OPINI
Inspirasi Santri Afghan
Oleh : Daniel Mohammad Rosyid DUNIA beberapa hari ini dikejutkan oleh kemenangan para santri Afghan dalam mengambil alih pemerintahan dari pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan boneka yang mengandalkan dukungan AS dan sekutunya untuk bertahan kini meninggalkan Afghanistan entah ke mana. Selama 20 tahun lebih para santri Afghan itu berjuang dengan darah dan airmata untuk mengusir penjajah. Lebih menakjubkan lagi: Kabul ditaklukan hampir-hampir tanpa setetes darah pun. Ironis, di sebuah kawasan di timur jauh Afghanistan berjarak sekitar 10ribu kilometer yang disebut Indonesia, sejarah justru menemukan sebuah bangsa yang pernah menyatakan kemerdekaannya namun kini justru semakin terjajah secara politik, ekonomi dan budaya. Bangsa yang berani menyebut dirinya merdeka selama 76 tahun justru telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa merdeka. Kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta itu sejak awal sudah dibegal oleh kekuatan-kekuatan nekolimik asing yang tidak pernah rela membiarkan negeri kepulauan ini merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Konferensi Meja Bundar 1949 sudah menjegal konstitusi UUD 45 pada saat republik ini harus tunduk pada non-state actors semacam IMF dan the World Bank. Sistem keuangan riba sejak awal telah membuat kemerdekaan itu ilusif. Penjarahan kekayaan alam negeri ini dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif melalui riba ini. Kini kita dipaksa WHO untuk percaya bahwa pandemi PCR test ini adalah pandemi Covid-19 untuk merampas kebebasan sipil demi kejayaan industri vaksin asing. Longsor konstitusional oleh riba itu kemudian diikuti oleh gempa sekulerisme, banjir konsumerisme dan akhirnya tsunami dunguisme sejak 5 tahun terakhir. Gempa sekulerisme itu berepicentrum pada sistem persekolahan paksa massal yang dirancang sebagai instrumen teknokratik untuk menjauhkan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara, menyiapkan tenaga kerja yang trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan investor asing. Konsumerisme dipompa lebih jauh melalui televisi dan setelah era internet dan medsos selama 10 tahun terakhir, dunguisme mentsunami bangsa ini. Dunguisme ini diperberat melalui covid-19 Meerlooan bioterror yang telah memperkosa pikiran waras massal manusia selama setahun lebih ini. Adalah santri Afghan yang masyhur disebut Thaliban itu yang menjadi penghibur bagi pikiran yang masih mencoba untuk merdeka dari teror ketakutan covid-19 ini. Kini monsterisasi Thaliban mulai digencarkan oleh residu dan boneka kekuatan-kekuatan nekolimik untuk tetap menjajah bangsa ini. Proklamasi telah mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan, namun seluruh protokol covid-19 ini justru mendesaknya mundur dari pintu gerbang itu. Hak-hak dasar kita sebagai warga negara yang merdeka justru dirampas, dan massal warga negara itu justru membiarkan perampasan itu terjadi dengan alasan kesehatan publik. Sejarah telah menemukan kami kini menjadi bangsa yang kerdil. Merdeka adalah bebas dari penghambaan kepada apa pun selain hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Penampilan para santri Afghan yang sederhana itu memberi inspirasi bahwa kemerdekaan itu memang sederhana. Tapi yang sederhana ini ternyata sulit dipahami oleh manusia berjas dan berdasi yang sudah mengalami gempa sekulerisme, banjir konsumerisme dan tsunami dunguisme. Negara-negara yg masih menyebut dirinya dengan congkak sebagai negeri maju itu kini dicekam oleh Orwellian totaliterianism. Terimakasih Thaliban (santri Afghan), untuk inspirasimu. Sudilah belajar dari keteledoran kami. Jangan ulangi kesalahan pemimpin-pemimpin kami. Semoga Allah SWT memberi ridha, maunah dan kekuatan untuk membangun Afghanistan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta menjadi bagian dari komunitas dunia yang cinta perdamaian dan kemerdekaan. Aamiin. (Bandung, 20 Agustus 2021) Ketua MPUI-I (Majelis Permusyawaratan Ummat Islam Indonesia)
Menduga Tangis Mega
By M Rizal Fadillah ANEH Ketum PDIP Megawati tiba tiba memuji Jokowi soal perhatian pada rakyat hingga kurus katanya. Ia pun mengecam mereka yang menjuluki kodok kepada Jokowi. Bergetar bermimik menangis. “Saya suka menangis” katanya. Terkesan pasang badan untuk Jokowi. Manuver politik apakah ini ? Wajar jika kemudian memunculkan banyak dugaan bahwa itu sebagai tangis derita, tangis bahagia, atau tangis buaya. Jika ini adalah tangis derita berarti Mega sedang tertekan. Lebay Ketua Partai Politik terbesar di negara Indonesia begitu memelas kepada petugas partai yang dikesankan bawahan. Ada tekanan besar yang dirasakan. Apakah ancaman Jokowi akan berkoalisi dengan Golkar atau all out untuk Ganjar ? Puan akan dibuat nyungsep. Tentu bukan telunjuk Jokowi sendiri yang mengancam tetapi bersama Luhut dan Republik Rakyat China. Untuk tangis bahagia adalah deal politik bahwa Jokowi dan oligarkhinya telah siap untuk menaikkan Puan ke singgasana tertinggi pada Pilpres 2024 atau 2027 yang artinya PDIP sepakat perpanjangan Jokowi hingga 2027. Menunggangi pandemi. Bahagia karena Puan bebas memilih pasangan yang syukur-syukur Gibran atau kroni pilihan Jokowi. Bahagia juga mungkin Juliari kader PDIP akan dihukum ringan. Nah air mata buaya adalah kepura-puraan “pukul anak sindir menantu”. Sebutan “kurus” dan “kodok” meski dengan narasi pembelaan tetapi bermakna sindiran sangat dalam. Memikirkan rakyat sebenarnya adalah menjadi pikiran rakyat. Rakyat yang bingung kepada Presiden yang selalu memikirkan kodok dan kecebong di kolam Istana. Kecebong yang pernah dimangsa biawak dan esok akan dimakan buaya. Setelah makan maka keluarlah air mata buaya itu. Cerita tangisan dalam sambutan peletakan batu pertama Pembangunan Perlindungan Kawasan Suci Pura Besakih di Bali itu viral di media. Memang aneh jika Puteri Proklamator Soekarno yang gagah dan biasa galak harus sedemikian cengeng dan terkesan pasang badan untuk petugas partainya yang kurus dan menurutnya sering dihina sebagai kodok tersebut. Politik adalah bidang yang kaya dengan segala kemungkinan. Aristoteles menyebut manusia adalah “zoon politicon” hewan yang berpolitik. Karenanya tak aneh jika kekuasaan dapat mengubah manusia untuk berperilaku seperti hewan apakah macan yang menakutkan, kancil yang menipu, bunglon yang bermimikri, kodok yang melompat, atau buaya yang berpura-pura mengeluarkan air mata. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan .
Belajar Logika Terbalik dari Ngabalin
Oleh Ady Amar JABATANNYA sebagai tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), dimana Pak Moeldoko sebagai Kepala KSP nya. Namanya Ali Mochtar Ngabalin. Selalu menyerang balik siapa saja yang mengkritik sang Bos, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kadang serangan baliknya lebih dahsyat dari kritikan pengamat atau mereka yang tidak sependapat dengan kebijakan penguasa. Tidak jelas benar apakah Ngabalin itu memang jubir resmi istana, tapi setidaknya orang mengenalnya sebagai jubir yang muncul jika Presiden Jokowi menurutnya dalam "bahaya". Dan ia muncul seolah petugas pemadam kebakaran. Tampaknya ia menikmati benar perannya. Ngabalin lalu menjadi langganan televisi berita, khususnya dalam tema dialog. Sepertinya senang mengundangnya, karena dialog akan seru jika ia tampil. Ngabalin memang selalu tampil all out. Menjadi hal biasa jika ia bicara tidak mau berhenti, tidak memberi kesempatan lawan dialognya untuk memberi penjelasan. Ngabalin terus memotong pembicaraan, ia tampil memonopoli pembicaraan. Moderator tampak sulit mencegah-menghentikan kebiasaan Ngabalin menyalak pembicaraan lawan debatnya. Dengan ciri khasnya mata melotot-lotot dan acap telunjuknya yang diarahkan pada lawan debatnya, menjadi kebiasaannya, sepertinya sudah jadi trade mark nya. Intonasi bicaranya keras meninggi, seperti tampak mau berantem. Tampilan Ngabalin memang menyebalkan buat yang tidak suka perdebatan model tidak biasa itu. Tapi bagi yang suka, menganggapnya itu entertaint yang malah buat ketawa. Menganggapnya seru, dan bisa menampakkan sisi lain dari seseorang yang membela sang Boss dengan lagak berlebihan. Televisi berita asyik menghadirkan dialog model demikian. Rasanya tidak bosan-bosan mengundang Ngabalin sebagai narsum, seperti wakil istana tidak ada yang lain selainnya. Mengundangnya itu tentu punya alasan tersendiri, dan itu pastinya menguntungkan. Konon acara dialog jika mengundang Ngabalin, lumayan tinggi ratingnya. Itu setidaknya alasan televisi mengundangnya, semata karena menguntungkan. Faktor menguntungkan itu yang menjadikan media televisi abai melihat aspek lainnya yang tidak kalah penting, informasi edukatif. Tampaknya aspek keuntungan selalu menang dan jadi pertimbangan utama. Bagi kalangan belum "cukup umur" sebaiknya hindari menyaksikan dialog model menyalak ala Ngabalin. Dialog dengan tidak memberi kesempatan lawan bicara dalam berargumen, itu bukan budaya baik. Tidak patut dicontoh, bisa jadi akan mengganggu perkembangan mental anak yang baru akan menginjak dewasa. Takutnya anak-anak tadi menganggap, bahwa dialog menang-menangan dengan tidak menghargai lawan bicara itu hal lumrah. Pernyataan Kontroversial Andalannya Ali Mochtar Ngabalin, jika ia aktor sinetron/film, mungkin peran antagonis menjadi peran yang pas untuknya. Ia mampu memerankan peran yang menyebabkan orang lain terkaget-kaget dan "mual". Dan itu lewat pernyataannya. Ia acap memakai diksi dan narasi yang umum tidak biasa lakukan. Misal, menjuluki Pak Busro Muqodas, dengan otak sungsang. Sebelumnya, Pak Amien Rais disebutnya, mulut Amien Rais tak sematang usianya, artinya seseorang yang sudah lamban berpikirnya. Ia tidak segan mengatakan narasi menyerangnya, itu pada tokoh-tokoh senior dan "lurus" dikarenakan kritiknya pada sang Bos. Saat ramai muncul komen berkenaan mural seseorang yang mirip Presiden Jokowi, yang matanya ditutup tulisan 404: Not Found, di Batuceper, Tangerang. Maka, seperti biasanya, Ngabalin menyerang mereka yang menganggap mural bagian dari ekspresi yang tidak patut dibungkam, itu dengan manusia "kelas kambing". "Hanya warga negara kelas kambing yang tidak punya peradaban, menghina kepala negara #JokowiAdalahKita," komennya. Bahkan tidak cukup sampai disitu saja, tapi ia perlu tambahkan bahwa manusia "kelas kambing" itu dengan sebutan kelompok kadal kadrun. Dengan menyebut demikian, seolah mau menegaskan, bahwa ia sebenarnya ada di kubu cebong. Tampaknya Ngabalin akan terus gunakan diksi dan narasi tidak biasa, dan ia memang menikmatinya. Kita seolah diminta untuk memaklumi, bahwa ia sedang bekerja, sedang menjalankan tugasnya sebagai "penjaga" sang Bos. Maka apa saja ia akan lakukan. Itu pilihan yang pastilah sudah dihitung cermat seorang Ngabalin. Tentu peran yang dimainkannya, pastilah peran yang dapat restu penuh istana. Jika istana jengah dengan sikapnya, pastilah diksi dan narasi yang dipakai Ngabalin tidak demikian. Atau setidaknya sikapnya terkoreksi menjadi lebih lembut. Maka, memang cuma istana yang mampu melembut dan kasarkan sikapnya. Menarik ungkapan pegiat dakwah, yang hampir tidak pernah berkomentar masalah politik, lalu lewat Twitternya, ia harus berkomentar. Ia adalah Ustadz Salim A. Fillah. Meski tidak menyebut nama Ali Mochtar Ngabalin, ia hanya menulis satu paragraf singkat, "Kambing tidak menjilat dan tidak menggonggong". Lalu netizen ramai-ramai menimpali, dan salah satunya, "Yang kebiasaan menjilat dan menggonggong... binatang itu namanya anjing (asu, kirik)". Logika kita mesti terbalik, setidaknya diajak Ngabalin untuk terbalik, bahwa binatang anjing derajat atau kelasnya lebih tinggi ketimbang kambing. Memangnya situ pernah makan daging anjing, ya?! (*) *) Kolumnis
Tuntaskan Dugaan KKN Samin Tan Pada Kontrak HSD Dengan Pertamina Patra Niaga!
