OPINI

Jokowi Rindu Kritikan Chrisye Beri Jawaban

by Jarot Espe Surabaya, FNN- Siapa tak kenal Christian Rahadi yang populer dengan sebutan Chrisye? Selain mewariskan album prima, legenda pop Indonesia itu menyimpan kisah religius di balik penciptaan karya fenomenal yang sarat makna. Chrisye larut dalam tangis, hatinya begitu terguncang, setiap kali mencoba melantunkan lagu yang baru tercipta. Ia akhirnya menyerah, sementara Yanti istrinya, tak kalah bingung. Chrisye pun bertanya, dari mana sastrawan Taufik Ismail yang diminta membuat syair lagu itu mendapat ilham? "Dari langit!" jawab Taufik Ismail yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Ia mengaku menukil surat Yasin setelah berhari hari gagal menemukan syair religius sesuai permintaan Chrisye. Di kemudian hari, publik mengenal lagu fenomenal itu bertitle "Ketika Tangan dan Kaki Berkata". Taufik tidak menyadur seluruh surat Yasin, melainkan hanya ayat 65. Namun itu sudah cukup menggambarkan peringatan keras dari Sang Khalik. Tidak berlaku pembatas untuk bersandiwara. Semasa hidup, manusia memang pandai bersandiwara, lihai menyusun kata, pintar beralibi untuk menutupi aksi. Berapapun jumlah buruh menuntut keadilan atas kedzoliman rezim, yang terjawab adalah sikap berpura-pura, seolah tidak terjadi apa-apa. Ranah keadilan diklaim merupakan hak mutlak penguasa. Begitu pula, manakala nyawa melayang, tubuh bergelimpangan di ruas tol akibat diterjang peluru polisi, yang muncul adalah skenario mulut manusia. Padahal ini menyangkut nyawa khalifah di muka bumi, yang tak seorangpun sanggup mengembalikan ruh yang terlepas dari raga. Dalam batas ini, karya klasik Chrisye dan Taufik Ismail, sampai kapan pun tetap relevan. Betapa tidak, ini terkait janji Allah. Seluruh mulut manusia akan terkunci rapat, tidak bisa bicara. Ini juga yang akan dialami ratusan petugas KPPS yang tewas selama pelaksanaan Pemilu 2019. Kelak anggota tubuh lain yang akan menggantikan peran mulut, untuk memberikan testimoni. Kesaksiannya sahih, tak bisa diragukan, karena diungkapkan saksi yang berada di tempat dan waktu yang tepat. Selama ini tidak ada penyelidikan atas kasus kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Desakan berbagai kalangan agar pemerintah mengungkap kematian petugas KPPS menguap seiring berjalannya waktu. Padahal penyelidikan diperlukan untuk mengurai akar permasalahan agar tidak terulang di kemudian hari. Benarkah pileg dan pilpres tahun 2019 yang digelar serentak, telah menguras tenaga petugas KPPS dan menjadi penyebab kematiannya? Ataukah ada faktor lain? Dan bayang-bayang kematian petugas KPPS di tahun 2019 kembali terungkap ke permukaan, mengiringi proses politik di Tanah Air. Berdasarkan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, pelaksanaan Pilpres, Pileg dan Pilkada dilakukan serentak di tahun 2024. Awalnya, hanya PDIP yang menolak revisi UU Pilkada. Artinya Kepala daerah yang berakhir masa baktinya di tahun 2022 akan diganti oleh pejabat pelaksana tugas (PLT). Adapun mayoritas partai lain, menginginkan revisi, untuk mencegah korban berjatuhan. Sebab pada Pilpres dan Pileg 2019, sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia tanpa diinvestigasi. Revisi UU untuk memisahkan pelaksanaan Pilkada di tahun 2022 dan 2023. Adapun Pilpres dan Pileg tetap digelar di tahun 2024. Revisi UU Pilkada diharapkan juga membantu pemilih jangan sampai gagal fokus. Sebab dengan Pemilu serentak tahun 2024, puluhan nama serta wajah kandidat dicetak memenuhi kartu coblosan. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar nalar akal sehat. Undangan Presiden Jokowi kepada pimpinan parpol ke istana, mengubah peta politik. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tetap menginginkan revisi UU. Nasdem pun berbelok arah mendukung Pak Jokowi. Partai partai itu dengan enteng menyampaikan alibinya, meskipun tak bisa menghapus kesan motif politis di balik pelaksanaan pesta demokrasi serentak tahun 2024. Bercermin pada Pemilu terakhir, apakah para politisi dan Pak Jokowi, bertanggung jawab jika nantinya korban jatuh bergelimpangan pada pemilu serentak 2024? Atau akan dibiarkan sebagaimana peristiwa tahun 2019? Terlontar pula pertanyaan bernada skeptis; adakah cara ampuh untuk menggugah hati nurani? Mereka tampaknya lupa atau pura pura alpa, atau memang benar benar tidak paham pesan religi lagu Chrisye yang syairnya dinukil dari firman Allah SWT. Jadi Pak Jokowi, ketimbang Anda berlama-lama menunggu kritikan, sebaiknya lebih bermanfaat digunakan untuk berlatih bernyanyi, meneladani sosok Chrisye. Sepanjang kaki masih berpijak di bumi, mumpung mulut belum rapat terkunci. Mari pak, bernyanyi untuk mengingat mati. Penulis adalah Pemerhati Seni

Pak Hakim, Jangan Hukum Syahganda dan Jumhur

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum (Bagian Pertama) Ternate FNN - Tim penasihat hukum Syahganda yang berjumlah 25 orang terlihat skeptis terhadap persidangan Syahganda. Sikap itu diperlihatkan, pada satu sidang dengan walk out. Skeptisisme itu terlihat juga pada persidangan Jumhur Hidayat. Sama, ada keraguan terhadap bobot kejujuran hakim yang menyidangkan perkara mereka. Kalau kasus yang dipaksankan kepada Sahghanda, telah memasuki pemeriksaan bukti. Ini berbeda dengan peradilan untuk kasus yang dipaksakan kepada Jumhur. Sidang perkara Jumhur baru sampai tahap putusan sela. Tetapi apapun itu, skeptisisme telah melilit kencang tubuh kejujuran peradilan. Kemuliaan Artifisial “Yang Mulia”, itu panggilan untuk hakim di peradilan manapun. Sebutan itu harus duiberikan kepada mereka saat para hakim yang memeriksa dan mengadili sebuah perkara, apapun itu. Hakim, entah berkelakuan baik, berpengetahuan top atau tidak, harus dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia” kala mereka memeriksa dan mengadili perkara. Itu absolut. Sebegitu mulianya hakim, sehingga penghormatan kepada mereka diberikan sejak hakim itu memasuki ruang sidang. Bahkan hingga meninggalkan ruang sidang itu. Berdiri dan bersikap hormat, itu sikap yang diharuskan oleh adab peradilan kepada siapapun kala hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang. Begitu peradaban hukum memuliakan para ahli yang putus perkara ini. Sebutan mewah itu disodorkan peradaban hukum, karena “adil” bekerja dan menemukan bentuk kongkrit melalui putusan mereka. Peradaban hukum tak membekali mereka dengan senjata dan pasukan. Tidak. Peradaban hukum hanya membekali mereka dengan “independensi.” Itu benteng dan senjata mereka yang tercanggih. Peradaban hukum betul-betul memandang mereka sebagai hal penting ,yang tidak terkira. Contemp court, untuk tujuan itu, disodorkan untuk mengaja kehormatan mereka. Tetapi semulia-mulianya hakim didunia ini, pasti tak lebih mulia dari wali Allah Subhanahu Wata’ala. Kemulian hakim diberi oleh hukum, sedangkan kemuliaan para wali Allah datang dengan sendirinya. Wali malah menyembunyikan kemuliaannya dihadapan manusia. Kemuliaan yang didemonstrasikan, sejatinya bukan kemuliaan. Itu sebabnya wali tak mencari dan meminta orang memuliakan mereka. Sama sekali tidak. Hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu kewalian mereka. Top markotop. Hakim pasti tak mencarinya. Kemulian mereka diberikan oleh peradaban hukum. Karena sejumlah pertimbangan, yang epistemologisnya jelas. Itulah beda hakim dan wali. Hakim dimuliakan oleh peradaban politik dan hukum karena dalam sifat epistemologisnya berinduk pada keadilan. Main golf, bukan pekerjaan wali. Entah kalau hakim. Boleh jadi ada yang melepas penat dengan cara main golf. Mungkin seiring