OPINI
Ganjar Melambung Jokowi Menggantung Mega Bingung
By M Rizal Fadillah HASIL survei Charta Politika tentang elektabilitas 10 tokoh menempatkan Ganjar Pranowo pada peringkat tertinggi dengan 20,6% disusul Anies Baswedan 17,8% dan Prabowo 17,5%. Sementara Puan Maharani 1,4% dan Airlangga Hartarto 1,0% berada di urutan 9 dan 10. Tingginya angka dan posisi Ganjar membuat publik bertanya tentang skenario yang sedang dijalankan. Sebenarnya Ganjar tidak sekuat Anies baik popularitas maupun elektabilitasnya, namun survei dapat diatur sehingga Ganjar dibuat melejit dan harus menggeser Anies. Realitas geo-politik sesungguhnya dimenangkan Anies sebagai Gubernur DKI. Dalam survey ini Ganjar adalah mainan Jokowi dan tentu saja Presiden memiliki segala daya untuk mampu memainkan. Jokowi untuk dapat menjabat tiga periode bukanlah hal yang mudah. Melawan arus aspirasi, opini, atau moralitas politik. Pilihan pragmatis adalah mencari figur yang dapat menjadi kepanjangan tangannya. Presiden wajar jika awal menimbang Luhut, Moeldoko atau Ganjar Pranowo. Dua purnawirawan Luhut dan Moeldoko tidak berbasis partai, sedangkan Ganjar adalah kader PDIP partai pemenang Pemilu. Pilihan pada Ganjar setelah melihat Luhut memiliki seribu kerentanan dan Moeldoko gagal mengkudeta Partai Demokrat. Ganjar diharapkan bisa membelah PDIP dan memproteksi Jokowi pasca lengsernya. Karenanya Ganjar harus terus dibuat melambung. Agenda Jokowi mudah dibaca oleh PDIP yang menggadang-gadang Puan untuk manggung. Petugas partainya ini mulai menjadi anak durhaka. Jika permainan berlanjut maka jarak Megawati “God Mother” dengan Jokowi “God Father” akan semakin tidak “Good”. Jokowi yang dilepas PDIP akan berposisi menggantung. Tidak berkaki lagi. Masalahnya kini Megawati tentu bingung. Sang Puteri Puan Maharani yang dicoba didongkrak habis dengan alat baliho menghadapi kecaman masyarakat. Survey pun sengaja dibuat pula agar jarak semakin menjauh dari sang pesaing Ganjar Pranowo. Surat DPP PDIP No 3134 tanggal 11 Agustus 202 menegaskan tentang hak prerogatif Megawati dan meminta kader untuk menghentikan pembicaraan soal Presiden/Wakil Presiden. Ada ancaman sanksi atas pelanggaran disiplin. Megawati bingung. Konstelasi politik di sekitar Istana semakin menarik. Dapatkah permainan otak atik ini menyelamatkan Jokowi dari keruntuhan? Jika hanya ini yang menjadi indikator tentu masih terlalu sumir. Akan tetapi retak retak yang dipelihara dipastikan akan menyebabkan pecah. Penjagaan benteng pertahanan pun semakin melemah. Lemahnya penjagaan benteng pertahanan Istana menyebabkan rakyat lebih mudah untuk membobolnya. Rakyat yang semakin marah dan muak dengan korupsi kekuasan yang sudah berada di luar ambang batas. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Trio Sesat yang Mengganggu Umat
By M Rizal Fadillah ADANYA ketegasan sikap mengenai keberadaan ajaran sesat yang ditetapkan oleh MUI atau Ormas Islam dimaksudkan untuk ketenangan dalam menjalankan kehidupan beragama khususnya di kalangan umat Islam. Bukan soal diskriminasi atau hak asasi tetapi menyangkut usaha menciptakan ketertiban dalam beragama. Faham yang dapat menimbulkan reaksi dan masalah di kalangan umat Islam sehingga membuat situasi panas yang awalnya duo dan kini adalah "trio sesat" yaitu : AHMADIYAH Mengakui bagian dari agama Islam padahal memiliki pandangan yang secara fundamental berbeda. Terutama mengenai kenabian Muhammad yang diyakini bukan Nabi yang terakhir (khataman nabiyyin). Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Lalu ia menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi dan "al Masih al Mau'ud" (al Masih yang dijanjikan). Kitab sucinya di samping Al Qur'an juga kumpulan wahyu "Tadzkirah". MUI memfatwakan sesat tahun 1980 dan diperkuat tahun 2005. SYI'AH Mengklaim Agama Islam tapi dominan Persia. Memiliki perbedaan mendasar yang menyangkut akidah bukan furu'iyah dengan rukun iman dan rukun Islam yang berbeda. Kesucian Imam yang terjamin (ishmah) melebihi Nabi, memusuhi Sahabat dan menistakan istri-istri Nabi, menodai Al Qur'an, memiliki hadits sendiri termasuk ucapan para Imam, anti Arab, nikah kontrak, menyakiti diri "tathbir" dalam peringatan Asyura. MUI secara parsial menyatakan sesat Syi'ah dalam penistaan Sahabat, tahrif Al Qur'an, nikah muth'ah, dan pemaksuman Imam (ishmah). MUI membuat dan mengedarkan buku "Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia". BAHA'I Telah lama ada dan rakyat dikejutkan oleh pengakuan Menag Yaquts baru baru ini ketika mengucapkan selamat Hari Raya kaum Baha'i Naw Ruz 178 EB. Turunan Syi'ah ini lahir di Persia meyakini keberadaan Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Nabi itu adalah Baha'ullah yang tulisannya menjadi kitab suci. Shalat satu waktu, puasa 19 hari, haji ke kuburan Bahaullah di Bahjah Akka Palestina, serta berkiblat ibadah ke arah Gunung Carmel Israel. MUI dalam berbagai pandangannya telah menyatakan sesat Baha'i. Umat Islam waspada dan resah dengan faham sesat ini. Sayangnya Menteri Agama Yaquts Khalil Qoumas justru gemar memancing kegaduhan dengan tekad dan langkah mensyiarkan ketiga faham ini. Umat Islam tentu kecewa, kesal dan marah. Alih-alih berupaya menjaga stabilitas umat, Menag justru menampilkan peran antagonis dalam mengobrak-abrik perasaan umat. Segera setelah dilantik menjadi Menag menggantikan Fahrur Rozi, Yaquts langsung tekan gas dan lantang berstatemen akan mengafirmasi hak Ahmadiyah dan Syi'ah. Sontak saja ucapannya telah menimbulkan kritikan tajam di kalangan tokoh-tokoh Islam. Terakhir Baha'i yang diakui. Yaquts memang dinilai belum pas untuk menjadi Menteri Agama. Trio sesat yang mengganggu umat mestinya bukan disyiarkan apalagi diafirmasi. Ketiganya sensitif dan bisa memancing friksi atau konflik. Kementrian Agama sebaiknya menjadi kementrian yang menyejukkan bukan menjadi kementrian bakar-bakaran. Karenanya waspadai dan eliminasi atau minimalisasi ekspansi faham-faham tersebut. Melindungi yang kecil bukan dengan memusuhi yang besar. Faham sesat bukan untuk dibesarkan. Menteri Agama itu adalah pengayom bukan provokator atau menjadi tukang kompor. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Luhut "Manipulasi" Indikator Kematian Covid!
