OPINI
Islam Menjadi Zona Merah Kebijakan Politik
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Tanpa ada situasi yang "genting dan memaksa" melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemerintah Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ternyata persoalan tidak selesai dengan pembubaran oragnisasi HTI semata. Disosialisasikan juga bahwa HTI adalah organisasi terlarang, sesuatu yang tidak berdasar hukum. Kacaunya lagi, tidak ada ketentuan atau pasal-pasal mengenai pelarangan HTI. Yang ada adalah politisasi menipu rakyat secara tidak fair. Pemerintah lagi-lagi memperlihatkan keangkuhan kekuasaan tanpa bersandar pada aturan-aturan hukum positif yang berlaku di negara hukum. Di kalangan umat Islam, mungkin ada atau bahkan banyak yang sangat tidak setuju dengan pola perjuangan HTI. Akan tetapi penzaliman yang berlebihan, juga tidak dapat diterima. Apalagi dengan cara-cara licik membohongi rakyat. Manipulasi hukum untuk tujuan politik. HTI bukanlah organisasi terlarang seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pelarangannya jelas-jelas tertuang dalam Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966. Persoalan HTI muncul terus atau terus dimunculkan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum ( Pemilu) yang masuk dalam Prolegnas 2021 secara eksplisit melarang eks anggota HTI untuk ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada). Ini bentuk kezaliman yang sangat berlebihan kepada HTI. Di Universitas Padjadjaran (UNPAD ) Bandung, dengan alasan sebagai aktivis HTI, seorang Wakil Dekan yang baru dilantik, langsung dicopot kembali. Sementara di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada anggota dewan dr. Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP yang dengan bangga menyatakan kepada publik bahwa “saya bangga menjadi anak PKI”. Tidak sampai disitu saja. Partai Politik seperti PDIP dengan jelas-jelas mencantumkan Trisila dan Ekasila dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Trisila dan Ekasila mengacu pada Pancasila 1 Juni 1945 yang tahun lalu diperjuangkan dalam RUU Haluan Idelogi Pancasila (HIP) yang ditentang keras oleh umat Islam dan ormas-ormas Islam dibawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pancasila 1 Juni 1945 dengan Trisila dan Ekasila sangat kental dengan Orde Lama dan faham komunis. Ini bertentangan dengan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang diakui bangsa Indonesia. Anehnya, yang yang jelas-jelas mencantumkan Trisila dan Ekasila di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, malah dibiarkan hidup dengan leluasa, bahkan mengatur negara. Setelah HTI diobrak abrik, giliran Front Pembela Islam (FPI) yang kini terus dihabisi gerakannya. Setelah dibubarkan dan dilarang secara sewenang-wenang, maka kelak eks anggotanya bisa dipersekusi secara politik. Kini saja HRS sudah dibombardir dengan beragam tuduhan dan tuntutan, yang mengesankan tidak memberi kesempatan HRS untuk bernafas. Mungkin hal ini menjadi upaya yang sukses, tetapi sejarah esok bisa berbalik menghukum. Baru dua organisasi Islam yang dibubarkan. Bila agendanya adalah Islamophobia seperti Bung Karno dulu, atau pelumpuhan kekuatan-kekuatan Islam, maka usaha pembubaran akan terus berlanjut. Entah target berikutnya bisa MUI atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Isu radikalisme, intoleransi hingga ekstrimisme dan terorisme fokusnya dapat diduga adalah umat Islam. Kelompok politik sekuler atau bahkan komunis dalam sejarahnya selalu anti terhadap Islam. Karena lawan terberatnya adalah Islam. Kini Islam sudah menjadi zona merah kebijakan politik. Sikap politik anti Islam tak boleh hidup di negeri Republik Indonesia. Disamping akan menghadapi perlawanan umat Islam. Sebab cara pandang seperti itu akan menjadi a historis. Negara ini didirikan oleh perjuangan dan pengorbanan kekuatan besar umat Islam. Saat harimau yang sedang tenang dalam kandang mulai diusik, ia akan gelisah. Ketika semakin terang-terangan diganggu, maka kuku-kukunya akan keluar terasah. Lalu menggeram siap untuk menerkam para pengganggunya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Kemenangan Biden : Optimis Iya, Euphoria Tidak!
by Shamsi Ali New York City FNN- Dalam menilai sesuatu, manusia pastinya bersifat relatif. Karena selain memang keterbatasan, juga karena penilaian itu banyak ditentukan oleh situasi dan realita yang sedang menggeluti jalan pikirannya (mindset). Maka wajar jika pada akhirnya penilaian itu akan berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Kemenakan Joe Biden melawan Donald Trump pada Pilpres Amerika lalu ditanggapi ragam oleh banyak orang. Sebagian optimis, bahkan euphoria dengan kemenangan Biden. Sebagian lainnya pessimis dan khawatir dengan kemenangan itu. Apapun itu, pastinya kami masyarakat Maslim Amerika dan mayoritas bangsa Amerika legah dengan kemenangan Biden. Kemenangan ini juga berarti berakhirnya pemerintahan Donald Trump selama 4 tahun dengan segala beban dan permasalahannya. Mulai dari masalah rasisme, diskriminasi kepada segmen masyarakat minoritas, Muslim Ban. Politik isolasi dengan berbagai kebijakan unilateral, termasuk keluar dari World Health Organization (WHO). Ketidak seriusan dan inkapabilitas dalam menangani Covid yang menyebabkan hingga pagi ini 409,000 lebih warga Amerika meninggal dunia, hingga pengakuan Jerusalem sebagai Ibukota Israel sekaligus pemindahan Kedubes Amerika ke Jerusalem. Semua itu dan banyak lagi yang lain menjadikan komunitas Muslim merasa legah dengan berakhirnya kepresidenan Donald Trump di Amerika. Tentu bagi Umat Islam, hal yang paling berat adalah anti Islam Donald Trump secara pribadi, dan akhirnya membentuk lingkungan kebencian kepada Islam. Ada beban psikologis yang berat dalam empat tahun terakhir. Biden Antara Harapan & Kekhawatiran Kini Biden telah resmi jadi Presiden Amerika dan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika. Kamala sendiri kembali mencetak sejarah sebagai wanita non white, berketurunan Jamaica-India, yang menduduki jabatan Wakil Presiden pertama di Amerika. Kemenangan Biden bagi masyarakat Amerika, atau tepatnya bagi mayoritas warga Amerika, termasuk Komunitas Muslim, memberikan optimisme tersendiri. Ada harapan bahwa Biden akan membawa perbaikan terhadap berbagai damages (kerusakan-kerusakan) yang telah dilakukan oleh Donald Trump selama menjabat Presiden. Termasuk image Amerika di dunia internasional yang sangat rusak akibat karakter Donald Trump yang cukup memalukan. Mungkin yang paling memalukan adalah kenyataan bahwa Donald Trump memang kekanak-kenakan dalam menyikapi proses demokrasi. Kekalahan yang cukup jelas dan signifikan, baik secara electoral (berdasarkan jumlah district) maupun secara popular votes (jumlah suara) tidak menjadikannya mau mengakui kekalahan itu. Tramp bahkan pada akhirnya, karena teori konspirasi mengatakan bahwa pilpres itu tidak