datangya kepenatan berurusan dengan tumpukan erkas yang harus diselesaikan. Apakah hakim-hakim di pengadilan negeri Depok, yang saat ini sedang memeriksa, mengadili dan akan memutus perkara sahabat Dr. Syahganda Nainggolan, melepas penat dengan cara golf? Entahlah. Hebatkah mental hakim-hakim ini? Entahlah. Sikap hakim yang tidak membolehkan Dr. Syahganda Nainggolan hadir di persidangan merupakan sikap terkordinasi? Entahlah. Bila ya, dengan siapa kordinasi dilakukan? Layakkah kordinasi dipertimbangan dalam menganalisis kenyataan pahit nan pedih ini? Tak ada alasan untuk spekulasi bicara. Hakim-hakim yang hebat atau biasa-biasa saja, dimanapun di dunia ini tahu, mereka bukan tukang hukum orang. Pasti itu. Tukang hukum itu pekerjaan orang tak berakal. Bandit pun belum tentu mampu melakukannya. Mereka juga punya rasa, punya belas kasih, punya akal dan hati. Para hakim didunia ini tahu pekerjaan mereka adalah menemukan hukum untuk perkara yang mereka periksa, adili dan putus. Tidak lebih. Menemukan itu setara pekerjaan meniti titian tipis terjal. Sekejab saja hilang fokus, keseimbangan melayang, anda akan terjatuh, terjerembab dalam derita nan pedih. Itu dicontohkan oleh hakim Syuraih, sang ahli fiqih, yang diangkat Sayidina Abubakar menjadi hakim ini. Syuraih, hakim top sepanjang masa ini, dalam sejarah peradaban hukum Islam terukir utuh dengan konsistensi, tawaddu tanpa batas. Tawaddu, karena ia mengerti risiko dirinya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai hakim. Kedalaman pemahamannya terhadap Din Islam, hak dan bathil, asbabun nudzul teks dari kalam Allah, sungguh mengagumkan. Syuraih tahu keharusan berlaku adil dalam memutus perkara. Dia juga tahu akhir hidup yang pasti. Kedalaman ilmunya menenggelamkan diri di lautan kalam Allah, tersaji menjadi kunci utama dia menghidupkan samudara keadilan. Sebab di jalan itu dia memperlakukan para Khulafa Ar-Rashidin, Sayidina Umar dan Sayidina Ali, sebiasa dia memperlakukan rakyat biasa. Dia, terlihat pada perkara baju besi yang diklaim Sayidina Ali Bin Abi Thalib, memperlakukan teks tidak sebatas huruf demi huruf. Dia mengerti yang dikenal dengan beyond the text. Tahu penyebab lahirnya teks itu. Pengetahuannya membawa dirinya menyelami apa yang disebut asbabul nudzul-nya, atau apa yang P.S Atiyah, ahli hukum Inggris sebut sebagai black box. Syuraih tak mungkin dicampakan sejarah. Ia terlalu anggun untuk dibiarkan tercecer dalam memori pemikiran dan peradaban peradilan Islam. Tak canggung, atau harus berkoordinasi dengan Sayidina Ali. Ia memutus berdasarkan hukum dan ilmu yang dipunyainya. Status Sayidina Ali sebagai Imam dan Amirul Mukminin, tak mampu membuat Syuraih kehilangan iman. Kebesaran Sayidina Ali, tak membuatnya membungkuk khas jongos, yang terampil dengan suka menjilat kekuasaan. Hebat, sebab adil itu perkara besar. Lebih besar dari semesta. Adil itu jelas, bukan perkara politik kelas pecundang. Bukan. Ini perkara, yang terlalu besar untuk dianggap biasa. Adil bukan perkara teknis hukum. Adil bukan perkara, yang John Rawls, Hakim Agung Amerika yang top itu sebut fairness. Memahami teks, adalah step awal absolut bagi hakim. Tetapi teks tidak pernah sempurna sebagai penanda maksud pembuatnya. Teks selalu memiliki konteks. Konteks hanya dapat dimengerti kalau diinterpretasi. Interpretasi, bukan kegiatan yang lepas tuntas dari kedalaman pengetahuan dan derajat nilai yang dianut oleh hakim. Interpretasi tidak mungkin tidak merupakan pengujian, tes, terhadap keselarasan norma dengan prinsip-prinsip yang melembaga dalam sistem hukum, yang menjadi bagian integralnya. Derajat keterterimaan norma yang bersifat hipotetikal, dan justifikasi keputusan yang didasarkan padanya, tergantung pada seberapa tepat sebab timbulnya aturan itu dimengerti secara utuh oleh hakim. Cukupkah itu? Tidak. Itu masih tergantung pula pada apakah derajat keterterimaannya terlihat konsisten dan koheren atau tidak. Praktis aturan yang bersifat hipotetik harus dicari konteksnya, lalu ditimbang konsistensi dan koherensinya dalam penerapannya. Itulah jalan kecil menemukan hukum yang adil. Telusuri Konteks Lahirnya UU Hakim dalam perkara kawan-kawan ini, mau atau tidak mau, harus menemkukan secara tepat konteks teks pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Menyiarkan “berita atau pemberitaan bohong” atau “kabar yang berlebihan” bukan teks tanpa konteksnya. Konteksnya harus kongkrit, tak hipotetikal. Teks itu harus dikenali dengan sangat cermat oleh majelis hakim. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak diperlukan juga ahli bahasa, juga ahli administrasi negara untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak juga diperlukan ahli bahasa untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Berita mengenai demonstrasi buruh, itu nyata. Dapat diverifikasi. Demonstrasi yang diberitakan itu, nayat-nyata terjadi. Itu sebabnya, untuk alasan apapun, berita yang diberitakan oleh siapapun yang merujuk berita itu, atau berita lain dari siapapun, tidak dapat dikategori sebagai “berita tak pasti, dan bohong yang disengajakan menciptakan keonaran”. Begitu Pak Hakim. Kecuali jongos kekuasaan, ilmu hukum tidak menyediakan argumen untuk siapapun menginterpretasi, apapun metode atau pendekatannya, demonstrasi sebagai keonaran. Tidak itu. Demonstrasi yang ricuh, jelas tidak sesuai dengan hukum. Onarkah ini? Tidak juga. Kericuhan itu hanya berakibat secara hukum menjadi alasan hukum demonstrasi dibubarkan. Kalau ada yang membakar, dan sejenisnya, ilmu hukum mengharuskan pelakunya dihukum. Hanya itu titik. Tidak lebih dari itu Pak Hakim. Tindakan melawan hukum pada demonstrasi itu, sama sekali tidak dapat ditunjuk ilmu hukum sebagai “keadaan hukum yang mengubah sifat demontrasi itu sebaga peristiwa hukum sah menjadi melawan hukum. Ini juga disebabkan norma “memberitakan berita yang berlebihan dan dengan sengaja membuat onar” sama sekali tidak bersifat hipotetikal. Norma “menyebarkan berita bohong, dan dengan sengaja menerbitkan keonaran” dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946, menunjuk keadaan kongkrit Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Norma pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) juga pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 ini bertolak dari keadaan kongkrit pada Dr. Syahganda, Jumhur dan teman-temannya. Situasi politik dan keamanan jauh dari beres dalam arti minimal sekalipun di tahun 1946 itu. Kabinet baru terbentuk tanggal 4 September 1945, organ pemerintah dan negara belum terbentuk. KNIP masih jadi badan pembantu Presiden. TNI baru belum ada. Polisia apalagi, entah dimana? TKR memang dibentuk tanggal 5 Okober 1945, tetapi organisasinya jauh dari masuk akal untuk sebuah negara yang akan berperang. Desas-desus Belanda akan masuk lagi terus menghantui masyarakat. Benar tanggal 15 September 1945 sekutu masuk. Belanda, si tukang jajah membonceng di dalamnya. Namanya NICA, di dalamya ada tentara. Politik dalam negeri tidak juga stabil. Ada ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Bung Karno. Pemerintahannya dinilai antek jepang dan fasis. Pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan diplomasi Indonesia. Sekutu tidak akan suka bicara dengan pemerintah. Cara untuk menghindarinya adalah mengubah sistem pemerintahan itu. KNIP yang dari awal dirancang menjadi badan yang membantu Presiden, diubah jadi badan legislatif. Karena situasi, maka fungsi itu cukup diselenggarakan oleh satu Badan Pekerja (BP). BP KNIP akhirnya dibentuk, dengan 15 personl. Sjahrir, orang yang sedari awal tidak sejalan dengan Bung Karno memimpin Badan ini. Kelak setelah melewati perbincangan politik yang perlu, sistem pemerintahan diubah. Dinyatakan dalam Maklumat X yang ditandatangani Bung Hatta. Tanggal 14 November 1945 sistem pemerintahan Presidensial dengan Bung Karno sebagai Presiden berakhir. Diganti dengan Kabinet Sjahrir I, diresmikan pada tanggal itu juga. Bung Karno tak keberatan. Tetapi Ali Sastroamidjoyo jelas menilai tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, apapun alasannya. NICA Belanda, beraksi keras. Begitu juga tentara sekutu. NICA malah merekrut sebagian personil KNIL, tentara lokal yang dipekerjakan sebagai tentara mereka. Sebagian lagi, yang terbanyak tentu saja, tetap bekerja untuk Indonesia yang masih muda itu. KNIL Belanda sangat ganas. (Bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