Oleh: Mochamad Toha Data dari 510 Pemerintah Daerah menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 warga meninggal dengan status positif Covid-19. Tapi jumlah kematian positif Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada tanggal yang sama hanya 105.598 orang. Artinya, Pemerintah Pusat memangkas 19.192 kematian karena positif Covid. LaporCovid menemukan ada lebih dari 19.000 kasus kematian akibat Covid-19 yang sudah dilaporkan oleh pemerintah kabupaten/kota namun tidak tercatat di data pemerintah pusat. “Artinya, antara data pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah pusat, terdapat selisih 19.192 kematian,” ujar Analis Data LaporCovid-19, Said Fariz Hibban lewat keterangan tertulis, Rabu, 11 Agustus 2021. Menurutnya, bila dijabarkan 10 provinsi dengan selisih angka kematian positif terbesar, yakni Jawa Tengah (-9,662), Jawa Barat (-6,215), DI Jogjakarta (-889), Papua (-663), Kalimantan Barat (-643), Sumatera Utara (-616), Kalimantan Tengah (-301), Jawa Timur (-294), Banten (-140), dan Nusa Tenggara Barat (-112). Ditambah lagi, lanjut Said, data kematian yang selama ini dipublikasikan pemerintah belum mencakup kematian warga dengan status probable. Padahal, WHO merekomendasikan untuk menyertakan kasus probable sebagai kasus kematian akibat Covid-19. Berdasarkan data LaporCovid-19, akumulasi kematian probable di Indonesia setidaknya telah mencapai 26.326 jiwa. Jika kematian positif Covid-19 itu diakumulasikan dengan kematian probable, total kematian terkait pandemi di Indonesia telah mencapai 151.116 jiwa. Di sisi lain, ujar Said, jumlah kematian yang terjadi di luar rumah sakit belum tercatat secara baik dalam sistem pencatatan milik pemerintah. Padahal, berdasar data yang dikumpulkan tim LaporCovid-19, banyak warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat lain. Sejak awal Juni hingga 7 Agustus 2021, tim LaporCovid-19 mencatat sedikitnya 3.007 warga meninggal di luar rumah sakit. Jumlah kematian yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih banyak karena data itu baru berasal dari 108 kota/kabupaten di 25 provinsi. Saat ini, hanya satu provinsi, yakni DKI Jakarta, yang mempublikasikan data kematian warga ketika isolasi mandiri. Oleh karena itu, LaporCovid-19 mendesak pemerintah daerah lainnya untuk mempublikasikan data jumlah kematian warga saat isolasi mandiri. “Keterbukaan ini penting agar masyarakat makin memahami dampak pandemi Covid-19,” tutur Said. Menko Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Luhut Binsar Panjaitan menghilangkan angka kematian dari indikator evaluasi Covid-19. Alasannya, sering terjadi kesalahan input data. Para epidiomolog menilai langkah ini berbahaya. Kuat dugaan dihapuskannya angka tersebut dengan maksud memoles angka agar tampak sukses menangani pandemi. Jangan sampai ada anggapan, penguasa biasa memang ngawur dan suka-suka. Juru Bicara Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, menjelaskan perihal tidak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dikeluarkannya indikator itu karena adanya input data yang belum diperbarui dan merupakan angka kematian dari akumulasi selama beberapa pekan sebelumnya. Pemerintah menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk. Atau dicicil pelaporannya sehingga dilaporkan terlambat. Penghapusan indikator kematian ini menunjukkan, Pemerintah Pusat yang dikomandani Luhut Binsar Panjaitan tidak profesional dalam menjalankan tugas penanganan pandemi Covid-19. Manipulasi data dengan menghapus angka sebanyak 19.000 kasus kematian akibat Covid-19 yang sudah dilaporkan Pemda itu jelas mengindikasikan tidak adanya koordinasi antara Pusat dan Daerah. Pemerintah Pusat sesuai rencana, maunya tanggal itu angka kematian turun. Tapi, mungkin Luhut lupa tak perintahkan Daerah untuk ubah kembali ke angka riil kematian sebenarnya. Boleh jadi, angka kematian itu diperoleh bukan murni Covid, tapi komorbit juga. Begini, ketika Pemerintah akan memberlakukan PPKM Darurat, sebelumnya ada upaya untuk menambah angka kematian dengan mengikutkan pasien komorbit yang meninggal ini sebagai kematian akibat Covid-19. Makanya, angka kematian komorbit di daerah turun drastis, dan nyaris tidak ada sama sekali. Karena, angka ini dimasukkan sebagai angka kematian akibat Covid-19. Ini yang Pemerintah Daerah lakukan melalui Dinas Kesehatan. Sehingga, saat itu angka kematian akibat Covid-19 begitu tinggi, dan diberlakukanlah PPKM Darurat hingga PPKM Level-Levelan (2, 3, dan 4). Situasi mencekam! Ambulan hilir-mudik maraung-raung minta jalan. Malamnya, lampu PJU dipadamkan. Penyekatan terjadi di mana-mana di jalan-jalan protokol kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan lain-lain, termasuk penyekatan yang berlaku di perbatasan kota-kota besar tersebut. WHO pun menyorot penanganan Covid-19 di Indonesia. Pemerintah dinilai gagal menangani pandemi Covid-19. Laporan Mingguan Reuters, sejarah mencatat, pada 18 Juli adalah tanggal terburuk, dimana waktu itu tercatat 50.039 kasus baru dalam sehari. Arie Karimah, seorang Pharma-Excellent alumni ITB menyebut, dalam 7 hari terakhir, rata-rata penambahan kasus baru adalah 30.982 kasus setiap harinya. Atau: dari 10 ribu orang ada 8 yang terinfeksi. Total kasus: 3.749.446, kematian 112.198. Tampaknya, karena tidak mau dianggap gagal sebagai Komandan PPKM Level-Levelan itu, Luhut dan timnya berusaha menghapus indikator kematian akibat Covid-19. Maka, mereka memangkas 19.192 kasus kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan 510 daerah. Indikator kematian akibat Covid-19 memang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Akan dibuat melesat naik atau menukik turun, tinggal mainkan data saja. Seperti yang terjadi saat akan diberlakukannya PPKM akhir Januari 2021 hingga PPKM Level-Levelan. Pasien meninggal karena ada penyakit bawaan alias comorbit pun dimasukkan sebagai pasien Covid-19. Apa yang terjadi kemudian? Pada pertengahan Juni 2021 lalu, ratusan makam di TPU Cikadut, Kota Bandung, Jawa Barat dibongkar setelah diketahui lebih dari 700 jenazah yang dimakamkan secara prosedur Covid-19, ternyata tidak terpapar Virus Corona. Atas permintaan keluarga, sebanyak 196 makam akhirnya dibongkar. Dari total tersebut, 71 jenazah diantaranya dipindah ke luar Kota Bandung. Sementara 125 lainnya dipindah ke pemakaman keluarga atau TPU di Kota Bandung. Sebelumnya, lebih dari 700 jenazah di TPU Cikadut dimakamkan sesuai prosedur Covid-19, karena saat meninggal, hasil swab PCR mereka belum keluar. Karena itu, pihak RS langsung memasukkan jenazah tersebut dalam kategori indikasi terpapar