Oleh Marwan Batubara PADA 5 April 2021 KPK berhasil menangkap Samin Tan di sebuah café Jl. MH Thamrin, Jakarta setelah menjadi buron yang masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak Mei 2020. Samin Tan adalah tersangka kasus dugaan suap pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian ESDM. Dalam kasus ini, Samin diduga menyuap Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebesar Rp 5 milar. Uang tersebut diduga terkait upaya Samin Tan memperoleh izin perpanjangan kontrak PKP2B bagi AKT. Padahal kontrak sudah berakhir Oktober 2017 sesuai SK Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017. Samin disangka melanggar Pasal 5 atau Pasal 13 UU No.31/1999 yang dirubah menjadi UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Pada 16 Agustus 2021 Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memvonis Samin Tan hukuman pidana penjara 3 tahun potong masa tahanan, dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa penuntut mengatakan dengan telah beralihnya penguasaan uang Rp 5 miliar dari Terdakwa kepada Eni Maulani Saragih melalui Tahta Maharaya, maka unsur memberi atau menjanjikan sesuatu terbukti menurut hukum, sehingga jatuhlah vonis tersebut. Kita tidak yakin apakah Samin akhirnya masuk penjara meski vonis sudah ditetapkan. Kekhawatiran ini berpangkal dari dugaan bahwa jaringan Samin Tan sangat kuat dalam oligarki kekuasaan dan juga statusnya sebagai The Crazy Rich di Indonesia (ke-40 terkaya Indonesia 2011). Hal ini terbukti dalam banyak kasus korupsi yang melibatkan para crazy riches. Samin Tan bisa lolos jerat hukum dan tak kunjung membayar kewajiban dalam kasus KKN berikut. Kasus Samin Tan Memanipulasi Uang Negara Rp 451,66 Miliar Samin Tan terlibat memanipulasi uang negara bernilai Rp451,66 miliar. Perusahaan milik Samin Tan, PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), anak usaha PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BLEM) berkontrak jual beli BBM jenis solar atau high speed diesel (HSD dengan PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina pada Februari 2009. Setelah kontrak pertama tersebut, terjadi 2 kali perubahan kontrak (yakni pada 2/2010 dan 6/2011) menyangkut perubahan periode pasokan, volume HSD dan nilai discount. Ternyata AKT tidak membayar tagihan sesuai jadwal. Periode 2009-2016, tunggakan AKT mencapai US$ 39,56 juta ditambah Rp 21,34 miliar. Karena itu pada Juli 2012 Patra Niaga menghentikan suplai HSD. Sejak 2012 hingga 2014 Patra Niaga terus melakukan penagihan dan negosiasi utang dengan AKT. Pada akhir 2014, dari total utang US$ 39,56 juta dan Rp 21,34 miliar, dana yang berhasil ditagih Patra Niaga hanya US$ 3,94 juta! Pada 2016, AKT mengajukan voluntary PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ke Pengadilan Niaga. Pengadilan mensahkan Putusan Homoligasi 4 April 2016. Jumlah tagihan Patra Niaga yang diakui AKT sebagai utang adalah Rp 451,66 miliar (kurs Rp 13.890 per US$). Dalam putusan, tampaknya Pengadilan Niaga sengaja tidak memuat ketentuan batas waktu dan sanksi hukum jika utang gagal dilunasi. Ternyata sejak Putusan Pengadilan Niaga 2016 hingga saat ini, AKT tidak pernah mencicil utang. Apalagi melunasi. Jelas terlihat bahwa Sang Crazy Rich Samin Tan tidak mempunyai niat baik melunasi utang. Ternyata Pengajuan voluntary PKPU yang dilakukan Samin Tan pada 2016 merupakan rekayasa licik sekaligus manipulatif agar bebas dari utang. Jangan-jangan Pengadilan Niaga yang membuat putusan tanpa batas waktu dan sanksi pun sudah ikut “terpengaruh” oleh Samin Tan dan kawan-kawan, oknum oligarkis. Kasus ini menyangkut uang negara bernilai Rp451,66 miliar. Samin Tan telah membawa kasus utang-piutang ke Pengadilan Niaga. Namun setelah 5 tahun Pengadilan Niaga membuat keputusan, Samin Tan tidak kunjung mengeksekusi keputusan dan membayar utang. Artinya Samin Tan memang sengaja menggunakan modus memanfaatkan Pengadilan Niaga sebagai cara agar bebas dari kewajiban membayar utang. Modus licik Samin Tan ini jelas jelas merupakan rekayasa manipulatif yang harus segera diproses menurut hukum pidana! KPK Jangan Tebang Pilih Samin Tan telah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 250 juta untuk kasus izin tambang PKP2B PT AKT, yang melibatkan uang suap Rp 5 miliar. Kasus perizinan ini belum merugikan keuangan negara. Dalam kasus jual-beli solar AKT dengan Patra Negara, Samin telah memanipulasi uang negara Rp 451,66 miliar. Maka sangat jelas bahwa kasus ini jauh lebih penting dan sangat mendesak untuk dituntaskan dan diproses secara hukum oleh KPK. Saat mengusut kasus suap izin tambang AKT, KPK sampai harus memasukkan Samin Tan sebagai DPO dan menjadikannya sebagai buron sekitar 1 tahun. Untuk kasus manipulasi uang negara, Pertamina Patra Niaga, Rp 451,66 miliar, berlipat-lipat dibanding kasus suap izin Rp 5 miliar, KPK tidak perlu susah payah memburu pelaku, karena Sang Crazy Rich berada dalam tahanan KPK. Asal ada niat baik, concern atas kerugian negara hampir setengah triliun Rp, maka KPK tinggal dalami kasus dan lanjutkan dengan proses penyidikan. Karena itu, IRESS menuntut agar KPK segera mengadili Samin Tan, terutama karena tidak kunjung dan tidak berniat baik melunasi kewajiban, terlibat KKN merekayasa kasus pengadilan (niaga), dan berpotensi merugikan negara Rp 455,66 miliar. Jangan sampai kasus yang sudah terang benderang ini tidak dipilih untuk “ditebang” oleh KPK, karena mungkin Samin Tan dibackup oleh oknum-oknum yang berada dalam jaringan oligarki penguasa-pengusaha. Kita ingatkan agar KPK tidak tunduk pada tekanan oknum-oknum oligarki kekuasaan. Pertamina & Patra Niaga Jangan Membiarkan Kerugian Negara Patra Niaga merupakan anak usaha Pertamina dengan kepemilikan saham penuh, sama seperti negara memiliki saham di Pertamina, yakni 100%. Artinya kalau Pertamina 100% milik negara, maka Patra Niaga juga 100% milik negara. Terserah apakah status Patra Niaga menurut UU BUMN No.19/2003 hanyalah perusahaan swasta, dan bukan BUMN, namun pemiliknya tetap 100% negara. Karena itu, maka kewajiban negara dan setiap warga negara (rakyat) untuk melindungi dan mengamankan Patra Niaga dari berbagai potensi kerugian. Karena menyangkut aset negara, IRESS dan rakyat memiliki legal standing menuntut penuntasan kasus Samin Tan ini. Namun, yang relevan dan paling bertanggungjawab untuk menuntut penyelesaian kasus adalah manajemen Patra Niaga dan Pertamina. Sejauh ini publik tidak melihat upaya intensif Patra Niaga dan Pertamina mengembalikan uang negara Rp 451,66 miliar tersebut. Jika tetap pasif, dapat dianggap terjadi pembiaran potensi kerugian negara, atau malah terlibat dugaan KKN, maka manajemen BUMN dan anak usaha tersebut pantas untuk pula diproses secara hukum.[] *) Direktur Eksekutif IRESS