“Magic If”

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Istilah “Magic If” atau “keajaiban jika”, itu saya kutip dari salah satu cukilan teori ilmu seni peran atau teori teater yang ditemukan dedengkot teater dunia dari Rusia, Constantin Stanislavsky (1863-1938). Salah satu sistem akting yang digagas oleh Stanislavsky adalah “magic if” atau “keajaiban jika”. Sebuah upaya membangun ruang imajinasi seorang aktor untuk dapat mendalami karakter tokoh. Pertanyaan kunci dari metode “keajaiban jika” adalah, “apa yang saya lakukan jika saya adalah tokoh”, “apa yang saya pikirkan jika saya adalah tokoh”, dan “apa yang saya rasakan jika saya adalah tokoh”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membantu aktor untuk lebih jauh mengenal tokoh yang akan diperankannya. Teori itu punya korelasi dengan adagium klasik, "Politics is the art of the possible". (Politik adalah seni dari kemungkinan). Diucapkan Pangeran Otto von Bismarck, kelahiran Schonhausen, Germany (1815 – 1898). Otto adalah seorang pembangun kekaisaran Jerman yang ultra-konservatif dan manipulator ahli. Berbicara tentang seni dan teater, tentu analog dengan panggung pentas yang memantulkan fragmen arus besar kehidupan manusia sehari-hari. Dari atas panggung sejumlah seniman teater mencoba merefleksikan kembali “daun-daun kecil” kehidupan yang tercecer dari pohon-pohon besar yang kadangkala luput ditangkap mata biasa. Daripadanya potret tumpukan catatan kehidupan manusia yang sendu, hipokit, psikopat dan riang gembira tersimpan. Adagium “politik adalah seni dari kemungkinan” yang dimainkan dengan cara berseni membuka sejuta kemungkinan. Itu yang menjelaskan mengapa Stanislavsky menyebutnya “magic if” (keajaiban jika). Bayangan tokoh teater dunia itu berkelebat, ketika terjadi kegaduhan mendadak dunia politik akibat kasus isu “kudeta” Demokrat. Ketua Umum Partai Demokrat AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) menyampaikan pidato resmi di sebuah panggung yang dirancang, Senin siang (01/02/2021). Mewartakan partainya sedang dalam keadaan bahaya. Ada gerakan gelap menggagas pergantian pengurus partai berlambang mercy itu. Melibatkan elemen negara, meminjam istilah Andi Mallarangeng, mantan Menpora kader ideologis SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) presiden dua priode (2004 – 2014). Moeldoko, Jenderal bintang empat purnawirawan TNI – AD yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sedang menjadi “tertuduh” selaku aktor utama yang disebut dalam rancangan “kudeta”. Mantan Panglima TNI itu menjadi repot membantah semua “tembakan” yang diarahkan kepadanya. Kasus ini terangkat ke ranah publik. Kasus ini menjadi santapan menu utama “premium time” media elektronik. Mendongkrak nama Demokrat yang selama ini sepi pemberitaan. Jika dirunut seluruh rangkaian tuduhan dan digabung dengan potongan demi potongan bantahan, tidak bisa dipungkiri tersajilah sebuah “teater politik” yang dramatis terkait “politik adalah seni dari kemungkinan”. Jika jeli mencermatinya : Stanislavskypun hadir disitu. AHY memaparkan kegundahannya melalui panggung terbuka yang sangat teateral. Frasa “kudeta” yang seksi dibumbui narasi merangsang “telah mengirim surat kepada presiden Jokowi mempertanyakan langkah Moeldoko”. Mesin giling tersembunyi “magic if” bekerja cepat. Apakah Surat Partai Demnokrat itu ditanggapi atau tidak oleh Jokowi? Itu bukan soal. Isu kudeta Demokrat berhasil melampaui jumlah berita semrawutnya penanganan Covid 19. Tudingan budaya “playing victim” oleh nitizen bermunculan ditujukan kepada AHY. Karekter yang dianggap sebagai penerus “warisan” budaya itu. Sejatinya bagi Moeldoko tembakan isu kudeta menguntungkan dirinya. Sesungguhnya dia sadar bisa menangguk manfaat sebagai “plying victim” di luar rencana. Sejumlah tokoh pendiri Demokrat merapat kepadanya. Membeberkan adanya timbunan keresahan terhadap Demokrat. Ketidakpuasan atas kinerja pengurus lama dibawah komando SBY selaku ketua umum yang kemudian berkelindan kegalauan atas proses keterpilihan AHY sebagai Ketua Umum baru pada Kongres V Demokrat 15 Maret 2020. “Politik itu memang seni dari kemungkinan”. Sesuatu yang tak mungkin dapat diubah menjadi mungkin. Sebaliknya, sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin. Dalam politik, strategi dan taktik poco-poco sangat penting. Mendadak berubah itu bukan aib. Bukan kinistaaan, tetapi malah keniscayaan. Kegesitan “merubah haluan mendadak” dimaknai publik sebagai kecerdasan “buatan” khusus yang dimiliki para ketua umum. Semacam bakat alam dan diklaim sebagai karya seni yang bermutu tinggi. Tarik ulur revisi UU Pemilu adalah bagian tak terpisahkan dari dramatisasi teater politik yang sarat dengan “magi if”. Politik sebagai seni dari kemungkinan yang digunakan penguasa, termasuk penguasa partai politik untuk bermain-main dengan kewenangannya. Panggung besar teater politik menampilkan tampang parpol yang terlihat telanjang kehilangan busana idealisme. Telanjang dari perilaku tidak satunya kata dan perbuatan. Tanpa rasa berdosa. Molornya proses Prolegnas (program legislasi nasional) adalah bagian dari inkonsistensi elit politik. Polemik seputar RUU Pemilu dinilai terlalu berkutat pada ambisi kepentingan politik praktis dan kalkulasi parpol dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024. Menurut sementara pengamat, partai yang bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2024 memiliki kepentingan tersendiri. Inkonsistensi verbal sikap dari partai yang menolak Pilkada pada 2022 dengan alasan Indonesia masih menghadapi pandemi Covid 19 berbanding terbalik ketika penuh sukacita mendukung Pilkada 2020 tetap diadakan 09 Desember 2020. Yang menarik, nyaris semua perubahan haluan politik yang mendadak – mendadak itu, oleh sebuah parpol atau lebih, dibungkus dengan cover apologis : demi kepentingan nusa dan bangsa! Atau harus menyesuaikan diri dengan haluan pembangunan presiden! Politik sebagai seni dari kemungkinan. Bergabung bersama lawan politik sebelumnyapun bukan masalah. Perburuan kekuasaan seakan memberi kartu “kekebalan” moralitas kepada elit politik untuk berubah-ubah seenaknya. Menukarnya dengan opsi lain yang murahan. Karenanya berakibat pupusnya integritas. Mengapa begitu? Bayangan tokoh teater dunia itu-Stanislavsky berkelebat kembali “magic if” itu lagi. Seorang teman mengirim pesan WhatsApp tepat jam tiga subuh saat sholat tahajud. Isinya mengutip sepotong nyanyian “dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah……”. Potongan syair lagu Si Kribo Ahmad Albar itu membuat saya sempat tersenyum . Tetapi, mendadak berubah getir. Getir lantaran benarnya!! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sasalah Sosial Budaya.

