OPINI
Pertarungan Kejagung Versus KPK?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Tentu aneh jika dua lembaga penegak hukum ditempatkan pada posisi saling bertarung. Akan tetapi jika kekuasaan politik ikut menentukan penegakan hukum, maka bukan mustahil antar lembaga penegak hukum tersebut pun dapat saling berkompetisi bahkan berkonfrontasi. Kepentingan politik yang tampil memperalat hukum. Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memiliki ruang lingkup penyelidikan luas, termasuk kasus korupsi. Sementara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) khusus untuk mengusut kasus-kasus korupsi. Batas pilihan penanganan oleh Kejaksaan maupun KPK ternyata tipis-tipis saja. Korupsi dengan nilai di bawah satu miliar memang ditangani Polisi dan Kejaksaan. Sementara KPK tugasnya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap penangan korupsi yang dilakukan Polisi dan Kejaksaan. Perpres Nomor 102 tahun 2020 memberi kewenangan kepada KPK mengambil alih penanganan korupsi untuk keadaan tertentu. Jadi, dalam kondisi PKP berwewenang untuk mengambi alih tugas-tugas Kejaksaan dan Polisi, khususnya kasus-kasus korupsi. Kejaksaan juga dapat menangani kasus korupsi yang di atas satu milyar rupiah. Kini saja Kejagung menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan angka kerugian negara Rp 16,81 triliun. Sementara kasus PT Asabri mencapai Rp 23,73 triliun. Kejagung pun didorong untuk mengusut dana BPJS Ketenagakerjaan yang ditaksir senilai Rp 43 trilyun. Kenapa tidak KPK ya? Ada apa dengan KPK? KPK melalui Dewan Pengawas adalah "tangan Presiden" sementara Kejaksaan dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah "milik PDIP". Sebelumnya Jaksa Agung itu kepanjangan tangan Partai Nasdem. Disinilah akar pertarungan bermula. Ada nuansa politik meski samar. Begitu keras perebutan antara Nasdem dengan PDIP soal Jaksa Agung saat penyusunan kabinet dahulu. Nasdem ngotot mempertahankan posisi Jaksa Agung untuk kadernya HM. Prasetyo. Namun PDIP tidak mundur setengah incipun untuk menguasai posisi Jaksa Agung. Nasdem sedikit mengalah, dengan opsi tetap di posisi Jaksa Agung untuk kurun waktu satu sampai dua tahun. Tetapi PDIP tetap ngotot untuk ambil Jaksa Agung, sehingga jadilah ST Burhanuddin, adik dari TB Hasanudin. Kasus Jiwasraya sangat menohok Istana. Demikian juga dengan Asabri. Karenanya Istana melalui KPK "membalas" dengan mengusut kader PDIP Harun Masiku dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sebenarnya sudah merembet ke petinggi PDIP yang lain. Hanya saja dengan hilangnya Harun Masiku, membuat terhenti rembetan tersebut. Misteri besar dari muncul dari kasus ini Harun Masiku tersebut. Istana menyerang terus PDIP melalui kasus bantuan Sosial (Bansos) yang membawa penangkapan dan proses hukum Mensos Juliari Peter Batubara, kader PDIP. Selain Juliari Batubara, sejumlah kader dan petinggi PDIP yang lain kemungkinan besar bakalan terseret kasus korupsi Bansos tersebut. Melalui kesaksian dalam pemeriksaan kasus korupsi Bansos disebut, keterlibatan lingkungan Istana "Anak Pak Lurah" lalu sodokan lagi menuju "Madam" dari PDIP. Proses hukum masih berjalan, hanya belum terkuak rinci sampai kepada "Anak Pak Lurah" maupun "Madam". Publik menduga bargaining politik bisa saja terjadi. Konsekuensi jika penegakan hukum berada di bawah bayang-bayang politik. Jika akur, tentu Kejaksaan dalam proses pengusutan Jiwasraya, Asabri, maupun BPJS Ketenagakerjaan semestinya melibatkan KPK. Namun dalam prakteknya, Kejaksaan berjalan sendiri. Karenanya wajar timbul kecurigaan tersebut. Dalam kasus mega korupsi ketiga institusi di atas, mudah dipastikan akan keterlibatan kekuasaan. Tetapi dalam menarik keterlibatan lingkungan istana sangat minim. Disini terkesan ada "tarik ulur" dan "tekan menekan". Bangsa dan rakyat Indonesia berharap KPK dan Kejaksaan bisa melepaskan kepentingan politik yang mendasari kerja keduanya. Bahkan satu dengan lain seharusnya dapat bekerjasama. Jika berlomba pun dalam rangka berprestasi untuk membongkar dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Bukan menjadi alat untuk "bargaining politik". Rakyat bertanya-tanya, sampai kapan Kejagung akan bertarung dengan KPK? Sebab justru yang dirugikan adalah rakyat. Uangnya telah dirampok habis oleh para penjahat besar dari kalangan penguasa dan penguasa. Koruptor, terminator, dan predator. Pepatah menyatakan gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengahnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi Lengser Sebelum 2024, “Bangsa Selamat”