jujur. Maka pada tanggal 6 Januari lalu terjadi pendudukan Capitol Hills pendukung Donald Trump. Sebuah peristiwa yang tidak saja merendahkan Amerika di mata dunia. Tetapi sesungguhnya merupakan pelecehan yang nyata kepada demokrasi itu sendiri. Kemenangan Biden memiliki harapan bahwa Amerika akan kembali rasional. Baik dalam kebijakan domestik maupun kebijakan global (foreign policy). Berbagai kebijakan yang sejalan dengan karakter Donald Trump dinilai banyak pihak tidak rasional dan ugal-ugalan. Secara domestic (kebijakan dalam negeri) misalnya, Donald Trump mengeluarkan Executive Order yang dikenal dengan Muslim Ban. Pelarangan orang-orang Islam dari beberapa negara mayoritas Muslim untuk masuk Amerika. Peraturan ini jelas oleh sebagian dianggap semena-semena karena tidak mempertimbangkan asas keadilan untuk semua (justice for all). Biden pada hari pertama menjadi Presiden langsung menanda tangani Executive Order yang salah satunya berisikan penghapusan aturan pelarangan orang-orang Islam masuk Amerika (Muslim Ban). Keputusan ini sangat melegakan warga Muslim. Karena tidak saja memang terasa bagi mereka yang dari negara-negara yang disebutkan dalam aturan. Tetapi suasana yang diakibatkan oleh aturan itu sangat merugikan Komunitas Muslim. Karena terasa kebencian dan diskriminasi sistem itu nyata. Kebijakan Donald Trump juga salah satunya membatalkan Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) atau status khusus bagi anak-anak di bawah umur yang masuk ke Amerika secara illegal. Pada masa Obama anak-anak yang berstatus illegal masuk Amerika di saat di bawah umur mendapat status kemudahan, termasuk izin kerja (work permit). Oleh Trump status tersebut berusaha dibatalkan. Mungkin hal yang paling terasa adalah penanganan Covid yang sejak awal terasa inkapabel dan tidak profesional. Bahkan ada kecenderungan setengah hati akibat teori konspirasi yang merasa bahwa Covid ini hanya asumsi, dan bukan realita. Karenanya Trump entah memang tidak punya rencana atau memang tidak mau menangani masalah Covid ini secara serius. Akibatnya Amerika menjadi negara yang paling terbanyak korban Covid. Bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Tentu sangat kontras dengan asumsi yang terbangun bahwa Amerika adalah negara super power dunia. Biden sejak awal telah menjadikan penyelesaian Covid sebagai prioritàs utama pemerintahannya. Bahkan secara khusus sebelum pelantikannya, presiden terpilih telah membentuk tim khusus penanganan covid. Termasuk upaya vaksinasi sebagai bagian dari solusi. Harapan itu tentu besar. Biden nampaknya berusaha memenuhi aspirasi masyarakat luas. Termasuk pembentukan kabinet yang berwajah Amerika. Artinya, kabinet yang merangkul seluruh elemen masyarakat Amerika. Pada tataran inilah kemudian terjadi dilema. Maju kena, mundur kena. Karena ekslusifitas itulah yang kemudian menjadikan Biden harus mengakomodir semua keinginan warganya. Memang banyak keinginan warga yang terakomodir. Walau nampak sekali dalam pembentukan tim pemerintahan ini terasa “Kamala Power” atau pengaruh Kamala Harris dalam pembentukannya. Dari sekian anggota tim tersebut, ada sekitar 20-an keturunan India mewakili elemen warga India Amerika yang sangat kecil. Yang paling disoroti khususnya oleh sebagian Komunitas Muslim adalah pemilihan warga “gay dan transgender”pertama dalam tim pemerintahan Biden. Tetapi sekali lagi, itulah kontekwensi dari pemerintahan yang terbuka atau ekslusif. Dari semua harapan di tengah kekhawatiran-kekhawatiran itu, kebijakan luar negeri (Foreign Policy) Biden juga menjadi sorotan Umat, khususnya yang ada di negara-negara mayoritas Muslim. Bagaimana Biden akan menangani isu Palestina dan Jerusalem khususnya? Akankah Biden membalik keputusan Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel secara sepihak? Bagaimana pula dengan isu-isu keumatan lainnya, termasuk Isu Uighur, Rohingyah, Kashmir, Yaman, Suriah dan lain-lain? Jawaban yang pasti adalah tidak ada salahnya optimis. Karena memang harusnya demikian. Tetapi kemenangan Biden tidak perlu terlalu disambut dengan euphoria berlebihan. Amerika tetap saja Amerika yang punya karakter dan kepentingan sendiri. Belum lagi tentunya kita harus sadar bahwa pada semua bangsa seringkali di balik layar itu ada “hidden power” (kekuatan tersembunyi) yang mengontrol setiap kebijakan. Pada akhirnya Umat Islam harus sadar bahwa perubahan nasib Umat ini tidak pernah dan memang tidak harus ditentukan oleh orang lain. Perubahan hanya akan terjadi ketika Umat ini sadar akan Urgensi melakukan perubahan itu. perubahan itu harusnya dimulai dari diri sendiri! Penulis adalah Imam di New York City & Presiden Nusantara Foundation.
Pola Orde Baru Bangkit Melalui Perpres No.7/2021
KEKUASAAN Orde Baru memang telah berakhir dengan sikap Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu segala organ kekuasaan penopang Orde Baru yang terkenal represip kepada kelompok opisi berakhir. Kebebasan bependapat, terutama untuk mengkritik penguasa hidup dan mendapatkan tempat yang luas. Sayangnya kebebasan mengkritik penyelenggara negara itu mau dibungkam kembali dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penaggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme. Ahli Huku Tata Negara dari Universitas KhairunTernate Dr. Margarito Kamis menybutnya dengan nama “Perpres RAN PE”. Dulu, Orde Baru kokoh dan kuat selama 32 tahun. Karena didukung instrumen hukum dan senjata yang selalu mengawalnya. Instrumen sejata di tangan tentara, dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Panglima Kopkamtib (Pangkopkamtib) pernah dijabat Jendral TNI Soemitro, Laksamana TNI Sudomo dan Jendral TNI Benny Moedani. Belakangan, menjalang kejatuhannya, lembaga Kopkamtib diganti namanya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Kerjanya masih sama. Kepala Bakorstanas secara ex officio dijabat Panglima ABRI. Kepala Bakorstanas pernah dijabat Jendral TNI Try Sutrisno, Jendral TNI Edi Sudrajat, Jendral TNI Feisal Tanjung dan Jendral TNI Wiranto. Tugas dan kerja Bakorstanas tetap sama dengan Kopkamtib. Cuma namanya yang disederhanakan agar tidak terkesan seram-seram dan menakutkan. Tugas pertama adalah mengawasi semua gerak-gerik, dan sepak-terjang kelompok masyarakat sipil (civil society) yang selalu kritis kepada penguasa. Apalagi yang berseberangan dengan kekasaan Orde Baru. Untuk kelompok yang pertama ini ada ex dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pimipinan Prof. Sumitro Djoyohadukumo. Orde baru biasanya menyebut kelompok dengan “Sosialis Kanan atau Soska”. Sama dengan “Soska”, ada lagi kelompok “Ekstrim Kanan atau Eka”. Eka ini sebutan untuk kelompok Islam yang berlawanan dengan Orde Baru. Gabungan “Soska dan Eka”, sebagian tokoh-tokohnya terhimpun lagi dalam “Kelompok Kerja Petisi 50”. Beberapa jendral yang terkenal tidak sejalan, bahkan kritis kepada pemerintahan Soeharto bergabung di Petisi 50. Tercatat nama Lentnal Jendral TNI (Mar.)Ali Sadikin, Jendral TNI Abdul Haris Nasution, Jendral Polisi Hoegeng Iman Santoso, dan Letnal Jendral TNI HR. Dharsono. Perlakuan kekuasaan Orde Baru kepada kelompok sipil yang kritis seperti Soska, Eka dan Petisi 50 adalah “garap dan ajak orang-orangnya untuk bekerjasama dengan kekuasaan Orde Baru”. Kalau tidak mau diajak bekerjasama, maka langkah selanjutnya adalah jebloskan ke penjara. Karena keberadaan meraka dapat mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Lalu apa pelanggaran pidana yang dilakukan kelompok Soska, Eka dan Petisi 50 itu? Soal itu sangat gampang dan sepele? Pasal itu tugas dan urusannya Kopkamtib, Bakorstanas, Polisi, Jaksa dan Hakim untuk cari dan menemukan pasalnya. Paling kurang sudah tersedia di Undang-Undng Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subvensi, penggalan Presiden Soekarno, yang dibuat pada tahun 1963. Mungkin UU ini tujuannya untuk membungkam kelompok kritis. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 ini, meski dibuat oleh Sokarno, namun dipakai dengan sangat sempurna oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun. Baru setelah BJ. Habibie berkuasa menggantikan Soeharto, setahun kemudian, tanggal 19 Mei 1999 undang-undang suversif ini resmi dicabut. Hebat dan mengagungkan Presiden Habibie yang ahli pesawat terbang ini. Tugas Kopkamtib atau Bakorstanas yang kedua adalah mengawasi sepak terjang dan kegiatan mantan aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Termasuk mengawasi para anak dan cucunya PKI Untuk kelompok yang kedua ini sandinya “ekstrim kiri atau Eki”. Harus dihalang-halangi dengan segala cara untuk tidak masuk menjadi anggota partai politik di Golkar, PDI dan PPP. Tidak sampai di situ saja. Simpatisan Eki juga dihambat dengan segala cara untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai di Badan Usama Milik Negara (BUMN) dan anak-cucu perusahaan BUMN. Stempel yang diberikan kepada anggota dan simpatisan Eki dengan para anak-cucunya adalah “tidak bersih lingkungan”. Ini stempel yang paling mengerikan, karena menjadi kematian perdata. Kini Presiden Jokowi membuat Perpres Nomor 7 Tahun 2021. Mungkin Jokowi saja anggap ektrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme semakin meningkat. Peningkatan itu tampaknya telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam rasa aman dan stabilitas nasional. Bigitu kira-kira justifikasi sosiologis Presden Jikoiwi menerbitkan Perpres bercitarasa Orde Baru tersebut. Namun bila dicermati lebih lanjut, kebijakan Jokowi membuat Kepres Nomor 7/2021 ini bukan murni soal hukum dan ekstrimisme. Ini sepenuhnya masalah politik. Ini soal kalkulasi untung-rugi, selamat atau tidak mengahadapi datangnya situasi dan kemungkinan terburuk. Apalagi politik tidak mengenal benar atau salah. Politik itu urusan ketepatan mengkalkulasi perhitungan. Salah menghitung politik, bisa bernasib buruk. Bisa terjerembab ke jurang yang dalam. Nasib Jokowi mungkin saja tidak berbeda jauh dengan Soekarno, Soeharto dan Gus Dur di akhir masa jabatan. Untuk itu, Perpres Nomor 7/2021 ini tidak terbatas hanya ditujukan kepada mereka yang pernah dihukum karena melakukan pidana terorisme. Targetnya dari Perpres tersebut sangat luas. Karena terminologi ekstrimisme dalam Perpres ini sama sekali tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Pemberantasan Tindah Pidana terorisme. Dengan demikian siapapun orangnya, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap kebijakan pemerintah, maka siap-siaplah untuk dicap sebagai “orang ekstrim”. Perpres Nomor 7/2021 ini akan menempatkan siapapun kelompok masyarakat yang kritis kepada kekasaan Jokowi, akan diberikan stempel sebagai “orang ekstrim”. Kebijakan yang seperti ini sudah diprektekan oleh kekaisaran Yunani kuno dan manusia yang mengaku diri Tuhan Fir’aun di jaman bahula dulu. Namun kini dicoba untuk dihidupkan kembali. Kebijakan mengamankan kekuasaan ini diteruskan di Inggris, Francis dan Jerman di akhir 1800-an. Pada di awal tahun 1900-san pola ini dipakai lagi oleh Musolini, Stalin, Hitler, Yuri Andropov, Konstantin Chernenko, dan Joseph Broz Tito. Masa kebijakan dari kekuasaan yang primitif dan bar-bar seperti ini mau dipakai Pak Jokowi di era modern dan revolusi industri 4,0 (four point zero) lagi? Sebenarnya Presiden Jokowi tidak perlu membuat “Kepres Kepanikan” seperti ini untuk mengamankan kekuasaannya. Kalau saja tata kelola negara negara berjalan dengan baik dan benar sesuai konstitusi dan tujuan bernegara. Kalau Pak Jokowi tidak gagal dan berantakan mengurus pandemi covid-19. Kalau saja ekonmi di era Pak Jokowi tidak resesi, sehingga terjun bebas dengan pertumbuhan ekonomi minus. Kalau saja anak bangsa tidak dibelah kekuasaan menjadi pendukung pengausa dan bukan pendukung penguasa. Kalau saja Hukum berdiri tegak untuk semua anak bangsa. Kondisi ini semakin diperparah dengan persiapan dinasti politik di keluarga di Pak Jokowi. Apalagi dugaaan adanya “Anak Pak Lurah”, dan lingkaran istana yang terlibat korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) trilunan rupiah. Balum lagi kenyataan ini semakin diperparah dengan korupsi yang meningkat di era Pak Jokowi. Kader-kader partai penguasa terlibat masif atas kacaunya penyaluran Bansos dengan data data fiktif dan NIK ganda 17.760.000 orang, dengan nilai korupsi Rp. 5,238 triliun. Ada lagi korupsi Jiwasraya Rp. 16,8 triliun, korupsi Asabri Rp 17 triliun. Belakangan korupsi BPJS tenaga kerja Rp 43 triliun. Mungkin saja masih banyak lagi. Namun belum terungkap saja. Perpres Nomor 7/2021 mengkonfirmasi kepanikan Pak Jokowi untuk menyelamatkan kekuasaannya. Kepanikan itu telah didahului dengan penangkapan-penakapan terhadap aktivis dan tokoh krtis seperti Habib Rizieq Shihab (HRS), Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin Anida dan para aktivis lainnya. Membungkam kelompok kritis melalui UU ITE rupanya belum cukup. Sehingga masih perlu Perpres Nomor 7/2021. Padahal cara ini telah dilakukan Soeharto untuk menyelamatkan singgasananya. Namun tidak berhasil. Akhirnya Soeharto tumbang juga. Maka belajarlah dari kejatuhan presiden yang sudah-sudah. Yang perlu untuk diingat juga adalah Soekarno dan Soeharto itu jatuh dari kekuasaannya saat Partai Demokrat berkuasa di Amerika. Partai Demokrat adalah wadah politik berkumpulnya para politisi dari kalangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Partai Demokrat sangat konsen dan pedulu terhadap masalah-masalah demokratisasi, Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan, korupsi, buruh dan kearipan lokal. Sedangkan Partai Republik, tempat berkumpulnya para politisi dari kalangan pengusaha. Partai Republik ada pengusaha senjata, pengusaha minyak, gas (oil and gas) dan pertambangan umum. Kelompok pengusaha pasar keuangan dunia yang bermarkas di bursa saham Wall Steert juga bergabung di Partai Republik. Semoga bermanfaat.