Buzzerkrasi Yang Leluasa di Rezim Jokowi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Era Pemerintahan Jokowi demokrasi sangat memburuk ambruk. Indeks demokrasi terjun bebas. Cuitan Pak Kwik Kian Gie, mantan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekuin), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menyebut kondisi kini berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Sangat mengerikan kalau berbeda pendapat dengan penguasa. Suasana nampak menakutkan. Bukan karena takut mengkritik, tetapi perbedaan pendapat yang disikapi dengan serangan para buzzer, terutama buzzer rupiah. "Masalah saja pribadi diodal-adil", serunya. Pandangan Kwik disetujui oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kekuasaan buzzer yang luar biasa sekarang ini. Buzzur begitu bebas dan leluasa untuk menyerang siapa saja yang berbeda pendapat dengan penguasa. Buzzur yang menyerang dengan membabi buta. Namun tidak tersentuh oleh hukum. Negara seperti tanpa ada hukum pada para buzzer. Kenyataan prilaku para buzzur ini menggambarkan pergeseran sistem pemerintahan dari demokrasi kepada buzzerkrasi. Kata buzzer itu dari bahasa Inggris, yang artinya lonceng atau alarm. Dalam makna tradisi Indonesia adalah kentongan. Berfungsi untuk memperbesar gaung dan memanggil orang untuk berkumpul. Buzzer digunakan untuk menyuarakan kandidat, pemimpin, bahkan suara Istana. Keliling dari kampung ke kampung. Dari media satu ke media yang lain. Kalau di media sosial (medsos) buzzer lebih populer saat kini. Ada fungsi dan tugas baru dari situkang pukul kentongan ini. Tugasnya menakut-nakuti seperti terjadi pada kasus Pak Kwik Kian Gie. Apalagi dengan kekuasaan besar, proteksi hukum yang kuat, serta menjadi alat pengancam efektif, maka buzzerkrasi sekarang menjadi sangat fenomenal. Melengkapi multi predikat rezim Jokowi. Mulai dari oligarki, korporatokrasi, otokrasi, kleptokrasi, hingga buzzerkrasi. Yang terakhir ini ternyata sangat berbahaya. Sebab dibentuk memang dengan tugas untuk menyerang lawan. Korporatokrasi atau kleptokrasi hanya memangsa lingkaran kecil dan tertentu, tetapi buzzerkrasi menjadikan oposisi sebagai target. Politisi, cendekiawan, aktivis, hingga rakyat kebanyakan. Pemimpin negara yang tak punya wibawa, miskin gagasan, senang pencitraan dan pengecut, bisanya hanya membayar harga mahal para buzzer. Sayangnya bukan uang pribadi, tetapi menggunakan uang negara. Jika ini yang dilakukan, maka hal itu bukan masuk bagian dari dana sosial atau hibah, tetapi korupsi karena dana buzzer tidak masuk dalam item APBN yang disetujui DPR. Rambahan buzzer cukup luas dan sudah kemana-mana. Tokoh pegiat Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyebut bahwa serangan rasialisme kepada dirinya yang dilakukan pula oleh para buzzer rupiah sudah ratusan, bahkan ribuan kali. Menurut Pigai, rasisme yang dilancarkan para buzzer ini diremote control oleh lingkaran kekuasaan. Meski dibantah oleh Ali Mucthar Ngabalin, tetapi kecurigaan Pigai cukup beralasan. Korbannya bukan hanya Natalius Pigai dan Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Keluatan dan Perikanan, Susi Pujiantuti juga ikut diserang para buzzur, dengan subutan Kadrun (Kadal Gurun). Padahal Susi masih suka pakai celana pendek, pakaian ketat, dansa-dansa dan ngewain. Keberadaan buzzer menurut Ketua YLBHI Asfinawati dibenarkan atas dasar penelitian Oxford University. Buzzer ini merusak demokrasi dengan memanipulasi opini. Menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Dimanfaatkan dengan optimal oleh elit-elit politik. Tanpa ada gangguan, apalagi penangkapan aparat. Mereka menggunakan media untuk propaganda dengan melabrak kode etik jurnalistik. Jika ingin mengembalikan Negara Indonesia menjadi negara demokrasi, maka masalah buzzer ini mesti diselesaikan. Buzzerkrasi tidak boleh ditoleransi. Saatnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus meneliti dugaan korupsi penggunaan uang negara untuk membiayai para buzzer. DPR-RI harus menginisiasi pembuatan UU Anti-Buzzer. Demokrasi harus dan mutlak diselamatkan. Bangsa Indonesia jangan hanya ribut soal mencegah radikalisme, ekstrimisme, intoleransi, atau anti kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Ada fenomena baru yang mesti diwaspadai, dicegah, dan segera dibasmi yaitu buzzerisme. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Rezim Menzalimi Umat Islam?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rezim ini seperti berlebihan, tetapi sebenarnya tidak. Namun patut menjadi bahan renungan, apakah rezim Jokowi memang sedang menzalimi umat Islam? Tentu saja harus berdasarkan indikasi-indukasi sosial politik yang sedang dirasakan oleh umat Islam. Meskipun demikian, wajar juga apabila tidak semua umat Islam dapat merasakannya. Aada lima indikasi yang mengarah. Pertama, penangkapan dan penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) yang jelas-jelas dan nyata "dipaksakan dan dicari-cari" kesalahan. Ada segudang tuduhan yang dialamatkan kepada HRS. Apakah HRS adalah salah satu tokoh umat Islam? Jawabannya pasti iya. Bahkan HRS adalah tokoh umat Islam terdepan dalam mengkritik dan mengoreksi berbagai beijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Karena kebijakan pemerintah merugikan rakyat, maka otomatis juga merugikan Umat Islam. Itu pasti. Tidak perlu diperjelas lagi apa penyebabnya. Makanya penzoliman kepada HRS satu paket dengan pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) yang tercatat telah berbuat banyak untuk kepentingan umat Islam. Sebelumnya HTI lebih dulu dibubarkan. Kedua, pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek),dalam perjalanan dari sentul menuju karawang. Pembunuhan yang terkesan diproteksi oleh rezim yang berkuasa. Sehingga pengungkapan dan tindak lanjut kasus ini juga menjadi bertele-tele, tidak serius, dan penuh konspiratif. Padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah ditemukan adanya pelanggaran HAM. Untuk perkara yang sangat mudah saja, seperti siapa petugas kepolisian yang menembak keempat anggota laskar FPI, teryata sampai sekarang tak terungkap. Aneh juga. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap bagian dari perjuangan keumatan. Ketiga, penangkapan dan penahanan Zaim Saidi dengan tuduhan penggunaan mata uang selain rupiah dalam bertransaksi di Pasar Muamalah. Semangat Zaim adalah inovasi dalam berekonomi syari'ah. Tidak ada unsur penipuan (gharar), spekulasi (maisir), dan rente (riba). Upaya untuk berekonomi mendekati Nubuwah. Jika dinilai ada masalah dengan perundang-undangan, maka selayaknya dilakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu. Klarifikasi dan edukasi. Keempat, eksploitasi dana umat Islam, baik itu haji, zakat, maupun wakaf. Masyarakat muslim masih mempertanyakan penggunaan dana haji, zakat, dan terakhir wakaf uang yang dicanangkan Menkeu untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Masyarakat Ekonomi Syari'ah berubah menjadi "lembaga politik" yang diisi personal yang tidak kompeten. Kelima, tuduhan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang ditujukan kepada simbol yang ke Islam-Islaman. Pengaturan, baik melalui UU maupun Kepres serta kebijakan politik yang dialokasikan melalui berbagai Kementrian terarah kepada umat Islam. Pelumpuhan kekuatan keumatan dengan isu terorisme, radikalisme, ekstrimisme tersebut menjadi nyata adanya. Disamping itu tersebut penahanan terhadap tokoh dan aktivis umat dengan berbagai alasan juga memperkuat indikasi kezaliman. Gus Nur, Maheer, Bahar Smith, Syahganda, Jumhur, Anton, dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di berbagai daerah lainnya. Sedangkan para "penyerang umat" seperti Denny Siregar, Armando Armando, dan Abu Janda sebaliknya sangat sulit untuk diproses hukum, meski telah bertumpuk laporan dugaan pelanggaran hukumnya. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang berhubungan dengan seragam atribut keagamaan juga sangat jelas tendensius. Isi SKB yang sangat menyinggung umat Islam. Prof. Greg Fealy dari Australian National University menyatakan rezim Jokowi represif terhadap umat Islam. Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk kepada Pegawai Negeri, akademisi, guru yang masuk dalam ruang-ruang pantauan. Bahwa pada setiap rezim ada tindakan diskriminatif terhadap umat Islam mungkin benar, akan tetapi rezim Jokowi nampaknya paling tinggi tingkat represivitas dan kezalimannya. Entah apakah karena kedekatan dengan pemerintahan Cina yang komunis atau faktor lain penyebabnya. Semua dapat dianalisis tuntas setelah Pemerintahan Jokowi usai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kepo Dengan Wakaf Uang

by Ustadz Felix Siauw Jakarta FNN - Cuaca kering dan panas saat itu hampir saja melelehkan gunung. Sedangkan keadaan kaum Muslim sedang sangat sulit sebab paceklik yang melanda. Karena itu Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam menyeru pada kaum Muslim, siapakah yang ingin memberikan hartanya, membiayai jaisyul ‘usrah (pasukan sulit), yang berjihad ke Tabuk yang berjarak hampir 700 kilometer jauhnya. Utsman Bin Affan datang kepada Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam dan menyerahkan 970 ekor untanya, berikut 50 kuda, beserta 700 uqiyah emas (sekitar Rp. 21,2 miliar, 1 gram emas = Rp. 956.000). Abdurrahman Bin Auf datang dengan 200 uqiyah emas (sekitar Rp. 6 miliar). Umar Bin Khatab datang dengan 1/2 hartanya, dan Abu Bakar malah menyedekahkan 100% hartanya. Para sahabat berinfaq dengan maksimal, ketika Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam sebagai kepala negara menyeru mereka berinfaq. Mereka berinfaq tanpa khawatir, dan ragu dengan rezeki Allah atau kehabisan hartanya kelak. Semua sahabat berlomba-lomba untuk memenuhi seruan Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam. Lebih hebatnya lagi adalah semua infaq itu mereka lakukan dalam keadaan yang lagi sempit dan susah Kok bisa sih? Ya bisalah, karena mereka sudah berakhir dengan trust pada Allah dan Rasul-Nya semata. Sebab dalam Islam, ketika manusia sudah punya iman (trust) hanya pada Allah dan Rasul-Nya, maka sangat ringan bagi mereka untuk menginfakkan hartanya. Tidak hanya sekali, dua kali atau tiga kali. Tetapi kapanpun Allah dan Rasul-Nya memerlukan, mereka langsung saja memberikan tanpa pikir ini dan itu. Pengorbanan yang seperti itu tidak datang dengan tiba-tiba. Tetapi harus didahului dengan keyakinan yang luar biasa tingginya. Maka Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam berpesan pada Muadz saat mengutusnya ke Yaman, untuk mengajak manusia bersyahadat, ajari mereka menegakkan salat, barulah ambil zakat dari mereka. Karena mengorbankan harta adalah konsekuensi dari keimanan. Berkali-kali Allah mengaitkan jihad dengan dua hal, jiwa dan harta. Lalu siapa yang diseru Allah untuk mengorbankan harta? Hanya kepada orang yang beriman. Sebab mereka yang taidk beriman, tak akan mungkin tertarik, berinfaq kecuali berharapa pada investasi dan keuntungan dunia semata. Sebab mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah berakhir di dunia. Zaman now, kita diminta untuk wakaf uang. Sementara imannya nggak didahulukan untuk dikuatkan dan ditingkatkan. Yang lebih parah lagi, Islam dijadikan sebagai tertuduh . Perilakunya Islamophobia, lalau kriminalisasi terhadap ulama terjadi dengan telanjang. Ketidakadilan jadi tontonan sehari-hari. Dana Bantuan Sosial (Bansos) dikorupsi oleh para pejabat negara tanpa malu-malu. Tragisnya, di tengah-tengah semua prilaku itu, dengan tanpa malu-malu meminta uang wakap kepada ummat Islam. “Ayo wakaf uang”. What? Hebat sekali wajah yang meminta wakap itu. Padahal, andaikan saja para pemimpin mencontohkan sikap kepedulian terhadap agama. Meyakinkan kepada ummat bahwa kesemuanya ini adalah bagian untuk menegakkan agama, dan bakal memberikan kebaikan bagi semuanya. Kalau itu yang dilakukan pemerintah, maka saya yakin tanpa perlu meminta saja, rakyat sudah pasti akan berinisiatif untuk membantu dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada. Atau, andaikan saja yang meminta untuk rela melakukan wakaf uang itu adalah “Dia yang sekarang ini terdzalimi di penjara itu”, maka kira-kira mana yang kaum Muslimin rela untuk memberikannya? Tulis dan jawab saja sendiri di komen deh. Harusnya pemerintah introspeksi. Face it, admit it, trust is the problem. Jangan hanya Islam yang dibully, namun yang menista Islam didiamkan saja. Mereka yang menghina Islam dibiarkan bebas berkeliaran. Sementara ulama dipenjarakan, dikatakan radikal, intoleran, syariat ditolak, khilafah dimonsterisasi. Giliran urusan duit saja, mintanya juga dari wakaf. Padahal taipan-taipan yang uangnya banyak, kenapa tidak diminta buat Indonesia? Untuk saja mereka para taipan itu, kita sudah tau jawabnya. Sejarah telah memberitahu, adalah kaum Muslim yang paling peduli terhadap negerinya. Yang bukan hanya mengorbankan harta, tetapi juga nyawa dan raganya, andai itu diperlukan untuk melindungi negeri yang menjamin tegaknya agama mereka. Penulis adalah Pendakwah dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan.