Covid-19. Dalih Luhut Jubir Menko Marves, Jodi Mahardi, telah memastikan pemerintah bukan hendak menghapus indikator kematian dalam asesmen level PPKM. Pemerintah hanya akan merapikan terlebih dahulu data-data angka kematian Covid-19 yang selama ini menyebabkan distorsi. “Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian,” ucap Jodi, Rabu (11/8/2021). Ia menyebut kesalahan data indikator kematian ini terjadi karena ada keterlambatan laporan lantaran data yang menumpuk dan dicicil. Sehingga, kata dia, kondisi ini bisa menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah. “Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah,” dalihnya. Selama lebih dari 21 hari lalu, banyak kasus aktif yang juga tidak ter-update. Ia menyebut akhirnya pemerintah mengambil langkah untuk menghilangkan dahulu indikator kemarian untuk dilakukan perbaikan sehingga data bisa akurat. “Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi,” jelas Dodi. Jodi memastikan untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin (9/8/2021) menyebut telah mengeluarkan indikator kematian dalam menilai level PPKM di berbagai daerah. Alasannya, indikator kematian dianggap menimbulkan distorsi dalam penilaian level PPKM karena banyak input data yang tidak update dari berbagai daerah. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Tangkap dan Adili Luhut
Jika benar dan tidak ada rekayasa baik narasi, suara maupun gambar di video yang berdurasi 59, yang telah beredar di medsos, atas nama agama, bangsa dan negara, LBP harus ditangkap, diadili dan dipidanakan, karena esensi dari ucapan Luhut, benar benar telah membuat gaduh dan menyesatkan bangsa Indonesia terutama terhadap ajaran agama Islam. Oleh Sugengwaras NAMUN saya belum yakin apakah ini asli suara Luhut, yang murni dan utuh narasi keseluruhannya, karena bisa saja dalam situasi dan kondisi negara kita yang sedang sulit diterjemahkan ini, dijadikan peluang dan kesempatan dalam kesempitan untuk memperparah carut marutnya NKRI Demi Allah, ini sudah semakin keterlaluan, ketika sebelumnya Menag memgumumkan ditundanya libur Tahun Baru Islam yang dikenakan satu hari kemudian dengan alasan pembenaran. Bagi saya pribadi, ini Menag Koplak, yang tidak berpikir utuh tentang Islam, bahwa jatuhnya hari dan tanggal pasti ada relevansinya dengan acara acara spiritual ibadah keagamaan. Tampaknya Menag ini tidak paham dan tidak menghayati makna yang tersirat terkait keagamaan yang membimbing, membentuk dan menyiapkan akhlaq manusia yang beriman dan bertaqwa. Untuk LBP maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, anda sebagai non-muslim, anda tidak boleh gegabah, ngawur dan abai terhadap Alqur'an, hadist, itjma dan kias, yang merupakan sumber pedoman, tingkatan dan tahapan dalam mengambil solusi terkait implementasi ajaran islam. Saya sebagai umat Islam, masih menghormati dan memaklumi, karena anda non-muslim yang tidak memahami ajaran Islam secara utuh, namun hendaknya anda terlebih dulu dengan stakeholder keagamaan Islam untuk konsultasi dan koordinasi agar tidak membuat perbuatan tidak menyenangkan kepada umat Islam. Oleh karenanya, jika ternyata apa yang tersurat di video tersebut asli dan benar adanya, sebaiknya anda menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam atas kekhilafan tersebut. Sebaliknya kepada seluruh umat islam, saya mengimbau untuk peka dan peduli serta waspada terhadap perkembangan khususnya terkait aturan aturan untuk kegiatan keagamaan Islam yang terasa semakin ke depan semakin mencurigakan dan mengkhawatirkan, serta tidak mudah terjebak dan hanyut atas jebakan-jebakan yang menyesatkan yang berpotensi rentannya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebagai umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia, selayaknya kita meneladani kepada umat yang lain, bahwa Islam lRahmatan Lil Alamiin, yang bisa hidup harmonis dan saling menghormati terhadap sesama yang berbeda tanpa meninggalkan keyakinan sendiri. Juga umat Islam yang mayoritas ini, harus punya harga diri yang konsisten dan konsekuen, serta tidak tinggal diam, manakala ajaran islam disepelekan dan dihinakan. Juga kepada TNI POLRI, saya yakin dan mengingatkan, hendaknya TNI POLRI yang punya peran sangat strategis terhadap NKRI ini benar-benar konsisten dan konsekuen terhadap NKRI dan bukan mengabdi kepada segelintir pejabat atau penguasa saja. Semoga di bawah kepeloporan TNI POLRI, NKRI kondusif dan sejahtera. Penulis Purrnawirawan TNI AD
Menata Parlemen, Menguatkan Peran Civil Society
Oleh: Tamsil Linrung *) CHECK and balances. Dua kata ini acapkali menjadi pemanis dalam diskursus ketatanegaraan. Dengan prinsip saling kontrol dan saling imbang (check and balances) ini, lembaga-lembaga negara atau cabang-cabang kekuasaan dapat menghindari pemusatan kekuasaan yang sewenang-wenang. Semua negara di dunia selalu menerapkan prinsip check and balances. Pun Indonesia. Reformasi politik 1998 yang disusul reformasi konstitusi sebanyak empat kali amandemen UUD 1945 menyepakati diadopsinya prinsip check and balances ke dalam sistem pemerintahan. Tetapi, mekanisme check and balances tentu hanya dapat berjalan jika lembaga negara dimaksud punya kewenangan berimbang. Bila tidak, jangankan saling check, untuk balance saja jelas mustahil. Dari perspektif ini, prinsip check and balances antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan lembaga negara lainnya menjadi sulit tercapai karena kewenangan DPD begitu timpang ketimbang yang lain. Padahal, dalam sistem pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat sangat sentral. DPD dibentuk untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. DPD dibentuk juga agar prinsip check and balances dapat berlangsung paripurna. Tentu DPD berusaha maksimal menjalankan amanah ini. Namun dengan kewenangan terbatas, langkah-langkah politik menjadi terbatas pula. Mandat konstitusi kepada DPD hanya sebatas menyarankan, memberi pertimbangan dan dapat ikut serta saja. Konstitusi hanya memberikan fungsi perwakilan kepada DPR, yang tercermin dari kepemilikan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran yang secara kuat dimiliki DPR. Meski DPD juga memiliki fungsi tersebut, namun fungsi yang dimilikinya tidak bersifat otoritatif. Itulah sebabnya keberadaan DPD yang tadinya menjadi lembaga penyeimbang DPR justru hanya menjadi pelengkap dan bahkan subordinat DPR. Padahal, legitimasi anggota DPD sangat kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. DPD sebagai kamar kedua tidak memiliki kewenangan memadai untuk mengontrol proses legislasi di DPR. Sebaliknya, DPR sebagai