Nawa Cita dan Penghancuran PLN
Oleh Ahmad Daryoko (Koordinator INVEST)
DARI siaran pers SP PLN-PP IP- SP PJB , Selasa 27 Juli 2021 lewat zoom, dapat disimpulkan bahwa pemerintah akan "menghabisi" instalasi PLN pembangkitan Jawa -Bali dari sisa 10% yang masih ada sejak 2020. Ini sesuai hasil Seminar pada 22 Juli PP IP dan SP PJB). Sehingga di masa yang akan datang, paling lama tahun depan, PLN hanya menguasai transmisi dan distribusi alias "jaga tower" listrik.
Sejak saat itu kawasan Jawa-Bali sudah secara total dikuasai Huadian, GE, Shenhua serta BUMN non-PLN yang otomatis akan berlangsung kompetisi penuh kelistrikan atau apa yang disebut sebagai MBMS (Multi Buyer and Multi Seller) System. Atau mengikuti kemauan pihak penyandang dana seperti WB,ADB, IMF (group IFIs) dan Bank of China dalam konsep yg dinamakan "The Power Sector Restructuring Program" (PSRP). Dengan demikian hilanglah kedaulatan kelistrikan NKRI.
Perlu dijelaskan bahwa di kawasan Jawa-Bali yang rata-rata perhari butuh daya 30.000 MW, PLN masih sharing sekitar 3000 MW (atau sekitar 10%) perhari yang berasal dari PLTA dan PLTGU. Sedang sekitar 17.000 MW pembangkit PLN lainnya "mangkrak" karena instruksi Menteri BUMN (Tempo 14 Des 2019, Jawa Pos 16 Mei 2020).
Kebijakan lanjut agar PLN tidak memiliki pembangkit di Jawa-Bali maka rencananya, pertama geothermal akan diserahkan ke Pertamina. Kedua, PLTU-PLTU akan dibikin BUMN terpisah dan dilakukan IPO dengan strategic sales.
Perlu juga diperhatikan bahwa pertama PLTA akan diserahkan ke perusahaan BUMN Jasa Tirta (PJT) seperti Jatiluhur dan lainnya. Kedua, PLTGU (Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap) akan di relokasi ke luar Jawa-Bali sebagai persiapan "unbundling horisontal" Jawa Bali - Luar Jawa Bali sesuai konsep PSRP. Ketiga, PLN Pusat Pengatur Beban (P2B) di Cinere akan dijadikan lembaga independen yang berfungsi sebagai pengatur sistem dan pengatur pasar kelistrikan. Keempat, akan dibentuk Badan Pengawas Pasar Ketenagalistrikan (BAPETAL).
Poin ketiga dan keempat merupakan bagian dari konsep PSRP.
Dengan demikian tidak ada lagi pembangkit PLN di Jawa-Bali. PLN selanjutnya hanya sebagai "penjaga tower" dan P2B juga lepas dari PLN menjadi Lembaga Independen. Sehingga Jawa-Bali sudah sepenuhnya "unbundling vertikal".
Semua ini melawan putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dan putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 !
Dengan fakta-fakta ini maka bisa disimpulkan bahwa Nawa Cita hanya berhenti sebagai "jargon kosong" alias "bullshit". Ini terjadi karena ideologi ethatisme (yang ada di Pancasila dan UUD 1945) sebagai implementasi kehadiran negara di tengah rakyat "diplintir" menjadi "bancakan PLN" di tengah rakyat yang disponsori Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan, Erick Tohir, dan Dahlan Iskan.
Ideologi "Ethatisme" sebagai ruh Pancasila dan UUD 1945, berubah menjadi ideologi liberal dengan jargon "siapa kuat dia yang menang "
Rakyat cukup nonton, "mlongo" dan harap-harap cemas menunggu kenaikan listrik berlipat. Bagi yang tidak kuat bayar listrik silahkan siap-siap pakai lilin, teplok, oncor, upet dan sejenisnya. Karena negara hanya tinggal nama tanpa makna.