SKB Tiga Menteri Soal Jilbab Bertentangan Dengan Pancasila & UUD 45

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, baru-baru ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) larangan sekolah negeri mewajibkan pemakain jilbab. Padahal urusan jilbab menjadi urusan pribadi siswa dan orangtuanya. Sekolah (baca : negara) tidak boleh ikut campur. Masa sih? Kebijakan SKB tiga menteri ini ditengarai dipenuhi dengan rasa “kebencian dan Islamphobia” yang sangat tinggi. Mengingatkan kita kembali pada era tahuan 1980-an. Ketika itu pemerintah Orde Baru membuat kebijakan tentang larangan berjilbab di sekolah negeri dan instansi pemerintah. Setelah 30 tahun, kejadian itu terulang kembali. Setback. Negara enam tahun terakhir ini sering mengintervensi kehidupan ummat beragama, khususnya ummat Islam. Padahal, Indonesia negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin kebebasan ummat beragama untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya (Pasal 29 UUD 1945). Jilbab termasuk dalam ajaran agama dan keyakinan tersebut. Belum lagi tujuan pendidikan nasional itu sangat mulia. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Mulia sekarang rangkaian kali di UUD 1945 ahsil amandemen tersebut. Sementara menurut Pasal 31 ayat 5, masih dalam UUD 1945 menyebutkan, “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Semakin mulia lagi kalau membacanya dengan baik pelan-pelan. Sedangkan menurut UU No 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini pesan dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Semakin tinggi kemuliaan itu. Dengan demikian, terbitnya SKB tiga menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 dapat dikategorikan sebagai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 31 serta UU No 20 tahun 2003. Oleh karenanya, SKB tiga menteri ini harus dicabut dan batal demi hukum dan keadilan sosial. Negara tidak boleh kalah oleh oknum tertentu, sehingga negara menjadi paradoks bila sudah berurusan dengan ummat Islam. Setidaknya dapat kita baca dalam enam tahun terakhir ini. Semakin brutal dan menjadi-jadi. Paradoks karena Islam dilarang masuk dalam urusan negara. Tetaapi negara sering mengobok-obok urusan ummat Islam. Jilbab dan kurikulum madrasah sebagai contoh nyata. Ummat Islam dilarang mengamalkan atribut keagamaan di sekolah. Sementara dana haji, zakat dan infaq, terakhir wakaf ummat Islam “diambil” oleh negara. Kalau uangnya umamat Islam, ternyata boleh diambil dan dipakai oleh negara. Namun ajarannya Ummat islam dilarang untuk dialaksanakan di sekolah-sekolah negeri dan instansi pemerintah. Ini aneh tapi nyata. Selain itu, ummat Islam yang konsisten dalam melaksanakan ajaran Islam diberikan predikat intoleran, radikalime dan ekstrimisme. Berjilbab dianggap sebagai intoleran. Padahal, setiap agama punya ciri khas masing-masing sesuai ajaran agamanya. Sedangkan kelompok Islam senang berada di garis bengkok dan menyimpang, sengaja dipelihara dan difasilitasi oleh negara. Bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu. Artinya, negara menjamin perbedaan masing-masing agama dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Bukan berarti penyeragaman tradisi keagamaan dalam satu tradisi ke-Indonesia-an. Negara sering bertindak tidak adil terhadap ummat Islam. Wajar muncul anggapan kalau rezim sekarang seolah-olah mengadopsi politik belah bambu ala imperialis Belanda dulu. Islam yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diangkat dan disanjung-sanjung. Sementara, Islam yang melaksanakan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diinjak, diintimidasi dan dikriminalisasi. Negara oleh oknum yang berkuasa sekarang, seperti tidak punya iktikad baik terhadap ummat Islam. Seringkali “memerangi Islam garis lurus”. Wajar kalau Ummat Islam menduga ada konspirasi yang melibatkan partai merah, partai hijau dan PKI dalam wadah bernama “Nasakom Gaya Baru” yang sangat mewarnai perpolitikan hari ini. Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

74 Tahun HMI, Reformasi Internal Untuk Komitmen Keislaman & Keindonesiaan

by Raihan Ariatama Jakarta FNN - Pada 5 Februari 2021 ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati usianya yang ke-74. Sebagai sebuah organisasi mahasiswa Islam, mencapai usia 74 tahun bukanlah perkara mudah. Terdapat banyak lika-liku dan sepak terjang yang dilaluinya. Termasuk desakan pembubaran yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama. Meskipun yang terjadi malah sebaliknya, malah PKI yang dibubarkan dan dianggap sebagai partai terlarang sampai saat ini. Sementara HMI masih eksis dalam mewarnai perjalanan keberagaman Indonesia sampai hari ini. Namun di usianya yang ke-74 ini, HMI menghadapi berbagai persoalan. Dies Natalis HMI ke-74 ini harus kita jadikan momentum untuk merefleksikan berbagai persoalan itu. Sehingga bisa ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Bila tidak, maka HMI hanya ada sebagai pelengkap dalam berbagai persoalan bangsa yang kita hadapi hari ini. Keterbelahan di akar rumput sejak Pilkada DKI 2017, yang beruju di Pilpres 2019 lalu, sampai kekarang masih terasa. Kondisi makin diperparah dengan kelemahan negara mengatasi pendemi Covid-19 yang kini mencapai lebih dari satu juta orang yang posisitif terjangkit Covid-19. Angkanya bukan semakin menurn. Tetapi sebaliknya semakin bertambah. Belum lagi persoalan resesi ekonomi yang yang melanda Indonesia kin. Dan berujung pada tertekannya daya beli masyarakat. Beberapa persoalan HMI hari ini adalah masalah internal. Seperti adanya dualisme kepengurusan HMI. Pendangkalan intelektualitas dan integritas, serta lunturnya semangat berkarya. Persoalan-persoalan internal ini menuntut solusi, yang pada satu sisi tetap berpedoman pada nilai-nilai ke-HMI-an, dan pada sisi lain ditunut untuk harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kerja-kerja untuk mencari solusi ini merupakan kerja kolektif-kolaboratif, yang melibatkan banyak elemen di HMI. Kerja kolektif-kolaboratif untuk menyelesaikan soal internal harus mengesampingkan ego golongan dan kepentingan kelompok. Apalagi, era Revolusi Industri 4.0 menuntut kita untuk saling berkolaborasi. Segala tantangan dan persoalan akan terasa lebih mudah apabila dihadapi dan diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif. Persoalan internal HMI yang lain adalah perlunya melakukan pembaharuan terhadap materi/kurikulum pelatihan formal dan informal HMI, agar dapat menjawab tantangan abad 21. HMI hari ini sedang berada dalam zaman digital. Sayangnya kultur ke-HMI-an kita masih menggunakan corak pemikiran abad 20. Akhirnya yang terjadi adalah disrupsi dalam tubuh HMI. Untuk itu, pengembangan sumber daya kader HMI melalui pelatihan yang ada, maka seharusnya diorientasikan untuk menjawab berbagai tantangan di abad 21 ini. Sebagai contoh, HMI perlu untuk menggalakkan social-entrepreneurship training untuk menghasilkan wirausahawan muda HMI yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, melainkan juga pada kemaslahatan sosial-ekonomi ummat. Pelatihan-pelatihan skill yang lain seperti manajemen big data, berpikir kritis, analitis, inovatif dan berorientasi pada problem solving serta lain juga harus lebih dikedepankan. Tujuannnya untuk menjawab tantangan