kamar pertama mempunyai kewenangan mengontrol secara penuh usulan RUU. Masalahnya, bukan tidak mungkin terjadi konflik kepentingan antara pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah yang begitu dominan di DPR. Ingatan kita tentu masih segar pada pengesahan UU Omnibus Law yang tempo hari diusulkan pemerintah. Di tengah berbagai kecurigaan rakyat atas proses legislasi UU Omnibus Law yang super kilat itu, DPD tidak bisa berbuat banyak. Ini hanya satu contoh kecil betapa ketiadaan double check antara DPD dan DPR harus dikritisi kembali, sebab konstitusi tegas menyerukan semangat check and balances. Namun kita terpaksa menegasinya karena ketimpangan kewenangan. Penguatan DPD Jawaban persoalan di atas sudah pasti penguatan kewenangan lembaga DPD melalui amandemen kelima UUD 1945. Namun, proses politik ini tidak hanya memerlukan persetujuan politik bersama antara DPR dan DPD, tetapi juga kemampuan melawan ego, syahwat, dan nikmat kekuasaan. Kini, terbuka jalan amandemen kelima menyusul digagasnya rumusan norma Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh MPR. DPD tentu menyambut baik, dengan tetap mawas terhadap potensi penumpang gelap amandemen. Bila kotak Pandora amandemen sepakat kita buka, sekalian saja mengoptimalisasi konstruksi sistem parlemen yang ada. Kita berharap, DPR dengan segala kesadaran politik dan kerendahan hatinya menyambut baik gagasan itu. Namun, guna mendorong upaya politik ini lebih kencang, DPD perlu merangkul masyarakat sipil, sekaligus memberi jalan agar civil society bertumbuh menjadi faktor penyeimbang di parlemen. Jejaring masyarakat sipil bisa berperan melahirkan reformasi kelembagaan parlemen melalui pergumulan ide, gagasan, dan desakan kepada pemangku kebijakan. Pelibatan masyarakat sipil secara intens, sekaligus menambah energi agar cahaya demokrasi yang mulai meredup kembali berkilau. Bagaimana pun juga, institusi masyarakat sipil masih dipandang sebagai simpul pembela kepentingan rakyat. Artinya, pelibatannya masyarakat sipil secara tak langsung merupakan upaya melebarkan representasi rakyat secara optimal. Syukurnya, DPD belakangan terlihat intens bertukar pikiran dengan mereka. Tak hanya di Ibukota, dalam beberapa kesempatan, Ketua DPD didamping sejumlah Anggota DPD bahkan menyambangi institusi masyarakat sipil dengan melakukan roadshow ke daerah-daerah. Selain menyerap aspirasi daerah, roadshow ini juga menerima masukan urgensi penguatan DPD. Tidak sedikit diantaranya menginginkan strong bikameral, di mana kewenangan DPD sebanding dengan DPR. Pemikiran ini tentu sangat ideal. Namun, pemikiran ideal itu muncul dari harapan masyarakat yang menginginkan DPD melanjutkan perjuangan presidential threshold atau ambang batas pemilihan presiden 0 persen sehingga masyarakat dapat disajikan beragam pilihan calon presiden dan wakil presiden. Selama ini, DPD memang tengah memperjuangkan ambang batas 0 persen. DPD juga menggagas pemikiran calon presiden perorangan atau non partai. Dua cita-cita ini tidak hanya membutuhkan energi besar tetapi juga kewenangan yang memadai. Jadi, kata kuncinya kembali kepada penguatan DPD melalui amandemen UUD 1945. Syukurnya, dukungan masyarakat terlihat besar, baik personal maupun dari organisasi masyarakat sipil. Dukungan ini menjadi support moral bagi DPD untuk bekerja lebih maksimal menuju cita-cita itu. Saran lainnya, ada pula yang mengusulkan agar DPD menjadi satu fraksi di DPR, sebagaimana disampaikan pakar hukum tata negara Dr. Maruarar Siahaan. Ide ini cukup menarik. Jika konstitusi memberi ruang kepada DPD dalam konteks itu, maka segala hak dan kewenangan DPR juga melekat pada DPD, dari soal legislasi hingga hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Apapun formatnya, yang jelas penataan relasi kerja yang baik dan berimbang antara DPR dan DPD perlu dikaji ulang. Bila tidak, sulit mencapai kinerja parlemen yang efektif. Kata kuncinya ada pada frasa berimbang. Jika dua kamar dalam sistem parlemen bikameral ini dibiarkan terus-menerus tidak sebanding, mustahil berharap saling kontrol dan saling imbang (check and balances), baik antara parlemen dengan lembaga tinggi negara lainnya maupun di internal parlemen sendiri. Masalahnya, setiap kali isu penguatan DPD bergulir, maka di saat yang sama muncul anggapan adanya pengurangan kewenangan DPR. Padahal tidak demikian. Kuatnya DPD akan menguatkan parlemen secara keseluruhan karena saling kontrol dan saling imbang tentu berpengaruh pada kualitas produk legislasi yang dihasilkan. Terkecuali bila sudut pandangnya kepentingan kelompok, nah, itu beda lagi. *) Penulis adalah Anggota DPD RI
Luhut Menggila Ibadah Pakai Kartu Vaksin
By M Rizal Fadillah KATA Luhut rumah ibadah kini sudah dibuka atau dilonggarkan dengan syarat isinya 25 % dan harus menunjukkan kartu vaksin. Sudah isinya cuma 25 % harus pakai kartu vaksin lagi. Bagi orang kuat beragama, rumah ibadah adalah segala-galanya. Bagi orang yang jauh dari agama kegiatan untuk beribadah di dalam ruang ibadah hanya persoalan kecil yang bisa dilonggarkan atau ditinggalkan. Baginya ibadah itu sama dengan belanja di mall, mengunjungi tempat wisata, atau makan di restoran. Kartu vaksin dijadikan kunci pembuka pintu ruangan. Agama- agama menempatkan rumah ibadah beragam pada tingkat intensitas "kunjungan" kolektifnya. Agama Islam nampaknya yang paling tinggi. Sekurang-kurangnya lima kali sehari. Shalat berjama'ah di Masjid menjadi ibadah berderajat tinggi di sisi Allah SWT. Kebijakan Luhut akan terasa dampaknya bagi muslim yang menjadi mayoritas bangsa ini. Masjid berada di kota dan desa-desa, di kompleks perumahan yang tertata hingga daerah padat penduduk yang mungkin agak kumuh. Masjid adalah rumah warga mendekat kepada Tuhannya untuk shalat, berdo'a dan memohon perlindungan. Termasuk meminta agar pandemi Covid 19 agar segera berakhir. Masjid terus kena bantai oleh kebijakan Pemerintah dengan alasan Covid 19. Dari shalat bermasker, merenggangkan shaff, hingga larangan shalat di Masjid. Masjid yang ditutup. Kini dibolehkan dengan syarat jama'ah harus berkartu vaksin. Dengan ini vaksin telah menjadi alat pemaksaan sekaligus penjajahan ritual. Vaksin itu hak, bukan kewajiban. Kebaikan bersama bukan kemutlakan. Konstitusi atau Undang-Undang tidak ada eksplisit mewajibkan. Peraturan hanya sampai memberi sanksi administratif pada warga tidak bervaksin. Itupun masih dikritisi. Pelaksanaan haruslah berdasar pada Peraturan yang jelas dan tidak pada tafsir seenaknya sesuai kehendak Pemerintah. Pemerintah Jokowi terus mengarah pada etatisme dengan mengambil kebijakan yang mengabaikan persetujuan