Desa Mengepung Kota, Kota Mengepung Ibukota
Oleh Sugengwaras Meskipun aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, sebagai WNI, aku berhak mengingatkan pemerintah,i terutama BIN (Badan Inteljen Negara , barangkali kita beda pendapat, tapi anggap sebagai pengayaan pandangan untuk sumbang pikir dalam mencintai dan menyelamatkan negeri ini. Tidak salah BIN tak pernah bersuara, tapi aku menyesal ketika kalian ikut ramai- ramai bervaksin, lantas bagaimana dengan tugas pokokmu, karena yang saya rasakan di era Jokowi, lebih menonjol atas kebohongan, kegaduhan, dan terpecahnya bangsa. Salahkah penglihatanmu? Kurang dengarkah telingamu? Apa dan ke mana pikiranmu? Saya khawatir, semua tugas bisa kau laksanakan kecuali tugas pokokmu! Lihat dan camkan kota Tangerang di sebelah barat Jakarta, kota Bogor di sebelah selatan Jakarta dan kota Bekasi di sebelah timur Jakarta. Ketiga kota itulah kota kota penyangga Jakarta ibu kota negara kita. Di Tangerang, terutama di Pantai Indah Kapuk (PIK), dengan dihalau dan dilarangnya pembentangan Bendera Merah Putih sepanjang 21 meter di jembatan dengan alasan mencegah kerumunan (program PPKM), menarik perhatian saya PIK lebih layak anonim dari Perumahan Inti Komunis. Tata bahasa Indonesia yang benar adalah Pantai Kapuk Indah disingkat PKI. Di Bogor, begitu antusiasnya wali kota Bogor Bima Arya terhadap HRS, ada apa? Mengapa? Mungkinkah Bima Arya ada kedekatan dengan Cina? Kemudian Bogor akan dijadikan sarang pergerakan Cina? Di Bekasi, pada dekat perbatasan Jakarta - Bekasi begitu padatnya pembangunan menara-menara dan instalasi atau stasiun kereta cepat Jakarta - Bandung. Saya berprediksi menara/apartemen itu akan dijual dengan harga mahal yang tidak terjangkau oleh rakyat pribumi dan akan ditempati dan dikuasai Cina. Maka, lengkaplah barat, selatan dan timur Jakarta telah dikuasai dan dikepung Cina, sedangkan sebelah Utara Jakarta Tangerang terbentang lautan luas yang nyaman bagi Cina. Dalam operasi strategi militer, jika kita kembangkan lebih jauh, maka Konawe, Morowali, Sulawesi Barat, bisa dijadikan POSKOUT (Pos Komando Utama) Cina, karena jauh dari keramaian dan pengawasan. Pantai Indah Kapuk bisa dijadikan POSKOTIS (Pos Komando Taktis) karena dekat dengan target, pusat pemerintahan. Sedangkan kota Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai alternatif atau cadangan dalam rangka pergerakannya. Sebenarnya tidak ada yang hebat dari mereka, yang lebih hebat adalah para pengkhianat bangsa yang link up dan menjalin konspirasi dengan mereka. Meskipun hingga saat ini kinerja BIN belum dirasakan rakyat, namun saya yakin tidak ada orang-orang BIN yang menjalin konspirasi dengan Cina, karena bicara Cina tidak terlepas dengan infiltrasi, invasi, narkoba, perjudian, perdagangan manusia dan lain lain. Wajar rakyat berharap, BIN bekerja secara profesional, bukan sekadar asal rezim Jokowi senang, tapi untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara. Bolehkah warga negara bertanya, di mana-mana terpasang gambar dan foto kekompakan dan kebersamaan TNI POLRI tapi kenapa POLRI di bawah kendali langsung Presiden, sedangkan TNI hanya pada Menhan. Mengapa BIN tidak ada greget terhadap masuknya Cina ke Indonesia, yakinkah tidak ada yang ilegal cara masuknya? Dengan telah dilaporkannya oleh Jenderal Gatot Nurmantyo sewaktu menjabat Panglima TNI, terkait masuknya 5000 pucuk senjata, bagaimana tindak lanjut BIN? Jika benar di mana keberadaan 5000 pucuk senjata itu, dan bagaimana pertanggungjawabannya? Tolong, waspadai para pejabat dan wilayah kota-kota penyangga Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Konawe, Morowali Sulbar, agar lebih peka dan peduli terhadap ancaman nyata. Ini hanya pemikiran dan prediksi salah satu WNI, yang mungkin bisa salah, yang masih mencintai NKRI umumnya dan BIN khususnya. WASPADA...!!! Penulis Purnawirawan TNI AD
Tameng Budaya dan Luruskan Wajah
By M Rizal Fadillah KETIKA kita merdeka 17 Agustus 1945 lalu menetapkan Dasar dan Konstitusi Negara pada 18 Agustus 1945, maka itulah arah bangsa. Ke sana wajah bangsa kita harus menghadap. Melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia adalah tujuan yang harus selalu dijaga. Pandangan lurus tersebut dilakukan dalam semua bidang kehidupan baik ekonomi, budaya, hukum, maupun politik. Basisnya adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya Agama harus menjadi fondasi. Tak ada jaminan keberhasilan tanpa bergantung kepada ridlo dan kekuasaan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Orang beragama khususnya seorang Muslim harus memiliki pandangan yang lurus "Fa aqim wajhaka lid dieni haniifa"--hadapkan wajahmu dalam beragama dengan lurus (QS Ar Rum 30). Juga "Wa anna hadzaa shirootii mustaqiiima, fat tabi'uuhu"--dan sungguh inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah (QS Al An'am 153). Muslim berbangsa sudah sepatutnya berpandangan lurus sesuai dengan komitmen bersama yang sesuai atau sekurangnya tidak bertentangan dengan Agama. Berdasarkan keyakinan lurus agamanya tersebut maka ia harus berjuang untuk selalu meluruskan wajah bangsa. Konsepsi Ketuhanan yang berkebudayaan tidak boleh dihidupkan kembali apalagi dimaknai bahwa budaya itu mendominasi ketuhanan. Artinya adat menutupi agama. Konsepsi ini pernah diperjuangkan dahulu oleh Menteri Daud Yusuf, tokoh CSIS AMW Pranarka, dan "penentu" Orde Baru Ali Moertopo melalui konsep "Strategi Kebudayaan". Pranarka "Hegelian" mencanangkan "tesis" budaya mengantisipasi "anti tesis" agama. Sekularisasi berbasis kultur untuk mengisi nasionalisme. Ini model dari pembengkokkan arah bangsa. Meminggirkan agama sebagai basis dari persatuan bangsa. Agama tidak mempermasalahkan budaya dan adat istiadat. Diharapkan memperkuat. Akan tetapi jika budaya dijadikan tameng bagi pengeleminasian nilai-nilai agama atau lebih jauhnya persatuan bangsa, maka hal ini membangun iklim yang tidak sehat. Acara kenegaraan mesti jadi cermin yang diisi dan ditampilkan wajah persatuan Indonesia bukan sekedar kebhinekaan. Perlu disadari bahwa "bhineka" itu "tunggal Ika". Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan harus berada pada domain "ika" bukan semata "bhineka", menyatukan bukan mengurai. Tampilan Jokowi, yang diikuti para pejabat, berbaju adat yang ingin mengangkat keragaman budaya itu bagus bagus saja, tetapi jika salah tempat maka menjadi kontra-produktif. Apalagi jika hal itu hanya sebagai pencitraan atau justru membangun kecemburuan budaya yang satu atas budaya lainnya. Mari luruskan kembali wajah bangsa. Budaya tak boleh jadi tameng untuk menutupi kelemahan. Kesederhanaan yang menjadi wajah palsu untuk memanipulasi korupsi, defisit, hutang luar negeri, dan gagal kepercayaan. 17 dan 18 Agustus telah lewat, bangsa harus mengingat pada spirit dan nilai 17 dan 18 Agustus 1945. Setelah kini jauh melenceng, maka kembalilah pada Pancasila dan UUD 1945 itu. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PIK, Perumahan Inti Komunis
Oleh Sugengwaras MEMANG sederet perumahan di Pantai Indah Kapuk (PIK) telah dihuni oleh keturunan asing, aseng, Cina, karena sengaja dibuat harga yang tidak akan terjangkau untuk dibeli orang pribumi kebanyakan. Untuk ini kita boleh menduga, perumahan itu dijadikan basis pergerakan komunis Cina, karena memang tempat dan sistem keamanannya sangat strategis yang bisa menghubungkan dengan pusat pemerintahan, pelabuhan laut, bandara dan jalur-jalur tranportasi darat, laut dan udara, yang sangat fleksibel dan aman. Sesungguhnya kita tidak bisa menggeneralisir bahwa orang orang Cina yang berada dan tinggal di Indonesia menjadi biangkerok dan penghambat kemajuan bangsa Indonesia. Bahkan bisa terbalik, bahwa kita boleh meniru keuletan, ketangguhan, dan kecerdasan dalam memperjuangkan kelangsungan hidup. Sementara ditinjau dari proses kelahiran, keberadaan dan niatnya, bangsa dan keturunan Cina di Indonesia bisa digolongkan, lama, sedang dan baru. Adapun profesinya, murni menjalankan kelangsungan hidup terutama dengan cara berdagang, menempuh keahlian / profesi bebagai bidang, namun ada memang yang menjalankan tugas negaranya. Yang ketiga inilah yang patut kita waspadai, karena mereka bisa berbuat meluluhlantakkan NKRI ini. Dari pengalaman era Pak Harto, yang pernah membesarkan dan memanjakan pengusaha Cina, di luar dugaan mereka dengan terang-terangan membalas air susu dibalas dengan air toba. Artinya Pak Harto yang berharap mereka bisa menjalin kerja sama dengan pengusaha pengusaha hitam Indonesia, ternyata berbalik 180 °, yang menolak mentah mentah permintaan Pak Harto agar mereka menyisihkan 1 - 2,5 % dari keuntungan bersihnya untuk mensubsidi pengusaha pribumi. Bangsaku adalah bangsaku, bangsamu adalah bangsamu. inilah tepatnya adagium dibenak mereka. Nasi sudah menjadi bubur Dengan kelihaian mereka, sampai sampai tidak sadar bahwa para pejabat kita sejak pangkat/jabatan terendah sampai tertinggi telah dibina dan ditemani dengan sebaik baiknya dan serapi rapinya. Dan inilah kelemahan mendasar bangsa kita, yang selanjutnya para pejabat itu berpotensi menjadii pelopor pengkianat bangsa. Jadi tidak usah heran, jika seorang pejabat akan pindah mutasi atau promosi jabatan, para Cina ini lebih dahulu tahu dibanding anak buah sang pejabat itu sendiri. Jadi juga tidak usah gumun, dan tak perlu kaget, kenapa para kerucuk TNI POLRI yang didepan / lapangan lebih ganas dan sangar menghadapi lawannya di lapangan, karena mereka melaksanakan perintah tuan pejabat yang beresiko tinggi. Oleh karenanya, kejadian penghalauan atau larangan terhadap rencana pembentangan bendera Merah Putih di Jembatan PIK sepanjang 21 meter dengan alasan pembenaran / PPKM, adalah peristiwa yang bisa terjadi, yang menaikkan citra pejabat di mata sipit, sekaligus menambah keakraban dan kesejahteraanya. Sebagai mantan Prajurit, dada saya terasa mendidih melihat kejadian ini, begitu mudahnya, begitu hinanya bangsa dan simbol negara ini dipermainkan oleh konspirasi (kerjasama kejahatan negara) Saya boleh menuduh, inilah hasil konyol era rezim Jokowi, yang telah mendidik dan membawa bangsanya bak "Ayam Sayur." Bangsaku menjadi apatis, parno, acuh, masa bodoh melihat penyimpangan dan perselingkuhan negara yang terjadi. Nyali jadi kecut ketika melihat para tokohnya terus terus dibuly, ditangkap, ditahan, dianiaya dan dipenjara Padahal ini semua strategi untuk mencapai tujuan, melemahkan, memporak porandakan dan menghancurkan segala aspek kehidupan bangsa Indonesia. Saya berharap....bangsaku bangun, bangkit dan bangkit kembali, dengan cara cara yang elegan, yang berani dan bertanggung jawab, untuk menyelamatkan NKRI. Yakinlah, TNI POLRI tahu mana yang salah dan benar, mana yang tepat dan tidak tepat untuk kepentingan negara Kalau toh melihat sementara ini para pimpinan mereka bertindak lain, pahamilah seorang prajurit/ bhayangkara harus tunduk dan patuh pada perintah atasan/pimpinan, namun mereka bisa melawan atau tidak patuh dan tidak tunduk, manakala perintah itu merugikan dan membahayakan terhadap agama, bangsa dan negara. Dengan kata lain, para pimpinan stake holder janganlah bermimpi, bahwa perintah anda akan selamanya dikuti dan dilaksanakan oleh anak buah anda Wait and see....! Penulis Purnawirawan TNI AD.