perubahan paradigma prilaku dan kegiatan ekonomi dan sosial yang sudah berbasis Tekonologi informatika (IT). Semua kehidupan yang serba IT. Dengan internal organisasi yang solid dan reformasi internal yang adaptif terhadap tantangan zaman, maka HMI akan dengan mudah menjalankan dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan yang menjadi komitmen HMI sejak awal berdiri. Dalam konteks ini, misi dakwah dan sosial dapat dilakukan secara efektif apabila terjadi solidaritas dan reformasi internal. Di tengah menguatnya ekstremisme agama yang kerap kali berujung pada tindakan kekerasan dan teror (acts of violence and terror). Begitu juga dengan keinginan beberapa kalangan untuk melakukan formalisasi syariat Islam, maka dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI sangatlah dibutuhkan. Menyesuaikan diri dengan perkembangan yang tidak bisa dihindari. Kenyatan ini karena komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI tidak terjebak dalam formalitas dan simbol agama semata. Melainkan HMI selalu berpijak pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai substansial Islam yang universal, seperti Islam yang inklusif, yang toleran, yang dialogis, akomodatif dan yang berperikemanusiaan. Islam yang ramatan lil alamain. Untuk itu, memperkuat dakwah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan ala HMI merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari. Sebagai upaya narasi tanding (counter-narration) terhadap diskursus yang ektremisme agama dan formalisasi syariat Islam. HMI dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk melakukan narasi tanding tersebut. Dalam rangka melakukan misi yang mulia ini, HMI ditopang oleh sumber daya kader yang melimpah. Kader HMI yang tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia. Bahkan di luar negeri sekalipun, masih ada kader-kader HMI yang tetap eksis, berada di depan. Dengan modal jaringan yang luas dan solid itu, akan mempermudah HMI dalam menebarkan benih-benih ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Selain itu, ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI tidaklah mempertentangkan agama dan negara. Sebab keduanya harus saling melengkapi satu sama lain. Agama sangat dibutuhkan sebagai fondasi nilai dalam bernegara. Sedangkan negara dibutuhkan HMI sebagai wahana untuk kemaslahatan publik dan mensejahteraan rakyat, sesuai dengan tujuan bernegara pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI harus menjadi penetralisir terhadap gagasan atau upaya-upaya yang hendak mempertentangkan antara agama dan negara. Termasuk diskursus yang menganggap aspirasi politik Islam sebagai politik untuk membentuk negara Islam. Padahal, aspirasi politik Islam adalah politik nilai sesuai dengan tujuan bernega. Aspirasi politik Islan bukan politik simbolik. Politik Islam adalah mencapai kesejahteraan rakyat untuk semua. Keadilan sosial yang hadir untuk semua warga negara. Toleransi dan saling menghargai sebagai sesama anak bangsa. Berdiri sma tinggi, dan duduk sama rendah. Perdamaian dan keharmonisan yang tidak bertentangan dengan demokrasi dan negara. Akhir kata, Dies Natalis HMI ke-74 menjadi momentum penting bagi kita untuk melakukan reformasi organisasi demi memperkuat komitmen dan dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI. Dirgahayu HMI. Yakin usaha Isnya Allah sampai. Penulis adalah Ketua Bidang Riset dan Teknologi PB HMI Periode 2018-2020.

Ketika Pengikut Melaknat Pemimpinnya

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Qura’an Surat Al Ahzab 66-68 mengingatkan akan penyesalan di hari akhir nanti untuk pengikut atau pendukung kepada pemimpin yang dipilih dan diabdikan. Pemimpin yang dielu-elukan, bahkan sampai dikultuskan. Sementara pemimpin hanya mengarahkan pada urusan duniawi semata. Akhirnya mereka bersama-sama masuk ke dalam neraka jahannam. Akibat kepatuhan yang membabi buta itu, wajah mereka dibolak-balikkan di neraka, lalu berkata "Alangkah baiknya jika kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul (QS 33:66). Dan juga mereka berkata “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar". (QS 33:67). Tunduk dan patuh pada jabatan, pangkat, kekayaan serta pengaruh penguasa tanpa landasan nilai moral dan spiritual, yang menyebabkan terjerumus dan mengikuti jalan sesat. Hal ini adalah akibat dari pemimpin dan pembesar yang mengajak, memprogram, serta mempropagandakan kesejahteraan material dan kebahagiaan yang semata bersifat profan. Mengabaikan kebenaran moral adakah konsekuensi dari kepemimpinan yang hanya mengumbar hawa nafsu. Kepemimpinan yang berorientasi pada sukses infrastruktur duniawi. Lalu zalim dan menindas gerakan spiritual keagamaan. Menindas gerakan yang selalu mengingatkan penguasa agar kekuasaan itu dijalankan dengan amanah dan jujur. Sayangnya penguasaha kalau diingatkan rakyatntya, maka penguasa dengan mudah menuduh rakyat dengan sebutan ekstrim dan radikal. Pada hari kiamat, saat siksa pedih di Neraka, para pengikut bukan saja menyesali atas sikap dirinya, tetapi juga mengutuk pemimpin yang dipuja-puja dan diikutinya dahulu. Memohon agar sipemimpin itu disiksa dengan berat dan berlipat (QS 33:68). Betapa dahsyat penyesalan dan sikap yang menyalahkan pengikut (follower) pada pemimpin (leader) di tengah penderitaan abadi keduanya di Neraka. Akibat selama di dunia terbiasa dan hobby membuat orang lain menderita. Kroni dan oligarkhi keserakahan dari kekuasaan yang dinikmati dan dibagi-bagi. Kenikmatan yang berefek pada kesengsaraan bersama . Bersama-sama memperolok-olok dan meminggirkan kebenaran agama dan para pengikutnya. Menjauh dari jalan Allah dan membenci risalah Nubuwah. Syari'ah lalu dimusuhi. Pengikutnya ditangkap-tangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan ada yang dibunuh tanpa diadili. Jihad ditakut-takuti sebagai perbuatan ekstrim dan intoleransi, fanatisme dihancurkan dan nilai moral diputar-balikkan. Melumpuhkan orang-orang beriman dengan bahasa toleransi dan modernisasi. Kemunafikan yang selalu dibudidayakan, dan kekafiran yang dilestarikan. Kebenaran agama menjadi musuh utama dari para penyelenggara negara. Bahasa-dan instilah-istilah agama, sebisa mungkin menjadi barang larang di masrakatat, kecuali yang berkiatan dengan pemasukan untuk negara seperti infaq, zakat dan sadaqah. Kehidupan dunia menjadi sangat jumawa, karena segala sarana tersedia. Kaya, kuasa, dan punya senjata dan hukum untuk menekan mereka yang melawan kekuasaan. Akibatnya, rakyat merasa tidak lagi mempunyai kekuatan apapun yang dapat memperdaya mereka. Maka, dibangun budaya berlomba mendekat Istana yang mampu diubah menjadi berhala. Tetapi semua itu ada batas masanya. Di depan ada ancaman dan siksa. Lalu para pengikut menjadi menyesal dan menyeru dengan ujaran benci dan murka. Dalam putus asa dan tak berdaya, itu para pengikut hanya hanya mampu berkata ,"Robbana aatihim dhi'faini minal adzabi wal 'anhum la'nan kabiiro". Artinya, “wahai Tuhan kami, timpakanlah mereka dengan adzab dua kali lipat, dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar”! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Kudeta Demokrat, Ada Luhut di Belakang Moeldoko?