rakyat. Rakyat yang sedang menderita kesulitan dan kepedihan dalam menghadapi pandemi bukannya dimudahkan dan digembirakan tetapi justru terus dibombardir dengan pemaksaan demi pemaksaan. Lihatlah pengangguran yang terus bertambah, pedagang kecil yang diobrak abrik, angkutan umum yang sulit penumpang, usaha yang bangkrut, dan kini ibadah yang dipersulit. Syarat harus dengan kartu vaksin dan besok bisa-bisa harus didahului test PCR atau SWAB yang tentunya berbayar. Pemerintah jangan licik memaksakan vaksin pada warga tetapi lepas tangan dari ekses penyuntikan vaksin seperti kemungkinan menyebabkan kelumpuhan hingga kematian. Belum lagi isu vaksin yang kebal atas varian baru virus Corona. Perlu klarifikasi. Penanganan pandemi covid 19 ini harus segera dikaji, dievaluasi, diaudit, serta dibangun konsensus bersama dengan seluruh rakyat, termasuk kepedulian dan bukti kerja para wakil rakyat. Tanpa ada kebersamaan maka yang terjadi adalah pemaksaan-pemaksaan. Bahkan bernuansa penjajahan. Kebijakan Luhut Panjaitan soal rumah ibadah bervaksin harus melibatkan pandangan MUI dan ormas keagamaan. Jika hanya dengan kemauan sepihak maka Luhut telah menjadi aktor jahat dari proses penjajahan ritual. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Menggugat Hegemoni Ambang Batas Calon Presiden
Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Oleh: Tamsil Linrung PRESIDENTIAL threshold (PT) tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat konstitusi. Meski seringkali menjadi polemik, namun segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden tidak pernah mempan. Segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap terbawa angin. Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden itu. Di belakangnya, konon, oligarki berkelindan dengan sejumlah klan politik, bahu-membahu mempertahankan presidential threshold. Tujuannya, sebagai siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain. Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik kita, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat. Sedangkan hukum menjadi aturan main. Hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik." Bunyi dan maknanya terang, sehingga minim potensi dipersepsikan keliru. Tegasnya, konstitusi membebaskan parpol memilih satu dari dua alternatif, hendak mengusung calon sendiri atau memilih bergabung bersama parpol lainnya. Tetapi aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Kalkulasi suara tersebut berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Terlihat jelas, ada pertentangan antara dua pasal di atas. Karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional. Inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga. Pertama, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan. Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% suara sah nasional terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib itu tidak punya cantolan kepada UUD 1945. Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasional disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya. Ambil contoh Pilpres 2019. Dasar hitung-hitungan kuota partai untuk mengusung pasangan calon presiden berangkat dari hasil Pemilu 2014. Padahal, hasil Pemilu itu telah digunakan untuk pencalonan presiden 2014. Jadi, satu tiket dipakai untuk dua event berbeda. Lagi pula, bila kalkulasi suara didasarkan pada Pemilu periode sebelumnya, lalu bagaimana jika ada partai baru dalam rentang 5 tahun belakangan? Bagaimana dengan hak konstitusional mereka mengajukan calon? Jawabannya, hak konstitusional ini harus bertekuk lutut dalam kendali presidential threshold. Perlawanan DPD DPD (Dewan Perwakilan Daerah) selaku lembaga perwakilan rakyat tentu memiliki beban moral untuk ikut andil meluruskan kekeliruan presidential threshold. Ini sebuah kekeliruan berjamaah yang kemungkinan besar disadari oleh semua jamaahnya. Namun, langkah dan kepentingan politik jangka pendeklah yang mengharuskan sebagian pihak memunggungi fakta, lalu menundukkan hati pada kebatilan. Saya tak bermaksud mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkali-kali menolak uji materi pasal 222 UU Pemilu adalah batil. Bila dicermati, putusan penolakan MK diwarnai pertimbangan open legal policy, yang berarti kebijakan mengenai pasal dimaksud merupakan kewenangan pembentuk UU alias DPR. Selain itu, putusan MK juga disertai dissenting opinion. Pada uji materi pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Rhoma Irama, Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat berbeda. Keduanya menilai ambang batas presiden 20% tidak adil. Sedangkan dalam putusan uji materi yang diajukan Rizal Ramli, ada empat hakim setuju gugatan pemohon, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, dan Enny Nurbaningsih. Sebagai hukum yang mengikat, yang menjadi acuan tentu saja amar putusan MK, bukan pendapat perseorangan hakim. Namun, situasi di atas kiranya memberi gambaran tersendiri tentang presidential threshold. Artinya, sangat beralasan DPD memutuskan melawan hegemoni presidential threshold dengan menawarkan gagasan ambang batas 0 (nol) persen, sebagaimana amanat konstitusi. Senapas dengan langkah tersebut, DPD sekaligus mencoba merumuskan rekonstruksi model penguatan sistem presidensiil melalui upaya alternatif pengajuan calon presiden dan wakil presiden non-partai atau perseorangan. Ide itu setidaknya berangkat dari dua pertimbangan. Pertama, sebagai upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik anak negeri untuk berkompetisi bagi kemajuan bangsa. UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mendefenisikan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi menyerahkan kedaulatannya kepada lembaga negara. DPD menjadi salah satu pemegang amanat itu, sehingga menjadi kewajiban DPD menghadirkan sistem pelaksanaan pemilu yang secara konsisten memijak UUD 1945. Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test. Kedua, kalau usulan calon non partai dapat kita setujui, maka DPD diharapkan dapat mengajukan calon presidennya sendiri. Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Meski Utusan Daerah tidak persis sama dengan DPD, namun hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak diamputasi. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres. Lagi pula, DPD memiliki legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. Dengan begitu, hak DPD mengajukan calon sendiri adalah rasional. Kini, semua berpulang pada satu hal, yakni terbukanya kotak pandora bernama amandemen UUD 1945. Di sanalah semua perjuangan ini bermula. * Penulis adalah Anggota DPD RI.