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pengukuhan politik dinasti, dengan dugaan kuat kalau Gibran dicanangkan untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Ini rute perjalanan sebagaimana yang dilalui sang ayah dahulu Joko Widodo dulu. Kenyataan ini telah mengakibatkan pemaksaan dengan tekanan sana-sini kepada partai politik agar Pilkada serentak dilaksanakan tahun 2024. Mayoritas partai politik juga diperkirakan sudah terbeli secara politik untuk menyetujui penggagalan revisi UU Pemilu. Padalal semula hampir semua partai politik di DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hanya PDIP yang memberikan catatatan semacam penolakan. Namun belakangan setelah operasi Jokowi, partai politik koalisi penguasa balik badan. Yang paling ditakuti Gibran dan juga kandidat lain untuk Pilgub DKI adalah Anies Baswedan. Karenanya mutlak harus tidak ikut sebagai kontestan. Jika Pilgub dilaksanakan tahun 2022, sesuai rencana awal revisi, maka dipastikan Anies akan bertarung dalam Pilgub 2022 dan diprediksi menang dengan mudah. Gibran kehilangan harapan dan cita-cita. Dengan upaya Jokowi untuk mengatur pelaksanaan Pilgub pada tahun 2024, dipastikan Anies hanya akan bertarung untuk Pilpres saja. Sementara lawan Gibran di Pilgub DKI relatif bisa diatur sebagaimana dalam Pilwalkot Solo yang lalu. Gibran dirancang sebagai Gubernur DKI dan bersiap-siap untuk maju secagai Pilpres pada 2029 nanti. Skenario kepentingan politik dinasti ini memungkinkan Pemilu 2024 akan berujung kacau atas beberapa alasan. Pertama, tingkat kesulitan akan jauh lebih berat dibanding Pemilu 2019. Pada gabungan Pilpres dengan Pileg saja korban tewas mencapai 849 orang. Lalu, apa yang terjadi dengan gabungan Pilpres, Pileg, dan Pilkada? Korban akan semakin besar. Berapa banyak lagi anak bangsa yang menjadi petugas KPPS yang mau dikorbankan untuk merealisakan ambisi politik dinasti? Kedua, motif untuk menggoalkan Gibran Rakabuming Bin Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta akan menghadapi perlawanan publik yang keras. Jauh lebih berat dibandingkan dengan rekayasa sukses Pilwalkot Solo kemarin. Gibran bukan tokoh politik yang alami. Sebaliknya, Gibran dikarbitkan untuk menjadi Gubernur Jakarta. Hati-hati, ini Jakarta mas! Ketiga, Pilpres dengan Presidential Treshold 20 % menyebabkan polarisasi bakalan tajam kembali. Pilgub DKI dan Pilkada lain pasti juga sangat seru. Gabungannya bisa saja berdarah-darah. Diprediksi bakal menjadi Pemilu yang paling brutal dalam sejarah sejak Indonesia merdeka. Sementara Jokowi sebagai pengendali dalam posisi yang tidak ajeg akibat babak belur bertahan sampai 2024. Keempat, indikasi terjadi kecurangan pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 yang menghasilkan Jokowi sebagai Presiden merupakan pengalaman buruk. Pada Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024 dibawah kendali kepemimpinan Jokowi, maka sukses curang diperkirakan dapat terulang kembali. Reaksi atas perulangan kecurangan dipredisi lebih gigih dan kuat. Pemilu 2024 yang didasarkan pada niat buruk, akan menjadi Pemilu yang bukan saja paling kacau. Tetapi juga paling brutal, dan paling curang dalam sejarah. Bukan demokrasi yang ditampilkan kepada rakyat, tetapi mobokrasi. Para gerombolan yang bertarung dan saling memangsa satu sama lain. Akiabtnya, kekacauan siatuasi poliitk nasional tidak bisa dihindarkan. Semua kondisi buruk Pemilu 2024 dapat terelakkan, jika Pemerintahan Jokowi lengser sebelum tahun 2024. Jokowi mengundurkan diri atau dimakzulkan secara konstitusional, maka selamatlah bangsa Indonesia. Ayo, selamatkan bangsa dan negara dari kemungkinan keterpurukan akibat kuatnya syahwat ambisi politik dinasti. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ikhtiar Menemukan Keadilan Humanistis (Bagian-1)
Tulisan ini sebagai catatan akademis singkat terhadap buah pikir Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH. teman sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Univesitas Diponegoro, dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heurestika Hukum”. by Prof. Dr. Syaiful Bakhri SH. MH. Jakarta FNN - Membaca pemikiran Prof. Dr. H. M. Syarifuddin SH.,MH. dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mencerminkan kematangan pemikiran sebagai seorang hakim. Kematangan sebagai buah hasil pergumulan panjang dalam mencari, dan menemukan jawaban atas setiap permasalahan hukum yang ujungnya penjatuhan putusan oleh Hakim. Pekerjaan Hakim tersebut sebagaimana