Pentingnya Memasyarakatkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Oleh Abdurrahman Syebubakar
PADA tanggal 25 September 2015, 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia secara resmi mengadopsi SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) guna mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dan dimensinya serta menjamin kemakmuran bagi semua.
SDGs dibangun di atas landasan nilai-nilai dasar hak asasi manusia, kesetaraan dan keberlanjutan pembangunan. Serangkaian tujuan dalam SDGs merupakan visi baru masyarakat global untuk masa depan yang lebih baik, yang mencakup empat dimensi utama pembangunan dengan pendekatan holistik, yaitu pembangunan sosial inklusif, pembangunan ekonomi inklusif, kelestarian lingkungan, serta perdamaian dan keamanan.
Pendekatan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip Deklarasi Milenium tahun 2000 yang menjamin “kebebasan positif” dan “kebebasan negatif” generasi sekarang dan yang akan datang. Contoh kebebasan positif, di antaranya, bebas untuk hidup layak dan sehat, serta meraih pendidikan berkualitas. Sementara, bebas dari rasa takut, kemiskinan, kelaparan dan berbagai bentuk penderitaan lainnya, merupakan bagian dari kebebasan negatif.
Melanjutkan dan bertujuan menuntaskan MDGs (Millennium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milenium) yang juga lahir dari Deklarasi Milenium dan berakhir tahun 2015, SDGs terdiri dari 17 tujuan dan 169 target spesifik yang harus dicapai selama 15 tahun hingga 2030.
SDGs berfungsi ganda di pelbagai tingkat. Sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan, sekaligus menjadi tujuan yang hendak dicapai dengan target-target spesifik. SDGs dapat menjadi acuan dalam penentuan prioritas kebijakan dan program pembangunan nasional dan daerah.
Transparansi dan multidimensionalitas - nya membantu pemerintah untuk menggalang dukungan luas dan memobilisasi kemitraan multipihak guna mengatasi pelbagai isu sentral pembangunan. Hal ini ditegaskan dalam laporan Sustainable Solutions Networks PBB 2013 bahwa SDGs "bersifat universal dan berlaku untuk semua negara, pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha dan masyarakat sipil".
Penekanan SDGs pada paradigma pembangunan manusia yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan, seyogyanya menggeser orientasi kebijakan di luar narasi pertumbuhan ekonomi yang telah mendominasi agenda pembangunan selama ini. Pertumbuhan ekonomi dibutuhkan sejauh berkeadilan dan memberikan kontribusi terhadap kemakmuran seluruh rakyat, terutama rakyat kecil.
SDGs juga dapat digunakan sebagai kerangka kerja dan instrumen praktis untuk memantau pelaksanaan kebijakan dan strategi pembangunan guna menjamin akuntabilitas pelaksana kebijakan di pelbagai tingkat. SDGs berfungsi sebagai “kartu penilaian” untuk membandingkan pencapaian hasil pembangunan di daerah sehingga terjadi skala prioritas dalam proses perencanaan dan alokasi anggaran.
Sebagai tujuan, SDGs bermakna setiap warga negara, setiap tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan lainnya---institusi negara, swasta, media, perguruan tinggi, lembaga pemikir/riset dan masyarakat sipil--- mengerahkan potensi dan upayanya untuk mencapai tujuan dan target target SDGs.
SDGs, sebagai agenda global, meniscayakan kontekstualisasi sesuai dengan kondisi di pusat dan daerah. SDGs dapat diselaraskan dengan kebijakan dan strategi pembangunan nasional dan daerah termasuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah, Rencana Kerja (tahunan) Pembangunan, Rencana Pembangunan Sektoral, Anggaran Tahunan, serta dokumen kebijakan dan rencana aksi lainnya.
Di era otonomi daerah, sebagian besar tanggung jawab dan keputusan penting terkait pencapaian SDGs berada di tangan pemerintah daerah. Seperti pengalaman pelaksanaan MDGs di berbagai negara, pencapaian tujuan dan sasarannya tergantung pada otoritas lokal dan keterlibatan pemangku kepentingan lainnya.
Peran penting pemerintah daerah dalam SDGs ditekankan oleh Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel 2013) tentang Agenda Pembangunan Paska 2015 dalam laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB. Dalam Laporan tersebut disebutkan bahwa masalah paling mendesak adalah mendorong pendekatan lokal dan geografis untuk mempercepat pencapaian SDGs. Hal ini dapat dilakukan dengan memilah data berdasarkan lokasi, dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menentukan prioritas, melaksanakan rencana dan pemantauan serta bermitra dengan dunia usaha dan masyarakat.
Sebagai garda terdepan (front-liner), yang paling dekat dengan rakyat, pemerintah daerah berada dalam posisi paling tepat untuk mengidentifikasi dan merespon kebutuhan masyarakat melalui penyediaan layanan publik. Terlebih dalam konteks desentralisasi dan demokratisasi Indonesia di mana pemerintah daerah memiliki mandat politik melalui pilkada langsung.
Aset politik pemerintah daerah berupa pemilihan langsung dan desentralisasi fiskal yang tinggi berpotensi meningkatkan penyediaan dan kualitas layanan publik sehingga tercipta kesejahteraan rakyat, khususnya kelompok miskin, rentan dan marjinal. Namun, defisit kapasitas di tingkat lokal di pelbagai bidang – dalam perencanaan, penganggaran, implementasi dan pemantauan kebijakan dan program pembangunan - menghambat potensi ini. Kapasitas pemerintah daerah untuk memobilisasi dukungan luas dari aktor-aktor kunci lainnya seperti dunia usaha, perguruan tinggi, think tank, dan kelompok masyarakat sipil – juga masih menjadi tanda tanya.
Dus, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam upaya percepatan pencapaian SDGs menjadi kebutuhan mendesak. Dalam hal ini, pemerintah pusat dapat menyediakan kerangka regulasi, peningkatan kapasitas kelembagaan dan teknokratis, yang menyertai alih kewenangan dan sumber daya fiskal ke daerah.
Di samping Roadmap dan Rencana Aksi di pusat dan daerah yang menjadi rujukan semua pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam pencapaian SDGs, diperlukan strategi pembiayaan serta mekanisme insentif moneter dan/atau non-moneter bagi pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi dan berbagai prakarsa percepatan pencapaian agenda global ini.
Untuk menerjemahkan SDGs ke dalam konteks lokal dan merinci target target-nya di berbagai tingkat, hingga desa/kelurahan, dibutuhkan instrumen praktis seperti Peta Kemiskinan Multidimensi’ (Multi-dimensional Poverty Map), Kartu Penilaian SDGs (SDG Score Card) dan Analisis Anggaran, yang sebelumnya berhasil diterapkan di berbagai daerah di Indonesia dalam pelokalan MDGs. Hasilnya, alokasi anggaran untuk sektor-sektor terkait kemiskinan multidimensi, dan porsi belanja langsung pembangunan, meningkat cukup signifikan.
____________________________
Penulis Ketua Dewan Pengurus IDe.
Tulisan merupakan adaptasi dari artikel penulis bertajuk Bringing Sustainable Development Goals Home yang dimuat harian The MalayMail pada 18 April 2016. Rekomendasi dalam tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman empiris penulis ketika memimpin pengembangan dan pelaksanaan berbagai inisiatif terkait percepatan pencapaian MDGs dan Pembangunan Manusia pada Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia, antara 2002 dan 2011.