Umat Memberi Umat Dikhianati
By M Rizal Fadillah PADA18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Alotnya perumusan Pancasila sejak 29 Mei 1945 akhirnya berhasil dituntaskan pada tanggal 18 Agustus 1945 ini. Fase terberat adalah mengubah rumusan Pancasila yang ditetapkan Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945 menjadi rumusan Pancasila sebagaimana saat ini. Fokus perdebatan pada sila pertama. Dengan sebutan populer pencoretan tujuh kata "kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka selesailah rumusan Pancasila. Tak bisa dipungkiri kesepakatan ini adalah pemberian umat Islam. Menteri Agama dahulu Alamsyah Ratu Perwiranegara menyebut Pancasila sebagai hadiah umat Islam. Adalah kubu Islam baik di BPUPKI maupun PPKI berjuang keras untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara (BPUPKI) yang akhirnya memberi atau menghadiahkan rumusan akhir berupa Pancasila Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Kesepakatan ini diotak atik kembali bahkan dengan "teror" Indonesia Timur segala, akhirnya kubu perjuangan umat Islam pada sidang PPKI menyetujui rumusan Pancasila minus tujuh kata pada sila pertama tersebut. Inilah pemberian penting untuk kedua kalinya. Sayangnya pemberian umat Islam ini kemudian dikhianati dengan sekurangnya dua peristiwa besar. Pertama, eskalasi kekuatan PKI yang masuk ke ruang istana, sehingga Presiden memanjakan PKI dan melumpuhkan kekuatan Islam melalui Nasakom, pembubaran Masyumi, hingga penangkapan tokoh Islam seperti Buya Hamka dan lainnya. Kudeta gagal 1965 adalah puncak pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila. Kedua, di masa rezim Jokowi saat agenda RUU Haluan Ideologi Pancasila di DPR RI. Sebagaimana DN Aidit yang berlindung pada Pancasila, maka RUU HIP pun seolah melakukan pembelaan pada Pancasila. Faktanya justru merongrong Pancasila. Pancasila rumusan 1 Juni 1945 disosialisasikan dan diperjuangkan untuk menjadi jiwa dan makna Pancasila. Untunglah kekuatan umat Islam telah berhasil melawan pengkhianatan ini. Rezim Jokowi tidak bersahabat dengan umat, tokoh tokoh perjuangan umat Islam pun ditangkap dan diadili dengan berbagai alasan dan kasus. Penampilan kenegaraan yang berkostum adat seolah mengangkat adat tetapi dinilai sebagai kamuflase untuk menutupi kedekatan dengan asing dan menyingkirkan kekuatan agama. Teori Snouck Hurgronye nampaknya dijalankan yakni membunuh nasionalisme menumbuhkan etnosentrisme. Memperalat Adat. Gejala politik yang terjadi jelas tidak sehat. Peran umat Islam dalam memerdekakan negara ini sangat besar. Demikian juga dengan memberi kontribusi bagi perumusan dasar negara dan mengisinya. Siapapun yang memimpin negara ini harus belajar sejarah dan tidak boleh melupakan apalagi mengkhianati peristiwa bersejarah. 18 Agustus 1945 adalah hari lahirnya Pancasila dan UUD 1945. Pemberian umat Islam bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Jangan mencoba untuk mengkhianati. Umat Islam akan melawan kembali. *) Penulis Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Negara Harus Bebaskan Korban Rasisme Viktor Yeimo
by Marthen Goo Jayapura FNN - Dengan menangkap korban rasialisme dan kemudian mencari delik untuk memaksakan korban tetap ditangkap tersebut hanya sebagai upaya meredam dan membelokan kasus rasisme seakan kasus kriminal, tentu secara subtansial juga adalah kejahatan rasisme. Yang semakin berbahaya adalah ketika kejahatan rasisme dipakai melalui alat paksa yakni hukum untuk memukul mundur korban rasisme mencari kebenaran dan keadilan. Natalius Pigai, Tokoh Nasional asal Papua, men-tweet, “otak-otak penggerak demo anti rasisme Jawa sudah diadili di pengadilan. Viktor Yeimo hanya orasi saat demo. Sedari awal aparat telah mempertontonkan pernyataan kebencian pada pribadi viktor. Para pembela HAM nasional & internasional sedang pantau”. Tentu akan sangat berbahaya jika penegakan hukum lebih pada menyasar individu orang karena rasa tidak suka atau karena kebencian. Mestinya aspek hukum harus menjadi dasar, karena hukum selalu bebas dari kepentingan dan kebencian apapun. Hukum selalu soal keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Korban rasisme harus diberikan ruang untuk mencari keadilan, bukan dicari-cari delik untuk dikriminalisasi (tontonan buruk). Tidak boleh juga memiliki niat, tahan dulu, soal nanti cari keadilan biar pengadilan yang putuskan. Itu sudah ada Menstrea. Cara pandang begitu adalah cara pandang yang buruk, karena hukum itu harus jelas, terukur dan professional. Apalagi korban selama dalam tahanan hak-haknya tidak dipenuhi. Membedah Secara Singkat Jika merujuk pada AntaraNews.Com, terbitan 9 Mei 2021, pasal-pasal yang dipakai untuk menangkap Viktor adalah pasal 106 Jo Pasal 87; Pasal 110 KUHP; pasal 14 ayat (1), (2) dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana; pasal 66 UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta lagu kebangsaan; pasal 160 KUHP; pasal 187 KUHP; pasal 365 KUHP; 170 KUHP ayat (1); pasal 2 UU Darurat No 12 Tahun 1951 Jo pasal 64 KUHP. Jika kita membedah pasal-pasal di atas yang dikenakan kepada VY, sangat tidak relevan. Ketidak relevannya adalah jika merujuk pada SuaraPapua.com terbitan 23 Mei 2021, VY hanya ikut dan turut melakukan aksi pada 19 Agustus 2019 di halaman kantor Gubernur Papua, dan tidak pernah terlibat dalam aksi lanjutan 29 Agustus 2019. Sementara yang disangkakan adalah 29 Agustus 2019. Atau, kita bisa mengambil salah satu contoh pasal dari sekian banyak pasal, yakni yang menyangkut pada pasal makar. Pasal makar seperti pada pasal yang dimaksud baik pada pasal 106 Jo pasal 87 ataupun pasal 110 secara subtansial memiliki batasan yang ketat bahwa makar itu harus bersifat melawan negara dengan kekerasan atau dengan kekuatan bersenjata. Sementara pasal 87 yang diarahkan pada pasal 53 soal percobaan, percobaan dalam pengertian makar harus dilihat apakah memiliki kekuatan senjata atau tidak. Faktanya tidak ada. Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”. Sehingga, subjek hukum yang dapat atau berpotensi melakukan perbuatan makar adalah subjek hukum yang memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap makar yang dikenakan sesungguhnya tidak tepat. Ini salah satu contoh pasal yang secara subtansial tidak sangat relevan dengan keberadaan VY sebagai massa aksi tapi juga sebagai orator saat itu, karena orasi tidak bisa disebutkan sebagai perbuatan makar. Berikut, pasal 14 dan 15 UU No. 1 Thn 1946, secara subtansial menjelaskan tentang menyiarkan berita atau menyampaikan berita bohong dan lainnya yang dapat menimbulkan keonaran, itu pasal yang sangat tidak relevan dikarenakan aksi lawan rasisme itu aksi semua orang Papua. ini menyangkut martabat manusia kulit hitam di dunia. Berita bohong harus dilihat adalah antara kenyataan dan yang disampaikan berbeda. Menurut Gustav Kawer, pengacara senior asal Papua, “VY disangka dengan tuduhan berlapis sekitar 12 Pasal yang ancaman hukumannya ada yang berkisar seumur hidup dan paling lama 20 Tahun, untuk peristiwa rasis 16 Agustus 2019 yang pelakunya hanya di vonis 7 bulan penjara dan pelaku lainnya bebas tanpa proses hukum dari negara”. Ko korban rasis disangkakan sampai begitu sementara pelakus rasis hanya divonis 7 bulan, bahkan yang lain bebas tanpa proses hukum? Gustav menambahkan, “VY di proses hukum di polisi memakan waktu yang cukup lama, 3 bulan lebih untuk sebuah kasus yang katanya oleh, "penyidik', yang bersangkutan buron untuk kasus 2019, jika Buron dan kasus lama seharus proses hukum kini sudah sampai di Pengadilan karena buktinya cukup”. Dua hal yang penting dikritisi adalah (1) buronan tapi proses hukum belum ke pengadilan dan (2) sekitar 12 pasal berlapis terkesan seakan dalam satu peristiwa terjadi banyak kasus pidana. Terhadap pasal-pasal yang dikenakan di atas, harus bisa dijelaskan pada publik relevansinya. Jika relevansinya tidak dijelaskan pada publik, sementara prosesnya sudah makan waktu lebih dari 3 bulan, sesungguhnya memberikan pertanyaan kritis, ada apa? Bukannya buronan seperti yang dimaksud itu didasari pada dua alat bukti ? kenapa proses begitu lama ? Publik butuh kejelasan. Profesionalisme harus ditunjukan. Dibebaskan Demi Hukum Hukum pidana bicara soal perbuatan individu orang, maka, VY tidak terlihat memiliki perbuatan melawan hukum, tidak memilik perbuatan pidana dalam mengekspresikan perlawanan rasisme. VY adalah korban rasisme. Bahkan dalam aksi yang dilakukan, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan. VY tidak melakukan kekerasan, tidak mengibarkan bendera dll, tidak melakukan penghasutan dan lainnya (aksi 19/8/2019). Artinya bahwa, dari tuduhan yang dibebankan pada VY tanpa ia melakukan hal-hal yang dituduhkan, tentu dalam perspektif hukum sangat berbahaya, penegak hukum diberikan kewenangan untuk professional dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jika merujuk pada kronologis kasus, menjadi pertanyaan serius soal relevansinya pada setiap pasal adalah (apa ?), apalagi banyak pasal yang bisa dikritisi. Secara subtansial, VY sudah membantu kepolisian dan negara untuk melawan rasisme. Mestinya VY diberikan penghargaan dan diberikan gelar sebagai pahlawan pelawan rasisme. Karena Pidana selalu bicara pada ruang “Tempus Delicti dan Locus Delicti” yaitu pada tanggal 19 Agustus 2019 dan VY tidak melakukan pidana, tapi melakukan kerja kepahlawanan dalam berantas rasisme, disaksikan oleh seluruh rakyat Papua. Atas prinsip kesamaan di depan hukum dan kepastian hukum dari perspektif pidana, maka, negara melalui kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung diharapkan untuk segera memerintahkan Kapolda Papua dan Kejati Papua untuk segera bebaskan Viktor Yeimo. Dan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh soal penegakan hukum di Papua. Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua
Spirit Bushido di Olympiade Jepang
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Olympiade Jepang 2020 (yang tertunda) yang penuh kontroversi, ancaman dan kecemasan berhasil dilaksanakan dengan baik. Dibuka 23 Juli dan ditutup 8 Agustus 2021 di Tokyo, Jepang. Tanpa ada kekacauan. Tanpa insiden ada yang fatal. Meskipun diganggu beberapa pengunjuk rasa, penutupan berjalan dengan lancar. Sukses ini membuktikan Perdana Menteri Yoshida Suga PM yang baru dilantik, berhasil mengonsolidasikan kekuatan lahir dan batin seluruh rakyatnya. Mereka, rakyat Jepang berhasil melewati kerikil tajam. Sukses menancapkan tekad, “Olympiade adalah kehormatan dan harga diri bangsa Jepang”. Apapun yang terjadi, harus terlaksana dengan segala konsekwensi. Meskipun ditentang dan didemo oleh masyarakat tertentu, yang ditengarai menyimpan aroma politik praktis, di Tokyo, namun Olympiade yang bergengsi itu tetap jalan terus. Bangsa Jepang begitu perkasa. Begitu tegar. Begitu kokoh merealisasi dengan tekad, “Olympiade harga mati”. Sahabat lama saya, seorang jurnalis Jepang puluhan tahun yang lalu pernah menyebutkan bahwa, adalah karena bangsa Jepang itu memiliki “warisan” kekuatan batin yang bernama “Bushido”. Akar budaya dan jatidiri bangsa Jepang tersebut adalah sebuah "tatacara ksatria". Sebuah kode etik tentang kesatriaan golongan Samurai dalam feodalisme Jepang. Bushido berasal dari nilai-nilai moral golongan Samurai. Menekankan pada kombinasi sikap utama, “kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati”. Asal usul Bushido, lahir dari Neo-Konfusianisme selama masa damai Shogun Tokugawa ((1603 – 1868), dan mengikuti teks Konfusianisme. Juga dipengaruhi oleh Shinto dan Buddhisme Zen, yang memungkinkan adanya kekerasan dari Samurai. Ditempa dengan kebijaksanaan dan ketenangan. Samurai sendiri adalah sebuah strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodalisme Jepang. Secara resmi, Bushido dikumandangkan dalam bentuk etika sejak zaman Shogun Tokugawa. Lalu terintegrasi ke dalam semangat modernis yang lahir bersamaan dengan Restorasi Meiji (1868). Biasanya para Samurai dan Shogun rela mempartaruhkan nyawa demi itu. Jika gagal, ia akan melakukan Seppuku (tradisi bunuh diri membelah perut dengan Samurai) atau dikenal dengan istilah Harakiri. Jalan kebudayaan Bushido sangat menonjol pada saat Perang Dunia II. Penopang terbentuknya jiwa prajurit berani mati. Diantara tujuh prinsip dasar Bushido yang menjadi pegangan kehormatan bangsa Jepang, salah satunya berbunyi begini, “Ketika prajurit mengatakan bahwa mereka akan melakukan sesuatu, maka mereka akan melakukannya. Tidak ada yang menghentikan mereka untuk menyelesaikan apa yang mereka katakan. Mereka tidak harus “berjanji”: Bagi mereka berbicara dan menyelesaikannya adalah tindakan yang sama”. Prinsip ini dikenal dengan sebutan Makoto atau Kehormatan. Sejarah mencatat Jepang mengalami kekalahan besar akibat terpaan bom atom sekutu pada Perang Dunai II tahun 1945. Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur dihajar pesawat Bomber 29 milik sekutu. Terjadi perang batin antara petinggi militer Jepang dan elite kekaisaran menghadapi paksaan sekutu menyerah tanpa sayarat sesuai bunyi “Deklarasi Postdam”. Petinggi milter dan elite kekaisaran Jepang terpecah menjadi dua kubu: “Yang setuju” dan “Yang menolak”. Menurut catatan sejarah, pada Juni 1945, Kaisar Hirohito (1901-1989) pada waktu itu yang berkuasa, sudah kehilangan kepercayaan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina dan pasukan yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang, setelah menerima laporan Pangeran Higashikuni. Menurut Kaisar, “Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang”. Hirohito adalah kaisar ke-124 yang berkuasa terlama sepanjang sejarah Jepang. Merupakan salah satu tokoh penting pada masa Perang Dunia II dan pembangunan kembali Jepang. Diantara “yang menolak” tersebutlah nama Laksamana Kantaro Suzuki (1867 - 1948)). Perdana Menteri Jepang ke 42. Menjabat dari tanggal 7 April 1945 sampai dengan 17 Agustus 1945. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (1925 - 1929). Dalam usaha mengatasi kerancuan persepsi publik, PM Suzuki yang menanggapi Deklarasi Postdam mengatakan kepada pers, “Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai yang penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir perang yang sukses”. Staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk diikuti selanjutnya dalam melaksanakan perang" yang menyatakan “rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah”. Reputasi Jepang yang hancur dalam Perang Dunia II akhir 1945, ternyata tidak mematikan semangat Bushido. Seiring perjalanan sejarah, Jepang mulai bangkit kembali ketika memutuskan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olympiade 1964. Twitter resmi Olympiade menerangkan, cincin Olympiade yang digunakan pada Olympiade 2020 berasal dari pohon yang ditanam dari biji yang dibawa atlet internasional saat Tokyo menjadi tuan rumah Olympiade pada 57 tahun silam. Di dunia perfilmanpun, Jepang menggegerkan sines-sineas kenamaaan dari Barat. Aroma magis Bushido memukau dalam karya-karya Akira Kurosawa sutradara Jepang yang kesohor sejagat. Film “The Seven Samurai” (1954), karya Kurosawa mengangkat epik yang magis, menginspirasi sutradara berkebangsaan Amerika, John Sturges (1910–1992) dengan membuat film yang sama yang populer tetapi lebih rendah kualitas berjudul “The Magnificent Seven” (1960). Dibintangi antara lain Yul Brynner, Eli Wallach, James Coburn, Steve McQueen dan Charles Bronson. Sebelumnya film “Rashomon” (1950) besutan Kurosawa telah lebih dulu membuat sineas film dari Barat tidak dapat menyembunyikan rasa kagum pada saat berlangsungnya Festival Venesia tahun 1951. Temanya tentang teki teki kasus pembunuhan yang dijelaskan oleh empat saksi dengan versi yang berbeda – beda. Demikian pula film “Throne Of Blood” (Tahta Berdarah) yang dibuat Kurosawa di tahun 1957. Mendapat tanggapan serius dari banyak pengamat film dunia. Terutama karena temanya adalah adaptasi naskah drama Macbeth karya sastrawan Inggeris kelas dunia William Shakespeare. Ketiga film masterpiece Kurosawa itu bintang utamanya kesemuanya dipercayakan kepada aktor berkarakter khas Jepang, Toshiro Mifune. Dan Kurosawa sendiri telah membuat kurang lebih 31 film. Kesemuanya, adalah dia sendiri yang menulis cerita, menyutradarai dan sekaligus juga adalah produsernya. Ketika mengikuti Festival Film Asia Pacifik (1985) di Tokyo, saya termasuk rombongan delegasi film dari Indonesia wakil kelompok kritikus film dari unsur PWI. Sempat berbincang-bincang dan foto bersama Akira Kurosawa tokoh besar dunia perfilman yang low profile. Sementara, ketika itu aktor El Manik mendapat penghargaan gelar Best Supporting Actor lewat film “Jejak Pengantin” karya Sutradara MT Risyaf, produksi 1983. Lantas, bagaimana dengan upacara penutupan pesta olah raga Olympiade Tokyo 2020? Seluruh lampu stadion dimatikan, tersisa hanya pada cahaya telepon genggam atlet di tengah lapangan. Bergerak berbentuk tiga dimensi dan bergelombang hingga akhirnya menjadi lambang “lima cincin” logo khas Olympiade. Atlet dibebaskan membaur dan memilih tempat di lapangan. Menegaskan motto “Unity in Diversity”. Acara penutupan selesai tanpa kehilangan kemeriahan. Khusyuk. Olympic Stadium, Tokyo, pusat acara malam itu semarak tanpa penonton. Kemeriahan lampu-lampu handphone yang super gemerlap mengesankan para kontingen hingga volunteers seakan-akan memenuhi seisi stadion. Bagaikan, dibalik itu diam-diam tapi pasti, sukma Bushido memberinya perkuatan. Mengiring doa kolektif rakyat Jepang yang mempertaruhkan harga dirinya ketika memutuskan: Olympiade jalan terus. Penutupan Olympiade Tokyo 2020 ditandai sebuah pertunjukan drama musikal dari beberapa anak dan seorang ibu. Sebanyak 205 negara peserta mengelilingi panggung tengah. Dipimpin oleh bendera Jepang selaku tuan rumah dan Yunani selaku negara pendiri Olympiade. Perhelatan akbar berkelas dunia yang bernama Olympiade telah berakhir di tengah lika liku hambatan akibat serangan Pandemi Covid 19 yang menerpa seluruh bangsa di dunia. Jepang mampu menjawab kecemasan dan keraguan dunia akan terlaksananya gawe olah raga multibangsa itu. Di tengah prahara korona yang berkecamuk di multinegara. Saya tercenung di depan televisi. Terpukau dalam pesona menyaksikan acara penutupan. Ternyata seberat apapun tantangan, akan dapat diatasi. Ketika tekad bulat diiiringi kerja keras menyatu padu dalam tekad sebuah bangsa. Jepang membuktikan. Berlandaskan konsitensi atas komitmen pada prinsip Bushido, Jepang mampu menjinakkan kelemahan sebesar apapun. Sanggup menembus kesulitan sesuram apapun. Isi WhatsApp teman lama saya kembali mucul dengan pesan pendek, “Kebahagiaan tidak terdapat pada tujuan, tapi pada langkah-langkah menuju tujuan”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Mosial Budaya.