diuraikan secara lugas dalam Pidato Pengukuhannya, yakni upayah untuk menyelaraskan hukum dan keadilan. Upaya melalui kegiatan menafsirkan aturan. Membentuk norma baru. Mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara. Puncaknya menjatuhkan pidana, sebagai kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif Hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan (Syarifuddin, 2021: 06). Dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menyadari bahwa terdapat suatu problematikan klasik yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Problem itu tidak saja dalam dunia akademis, melainkan sebuah tantangan dalam dunia praktik. Yang dimaksud adalah dalam hal disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum yang sama. Kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi, memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan. Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi (Langkun, 2014: 2). Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai Putusan Pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan ini semakin melebarkan jarak antara ekspetasi masyarakat terhadap Putusan Hakim, dan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Meminjam pandangan Gustav Radbruch, bahwa terdapat setidaknya tiga tujuan hukum, yakni dua keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. Dalam mewujudkan tujuan hukum itu, Gustav menyatakan perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Asas prioritas itu diperlukan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum. Begitu juga begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut. Pertama, keadilan hukum. Kedua, kemanfaatan hukum. Ketiga, kepastian hukum (Erwin, 2012: 123). Urutan yang demikian, menunjukan bahwa pentingnya posisi keadilan dalam setiap penjatuhan putusan hakim. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu. Keadilan juga harus membawa manfaat bagi seluruh pihak. Pada akhirnya keadilan dan kemanfaatan tersebut dibulatkan melalui bentuk sebuah putusan yang mencerminkan terpenuhinya kepastian hukum. Dengan jalan pikiran yang demikian, maka putusan hakim tidak sekedar menjadi sebuah dokumen hukum yang mencerminkan “aura” kepastian hukum di dalamnya. Tetapi dalam setiap lembar, setiap pertimbangan, dan setiap argumentasi yang terurai dalam mebentuk sebuah putusan, di dalamnya terdapat sinar-sinar keadilan hukum yang memandu setiap aliran pikiran, yang pada akhirnya turut mebawa kemanfaatan hukum. Keadilan sebagai isu yang sentral dalam dinamika putusan hakim, merupakan hal yang harus dan mutlak mendapatkan perhatian serius. Keadilan adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan secara serius, berkelanjutan, agar dapat dirasakan kemanfaatannya. Perjuangan itu memerlukan waktu, pikiran, dan bahkan kepasrahan dengan hasil yang diperoleh. Perjuangan untuk mencapai keadilan sebagai suatu jalan yang berliku, sangat berduri dan penuh dengan ketidaknyamanan. Tetapi mesti berhujung pada penghentian terakhir, dengan hasil yang mungkin saja memuaskan ataupun mengecewakan. Meski demikian keadilan tetap menjadi isu utama dalam problematikan kehidupan (Bakhri, 2019: 5). Walaupun perjuangan mencapai keadilan dalam hukum pidana hingga sekarang belum terpecahkan. Tetapi setidaknya hukum pidana, berupaya untuk mewujudkan rasa keadilan. Melalui hukum pidana dan pemidanaan, maka tujuan mulianya adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum, melalui kepentingan hukum dan keadilan. Perjuangan untuk memperoleh keadilan tentu memerlukan sikap yang konsisten. Karena keadilan seolah-olah tanpa dapat disentuh. Sehingga untuk mendapatkan tiga tujuan hukum tersebut, diperlukan energi untuk pencapaiannya. Bisa melalui berbagai jalan dan rintangan terjal untuk bisa sampai pada sasaran yang dituju (Bakhri, 2016 : 7). Dalam memenuhi tujuan hukum melalui Putusan Hakim, penulis menawarkan sebuah gagasan yang disebut sebagai pendekatan heuristika hukum. Heuristika berasal dari kata heuriskein (Yunani). Dalam bahasa latin heuristicus, yang berarti “to find out” atau “discover”, yaitu menemukan sesuatu (Romanyc, 1985: 47). Heuristika adalah serving to find out or discover atau berupaya menemukan sesuatu pengetahuan baru (Engel, 2006: 2). Dalam pengertian lain, heuristika adalah “the branch of logic which treats of the art of discovery or invention”, cabang dari logika yang membahas tentang seni menemukan suatu pengetahuan baru (Romanyc, 1985: 48). Dalam Psikologi Gestalt, heuristika digambarkan sebagai perilaku yang