Menyoal Rencana Perubahn Permen ESDM PLTS Atap
Oleh Marwan Batubara, IRESS
DALAM waktu dekat Kementrian ESDM akan menerbitkan aturan baru terkait pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap, sebagai revisi atas Permen ESDM No.49/2018. Menurut Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana revisi dilakukan antara lain untuk menarik investasi PLTS, menggalakkan PLTS sebagai energi bersih yang semakin murah, menghemat tagihan listrik, dan mengejar target bauran EBT 23% pada 2025. Dikatakan, revisi Permen akan memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang besar, termasuk penyediaan lapangan kerja.
Sejak kebijakan PLTS Atap diterbitkan pemerintah pada 2018 ada 350 pelanggan PLN yang mengoperasikan PLTS Atap di rumah dan kantor-kantor. Saat ini jumlah pelanggan PLTS atap telah mencapai 4.000 atau melonjak lebih dari 1.000% dibanding awal 2018, dengan total kapasitas sekitar 40 MW. Dari total potensi energi surya Indonesia sekitar 208 GW, menurut Dadan, potensi PLTS Atap mencapai 32 GW. Karena itu diharapkan kapasitas PLTS Atap dapat meningkat menjadi 2-3 GW dalam 3 tahun mendatang.
Pemerintah menyatakan akan merevisi beberapa ketentuan Permen No.49/2018. Misalnya mengubah tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan dari tiga bulan menjadi enam bulan, mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, memperluas perizinan pemasangan PLTS Atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, perizinan lebih singkat, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS Atap.
IRESS mengapresiasi upaya pemerintah merevisi Permen No.49/2018 guna mencapai berbagai tujuan ideal energi nasional. Dengan demikian, masyarakat luas akan tertarik memasang PLTS Atap di rumah atau kantor masing-masing secara massif dan gotong-royong. Namun, berbagai target ideal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional. Jika berbagai aspek strategis di atas belum terpenuhi secara harmonis dan seimbang, maka revisi Permen harus ditunda.
Sejauh ini IRESS menilai rencana revisi Permen ESDM No.49/2018 lebih fokus pada pertimbangan aspek ekonomi dan bisnis. Ditengarai motif investasi, bisnis dan perburuan rente lebih mengemuka dibanding kepentingan keadilan, kebersamaan dan keberlanjutan pelayanan BUMN. Hal ini sangat jelas terlihat dari upaya Kementrian ESDM yang memaksakan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1. Berbagai masukan dari PLN maupun sejumlah akademisi dan pakar sejauh ini cenderung tidak dipertimbangan pemerintah.
Saat ini, ketentuan tarif net-metering dalam Permen ESDM No.49/2018 adalah 1:0,65. Artinya, jika saat konsumen mengkonsumsi atau mengimpor listrik dari PLN adalah X per kWh, maka pada saat konsumen mengekpor listrik dari storage di rumah ke jaringan PLN tarifnya adalah 0,65X. Tarif ekspor listrik konsumen ke PLN memang lebih rendah dibanding tarif impor konsumen dari PLN, karena PLN harus menyediaan berbagai sarana pelayanan.
Sebenarnya tarif ekspor-impor 0,65:1 sesuai Permen No.49/2018 sudah cukup memadai dan menguntungkan konsumen, terutama life style sebagai pengguna energi bersih dapat diraih bersamaan dengan tagihan listrik yang lebih murah. Bahkan, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1. Karena telah terlanjur membuat aturan tarif ekspor-impor 0,65:1, maka cukup layak jika pemerintah mempertahankan dan konsumen pun memaklumi.
Pemerintah dan para promotor revisi Permen mengatakan jika tarif ekspor-impor menjadi 1:1, maka terjadi peningkatan keekonomian PLTS Atap dan waktu pengembalian investasi menjadi lebih singkat (dari 10 menjadi 8 tahun), sehingga penggunaan PLTS Atap akan tumbuh pesat dan target bauran EBT 23% dapat dicapai. Namun di sisi lain, perubahan tarif ekspor-impor dari 0,65:1 menjadi 1:1 akan merugikan konsumen dan BUMN seperti diuraikan berikut.
Pertama, tarif ekspor-impor listrik yang berlaku saat ini dan belakangan dihitung ulang pakar-pakar energi, ditinjau dari berbagai aspek terkait, telah cukup layak dan adil. Untuk pelayanan listrik hingga sampai ke konsumen, PLN perlu membangun berbagai fasilitas, minimal berupa jaringan transmisi, distribusi, gardu dan storage. Jika tarif ekspor-impor dirubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN. Dalam hal ini pemilik PLTS Atap sangat diuntungkan dan PLN sebagai pihak yang dirugikan.
Kedua, karena memiliki dana berinvestasi di PLTS Atap, para konsumen berkategori mampu dipersilakan untuk memanfaatkan sarana milik negara/BUMN “for free”, tidak peduli bahwa sarana tersebut yang harus dibangun menggunakan uang negara, subsidi energi dan pembayaran tagihan listrik oleh konsumen non PLTS Atap, terutama yang tidak mampu. Secara sangat mendasar, terjadi ketidakadilan sistemik, di mana konsumen tak mampu justru “dipaksa” mensubsidi konsumen “mampu” berdasar aturan legal yang diterbitkan negara.