Alih Kelola Blok Rokan (2): Menggugat Rencana Divestasi Saham Pro Oligarki!
Oleh Marwan Batubara, PENGELOLAAN Blok Rokan (BR) resmi beralih dari Chevron (Chevron Pacific Indonesia, CPI) ke Pertamina (Pertamina Hulu Rokan, PHR) pada 9 Agustus 2021. Blok migas di Riau tersebut dikelola perusahaan Amerika hampir satu abad, sejak dari Socal (1924), Socal & Texaco (1936), berubah jadi Caltex (1960) dan Chevron (2005). Minyak yang dihasilkan berasal dari lapangan Duri, Minas, Kotabatak, Bekasap, Bangko, dll. Sebagian besar cadangan minyak telah terkuras dengan total akumulasi (menurut SKK Migas) sekitar 11,69 miliar barel. Pada tulisan pertama dibahas aspek teknis operasional alih kelola Blok Rokan. Karena kontrak PHR menggunakan skema gross split, penerimaan negara sangat potensial turun, terutama karena GCG dan independensi BUMN sangat minimalis. SKK Migas tidak lagi terlibat pengawasan dan pengendalian kontrak. Di sisi lain, intervensi oknum-oknum penguasa partai dan oligarki penguasa-pengusaha sangat dominan. Dalam aspek bisnis finansial, negara pun sangat potensial dirugikan akibat kewajiban divestasi saham (participating Interest, PI). Padahal Blok Rokan telah berproduksi, risiko bisnis rendah, pendapatan kotor rutin sekitar 3,92 miliar/tahun, dan keahlian SDM tersedia, sehingga mitra melalui divestasi sebenarnya tidak diperlukan. Pada tulisan ke-2 ini dibahas aspek-aspek bisnis-finasial dan legal-konstitusional terkait rencana divestasi saham/PI PHR. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa rencana divestasi saham yang diwajibkan Kementrian ESDM tersebut merupakan hal yang harus digugat dan dihentikan, karena melanggar konstitusi/aturan dan berpotensi merugikan negara ratusan triliun rupiah. Proses divestasi saham PHR melibatkan nilai aset negara berorde ribuan triliun. Meski telah diekspolitasi sejak 1936, Rokan masih menyimpan cadangan terbukti dan potensial 1,5 –2,5 miliar barel. Jika diasumsikan harga minyak sama dengan harga rata-rata 10 tahun terakhir (US$ 66 per barel), maka nilai bruto aset cadangan tersebut berkisar US$ 99 miliar hingga US$ 165 miliar. Pada kurs US$/Rp=14.000, maka nilai bruto aset adalah Rp 1.386 triliun –Rp 2.310 triliun. Untuk selanjutnya, aset tersebut diasumsikan 2 miliar barel atau sekitar Rp 1.848 triliun. Disebutkan PI milik PHR yang akan didivestasi 39%. Dari aspek bisnis finansial, maka kita bicara soal pengalihan hak pengelolaan aset negara bernilai 39% x Rp 1.848 triliun = Rp 720 triliun! Publik pantas ragu dan perlu menggugat bahwa ditengarai proses divestasi tidak berjalan sesuai aturan, sarat moral hazard, dan penuh rekayasa kebijakan pro-oligarki. Biaya akuisisi cadangan migas yang berlaku umum secara global minimal sekitar 12,5% dari nilai cadangan (Earst & Young, 2012). Karena itu, dengan cadangan sekitar 2 miliar barel, maka biaya akuisisi 100% cadangan Rokan minimal adalah 12,5% x 2 miliar barel x US$ 66/barel = US$ 1,65 miliar. Karena adanya operasi secondary (injeksi air/gas) maupun tertiary recovery (gas/CO2 atau zat kimia), diasumsikan adanya discount biaya sekitar 10%. Dengan demikian biaya minimal akusisi 100% saham Rokan adalah US$ 1,48 miliar. Pertamina telah membayar signature bonus (SB) sebesar US$ 784 juta kepada Pemerintah RI pada Desember 2018. Tanpa memperhitungkan nilai SB yang telah dibayar Pertamina, maka mitra usaha PHR yang akan mengakuisisi 39% aset cadangan minyak Blok Rokan minimal harus membayar biaya 39% x US$ 1,48 miliar = US$ 579 juta. Jika SB diperhitungkan, biaya akuisisi minimal yang harus dibayar US$ 579 juta + 39% x US$ 784 juta = US$ 884,76 juta. Terlepas divestasi PI Blok Rokan melanggar konstitusi – sehingga harus digugat dan ditolak – maka mitra PHR yang akan mengakuisisi 39% PI saham Rokan harus membayar minimal US$ 579 juta (tanpa memperhitngkan SB) atau US$ 884 juta (jika memperhitungkan SB). Jika tidak, atau membayar jauh lebih rendah, maka patut diduga terjadi korupsi/KKN yang mengakibatkan negara dirugikan puluhan triliun rupiah. Pelanggaran UU Migas & Konstitusi Kementerian ESDM telah menetapkan Pertamina wajib memiliki partner di Blok Rokan seperti tertuang dalam Kemen ESDM No.1923K/10/2018. Pada diktum kelima disebutkan Pertamina wajib mempertahankan, bahkan meningkatkan produksi migas dan wajib bekerja sama dengan mitra yang memiliki kemampuan di bidang hulu migas sesuai kelaziman bisnis. Diktum Kepmen ESDM ini jelas mewajibkan Pertamina mendivestasi sahamnya di PHR. Dirut PHR Jaffee mengatakan pencarian mitra masih terus dilakukan oleh subholding hulu Pertamina (22/7/2021). Wakil Kepala SKK Migas Fatar Y.A mengungkap proses pencarian mitra bersifat business to business, dan SKK tidak intervensi (22/7/2021). Corporate Secretary Subholding Upstream Pertamina Whisnu B. mengatakan Pertamina mencari mitra yang punya kemampuan modal dan teknologi. Hasil pencarian akan disampaikan kepada Menteri ESDM (22/7/21). Sampai akhir acara seremoni pengalihan Blok Rokan pada tengah malam 8 Agustus 2021, Pemerintah atau Pertamina belum juga mengumumkan siapa mitra PHR di Blok Rokan (akan mengakuisisi 39% saham). Sebelum terlambat, proses pencarian tersebut harus segera dihentikan, karena Kepmen No.1923K/2018 bukanlah