Taubat Politik Jusuf Kalla Yang Terlambat
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Periode pertama Jokowi sebagai Presiden didampingi Jusuf Kalla (JK)tidak membawa hasil yang konstruktif. Hasilnya biasa-biasa saja. Bahkan cenderung mengarah kepada kehancuran dan kekacauan politik dan hukum. Hasil ini sesuai dengan prediksi JK sendiri bahwa “jika Jokowi yang menjadi Presiden hancur negeri ini”. Ungkapan Pak JK pada bulan bulan Mei 2014 terseburt, ternyata terbukti. Kegaduhan demi kegaduhan yang mewarnai perjalanan negara hari ini. JK yang niat awalnya menjadi Wapres untuk mengawal Jokowi, tak berkutik "tidak bisa mengawal" Jokowi yang ternyata lebih kuat dikawal oleh para taipan konglomerat dan pengaruh Pemerintah Cina. Wapres JK saja yang sangat berpengalaman, matang dan piawai dalam berpolitik itu mampu "dimatikan" Jokowi dengan sangat mudah. Apalagi hanya sekelas KH Ma'ruf Amin yang tidak berpengalaman. Wapres hari ini hanya berfungsi sebagai "vote getter" saat Pilpres berlangsung saja. Setelah Pilpres selesai, maka tugas dan kerja Wapres juga selesai dengan sendirinya. Jokowi sendiri sebenarnya vigus yang lemah. Hanya lingkungan dan kepentingan sekitarnya sangat dominan. Sehingga mampu memproteksi dan diduga kuat mengendalikan mengendalikan Jokowi. Tidak perduli, apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat Jokowi itu bertentangan dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan mereka di lingkungan Jokowi tercapai. Baru Sadar Setelah Kacau JK seperti mulai menyadari kesalahannya yang menjadi "mede dader" dari kerusakan ekonomi dan politik bangsa di bawah Pemerintahan Jokowi selama lima tahun. Kini JK mulai turun gunung. JK mulai melangkah kembali di kancah perpolitikan nasional. Terutama ketika Habib Riziieq Shihab (HRS) dan keluarga menginjakan kaki di tanah air. Ketika itu JK terlihat merintis hubungan pertokohan dengan HRS dan Anies Baswedan yang kini Gubernur DKI Jakarta. Kedua tokoh yang dirintis kembali hubungannya oleh Pajak JK ternyata dianggap oleh Jokowi sebagai "orang oposan". Menghadapi manuper politik JK-HRS dan Anis Baswedan ini, berbagai langkah untuk membungkam sepak-terjang HRS dan Anis dilacarkan oleh Jokowi. Ketika Pilpres AS dimenangkan Joe Biden dari Partai Demokrat, maka kedekatan JK dengan Biden yang sudah lama terjalin sejak Biden menjadi Wakil Presiden Barack Obama selama dua priode bakalan terjalin kembali. Pertanyaannya, akan berpengaruh pada kiprah hubungan JK dengan Biden terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi di dalam negeri? Suka dan tidak suka dukungan global, terutama Amerika terhadap Indonesia menjadi faktor yang tiak bisa dianggap enteng. Apalagi untuk melancarkan peran ke depan pada Pilpres 2024 nanti. Tentu saja bukan hanya sanga Capres yang menjadi faktor penentu. Tetapi siapa yang tampil sebagai "King Maker"? Tau Banyak Kelemahan Memang JK yang ikut serta "berdosa" membuat bangsa seperti hari ini harus bertaubat. Saatnya untuk aktif beramal kebajikan, terutama untuk meluruskan kiblat dan arah perjalanan bangsa yang sedang berjalan terseok-seok salah arah. Bahkan cenderung menuju arah yang tersesat. Melenceng auh dari tujuan berbangsa dan bernegara yang diamanatkan di alinea ke empat pembukaan UUD 1945. Usia Pak JK yang sudah 78 tahun pada 15 Mei nanti, seharusnya mendorongnya untuk erbuat yang terbaik untuk bangsa di sisa usianya. Tahun 2024 semestinya sudah ada perubahan yang signifikan, bahkan di tahun sebelumnya. Namun harapan itu sangat kecil. Jauh panggang dari api. Wajar-wajar saja kalau mayarakat semakin banyak yang pesimis. Ekonom kawakan Rizal Ramli memprediksi krisis ekonomi tahun 2021 lebih berat dari yang pernah terjadi pada tahun 1998 lalu. Krisis yang mengahiri kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. JK sebagai praktisi ekonomi tentu saja sangat memahami kondisi ini. Meskipun terlambat, JK segera berbuat untuk meluruskan arah dan kiblat berbangsa, agar dicatat oleh sejarah sebagai penyelamat bangsa. Mengapa harus JK? Disamping mantan Wapres dua periode, juga mantan Ketua Umum partai besar Golkar. Pengusaha sukses. Mengetuai Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia. Merujuk pada pandangan Rachmawati, JK kini menjadi salah satu "geng" kekuasaan yang berpengaruh di samping geng Jokowi, Luhut dan geng Megawati. JK tau banyak tentang kekurangan Jokowi. Semoga taubat politik JK dengan kerja kerasnya dapat membuahkan hasil gemilang. Perubahan politik yang lebih baik setelah ambyar habis di era Pemerintahan Jokowi. Old politician never fade away. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Perpres No. 7/2021 Yang Sangat Berbahaya
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Ternate FNN - Ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia, teridentifikasi oleh Presiden Jokowi, semakin meningkat. Peningkatan ekstrimisme itu telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional. Itulah justifikasi sosilolgis Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024. Benarkah itu? Itu bukan soal hukum. Itu sepenuhnya soal politik. Politik tidak mengenal benar dan salah. Politik hanya berurusan dengan perhitungan. Ya soal kalkulasi. Validitasnya bergantung penuh pada daya dukung, kemampuan dan keberhasilan mengendalikan keadaan. Tidak lebih dari itu. Itu sebabnya jangan menyodorkan aspek-aspek normatif hukum untuk mengukur validitas pertimbangan tersebut. Sangat Menakutkan Tetapi persis dikoridor itulah, soal ini jadi menarik dianalisis. Tawa riang akan segera menemukan siapapun yang menilai Perpres RAN PE bertolak belakang dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Betul Perpres RAN PE dialirkan atau disandarkan pada UU Nomor 5 Tahun 2018 itu. Betul itu. Betul sekali UU Nomor 5 Tahun 2018 telah begitu jelas mengatur hal-hal yang Perpres RAN PE ini kualifikasi sebagai “ekstrimisme”. UU ini begitu jelas bicara mengenai kontraradikalisasi. Targetnya jelas. Targetnya tidak terbatas mereka yang pernah dihukum melakukan tindakan terorisme. Targetnya luas. Perorangan dan atau kelompok orang teridentifikasi “terpapar faham radikal” dinyatakan oleh UU ini sebagai taget kontradikalisasi. Lalu, Apa makna dari terminologi orang yang terpapar faham radikal? Maknanya tidak lain, selain orang yang memiliki keyakinan, yang dengannya membawa atau mengakibatkan mereka melakukan tindakan terorisme. Hanya itu titik. Tidak lebih. Tidak ada terorisme yang dilakukan dengan cara-cara lembut. Tidak ada. Terorisme dengan cara-cara lembut, dan akibat yang biasa-biasa saja? Itu konyol dan tolol. Terorisme ya kekerasan, sebagai hasil dari keyakinan ekstrimnya. Jadi, untuk apa Perpres RAN PE itu? Penggunaan pendekatan isolasionis atau purposivistik sekalipun, sulit untuk menyangkal kesamaan substansial sifat antara terminologi “terpapar faham” menurut terminologi UU Nomor 5 Tahun 2018 dan “keyakinan” menurut terminologi Perpres RAN PE, tetap tidak bisa. Mengapa? Baik “terpapar faham” menurut terminologi UU Nomor 5 Tahun 2018 maupun “memiliki keyakinan” menurut terminologi Perpres RAN PE ini, keduanya sama dalam sifatnya. Hal ini disebabkan kekerasan ada pada keduanya, sekaligus menjadi basis keduanya. Justru pada titik itulah menariknya Perpres RAN PE ini. Apa yang menarik? Terminologi “ekstrimisme” lebih