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Pertempuran jelang Pilpres 2024 mulai menghangat. Sejumlah tokoh nasional mulai ancang-ancang untuk menjadi kontestan dalam pergelaran 5 tahunan tersebut. Setelah ramai “kampanye” Erick Tohir, Menteri BUMN, melalui sejumlah media luar, ruang terpasang di sejumlah daerah di Indonesia, terkini kabarnya Moeldoko juga menyusul bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Yang dilakukannya tidak main-main. Moeldoko dituding telah siapkan “kudeta” menjungkalkan Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat. Dengan kata lain, Demokrat dilirik Moeldoko menjadi “kendaraannya” untuk maju Pilpres 2024. Meski Partai Demokrat hanya mengantungi suara lebih-kurang 8 persen pada Pemilu 2019 lalu, Demokrat yang kini menjadi “oposisi tanggung itu”, dipandang berpotensi mengirim capres pada Pilpres 2024. Selain dua nama tokoh nasional di atas, nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, AHY, dan bahkan nama Mensos Tri Rismaharini, muncul juga di tengah masyarakat sebagai kandidat capres dan cawapres terkini. Di belakang mereka, masih ada nama Capres dan Cawapres 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harus diakui, meski gelaran Pilpres 2024 masih berselang lebih-kurang 3 tahun lagi, situasi politik mulai memanas. “Konflik” Demokrat dengan Moeldoko diyakini akan semakin panas. Mungkin saja akan berimbas ke parpol-parpol lain. Jika para gajah sudah mulai bertarung seperti sekarang, siapa yang akan menjadi korban? Apakah pertarungan para gajah tersebut akan menguntungkan atau demi kepentingan rakyat? Hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban! Terungkapnya “rencana kudeta” Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), itu disampaikan AHY sendiri dalam jumpa pers sebelumnya. AHY memang tak menyebutkan nama, karena mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menunggu proses konfirmasi. Pasca konferensi pers AHY, berkembang spekulasi, siapa sosok pejabat pemerintahan yang dimaksud AHY ini. Selasa malam (2/2/2021), KSP Moeldoko sendiri memberikan penjelasan langsung yang bisa disaksikan oleh rakyat. “Respon beliau sudah terprediksi. Nervous, gugup, dilihat dari gerakan tangan dan beberapa kali KSP Moeldoko menyebut gua gue gue,” ungkap Kepala Badan Komunikasi DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Moeldoko menganggap dirinya dikaitkan dalam gerakan ini, karena berdasarkan foto-foto belaka. Padahal, faktanya tidak demikian. “Untuk itu, atas nama Partai Demokrat, saya perlu memberikan tanggapan atas pernyataan KSP Moeldoko,” lanjutnya. Pertama, pertemuan antara KSP Moeldoko dan beberapa kader Demokrat, tidak dilakukan di rumah, melainkan di luar rumah. Kedua, kedatangan kader Demokrat dari daerah ke Jakarta, itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh pelaku gerakan. Menurut Herzaky, ada yang mengundang, membiayai tiket pesawat, menjemput di bandara, membiayai penginapan, termasuk konsumsi. Ketiga, Jika Moeldoko mengatakan konteks pembicaraan nggak dimengerti, sungguh sulit dipahami.” Berdasarkan keterangan yang dimiliki Demokrat, pembahasan utama yang disampaikan pelaku gerakan dalam pertemuan itu adalah rencana mengusung KSP Moeldoko sebagai calon Presiden 2024. “Untuk memuluskan rencana tersebut, para pelaku gerakan mempersiapkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat, melalui proses Kongres Luar Biasa (KLB),” lanjut Herzaky Mahendra. Keempat, proses pengiriman surat Ketum Demokrat AHY kepada Presiden Joko Widodo merupakan buah dari komitmen dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk saling menjaga hubungan baik dan komunikasi yang lancar. Komitmen tersebut dilakukan juga untuk menghentikan tindakan orang-orang yang gemar mencatut dan mengatasnamakan Presiden, maupun nama Ketum Partai Demokrat, dengan tujuan yang tidak baik dan mengadu domba. Mereka, kata Herzaky, berencana menjemput KSP Moeldoko sebagaimana menjemput SBY pada 2004 sebagai calon presiden. Lalu ada pelaku gerakan bernama Yus Sudarso menyatakan, “apa salahnya kami melakukan ini? Salahnya adalah upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah melalui Kongres Luar Biasa,” tegas Herzaky Mahendra. Dulu, hal itu tidak ada. Bapak SBY duduk sebagai Dewan Pembina,” lanjutnya. Jadi, kalau KSP Moeldoko mau menjadi Capres melalui Partai Demokrat, ya bikin KTA dulu sebagai kader Partai Demokrat. Jangan tiba-tiba ingin menjadi Ketua Umum, apalagi melalui KLB. Itu saja sudah salah besar. Itu jelas inkonstitusional. Pak Moeldoko itu siapa? Pak Moeldoko itu KSP, stafnya Presiden. Tugasnya sekarang membantu Presiden menyelesaikan pandemi dan krisis ekonomi. “Kasihan rakyat, lagi pandemi kok malah memikirkan pencapresan. Kasihan Presiden yang membutuhkan bantuan untuk menangani krisis pandemi dan ekonomi,” ujarnya. Sebut Luhut Dalam tulisan sebelumnya, saya menulis, sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis”. Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil, sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa “RI-1 dan RI-2” pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Padahal ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik. Siapa Jenderal Pebisnis yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya itu? Sekarang mulai terbuka. Sebelumnya, Moeldoko menyebut nama Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Moeldoko mengatakan bahwa Luhut juga pernah bertemu dengan sejumlah kader Demokrat, sama seperti dirinya. Menanggapi hal itu, filsuf politik Rocky Gerung memaparkan, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. “Ya dua soal sebetulnya. Ingin nyari patron supaya bebannya enggak terlalu berat, maka sebagian dilimpahkan kepada Pak Luhut,” katanya di kanal YouTube Roger Official seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Kamis, 4 Februari 2021. Akan tetapi Roger tidak melihat Luhut melibatkan diri di dalam proyek kudeta Partai Demokrat. “Mungkin Pak Luhut punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di internal Partai Demokrat,” ujar dia Tetapi ini, AHY langsung bikin konferensi pers. Artinya, ada skala persoalan yang luar biasa besar itu,” lanjut Roger yang akademisi itu. Roger memperkirakan saat ini sangat mungkin 10 persen kader Partai Demokrat di tingkat DPC sudah dapat sejumlah uang. Jadi, mungkin problem-problem itu yang dikhawatirkan oleh Partai Demokrat, karena itu dibeberkan. Menuru Roger, Moeldoko berupaya untuk mencari pelindung. Tetapi bahwa hal kurang tepat. “Itu peristiwa yang lain dengan maksud yang lain. Karena itu jangan terlalu banyak cari alibi, Pak Moeldoko. Nanti kejebak. Sementara Luhut itu dijadikan jembatan untuk memberi tahu pada Presiden Joko Widodo bahwa tidak sedang terjadi apa-apa. Tidak hanya Moeldoko. Konon, Luhut juga pernah didatangi mantan Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang sama-sama ingin Kudeta Demokrat. Presiden Jokowi sendiri, kabarnya, ngamuk setelah baca surat AHY yang dikirimkan kepadanya. Ia memanggil “Kakak Pembina”. Jokowi marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau nggak mau dicopot”, begitu kata Jokowi saking marahnya, mengutip akun Twitter@DalamIstana. “Kakak Pembina” yang dimaksud selama ini tidak lain adalah KSP Moeldoko. Apakah ini sinyal bahwa istana pecah? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.