dasar hukum yang dapat dijadikan oleh Pertamina/Subholding PHE mendivestasi saham PHR, seperti diurai berikut. Pertama, Menteri ESDM tidak memiliki wewenang legal untuk mewajibkan Pertamina mendivestasi saham. Tidak ada satu pasal atau ketentuan pun dalam UU No.22/2001 tentang Migas maupun PP No.35/2004 tentang Hulu Migas yang memberi wewenang kepada Menteri ESDM memaksa BUMN/Pertamina menjual saham (PI). * Kedua, Pertamina memiliki hak konstitusional untuk mengelola Blok Rokan secara penuh 100% sesuai Pasal 33 UUD 1945. Ketiga, ketentuan dalam Kepmen tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Menurut tata urutan peraturan perundang-undangan (UU P3 No.12/2011), posisi Kepmen jauh di bawah UU, apalagi terhadap UUD 1945. Dengan demikian, kewajiban divestasi sesuai Kepmen No.1923K/2018 batal demi hukum. Keempat, karena Kepmen ESDM No.1923/2018 tidak valid, maka PHE tidak legal melanjutkan proses divestasi yang sedang berlangsung. Kelima, divestasi saham PHR menyangkut transaksi aset negara yang potensi nilainya Rp 1.848 triliun. Nilai aset ini sangat besar untuk diputuskan oleh manajemen sebuah BUMN. Apalagi hanya oleh subholding di BUMN! Proses penawaran dan undangan kepada kepada calon mitra tidak jelas untuk tidak mengatakan tertutup. Hal ini jelas sarat moral hazard! Untuk penjualan saham-saham BUMN yang bernilai puluhan atau ratusan triliun rupiah saja, pemerintah harus mendapat izin DPR. Bagaimana bisa, divestasi saham Blok Rokan menyangkut aset ribuan triliun, pemerintah yang diyakini berada di bawah intervensi oligarki, mengakali DPR dan publik? Pada tulisan pertama diungkap tentang Dirut PHR yang berasal dari SKK Migas, bukan dari Pertamina sebagai pemegang 100% saham. Ternyata Dirut Subholding Upstream Pertamina (PHE) pun berasal dari “luar Pertamina”. Silakan publik berspekulasi terhadap kebijakan bernuansa konspiratif ini. Juga terhadap “penyembunyian” proses divestasi saham PHR melalui subholding PHE yang luput dari pantauan publik. Hal ini merupakan proses bernuansa oligarkis sarat moral hazard guna meraih sebagian potensi untung Rp 242 triliun! Pelanggaran UU BUMN & Konstitusi Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup rakyat mengelola sumber daya alam (SDA) migas, bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada 3 aspek penting Pasal 33 UUD 1945 yaitu: 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dominasi BUMN mengelola SDA di atas telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan oleh Pemerintah dan DPR dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan yang berada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 di atas diimplementasikan dalam peraturan operasional yang termuat dalam UU BUMN No.19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan: Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi. Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN. Hak istimewa pengelolaan SDA diberikan negara kepada BUMN hanya karena saham pemerintah di BUMN masih utuh 100%. Jika saham pemerintah di BUMN kurang dari 100%, maka privilege otomatis hilang. Pertamina memperoleh hak mengelola Blok Rokan karena 100% sahamnya masih dikuasai negara. Jika kurang dari 100%, jangankan anak usaha atau subholdingnya, Pertamina sebagai BUMN induk pun tidak eligible memperoleh previlige tersebut. Tujuannya adalah agar manfaat terbesar Blok Rokan dapat dinikmati bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rekayasa kebijakan yang berlangsung adalah, guna meraih hak, Pertamina diajukan sebagai badan usaha pengelola. Setelah hak diperoleh, dalam waktu singkat Pemerintah memaksa Pertamina mendivestasi sebagian saham melalui penjualan PI oleh subholding (PHE). Akibatnya, dengan modus divestasi seperti ini manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal diraih. Namun di sisi lain, sebagian keuntungan justru akan dinikmati oleh mitra usaha yang merupakan bagian dari oligarki kekuasaan. Sebenarnya konstitusi dan peraturan yang ada sudah cukup memadai guna mengamankan kepentingan rakyat. Namun karena lebih memihak kepentingan oligarki, menurut hemat IRESS, pemerintah justru terlibat rekayasa dengan membuat kebijakan dan aturan akal-akalan guna melancarkan proses divestasi PI Blok Rokan. Jika saham/PI PHR tetap didivestasi, maka terjadi rekayasa aturan manipulatif yang berujung pada kerugian negara dan rakyat. Kesimpulan Kepmen ESDM No.1923K/2018 yang mewajibkan Pertamina/PHR mendivestasi saham Blok Rokan jelas melanggar PP No.35/2004, UU No.22/2001, UU No.19/2003 dan Pasal 33 UUD 1945. Kepmen tersebut jelas merupakan aturan yang manipulatif dan konspiratif, serta sarat kepentingan oligarki pemburu rente, yang dapat merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun. Kita tidak paham apakah Presiden Jokowi telah memperoleh informasi yang lengkap tentang hal ini. Namun apa pun itu, jika proses divestasi berlanjut, apalagi tanpa membayar biaya akuisisi cadangan minyak minimal yang berlaku umum dan sharing signature bonus, maka Presiden Jokowi dianggap telah melanggar konstitusi dan menjadi subjek yang layak diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945, untuk segera dimakzulkan! [ Penulis Direktur Eksekutif IRESS.