eksplosif. Terminologi ini lebih menakutkan dibandingkan terminologi orang “terpapar faham radikal.” Itulah urgensi kehadiran terminologi “ekstrimisme” dalam Perpres RAN PE ini. Apakah hal soal sesepele dan sesederhana di atas tidak dapat dinalar oleh Presiden? Tidak mungkin. Perangkat pendukung dan sumberdaya kepresidenan lebih dari cukup. Malah mengagumkan, sehingga seharusnya Perpres RAN PE, bercitarasa suka-suka ini, tidak perlu diterbitkan. Kenyataannya Perpres RAN PE itu telah eksis. Perpres dalam konteks itu, menjadi instrumen legalisasi terminologi ekstrimisme, yang tidak dikenal dalam UU Terorisme. Perpres bernilai intrumentatif ini menjustifikasi lebelisasi politis terhadap siapapun yang kritis kepada pemerintah. Siapapun dia, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah, segera menemukan diri dicap sebagai orang ekstrim. Pada akhir tahun 1800-san sampai awal 1900-san, negara seperti Jerman, Perancis dan Inggris, telah lebih dahulu bergerak dalam koridor ini. Kenyataannya sekarang, aktivis Islam mutakhir di Indonesia, terlihat begitu telanjang dipanggung politik sebagai eksponen paling produktif dengan kritik-kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Kritik sangat demonstratif dari kalangan ini tersaji begitu ekspresif dan demonstratif sejak 2016 lalu. Gelombang demonstrasi kalangan ini, dikenal dengan demo 411 dan 212, jelas dalam konteks itu. Bentengi Kekuasaan Beralasankah kenyataan tak terbantahkan itu dikesampingkan dari konteks politis Perpres RAN PE ini? Beralasankah mengambil dan menjadikan para aktivis, khususnya Islam, sebagai titik bidik atau berada dalam orbit Perpres RAN PE? Sulit menghindarkannya. Memang teks-teks Perpres RAN PE ini sama sekali tidak menempatkan aktivis Islam, apalagi eksponen eks FPI pada orbitnya. Tetapi sekali lagi, apakah ketiadaan teks itu, dapat disodorkan sebagai bukti tidak adanya pertalian kontekstual dengan ekpresi kritik-kritik berkelanjutan dari kalangan aktivis Islam? Sulit untuk mengatakan tidak atau bukan. Beralasankah menarik dan menjadikan, misalnya unlawfull killing terhadap pengawal habib Rizieq, yang jorok, primitif, bar-bar, tidak beradab dan menjijikan itu? Beralasankah kebijakan pelarangan semua kegiatan FPI, juga pemblokiran rekening-rekening FPI, dan pihak yang terafiliasi dengannya, dikesampingkan dari konteks kebijakan RAN PE ini? Ancaman terhadap hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional, yang Presiden rujuk sebagai justifikasi sosiologis Prepres RAN PE ini, bukan tak dapat disanggah. Justifikasi ini sangat konvensional. Justifikasi ini telah lama digunakan. Pemerintahan Pak Harto terlatih sangat mahir dalam soal ini. Ekstrim kiri dan ekstrim kanan, merupakan terminologi yang berserakan disepanjang jalan pemerintahan Orde Baru. Istilah ini digunakan secara bergantian dengan stabilitas pembangunan. Hasilnya jelas dalam beberapa aspek. Aktivis Islam menjadi sasaran kebijakan ini. Peristiwa Tanjung Priok yang jijik dan jorok dalam semua apeknya itu, merupakan buah kongkrit dari kebijakan stabilisasi keamanan dan pemenuhan hak memperoleh rasa aman. Pemerintah Orde Baru punya UU Subversi. UU paling buruk untuk ukuran rule of law ini, menyediakan ruang diskresi tak terbatas kepada penguasa. Penguasa leluasa mendefenisikan dan mengkualifikasi sesuka-sukanya tindakan-tindakan terhadap orang sebagai subversi. Stabilisasi model Orde Baru itu, dalam kenyataannya, terpercaya sebagai cara penguasa Orde Baru membentengi kekuasaannya. Orang-orang kritis, dibungkan sesuka-sukanya. Betul tidak, semua dipenjara. Tetapi mereka yang tidak dipenjara segera menemukan kenyataan mati hak perdatanya. Hal-hal ini menginspirasi Presiden Jokowi? Tidak dapat dipastikan. Tetapi Perpres RAN PE ini, memiliki kemiripan, dalam beberapa aspek dengan kebijakan stabiliasi Orde Baru. Persis Orde Baru, yang enforcementnya memerlukan kehadiran struktur baru. Perpres ini juga mengatur keberadaan satu struktur baru. Namanya Sekretariat bersama. Pesta stabilisasi model Orde Baru didukung UU Subversi, yang bertolak belakang dalam semua sudutnya dengan rule of law. Dsisi lain pesta stabilisasi pada era Jokowi ini, ditopang oleh dua UU. UU Terorisme dan UU ITE. UU ITE didekorasi dengan teks yang sangat elastis. Tesk elastis selalu menjadi hadiah terbesar kepada aparatur hukum. Mengapa? Teks tipikal UU ITE itu menjustifikasi tafsir purposivistis. Tafsir yang dikerangkakan pada kepentingan politik. UU ini, suka atau tidak, sama kejamnya dengan UU subversi. Canggih kerja politik, entah stablisasi atau sekadar melokalisir kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintah. Dimana letak canggihnya? Menkopolhukam mendekorasi politik dengan, entah gagasan atau bukan, pengaktifan polisi siber. Model polisi GESTAPO pada erranya Nazi Hitler. Kemampuan polisi siber, kata Pak Menteri, luarbiasa. Jam 8 pagi anda menyebarkan pikiran-pikiran, yang berkualifikasi tindak pidana, dua jam kemudian sudah bisa diidentifikasi. Malah ditangkap. Canggih. Entah ada atau tidak plot mengisolasi kalangan aktivis Islam kritis, datanglah Perpres RAN PE. Dan menariknya, Komjen Pol. Listyo Sigit yang pernah jadi ajudan Presiden Jokowi, dinominasikan oleh Presiden untuk menjadi Kapolri. Pak Komjen Sigit mengagumkan. Pak Komjen yang bakal jadi Kapolri ini menunjukan kelasnya ketika di fit and proper test. Beliau berkomitmen menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsif, dan transparansi berkeadilan atau presisi. Tidak itu saja. Pak Komjen ini tegas menyatakan “Polri tidak boleh menjjadi alat kekuasaan”. Apakah prediksi Kepolisian dibawah Pak Sigit nanti meliputi dan menjangkau hingga ke “potensi” ekstrimisme atau hanya sebatas ekstrimisme aktual? Kalau ekstrimisme aktual yang menjadi sasaran prediksi, maka soalnya bagaimana Pak Sigit memaknai terminologi “keyakinan” yang dinyatakan dalam Perpres RAN PE itu? Ini krusialnya. Kalau ekstrimisme aktual yang titik bidik, hukumnya adalah terorisme. Kalau potensi ekstrimis, tak bisa pakai UU Terorisme. Mau pakai Perpres RAN PE untuk potensi ekstrim? Tidak bisa. Inilah soalnya. Tetapi justru dititik itulah letak pijakan politisi Perpres RAN PE. Apa nalarnya? Untuk yang potensi ekstrim, diberi lebel sebagai eksrimis. Lebel ini lebih menakutkan dari pada lebel “terpapar faham radikal.” Itulah black box-nya. Kenyamanan kekuasaan terproteksi sudah. Wajah dan tampilan kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa depan, diwarnai dengan tuduhan ekstrimis kepada perorangan dan kelompok tertentu. Kebebasan eskpresi menjadi serba dibatasi. Itulah sekelumit harga katastropik Perpres RAN PE, yang berkarakter asal terbit dan suka-suka ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Komnas HAM Sebaiknya Dibubarkan Saja
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Bekerja sia-sia saja. Bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas untuk diberikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 7 Desember 2021 lalu di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Harapan publik begitu besar atas kerja keras penyelidikan Komnas HAMK yang transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM. Ada kesan Komnas HAM menyembunyikan fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Indikasi ke arah itu cukup nyata. Misalnya, komnas HAM tidak mengungkapkan siapa dan dari institusi mana pelaku penembakan terhadap dua anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Begitu juga Komnas HAM menyebutkan siapa-siapa yang berada di dalam dua mobil Avanza yang membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak dari Sentul Bogor? Lalu siapa penumpang yang berada di dalam mobil Landruiser, dan berapa nomor polisinya? Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menempatkan Komnas HAM sebagai yang lembaga mandiri. Komnas HAM berfungsi untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM. Kuat sekali mandat undang-unang yang diberikan kepada Komnas HAM untuk bekerja. Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan, maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM. Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar FPI. Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen, maka sesuai UU No 26 tahun 2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hok yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2). Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM, Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga melakukan pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam penyelidikan kasus ini. Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture), bahkan terkesan menghindar. Kenyataan ini merupakan pelanggaran atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan. Keempat, Komnas HAM keliru. Hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu dalam bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya. Apalagi mengganggu asas dan dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan Komnas HAM. Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar "mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM". Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis. Maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri. Sehingga jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Luka Hati Rakyat Yang Semakin Dalam
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Kita semua pernah mengalami luka hati. Terasa sangat sakit. Sebab luka hati tidak hanya merusak satu bagian tubuh. Tetapi secara perlahan bagian lain bisa rusak. Butuh waktu lama untuk sembuh. Itu juga tidak mudah. Sebab yang tersakiti adalah hati. Bukan hati dalam makna fisik tetapi hati dalam makna psikis. Abstrak, tetapi jiwa terasa begitu luka. Jiwa yang luka, pada tingkat rasionalitas tertentu seringkali daya arus baliknya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk melawan. Perlawanan yang tidak lagi memikirkan apa akibat yang timbul kemudian. Penghianatan dan janji palsu adalah dua hal yang sangat melukai hati. Kita semua pasti sangat luka jika dikhianati. Begitu juga jika diberi janji-janji palsu. Janji selangit, tetapi realisasinya hanya segorong-gorong, seselokan atau bahkan kosong. Hanya imaji citra dan pencitraan yang terus diomongkan dan dikonstruksi di arena publik. Misalnya, janji kalau pengangguran akan berkurang. Namun nyatanya pengangguran terus bertambah dari waktu ke waktu. Janji demokrasi makin membaik, nyatanya memburuk. Represip dan kriminalisasi terjadi secara telanjang di depan mata. Rakyat makin lapar, tetapi dramaturgi politik yang disuguhkan. Bukan mengatasi kelaparan yang diderita rakyat. Kehadiran negara secara historis sesungguhnya untuk melindungi, agar tidak ada jiwa rakyat yang terluka. Mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Rakyat yang harsnya dibahagiakan. Bukan rakyat disakiti, apalagi dibunuh. Demokrasi juga hadir untuk mendengarkan hati dan suara rakyat. Mendengarkan jiwa jiwa yang terluka akibat ketidakadilan. Rakyat harus diutamakan. Bukan para oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas dan rakus yang harus diurus kepentingannya. Sebab dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat. Bukan segelintir kecil elit. Democracy, literally, rule by the people demikian Robert Dahl, profesor politik dari Yale University mengingatkan (1915-2014). Korupsi Dana Untuk Rakyat Itulah sebabnya banyak negara memilih jalan demokrasi. Bukan jalan oligarki, apalagi jalan otoriter dan fasis. Sebab dalam jalan demokrasi itu keragaman dihargai. Perbedaan pendapat dan sikap kritis dari civil society dihormati. Kritik adalah bagian penting untuk membuat demokrasi lebih bergizi. Pertanyaannya, apa yang membuat hati rakyat semakin luka seperti tersayat sembilu? Jawabannya korupsi. Indonesia adalah peringkat tiga sebagai negara terkorup se Asia (Transparency International, 2020). Sangat memprihatinkan dan menyakitkan sekali. Ya, korupsi sangat menyakitkan hati rakyat. Korupsi itu mencuri uang rakyat, mencuri hak-hak rakyat. Apalagi uang yang dikorupsi seharusnya untuk rakyat miskin yang terdampak covid-19, dan kehilangan pekerjaan. Mereka makan sehari sekali bahkan kadang tidak makan. Tetangganya bahu-membahu membantu, tetapi penguasa dan partai yang berkuasa diduga mengorupsi hak rakyat miskin itu. Sangat menyakitkan. Tidak tanggung-tanggung korupsinya. Menurut Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), tahun 2020 uang yang dikorupsi total mencapai Rp. 20,8 milyar. Bahkan ada kemungkinan uang yang dikorupsi berpotensi jumlahnya trilliunan rupiah, karena jumlah total proyeknya mencapai Rp. 5,9 triliun. Jumlah ini belum termasuk yang disebut dugaan korupsi lainya di BUMN pada periode ini yang sudah menjadi berita. Misalnya, korupsi Jiwasraya Rp. 16,8 triliun, potensi korupsi di Asabri Rp.17 trilliun, potensi korupsi di BPJS Rp. 43 trilliun, dan potensi korupsi di Bumiputera Rp 48,9 trilliun. Sungguh-sungguh sangat melukai hati rakyat. Di negeri ini ada pasal 2 ayat 2 dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa mengorupsi bantuan untuk bencana bisa dihukum mati. Tujuan pasal 2 ayat 2 undang-undang itu untuk memberantas korupsi, membuat jera koruptor. Bukan untuk melindungi koruptor. Apakah hukuman mati akan diberlakukan? Entahlah, sebab yang terjadi seringkali hukum tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Apalagi jika yang korupsi bagian dari elit yang berkuasa. Jika hukum terus tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah, tentu itu makin melukai hati rakyat. Rakyat bisa melawan. Ada kabar terbaru yang juga sangat menyakitkan hati. Ternyata dana Bansos yang dikorupsi itu tak sampai ke kelompok masyarakat difable. Banyak difabel yang bekerja sebagai buruh harian lepas harus menggadaikan alat mata pencaharian dan menanggung resiko kehilangan penghasilan. Rakyat Dibunuh Aparat Selain korupsi, pembunuhan aparat terhadap rakyat adalah juga sangat melukai hati rakyat. Nyawa seperti tak berharga di negeri ini. Masih inget perjuangan mahasiswa dan siswa STM yang menolak upaya pelemahan KPK oleh Pemerintah dan DPR pada September 2019 lalu? Niat luhur mahasiswa dibalas dengan peluru tajam menembus dada kanan mahasiswa dan ditemukan bekas tembakan atau serpihan proyektil peluru di kepala (Kontras, 2020). Dua mahasiswa Universitas Haluuleo Kendari yang bernama Yusuf Kardawi dan La Randi itu ditembak mati aparat. Luka hati rakyat semakin dalam. Di penghujung tahun 2020, ada 6 anak muda pengawal Habieb Rizieq Shihab (HRS) dadanya ditembak peluru tajam hingga tak bernyawa. Hasil penyelidikan Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan telah terjadi itu pelanggaran HAM. FPI menyebut itu pelanggaran HAM berat. Kini kasus tersebut dilaporkan FPI ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional. Kasus-kasus HAM yang lama seperti kasus Munir, kerusuhan Mei 1998, dan lain-lain tidak ada satupun yang diselesaikan dengan tuntas. Kini kasus-kasus pelanggaran HAM baru malah bertambah. Ya, rakyat makin banyak yang menderita dan terluka hatinya. Terlalu banyak aspirasi rakyat banyak yang tidak didengar, bahkan dicuekin. Rakyat banyak menolak UU Omnibus Law Ciptaker, tetapi rezim penguasa tetap jalan, menutup telinga, mengesahkan undang-undang itu. Ya, penguasa bertepuk sebelah tangan. Saat kampanye, rakyat mahasiswa dan buruh didekati. Begitu berkuasa, aspirasi rakyat mahasiswa dan buruh tidak lagi didengar bahkan ditinggalkan, dan dibuang ke tong sampah. Kenyataan ini yang membuat luka hati yang makin dalam. Yang Kristis Dipenjarakan Kini penguasa senang berutang. Bahkan menyembunyikan hutang hingga Rp. 921 trilliun (Indef,2020). Hingga akhir Desember 2020, Indonesia tercatat memiliki hutang sebesar Rp 6.074,56 triliun (Kemenkeu,2020). Angka itu setara dengan 38,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dibandingkan 2019, nilai utang Indonesia meningkat Rp 1.296 triliun atau 27,1 persen. Utang yang besar itu akan terus bertambah. Tahun ini bisa sampai Rp. 7.000 triliyun lebih. Pemerintah terjebak gali lobang tutup goa. Bayar cicilan utang dengan membuat hutang baru. Makin menyakitkan lagi hasil hutang itu yang dikorupsi, sementara rakyat yang menanggung cicilan utangnya. Sadis amat penguasa. Rakyat kembali menjadi korban atas keserakahan dan tata kelola negara yang buruk dan korup tersebut. Rakyat menanggung beban untuk bayar hutang dan bunga hutang sampai lebih dari 50 tahun ke depan. Sementara penguasa bersama jaringan mafia oligarki dan konglomerasi culas, licik, picik dan tamak berpesta pora dengan mengeruk uang rakyat di APBN yang hampir separuhnya dari hutang. Korupsi uang Bantuan Sosial (Bansos) adalah faktanya. Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Sementara rakyat semakin menderita. Disaat yang sama rakyat juga tertindas. Dibungkam suara rakyat dengan berbagai cara. Diretas media digitalnya, dilaporkan, ditangkap dan dipenjara, termasuk dipaksa swab test dan karantina agar tidak ada lagi suara-suara kritis. Apakah rakyat akan selamanya diam? Diam atau melawan? Luka hati rakyat yang tertindas memang sangat menyakitkan! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.
Hutan Kalsel Digunduli, Datanglah Bencana
by Hasan Syukur Jakarta FNN - Bencana banjir di Kalimantan Selatan kini menyisakan penderitaan bagi penduduk yang ditimpa bencana itu. Sikitar 11 Kabupaten dan Kotamadya tergenang mulai setinggi lutut hingga hampir dua meter air. Sebagian besar penduduk ditampung di tempat-tempat pengungsian. Berbagai penyakit mulai datang mengancam para pengngsi. Dampak dari bencana banjir mulai terasa di bidang sosial ekonomi. Begiutu juga sarana dan prasarana dan jalan-jalan yang rusak. Yang paling menderita tentulah petani di pedesaan terpencil yang kini sangat mengharapkan bantuan dari Pemerintah Daerah setempat. Kehadiran sarana teransformasi untuk perbaikan pasca banjir tampaknya memerlukan waktu cukup lama. Sementara pada daerah lain di pulau Jawa seperti di Sumedang dan kawasan puncak, banjir bandang merengut puluhan jiwa. Di Provinsi Iain, tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak bencana. Bangunan rumah milik warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit. Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sudah mengumumkan wilayahnya berstatus tanggap darurat banjir. Direktur Eksekutif Walhi Kalimatan Selatan, Kusworo Dwi Cahyono menegaskan, banjir besar di yang terjadi Kalimantan Selatan beberapa hari ini, bukan sekedar akibat cuaca yang ekstrem. Melainkan akibat rusaknnya ekologi dan ekosistem lingkungan di daeah ini. Kerusakan terbesar sebagai akibat dari eksploitasi lingkungan secara komersial tanpa megabaikan dampak yang timbul di kemudian hari. Berdasarkan catatan Walhi, tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang yang dilakukan oleh 157 penguasa tambang batubara. Lubang-lubang tambang tersebut, sampai sekarang masih aktif. Bahkan ada yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pembukaan lahan hutan untuk perkebunankelapa sawit. Pasti bakal mengurangi daya serap tanah. Kondisi ini nenampakan daya tampung dan daya dukung lingkungan di Kalimantan Selatan dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Masalah ini sudah sering kita ingatkan. Sejak dari total wilayah seluas 37 juta hektar. Kini hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit", ujar Kusworo. Sumber Kementrian Kehutanan menyebutkan Pulau Kalimantan sebenarnya menjadi areal gundul yang cuma memiliki hutan primer kurang dari 20 persen. Padahal supaya lalulintas air hujan tak tumpah ruah di darat, maka diperlukan paling sedikit 30 persen daya dukung hutan primer. Inilah jawaban mengapa bencana banjir dan longsor belakangan ini sering terjadi di pulau yang setengah abad silam dikenal amat rimbun terseut. Parahnya kerusakan itu tidak mendadak. Ketika Orde Baru mulai melakukan pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah diingatkan oleh berbagai pihak bahwa rusaknya hutan akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang berujung bencana alam. Padahal hutan tropis kita diakui dunia sebagai paru-paru di planet bumi ini. Alasannya waktu itu perlu dana untuk pembangunan dan hutan merupakan asset yang menjaadi sumber keuangan negara. Kondisi lahan kritis ini, mencuat hanya dalam waktu lima tahun setelah pemberian izin HPH. Kini tahun-tahun setelah Orba mengobral izin kepada pemodal kuat. Pohon-phon legendaris seperti kayu besi, meranti, mahoni, pohon kenari dan pohon borneo mungkin hanya tinggal ceritera. Bila mau menanam kembali pohon-pohon tersebut memerlukan waktu lama. Kalau ditanam bijinya yang sudah nyaris punah. Andaikan tumbuh dalam satu tahun cuma beberapa centi meter. Walhasil seperti menebang pohon yang berumur ratusan tahun. Hanya dalam waktu beberapa menit sudah tumbang. Padahal merehabilitasi lahan kritis jauh lebih sulit ktimbang mrusaknya. Lahan kritis semakin lana semakin luas. Ini artinya semakin musnah fungsi biologi dan ekologi sebagai habitat satwa floraan fauna. Mulai dari endemik sebagai jenis burungvikan serangga kupu-kupu sampai ke binatang melata dan parimata. Padahal kekayaan ini sangat luar biasa, karena tidak dimiliki neara lain. Ada upaya menanam kelapa sawit. Tetapi hasilnya tidak maksimal. Sebab tidak bisa menolonng karena akar serabut pohon kelapa sawit tidak mampu menyerp air. Kondisi semakin diperparah dengan kebijakan pengusaha sekarang, yang getol untuk mengundang investasi asing di biang perberkebun kelapa sawit dan mengeksploitasi pertambangan. Apabila demi investasi dan kecenderungan ini terus berlangsung, bangsa kita bukan bertambah kaya. Tetapi bertambah miskin. Hutang terus bertambah dan menggunung, sementara kedaulatan semakin hilang. Negeri yang terkenal denganngan julukan "jamrud khatulistwa" itu bagi generasi mendatang mungkin tiinggal kenangan. Gilirannya kini alam membalas keserakahan manusia. Penulis adalah Pengurus KB Pelajar Islam Indonesia (PII).
Perpres Berbahaya, Mau Dibawa ke Mana Negara?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Presiden telah menandatangani dan memberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme. Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah "seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia". Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu? Terlebih jika dihubungkan dengan "mengancam rasa aman dan stabilitas nasional". Adakah kasus HRS dan FPI yang baru saja terjadi adalah model ancaman yang dimaksud dengan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 itu? Pentingnya kewaspadaan tentu dapat difahami. Akan tetapi jika berlebihan, maka menjadi kontra produktif, tidak sehat, serta menciptakan kultur saling curiga. Sosialisasi hingga pelatihan untuk mengadukan atau melaporkan kepada yang berwenang atas dasar kecurigaan dapat membangun budaya "main lapor" seenaknya atau rekayasa perkara. Budaya ini berbahaya, dan dapat mengancam iklim demokrasi. Sikap kritis akan mudah dituduhkan sebagai ekstrimisme. Sementara pendukung kekuasaan atau mungkin penjilat menjadi nyaman dalam perilakunya, yang sebenarnya juga ekstrim, radikal, atau intoleran. Bernuansa teror pula. Setelah dibombardir dengan isu dan program deradikalisasi, anti kemajemukan, dan lainnya kini rakyat ditambah beban baru berupa penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Masyarakat terus ditakut-takuti dengan doktrin yang rumusannya bersifat multi tafsir atau bias makna. Perpres No 7 tahun 2021 ini berbahaya, karena beberapa hal. Pertama, dasar hukum Perpres yang tidak kuat. Jika dimaksud adalah UU No 5 tahun 2018 yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, maka hal ini tidak adekuat. Terorisme memiliki rumusan delik yang jelas sedangkan ekstrimisme tidak. Semestinya derivasi aturan pun adalah Peraturan Pemerintah. Bukan Perpres yang merumuskan "ekstrimisme" itu bias. Rumusan yang bias memungkinkan untuk ditarik kemana-mana meskipun dengan kalimat "berbasis kekerasan" Kedua, melibatkan banyak kementrian, instansi, atau badan dan lembaga menyebabkan "ekstrimisme" menjadi isu di banyak ruang dan bidang. Program pelatihan kepada penceramah dan ruang ibadah sebagai contoh kegiatan yang dinilai tendensius. Ekstrimisme yang diatur Perpres menjadi racun baru yang dipaparkan ke publik, doktrin keseragaman, serta legalisasi tindakan membungkam demokrasi. Ketiga, sosialisasi yang masif dengan melibatkan banyak institusi adalah kebijakan membuka banyak proyek komersial berbasis ideologi. Dana negara yang akan dihambur-hamburkan atas nama program strategis. Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada "kegaduhan" radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi. Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis. Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan dibawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya di masyarakat. Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan. Ditambah dengan Calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid 19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa kemana negara ini? Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris. Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini. Genderang demokrasi terpimpin telah dimulai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Kejar Aktor Pelanggaran Ham Berat di KM 50 Tol Japek
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuai kecaman. Karena Komnas HAM dianggap tidak mampu untuk menuntaskan tugas penyelidikan dengan baik, berkaitan dengan pembunuhan yang dilakukan anggota Polda Metro Jaya terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 to Jakarta Cikampek (Japek). Terlalu banyak pertanyaan yang menyertai pengumuman hasil penyelidikan Komnas HAM. Misalnya, benarkah terjadi tembak-menembak? Dimana sebenarnya dua orang anggota Laskar FPI tewas itu ditembak? Siapa penembak dua dan empat anggota Laskar FPI itu? Benarkah dua anggota Laskar FPI telah ditembah oleh anggota Polda Metro Jaya seperti yang diakui oleh Kapolda Metero Jaya? Bagaimana menjelaskan dugaan adanya bekas luka siksaan pada tubuh korban? Lalu siapa saja penumpang-penumpang yang ada di dalam dua mobil Avanza sebagai pembuntut misterius, yang bukan dari polisi Polda Metro Jaya? Sebab dua mobil Avanza tersebut membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shuhab sejaka dari Santul. Apakah penumpang-penumpang di kedua mobil tersebut yang terlibat baku tembak, sehingga mengakibatkan dua anggota Laskar FPI meninggal? Lalu siapa "sang komendan" yang ada di dalam mobil Landcruiser itu? Mobil Landcruiser itu milik siapa? Berapa plat nomor polisinya. Jabatannya sebagai apa? Dalam rangka apa orang yang berada di dalam mobil Landruiser itu berada di lokasi rest area kilometer 50 tol Japek. Apakah komendan yang ada di dalam mobil Landruiser itu ikut juga memberikan perintah atau arahan kepada dua mobil Avanza dan mobil-mobil dari Polda Metro Jaya? Masih banyak lagi pertanyaan lain yang mengganjal. Nyaris pekerjaan penyelidikan Komnas HAM sia-sia karena gagal menemukan fakta-fakta penting. Hasil kerja Komnas HAM sangat normatif, tak ambil risiko, dan ujung-ujungnya pro kepada Polisi. Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM terkesan berubah menjadi juru bicara Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial melapor ke Presiden. Tua-tuan Komnas HAM yang hebat-hebat, Presiden Indonesia itu bukan atasannya Komnas HAM. Lalu Komnas HAM juga bekerja bukan bekerja atas dasar perintah dari Presiden, sehingga hasilnya harus dilaporkan kepada Presiden. Tetapi atas perintah dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, perlindungan atas nila keadilan dan harkat serta martabat kemanusiaan Salah satu lembaga yang wajib untuk dilaporkan hasil kerja penyelidikan Komnas HAM adalah Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Untuk di dalam negeri, laporan disampaikan Komisi III DPR dan Mahkamah Agung. Bukan melaporkan hasil penyelidikan kepada Presiden. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021 telah menyatakan bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas. Untuk itu diminta untuk Komnas HAM mendalami kembali, sehingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan "unlawful killing" tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran HAM. Tetapi pelanggaran HAM berat. Presiden hendaknya mendukung pendalaman atau investigasi guna menyeret aktor intelektual hingga ke proses peradilan. Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" bukan insiden yang kebetulan semata. Karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan yang intens terhadap HRS dan FPI. Suatu cara kerja yang tidak lazim. Bahkan berindikasi melanggar aturan hukum positif yang berlaku. Keberadaan mobil Landcruiser yang datang mengomandani"pembunuhan atau pembantaian, patut untuk ditelusuri lebih lanjut. Begitu juga dengan keberadaan surat perintah atau surat tugas dari institusi yang menugaskan penumpang yang berada di dalam mobil Landruiser tersebut. Orangnya berasal dari institusi mana. Berada di KM 50 tol Japek atas perntah siapa pimpinannya? Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini adalah Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan tidak mustahil juga Presiden Republik Indonesia. Karenanya perlu ada kejelasan dari Komnas HAM. Meski pihak Kepolisian telah membantah adanya keterlibatan atasan. Akan tetapi indikasi yang ada menuntut untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak Komnas HAM agar dapat ditemukan aktor intelektual dari kejahatan ini. Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" ini sangat penting untuk sekurangnya tiga hal. Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk melepas tanggungjawab atasan dan kepentingan politik yang lebih luas. Kedua, menjadi terobosan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM yang menggantung dan terus menjadi tagihan dari perilaku rezim sekarang dan rezim yang sebelum-sebelumnya. Ketiga, dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan peradilan HAM internasional. Dari pantauan publik dan juga laporan "sederhana" Komnas HAM, maka peristiwa pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" diduga kuat menjadi peristiwa berdisain matang dan panjang yang melibatkan satu atau lebih aktor intelektual. Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan saja rasional dan obyektif, tetapi juga merupakan jalan strategis bangsa untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi Manusia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.