Ketiga, menerapkan tarif ekspot-impor 1:1 dapat dinilai sebagai upaya menggalakkan penggunaan EBT lebih dominan untuk tujuan bisnis dan investasi, dibanding untuk tujuan pencapaian energi bersih, penghematan atau life style. Mengingat PLTS Atap adalah produk mahal yang hanya mampu dibeli pelanggan kapasitas besar yang berpunya, maka skema tarif 1:1 akan membuat indeks Gini meningkat, yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin.
Keempat, tarif 1:1 akan mendorong masyarakat berpunya untuk berbisnis listrik dengan PLN. Hal ini memicu menjamurnya independent power producer (IPP) mikro yang berbisnis tanpa kaidah dan “term and condition” yang adil dan layak seperti berlaku untuk listrik IPP. Hal ini akan mengancam kelangsungan pelayanan listrik PLN yang berkelanjutan.
Kelima, kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS yang nilainya sekitar Rp 1400/kWh dangan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp 900/kWh. Hal ini jelas semakin memberatkan APBN. Meskipun disebut dana kompensasi, namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi. Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para “the haves” yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23%!
Keenam, tarif liberal 1:1 seolah ingin segera diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi supply-demand listrik PLN yang saat ini sangat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah beban keuangan PLN yang sangat dirugikan oleh skema take or pay (TOP) listrik swasta/IPP dan oleh kesalahan pemerintah merencanakan proyek listrik 35.000 MW. Akibat asumsi pertumbuhan ekonomi (dan kebutuhan listrik) yang berlebihan, pembangkit-pembangkit yang dibangun IPP dapat di-rescheduled atau diundur. Namun sebagian besar sarana transmisi, distribusi dan gardu sebagai pendukung pembangkit IPP tersebut telah terlanjur dibangun PLN, yang menyebabkan naiknya beban biaya. Jika konsep ekspor-impor liberal 1:1 tetap dipaksakan, maka beban keuangan PLN semakin berat.
Ketujuh, sejalan dengan butir keenam di atas, saat ini reserve margin atau cadangan pembangkitan daya listrik Jawa-Bali telah mencapai 60%-an, dan Sumatera mencapai 50%-an. Padahal reserve margin ideal yang efektif dan efisien berkisar 20%-30%. Dengan reserve margin yang sangat tinggi tersebut, maka beban biaya operasi PLN akan naik dan sudah sangat tidak efisien. Apalagi jika PLN harus menyerap “pasokan atau ekpor” listrik swasta yang ingin digalakkan melalui tarif liberal 1:1. Beban biaya yang naik berarti BPP/tarif listrik juga naik.
Kedelapan, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40%. Sisanya komponen impor, terutama dari China. Jika penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar (photo voltaic, PV) domestik sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang atau justru dihambat berkembang, maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri. Selain itu, impor solar PV yang tinggi akan meningkatkan defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (CAD) yang biasanya terjadi saat harga minyak dunia tinggi. Biasanya defisit tinggi karena impor bbm, minyak mentah dan LPG, tetapi akan diperparah oleh penghasil energi jenis lain: solar PV.
Kesembilan, saat ini industri solar PV global sedang mengalami over supply, termasuk akibat pandemi Covid-19. Kita tidak ingin Indonesia menjadi tempat sampah kelebihan produk asing yang saat ini diobral, terutama melalui aturan tarif liberal 1:1, tanpa memperhatikan TKDN, pengembangan industri solar PV nasional, keberlanjutan pelayanan PLN dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Tulisan ini tidak menolak seluruh ketentuan penting dalam rencana perubahan Permen ESDM No.49/2018. Cukup banyak hal baik yang memang mendesak untuk dirubah. Namun, khusus tarif ekspor-impor 1:1, dengan tegas IRESS menyatakan penolakan. IRESS juga mengajak publik menolak rencana perubahan tarif liberal pro industri asing dan pro pengusaha PLTS domestik, atas nama energi bersih, mitigasi perubahan iklim dan bauran EBT 23%.
Pemerintah dapat mempertahankan tarif ekspor-impor yang berlaku saat ini, yakni 0.65:1. Perubahan Permen No.49/2018 dapat pula memuat ketentuan pembatasan kapasitas terpasang dan yang harus dibeli PLN adalah sesuai dengan kebutuhan sistem. Dalam kondisi reserve margin yang saat ini sangat berlebihan, pemerintah pun harus menunda terbit atau berlakunya regulasi baru. Ketentuan dan waktu terbit regulasi baru perlu pula diselaraskan dengan peta jalan industri PLTS domestik guna meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi, sekaligus untuk menjamin pemanfaatan APBN berputar optimal di dalam negeri.[]
Penulis Direktur Eksekutif IRESS