Arus Balik Politik
By M Rizal Fadillah ADA fenomena menarik di beberapa hari belakangan ini. Sikap kritis Puan Maharani terhadap kebijakan politik Jokowi cukup membingungkan. Petinggi partai pendukung Pemerintah ini bersuara agak keras. Ada dua dugaan kuat penyebabnya. Pertama, sikap kurang bersahabat Jokowi atas kader PDIP yang diproses hukum seperti Juliari Batubara. Kedua, dukungan politik Jokowi kepada Ganjar Pranowo pesaing Puan di PDIP. Di samping itu semangat Jokowi untuk memperpanjang masa jabatan tiga periode menjadi ganjalan PDIP yang ingin memunculkan kader untuk manggung di tahun 2024. Lalu pilihan keakraban Jokowi dengan Partai Golkar yang membuat PDIP kesal. Ketum Golkar Airlangga menjadi salah satu Koordinator penanggulangan pandemi covid 19. Ditambah dengan Luhut Panjaitan yang terkesan sukses merebut kendali PDIP atas diri Jokowi. Perenggangan jarak politik PDIP dengan Jokowi tidak bisa dianggap biasa. Bila jarak semakin jauh bukan mustahil Jokowi jatuh. PDIP bisa memulai langkah dengan menarik Menteri-Menteri dari Kabinet Jokowi. Orang masih ragu tetapi politik adalah kumpulan dari peristiwa perubahan baik dekat maupun jauh. Dan hubungan politik itu ditentukan atas dasar kepentingan dan kalkulasi dari partai politik itu sendiri. Serangan politikus PDIP Effendi Simbolon dan Masinton Pasaribu kepada kabinet Jokowi dan secara khusus terhadap kinerja Luhut Panjaitan adalah "warming up" dari munculnya gejala politik baru di sekitar Istana. Yang menjadi masalah utama sebenarnya adalah akibat dari tingkat kepercayaan rakyat kepada Jokowi yang terus merosot. Hampir tidak ada kebijakan yang mendapat dukungan publik. Apalagi dalam kaitan penanganan pandemi Covid 19. PPKM yang diperpanjang secara eceran sebagai gambaran dari ketidakmatangan dan kebohongan berulang Pemerintah. Buzzer ikut membuka peta pertarungan. Ada perang proxy antara kubu Teuku Umar dengan Istana. Tagar "NKRI bukan milik PDIP" adalah serangan kepada kubu Megawati, sedangan tagar "Daya rusak Jokowi luar biasa " diduga serangan balik buzzer Teuku Umar. Netizen pun ikut meramaikan. Lalu Twitter men-deactive bahkan men-suspend akun buzzer Denny Siregar, Chusnul, Eko Kuntadhi, dan Ade Armando. Kerusakan demokrasi, hukum, dan penanganan pandemi sudah sangat parah. Istana sulit mengkonsolidasikan pasukan yang berjalan sendiri dan cari aman demi kepentingan politiknya. Usia kekuasaan Jokowi nampaknya semakin pendek bahkan sudah sesak nafas dan membutuhkan oksigen. Memang belum sampai menggunakan ventilator, namun arahnya semakin jelas. Kelompok pentalqin harus sudah bersiap-siap. Cebong peliharaan Jokowi di kolam Istana yang dimakan biawak adalah pertanda bakal berantakannya cebong-cebong pendukung. Luhut pengendali Jokowi bakal menjadi musuh bersama. Ia sedang memegang komando penanganan pandemi. Teranyar ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pengarah Penyelamatan Danau Prioritas berdasar Peraturan Presiden No 60 tahun 2021. Dari samudra yang luas, danau, hingga virus berada di bawah genggamannya. Arus awal adalah kompaknya Istana baik koalisi partai maupun koalisi buzzer dalam menghadapi oposisi maupun masyarakat kritis. Kini arus balik sedang terjadi. Jokowi dipusingkan oleh koalisi partai yang jalan sendiri dan buzzer yang bertengkar serta memojokkan dirinya. RRC sebagai back up kekuatan global Pemerintahan Jokowi gelisah berhadapan dengan AS yang terus merangsek ke basis-basis strategis penentu perubahan. Oposisi dan masyarakat kritis mendapat momentum untuk memperkuat arus balik politik yang terjadi tersebut. Arus ini akan terus menguat. Pembangkangan dapat mengisi banyak sektor yang melibatkan berbagai elemen. Tindakan represif menjadi jalan saja untuk mempercepat perubahan. Arus balik politik sulit untuk dihalangi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Kenapa Connie Uring-uringan
By M Rizal Fadillah CONNIE Rahakundini Bakrie, pengamat militer dan pertahanan, mempertanyakan dan cenderung menyalahkan Latihan Bersama TNI AD dengan US Army tanggal 1-14 Agustus ini. Menurutnya Latihan Bersama ini tidak perlu mengingat Indonesia negara Non Blok. Pandangan ini dibantah banyak pihak di antaranya politisi PDIP Mayjen TNI Purn TB Hasanuddin, SE MM. Menurutnya Latihan ini sah sah saja karena hanya menyangkut taktik dan teknis bukan pakta pertahanan. Connie malah meminta KASAD Jenderal Andika bahwa setelah ini TNI AD segera melakukan latihan bersama dengan RRC dan Rusia dengan sandi Garuda Dragon Shield dan Garuda Bear Shield. Connie tak perlu uring-uringan dengan Latihan Bersama ini, karena Latihan Bersama ini bukan hal baru melainkan yang ke lima belas. Artinya rutin saja. Ketika ia mempertanyakan mengapa tidak dibuka oleh Panglima TNI Hadi Cahyono ? jawabannya mudah, Bu ini Latihan bersama TNI AD bukan semua Angkatan. Justru Connie ngawur mengusulkan segera diadakan Latihan Bersama dengan China dan Rusia di masa tegang seperti ini. Sama saja mau menghancurkan Indonesia, membawa konflik ke negara kita sendiri. Lagi pula rakyat Indonesia masih mengalami trauma dengan pengkhianatan kaum Komunis yang didukung oleh Rusia (Uni Sovyet dulu) saat PKI dipimpin Musso dan didukung oleh RRC saat PKI diketuai oleh DN Aidit. Kini pun RRC tidak disukai rakyat Indonesia karena hegemoni bahkan kolonialisasi ekonomi. Connie mempersoalkan mafia alutsista di bawah Menhan Prabowo padahal mafia itu telah merajalela jauh sebelum Prabowo menjadi Menteri. Konon Prabowo mencoba untuk membongkarnya. Orangpun wajar menjadi bertanya Connie ini pro mafia yang mana ? Yang jelas Connie itu pro Israel. Mantan istri Letjen Purn Djaja Suparman ini pernah menjadi Senior Research Fellow di Insitute of National Security Studies (INSS) Tel Aviv Israel. Pernah tinggal di Israel. Mendapat pengawalan 24 Jam dari Israel Defence Force (IDF). Ia menyatakan terharu dan bangga kepada Israel. Connie menganjurkan Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel "Sudah saatnya Indonesia bertindak konkrit bisa lebih memahami Israel dengan membuka hubungan diplomatik sehingga ada diskusi lebih lanjut", ungkapnya. Connie lupa bahwa Israel itu negara penjajah, pencaplok tanah Palestina, dan biadab membombardir penduduk Palestina. Israel menduduki juga Masjid Al Aqsha. Israel seharusnya bukan saja tidak diakui tapi juga mesti diusir ke luar sebagaimana asal mula mereka yang tak punya tanah. Memihak Israel adalah bertentangan dengan prinsip negara Indonesia yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan kedaulatan suatu bangsa. Palestina harus didukung untuk merdeka, bukan pro dan menjadi pelayan kaum zionis Israel. Connie membanggakan kerukunan di Israel. Ia gembira dapat ikut ritual jalan salib dalam Gereja Katolik di Israel, bahkan ikut memanggul salib melewati rute yang sudah ditentukan. Connie sendiri mengakui bahwa dirinya muslim. Uring-uringan Connie tentang Latihan Bersama Garuda Shield TNI AD dengan US Army ini cukup aneh dan menimbulkan pertanyaan untuk kepentingan siapakah sebenarnya suara Connie Rahakundini Bakrie ini digaungkan ? Lanjut terus Latihan Bersama Garuda Shield. Biarlah anjing menggonggong kafilah berlalu. Yang jelas China pasti gerah dengan Latihan Bersama terbesar dalam sejarah TNI AD dan US Army ini. Bagi bangsa dan negara Indonesia RRC bukan sahabat yang baik. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan