Habib Rizieq Wajib Bebas, Harapan Selayaknya
Oleh Ady Amar
ALASAN apa menahan tahanan yang sudah habis masa tahanannya. Ini masuk pelanggaran HAM. Dan ini dikenakan pada Habib Rizieq Shihab, yang mestinya tanggal 8 Agustus 2021 adalah akhir masa tahanannya. Seharusnya keesokan harinya, ia sudah bisa menghirup udara bebas.
Tapi ternyata masa tahanannya ditambah sebulan ke depan, dengan alasan karena ada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, berkenaan dengan banding terdakwa pada kasus RS Ummi, yang belum diputus. Dengan belum diputusnya kasus itu, maka penahanannya ditambah sebulan ke depan. Apakah jika sebulan ke depan PT Jakarta belum juga memutus kasus bandingnya, maka penahanannya juga akan ditambah lagi sebulan, dan seterusnya demikian.
Sebenarnya pada dua kasus banding lainnya, kasus Kerumunan Petamburan dan kasus Kerumunan Megamendung, tidak ada hubungan dengan kasus RS Ummi. Masing-masing kasus berdiri sendiri. Pada dua kasus Petamburan dan kasus Megamendung, ia sudah menjalani hukumannya yang berakhir pada tanggal 8 Agustus, dan mestinya pada tanggal 9 Agustus ia sudah bebas.
Menjadi aneh jika dua kasus itu ditautkan dengan kasus yang belum diputus PT Jakarta (kasus RS Ummi), dan karenanya penahanannya mesti ditambah sebulan. Alasan yang diberikan, agar yang bersangkutan tidak menghilangkan barang bukti dan tidak melarikan diri. Tampak alasan dibuat-buat meski harus melanggar asas keadilan.
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur pada kasus Tes Swab RS Ummi, itu Habib Rizieq diganjar 4 tahun penjara. Pasal pemberatnya adalah bahwa yang dilakukan Habib Rizieq itu menimbulkan keonaran. Meski tuduhan keonaran itu tidak dapat dibuktikan, keonaran apa yang ditimbulkan Habib Rizieq itu.
Akal sehat publik seolah ingin dibutakan oleh tuntutan jaksa penuntut umum (6 tahun), dan lalu Majelis Hakim memutus 4 tahun. Tuntutan tanpa bukti itu dibuat agar manusia satu ini bisa dihukum seberat-beratnya, meski apa yang diperbuat adalah hal sepele yang tidak harus diseret ke pengadilan, apalagi sampai dikenakan pasal-pasal pemberat agar tuntutan bisa maksimal.
Kasus Habib Rizieq ini bukan semata kasus hukum, tapi lebih bermuatan politik. Hukum yang diseret pada politik, dan itu kekuasaan, pastilah menimbulkan ketidakadilan. Hukum bisa dibuat berat jika diinginkan untuk dibuat menjadi berat, atau sebaliknya. Hukum seperti dibuat suka-sukanya.
Intervensi kekuasaan pada kasus Habib Rizieq Shihab ini tampak terang benderang. Kasus kerumunan, jika kasus Habib Rizieq itu dianggap sebuah kesalahan, itu bukan cuma dilakukan ia seorang. Banyak pihak melakukan hal sama, yang menimbulkan kerumunan massa, termasuk kasus Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat di NTT yang lalu. Dan yang terbaru, kasus pembagian sembako di Grogol, Jakarta Barat, yang menimbulkan kerumunan massa, dan itu dianggap biasa-biasa saja. Menyikapi hal itu, pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, dalam Twitter-nya, sampai patut menduga apa yang dilakukan Presiden Jokowi itu “bentuk sabotase”, agar kasus Covid-19 di Jakarta yang sudah melandai turun akan kembali menaik.
Bebaskan Habib Rizieq
Membebaskan Habib Rizieq itu bukan belas kasihan, tapi itu memang haknya untuk bebas. Dengan menahannya, itu pelanggaran atas asas keadilan dan bahkan pelanggaran HAM. Maka, jika muncul suara publik mempertanyakan hak keadilan pada Habib Rizieq, itu semata suara moral.
Mestinya suara moral publik itu dilihat sebagai bentuk protes, bahwa ada yang salah dan tidak beres dalam masalah penegakan hukum dan keadilan, dan itu dalam kasus Habib Rizieq Shihab. Jika suara moral itu tidak didengar, maka tidak mustahil publik akan mencari jalannya sendiri dengan bentuk protes yang lebih keras, yang diluar apa yang bisa dipikirkan.
Jangan menunggu publik mencari jalannya sendiri. Peristiwa umat Islam mencari keadilan atas penodaan agama (kasus Ahok) dengan berbondong-bondong ke Jakarta (2016), yang dikenal sebagai Aksi 411 dan 212, itu bukan hal yang mustahil bisa dilakukan kembali. Tentu ini bukan hal yang diinginkan.
Jika bisa ditempuh dengan cara sewajarnya, mengapa cara itu tidak dipilih saja dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Persoalan besar bisa tampak kecil, jika pendekatan yang diberikan mengedepankan sikap bijak.
Negeri ini menghadapi banyak persoalan; masalah kesulitan ekonomi, pandemi Covid-19 dan masalah lainnya, menjadi berat jika harus ditambah dengan persoalan lain. Menyelesaikan persoalan itu langkah bijak, bukan malah mengekalkan persoalan yang tidak semestinya. Membebaskan Habib Rizieq Shihab, harusnya jadi prioritas, tentu bukan mengistimewakan, tapi mengembalikan hak semestinya yang terampas. (kempalan.com)
Penulis adalah kolumnis