuh mungil kalian menjadi kekuatan sekaligus kelebihan kalian. Tak perlu menggigit kulit tebalnya.” Sang raja memberi arahan tegas.
Setelah itu semut pun menyongsong gerombolan gajah. Pendek cerita, terjadilah pertempuran dan gajah pun kalah telak. Kerajaan semut aman.
Begitulah arti kepemimpinan bagi kehidupan negara dan rakyat. Entahlah, pola mana yang sedang berlaku di negeri jamrud khatulistiwa ini. Yang jelas, Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti negara kodok ? Wallahu a’lam. Tapi, bila kepemimpinan negeri ini hanya mengandalkan dukungan potensi fisik alamiah, seperti si Gembrot, kejadian itu bukan sesuatu yang mustahil.
Potensi fisik alamiah si Gembrot adalah tubuh yang besar bisa mengembang. Dalam kehidupan nyata bernegara, potensi fisik alamiahnya adalah sumber daya alam dan kekayaan negara. Bukan potensi pribadi. Belum terdapat tanda-tanda adanya pemimpin negara mengorbankan milik (pribadi)nya demi mengurus negara dan rakyatnya kecuali Khulafaur Rasyadin dan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.
jadi, yang dipertaruhkan penguasa (model si Gembrot) adalah sumber daya alam dan kekayaan negara. Jika yang di masukkan oleh si kodok ke tubuhnya adalah udara –untuk mengembang, di dunia nyata adalah investasi berupa hutang. Sebagaimana udara yang dihirup si Gembrot, hutang tidak boleh melampaui pendapatan negara; dan harus dibayar tepat pada waktunya. Kalau tidak, maka kekayaan negeri ini bisa tergadai semua dan berujung pada “doaarrr…!, meledak. Bedanya dengan si Gembrot, yang hancur adalah negara : bangkrut, perang saudara, pecah atau kembali terjajah. Penguasanya bisa tidak tergores sedikit pun karena menyelamatkan diri ke negeri tuan !
Agar republik ini tidak sampai “dooaar” meledak, perlu segera ditata ulang. Tentulah banyak agenda yang harus dilakukan. Tetapi yang pasti, yang jadi perioritas, adalah menyingkirkan pola kepemimpinan kodok dan menggantikannya dengan pola kepemimpinan semut –bila mengambil ilustrasi dunia hewan. Tanpa adanya pergantian pola kepemimpinan, kisah negeri ini akan tetap diwarnai kepedihan.
Bila ingin mengambil pelajaran dari dunia nyata, maka contoh yang tepat adalah kepemimpinan Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Mereka adalah orang-orang sholeh, yang seluruh aktivitasnya ditujukan untuk mengabdi kepada Allah. Bukan untuk memenuhi ambisi nafsu syahwatnya. Terbukti, dengan karakter seperti itu, mereka mampu membangun lembah tandus yang awalnya tidak ada kehidupan menjadi sebuah negeri terhebat di dunia (lebih lanjut simak MENGAPA HANYA ORANG SHOLEH YANG LAYAK PIMPIN NEGARA di https://www.youtube.com/watch?v=8EjOmOUnC0Y ). Ada jaminan keamanan, makmur dengan segala sandang pangannya, 24 jam tidak pernah sepi, orang-orang di seluruh dunia pun rindu untuk mengunjunginya. Itulah Mekkah yang diberkahi Allah.
Jadi negeri ini haus dikelola orang-orang shaleh. Tidak boleh dikelola orang berwatak pendusta atau pembuat berita bohong. Jangan pula dikelola para pembajak –baik pembajak ide atau gagasan, karya seni atau karya ilmiah, atau pembajak kerja dan rencana orang lain. Pembajak itu pada hakekatnya adalah perampok : mengambil paksa karya orang lain demi syahwatnya. Hanya orang sholehlah yang dapat menghantarkan Indonesia ke cita-citanya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Wakil Ketua Umum PDRI