eksploratif, seperti dalam pencarian informasi dari berbagai sumber yang memungkinkan. Herbert Simon dan Allen Newell memahami heuristika sebagai pendekatan yang berupaya menemukan solusi atas suatu permasalahan dalam ruang yang lebih luas (Engel, 2006: 8). Dalam gagasannya, Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin menawarkan metode heuristika dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa seringkali terjadi ketika berhadapan dengan permasalahan hukum, kita sulit menemukan pemecahannya. Apalagi jika hanya mengandalkan aturan hukum yang ada. Banyak ditemukan fakta bahwa penanganan suatu perkara tidak bisa mengandalkan pada ketentuan undang-undang semata. Misalnya, dalam perkara korupsi yang nilai kerugiannya hampir sama dan memiliki kemiripan dalam peranan sipelaku. Hakim menjatuhkan sanksi pidana yang jauh berbeda tanpa ada pertimbangan yang cukup sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat, atau sebaliknya dalam kasus-kasus serupa (Syarifuddin, 2021: 20). Dikemukakan bahwa pemahaman terhadap heuristika dapat disederhanakan sebagai berikut. Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dalam banyak kejadian, aturan atau formula itu tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Untuk itu, menurut Prof. Dr. Muhammad Syafruddin, tetap diperlukan proses kreatif untuk menjajaki kemungkinkan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Di sini, seni berpikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan dengan mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah tempat yang disebut heuristika, karena berupaya menemukan solusi (breakthrough) yang secara aturan atau formula yang ada tidak memungkinkan. (bersambung). Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Misi Politik GAR Alumni ITB Yang Gagal
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Nafsu Gerakan Anti Radikal (GAR) Alumni Intitut Teknologi Bandung (ITB) untuk merusak nama baik Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. nyaris gagal. Alih alih Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memproses laporan GAR alumni ITB, malahan kini GAR yang mengalami gegar sosial. Giliran GAR menerima pukulan publik bertubi-tubi. Ketua KASN Agus Pramusinto menyatakan bahwa KASN tidak berkomentar apa-apa, dan menegaskan laporan GAR ITB tidak memiliki bukti atas pelaporannya. Karenanya KASN langsung saja melanjutkan laporan tersebut ke pihak Satgas Penanganan Radikalisme dan Kementrian Agama. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas menanggapi dengan dingin. Yaqut yang biasa ribut soal radikalisme, ektrimisme dan intoleransi ternyata menyarankan agar tidak gegabah dalam menilai radikal dalam kasus pelaporan Prof Din Syamsuddin. Sikap Menag Yqut ini sejalan dengan pandangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebelumnya PBNU dan PP Muhammadiyah sekapakat menolak anggapan Prof Din Syamsuddin dituduh radikal. Sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) keagamaan terbesar di Indonesia itu menyatakan tuduhan GAR bahwa Prof. Din Syamsuddin radikal, sangat tidak berdasar dan tidak mempunyai bukti konkrit. Selain PBNU dan PP Muhammadiyah, banyak tokoh nasional yang tampil mengecam GAR alumni ITB, dan membela Prof. Din Syamsuddin yang masih menjadi dosan tetap di UIN Syarif Hidayatullah itu. Para tokoh itu, mulai dari Prof. Azyumardi Azra, Hidayat Nur Wahid, Marsudi Syuhud hingga Mahfud MD. Publik menilai GAR alumni ITB kini sebagai model buzzer penguasa. Keluar dari citra akademisi, dan menjadi sebuah kelompok politik kepentingan sesaat. Berujung bukan saja mendesak pembubaran, tetapi juga langkah penindakan hukum. Perbuatan GAR alumni ITB dapat dikualifikasikan kriminal. Reaksi sesama alumni ITB muncul juga bermunculan. Kali ini kelompok organisasi Keluarga Alumni ITB Penegak Pancasila dan Anti Komunis (KAPPAK) membuat pernyataan menohok. Meski mengaku terlambat, akan tetapi tajam dalam mengkritisi. KAPPAK mendesak Rektorat dan Senat ITB agar menindak tegas GAR alumni ITB karena ikut campur dalam urusan internal ITB. Demikian juga dengan dosen yang terlibat agar ditertibkan karena dinilai telah merusak kredibilitas ITB. KAPPAK yang berangkat dari penegakan nilai Pancasila dan Anti Komunis mengingatkan agar seluruh alumni ITB harus menjunjung tinggi kebebasan berfikir, berkarya, dan berkiprah pada platform ilmiah dalam kawalan nilai-nilai Pancasila. KAPPAK juga meminta agar Ikatan Alumni (IA ITB) segera mengambil sikap terhadap kelompok "anti radikal" tersebut. Mungkin KAPPAK melihat ada nilai-nilai "anti Pancasila" dalam gerakan ini. GAR mencoba untuk berlindung dibalik isu-isu radikalisme. Namun patut diduga ada maksud-maksud lain, misalnya untuk menciptakan kekacauan dan perpecahan di lingkungan ITB. Reaksi luas atas sikap GAR alumni ITB yang tendensius dan berbau buzzer politik ini, menyebabkan banyak pertanyaan atas keberadaan GAR ITB tersebut. Banyak pihak mulai menguliti kelompok ini. Mulai dari aspek SARA, konteks etnis dan agama dibongkar. Apalagi keberadaan "orang pemerintahan" sebagai inisiator dan provokator, hingga privasi sang juru bicara pun mulai diselidiki dan dikomentari. Pencatutan terhadap nama-nama para pendukung GAR alumni ITB mulai dipersoalkan. Disamping gegar sosial GAR mengalami gegar moral. Akibatnya, rencana busuk GAR terbaca juga oleh publik. Hanya karena selama ini Prof. Din Syamsuddin selalu kritis dalam mengoreksi berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Memang pilihan terbaik untuk stabilitas dan kredibilitas ITB sebagai perguruan tinggi perjuangan yang terkenal banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang hebat, adalah segera untuk menindak GAR ITB. Bubarkan GAR adalah pilihan yang paling sederhana. Kebijakan lebih dari itupun adalah hal yang wajar. GAR telah merusak citra ITB, moral akademis serta menghancurkan nilai dan karakter mulia bangsa. Ketika bangsa ini mewaspadai ancaman perusakkan nilai-nilai Pancasila dan bahaya komunisme, model gerakan politik GAR alumni ITB seperti ini harus dengan cepat diantisipasi dan dieliminasi. Sikap yang berlambat-lambat dapat menimbulkan bencana untuk banga dan ITB. GAR ITB telah gagal melakukan kudeta moral dan intelektual. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pak Hakim, Jangan Hukum Dr. Syahganda, Jumhur, Dkk (Bag-2)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Pembaca FNN yang budiman. Tidak ada perang yang benar-benar bersih. Perang juga tidak hanya tentang adu teknik menembak. Perang menyajikan adu siasat, dalam banyak hal. Ada agitasi, ada intimidasi, ada penyebaran berita bohong, ada tipu daya dan sejenisnya. Bawaan alami perang adalah mematikan lawan dan menghadirkan ketakutan. Menghadirkan ketakutan itu cara mendekatkan lawan pada keadaan bertekuk lutut, menyerah. Itu jelas. Tetapi selalu ada orang yang tak takut, bergairah menyambut perang. Sama dengan, selalu ada yang bersedia jadi penghianat. Keonaran Itu Harus Kongkrit Keonaran menjadi ciri keadaan segera setelah proklamasi diumumkan. Sekutu yang didalamnya ada Belanda tiba di Indonesia. Keonaran itu menjadi sebab November 1945 Sekutu mengadakan jam malam. Rosihan Anwar, Jurnalis tiga zaman ini menulis tanggal 19 November pemerintah mengeluarkan maklumat. Isinya menempatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di sekeliling Jakarta. Itu berarti TKR ditarik ke luar dari Jakarta. Sekutu tidak pernah netral. Mereka condong ke Belanda. Kantor besar Kepolisian di lapangan Gambir digrebek Sekutu dibawah pimpinan Mayor Masset. Menurut Muhammad Yuanda Zara, sejarahwan terkemuka ini, Sekutu tak mau menyebut nama Jakarta. Mereka tetap menyebut Batavia. Sekutu menyebut pasukan TKR sebagai ekstrimis. Tentara Ghurka, tentara Sekutu ini, persis KNIL masuk ke luar kampong mencari perempuan. Terjadi keonaran di kampung-kampung yang dimasukinya. Sangat menakutkan. Para suami khawatir istri mereka akan diperkosa tentara. Disisi lain, gerombolan juga beraksi semaunya. Perampokan, tulis Ventje Sumual juga terjadi di pasar-pasar. Lalu anak anak muda tidak terlatih dan terorganisir, yang tentara sekutu dan NICA sebut mereka gerombolan, terus mencari perkara dengan tentara, terutama dengan KNIL. Ini terjadi, misalnya di Cililitan. Di Bali, tulis Ida Bagus Astika Pidada dalam Kulturistik, dalam Jurnal Bahasa dan Budaya Vol. 3. Nomor 2, Juli 2019 menyebut, Belanda memprovokasi rakyat untuk mengurung pemuda. Rakyat di Pengajaran bersedia mengejar pemuda dengan beberapa alasan. Mereka yang dikejar itu dikatakan perampok atau penggarong serta pengacau. Beraneka macam tuduhan Belanda kepada para pemuda. Perang selalu begitu. Yang dicari panglima tertinggi. Itu sebabnya Bung Karno mau dibunuh tentara Belanda. Mobil yang ditumpangi Bung Karno ditembaki tentara Belanda. Ini terjadi tanggal 29 Desember 1945. Profesor Soepomo, Muh. Roem bahkan Sjahrir yang perdana menteri pun, menurut Rosihan Anwar hendak dibunuh terntara Belanda. Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin mau dirampas mobilnya. Peristiwa penembakan terhadap Bung Karno itu menjadi alasan Tan Malaka jumpa Bung Karno. Bagi Tan Malaka, Bung Karno dan Bung Hatta berada dalam keadaan bahaya jika tetap tinggal di Jakarta. Kepada Bung Karno, Tan Malaka mengajukan satu soal. Soal itu adalah kalau bung Karno dibunuh, siapa yang memimpin Indonesia? Tan Malaka lalu menyarankan kepada Bung Karno membuat testamen Politik. Bung Karno setuju. Dalam testamen politik itu disebut empat nama. Mereka adalah Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro. Lalu Tan Malaka, si agitator dan propagadis kawakan ini, berkeliling Jawa. Kepada orang-orang yang ditemuinya, Tan Malaka menyebarkan cerita yang masuk kualifikasi pasal 14 ayat (1) dan 15 “UU Nomor 1 Tahun 1946, yakni berita berlebihan dengan maksud menimbulkan keonaran”. Apa yang diberitakan Tan Malaka? Beritanya adalah Bung Karno dan Bung Hatta telah ditawan Inggris di Jakarta. Mereka tidak bisa keluar kota. Tan Malaka juga menceritakan testamen politik itu. Dia, dalam testamen itu ditunjuk sebagai ahli waris mereka untuk mengambil alih serta melanjutkan pimpinan Republik Indonesia. Berita bohong atau berita berlebihan dengan maksud untuk menimbulkan keonaran inilah yang ditakuti oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir. Untuk merontokannya, pada pertengahan Desember 1945 Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir mengadakan perjalanan ke Jawa. Politik selalu menyediakan cara untuk eksis. Upaya Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir tak menyurutkan langkah Tan Malaka. Tan Malaka terus menggerakan roda propaganda. Dia segera memotori pertemuan Persatuan Perjuangan (PP) di Solo tanggal 5-6 Januari 1946. Bermodalkan energi baru itu, Tan Malaka melipatgandakan oposisinya kepada Sjahrir. Menyiarkan berita bohong, bukan kerjaan Tan Malaka semata. Sama sekali bukan. Seperti yang sudah-sudah, tulis Jendral A.H Nasution (Almarhum), semoga Allah Subhanahu Wata’ala membalas semua kebaikannya, dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 4, agitasi dan propaganda semakin hebat. Sampai kita dari TRI mengkhawatirkan kemungkinan pecah perang saudara. Surat kaleng, selebaran, dan perang desas-desus, ditemukan dimana-mana. Isinya penuh provokasi. Hebatnya diuraikan secara logis, sehingga mudah dicerna pikiran rakyat jelata. Banyak pula provokasi yang menyebut Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifudin penghianat bangsa, penjual negara. Desas-desus Belanda menandai mata-matanya dengan tanda khusus, terus bergerak. Ini berkembang menjadi sesuatu yang tidak dapat dinalar. Banyak orang yang dibunuh hanya karena kebetulan pada pakaiannya terdapat unsur-unsur warna bendera Belanda (Noordjanah, 2010: 131). Satu artikel di dalam “Harian Berdjoeang” (tanda petik dari saya) menuklis bahwa “beberapa mata-mata moesoeh ditangkap dengan membawa lampoe senter (battery). Lampu ini memakai tanda tiga warna (merah-putih-biru) (Harian Berdjoeang, 9 April 1946 dalam Nordjannah). Para laskar yang mendengar desas-desus itu tak tinggal diam. Situasi semakin mencekam. Mereka mencari mata-mata Belanda yang menyamar. Hampir setiap orang yang dicurigai berafiliasi dengan Belanda diperiksa. Segala sesuatu yang dianggap asing atau tidak dikenal langsung dicap “agen NICA” (Lucas, 2004:184) Belanda terus melakukan demoralisasi prajurit. Tak tanggung-tanggung A.H. Nasution juga jadi sasaran NEFIS. NEFIS menyebar isu bahwa Nasution adalah seorang agen NEFIS. Kolonel tersebut mengatakan “seorang perwira NEFIS meminta kepada perwira TNI yang dibebaskan itu untuk menyampaikan pesan-pesan kepada Jenderal Nasution. Pesannya, Jenderal Nasution adalah sahabat karibnya.” Tidak hanya A.H. Nasution, Kolonel Gatot Subroto pun jadi sasaran demoralisasi. Itu sebabnya Gatot Subroto langsung menghadap Wakil Presiden. Kepada Wapres, Gatot menceritakan selebaran-selebaran yang menyebutnya sebagai “agen NICA” (A.H. Nasution, 1983: 18) Orang-orang republik merespon situasi itu. Pada perayaan Idul Adha pertama pasca-kemerdekaan, sebuah slogan menarik dimuat koran Kedaulatan Rakjat di Yogya. Slogan itu berbunyi, "biasa menjembelih kambing, siap menjembelih moesoeh" (cetak miring dan tanda petik dari saya). Sekutu melalui Evening News, koran mereka, juga gencar menyebarkan propaganda. Belanda yang diuntungkan sekutu, gencar memancing dan menyiarkan kabar-kabar bohong. Rakyat dibingungkan dengan pamflet-pamflet gelap. Melalui iklan dan poster-poster, mereka menjawab provokasi Belanda. (Tashadi, dkk., 1996:142) Akibatnya jelas. Terjadi banyak salah faham dan kesimpangsiuran di kalangan pejuang. Laskar-laskar perjuangan juga masyarakat mengaklami situasi itu, (Lihat Hutri Limah, Cahyo Budi Utomo, Andy Suryadi, dalam Journal of Indonesian History (2018). Bebaskan Mereka Itu Terhormat Perang meminta komando, dan disiplin rigid. Sayangnya TKR yang telah terbentuk sejak Oktober 1945, tidak kapabel untuk diandalkan menangani keadaan. Laskar-laskar perlawanan, yang dibutuhkan untuk perlawanan semesta, dalam kenyataannya sangat tidak terorganisir, dan tidak terkordiansi. Sampai dengan keluarnya UU Nomor 1 Tahun 1946, lascar-laskar ini sulit disatukan. Ini soal besar. Itu sebabnya tanggal 1 Januari 1946 atau sebulan lebih sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan, Bung Karno mengganti nama TKR menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Juga mengganti nama Kementerian Keamanan menjadi Kementerian Pertahanan. Sayangnya laskar-laskar ini tetap belum dapat disatukan dalam satu organisasi. Menurut Abdoel Fatah, dalam bukunya Demiliterisasi Tentara nama baru untuk organisasi tentara itu tak lama. Tanggal 23 Februari 1946, tiga hari sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 dibentuk, Bung Karno kembali mengganti nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Januari dan Februari 1946 adalah bulan penuh berita boghong alias propaganda oposisional Tan Malaka kepada Sjahrir. Oposisi ini didukung oleh beberapa eksponen politik. Dan berhasil melemahkan Sjahrir. Sjahrir pun mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Bung Karno. Sjahrir dipropagandakan tidak dapat diandalkan untuk merealisasikan apa yang disebut Tan Malaka dengan merdeka 100%. Sjahrir, akhirnya benar-benar mengajukan surat yang intinya dia meletakan jabatan. Itu terjadi tanggal 23 Februari 1946, tiga hari sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan. Tan Malaka, dipercayakan Bung Karno membentuk kabinet. Tetapi Tan Malaka gagal memenuhi mandat Bung Karno. Akhirnya Bung Karno menunjuk Sjahrir membentuk kabinet Sjahrir II. Lalu apa pentingnya kenyataan ketatanegaraan dan keamanan itu dalam konteks perkara ini? Norma “memberitakan kabar bohong atau kabar yang berlebihan” dengan maksud membuat keonaran, tak bisa diinterpretasi lain selain masalah historis lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1945 itu Yang Mulia Pak Hakim. Teks itu, dengan argumentasi apapun, harus dikontekskan pada keadaan nyata peristiwa dan siatuasi sejak September 1945 hingga Februarui 1946. Dalam konteks itu, norma “kabar dan berita bohong atau berlebihan” adalah norma yang menunjuk keadaan kongkrit yang terjadi saat itu. Bukan yang lain Pak Hakim. Apalagi disandarkan dengan situasi sekarang. Jauh panggang dari api. Jangan perlihatkan kalau yang mulia Pak Hakim tidak mengerti dan tak paham sejarah lahirnya undang-undang. Jelas, ini bukan soal bahasa. Sama sekali bukan. Ini soal black box dan history text “menyiarkan kabar bohong atau berlebihan dan keonaran“. Tak logis bila soal “menyiarkan kabar bohong atau berita berlebihan” dalam pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 diperjelas dengan mencari makna semantiknya. Norma berita bohong atau berlebihan yang dimaksudkan untuk menimbulkan keonaran, tidak lain merupakan berita yang tidak dikehendaki, karena berakibat nyata-nyata dan langsung memperburuk keonaran yang telah terjadi. Interpretasi teks atas norma berita bohong atau berlebihan yang disiarkan untuk menimbulkan keonaran” tidak bisa dilakukan dengan pendekatan noscitur asocis. Sama sekali tidak bisa. Mengapa? Kata-kata itu telah sangat jelas dalam kamus bahasa. Interpretasi teks yang tepat, yang harus digunakan adalah purposivist interpretation. Interpretasi ini mengharuskan hakim menemukan intensi teks. Tidak dengan memeriksa rangkaian teks. Teks tidak diperlakukan sebagai denominasi. Cara ini memungkinkan Yang Mulia Pak Hakim menemukan intensi original teks yang diasumiskan oleh pembentuk teks pasal 14 dan 15 UIU Nomor 1 Tahun 1946. Infrensi nalar terhadap teks, dalam interpretasi ini difokuskan pada ratio legis-nya. Social base of text-nya, dengan demikian muncul sebagai inti inferensi. Interpretasi ini memungkinkan hakim menemukan apa yang disebut objective teleologis. Inti objective teleologis harus merujuk pada objective purpose of norm. Interpretasi ini akan menghasilkan original intention teks. Inferensi atas kenyataan kongkrit setidaknya sejak september 1945 hingga 23 Februari 1946, mau tak mau harus dijadikan menu utamanya, bahkan satu-satunya. Inferensi jenis ini dalam pragmatic enrichment juga mengharuskan actual text dipertalikan pada keadaan kongkrit. Hasilnya tidak lain selain teks atau norma “menyebar berita bohong dan seterusnya harus dibaca” bahwa berita bohong dan seterusnya itu hingga menimbulkan keonaran adalah berita yang sebagian atau seluruhnya tidak benar, menjadi sebab “memburuknya keonaran yang telah terjadi.” Titik. Keonaran dalam konteks teks pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 bukan keadaan baru. Apalagi keadaan yang dihasilkan oleh berita bohong atau berlebihan. Berita bohong atau berita berlebihan justru memperburuk keonaran yang telah terjadi. Semoga ilmu yang memandu para Yang Mulia Hakim hingga berlabuh di keadilan. Menemukan hukum karena berilmu sungguh merupakan idaman semesta. Semesta akan merana kalau hukum ditemukan tanpa ilmu. Semesta merada kalau Dr. Shahganda, Jumhur, Anton, dkk tidak dibebaskan. Hakim, seperti Syuraih menemukan keadilan berdasarkan panduan ilmu, dengan balutan istiqamah pada Allah Yang Maha Tahu dan Maha Adil. Syuraih tahu itu adalah cara semesta mengunci pintu neraka untuk dirinya. Ia tahu semesta mengharumkan eksistensinya dengan keadilan. Tidakkah semesta menyerukan, “duhai orang-orang berakal, jadilah kalian penegak keadilan”. Tidakah Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan hambanya untuk menetapkan dengan adil? Semoga. (Selesai) Penulis adalah Pengajar HTN Univesitas Khairun Ternate.
Pertarungan Media Tentang Istana
By Nuim Hidayat PERTARUNGAN politik, selain berlangsung di DPR, kantor-kantor pemerintahan pusat-daerah dan lain-lain, juga berlangsung di media. Baik media ‘mainstream’ maupun media sosial. Dengan ratusan juta pengguna internet di tanah air, media sosial –fb, yoututube, twitter, instagram dan lain-lain- kini tidak kalah serunya dengan ‘media mainstream’. Youtube yang dikelola Deddy Corbuzier atau Hersubeno Arief tidak kalah pamornya dengan TV Kompas. MetroTV yang didanai ratusan milyar, ‘goyang’ dengan Channel Youtube Refly Harun dan seterusnya. Banyak masyarakat kini mulai meninggalkan TV dan ‘memantengi’ handphone tiap harinya. Di media pun kini kebijakan redaksinya (politik media) terbelah. Ada yang oposan dan banyak yang pro istana. Media-media berita mainstream, seperti Kompas TV dan Metro TV pro istana. Sedangkan TVOne cenderung oposan. Tapi karena Aburizal Bakrie mempunyai jaringan bisnis yang ‘menyerempet istana’, TVOne cenderung lebih hati-hati. Bahkan Program ILC yang diasuh Karni Ilyas yang penontonnya jutaan, 2021 ini ditiadakan. Karni menggantinya dengan channel Youtube Karni Ilyas Club (wawancara dan debat tokoh). Kompas TV meskipun punya motto Independen dan Terpercaya, tapi dalam kenyataannya pemberitaannya cenderung pro istana. Media ini sering mengkritisi kebijakan Anies, memuji Ahok, mendukung pembubaran FPI dan lain-lain. Tapi Kompas cerdik. Ia membungkus politik medianya dengan halus. Ia sering menampilkan oposan juga dalam pemberitaannya. Beda dengan Metro TV yang terlihat vulgar politik keredaksiannya mendukung kebijakan istana. Di media sosial, TV yang popular mendukung kebijakan istana dan ‘menghabisi’ oposan adalah Cokro TV. Media TV Youtube ini diawaki oleh Ade Armando, Denni Siregar, Syafiq Hasyim, Ahmad Sahal, Nong Darol dan lain-lain. Ia hampir tiap hari muncul dengan opini-opini yang memojokkan oposan. Habib Rizieq, FPI, Anies Baswedan, Rocky Gerung, Fadli Zon, Ustadz Abdussomad, Gerakan Islamisasi Kampus, PKS dan semacamnya menjadi bahan kritikan dan sinisan bagi mereka. Ade Armando, tokoh utamanya, juga sering mengekspos tokoh-tokoh liberal untuk dijadikan teladan bagi mereka. Seperti Musdah Mulia, Grace Natalie dan lain-lain. Edisi mutakhir mereka mendukung kebijakan istana untuk membubarkan FPI, SKB Tiga Menteri, mendukung pernyataan Jokowi tentang kritik, mendukung kaum Tionghoa dan lain-lain. Jumlah penontonnya ratusan ribu. Kadang sampai 800 ribu. Jumlah subscriber Cokro TV berjumlah 1,19 juta. Di kalangan oposan, TV Youtube yang terkenal minimal tiga. Yaitu : FNN, Hersubeno Point, dan Refly Harun. Forum News Network (FNN) dan Hersubeno Point dikelola mantan wartawan Republika, Hersubeno Arif dan kawan-kawan. Sedangkan Channel Refly Harun diasuh sendiri oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun. Channel Yotube Refly Harun jumlah subscribernya juga 1,19 juta. Ia bersama timnya kini tiap hari mengupload opini tentang kondisi politik di tanah air. Terakhir, ia membahas tentang: Ada Fadjroel di GAR ITB, Saat SBY pun Ikut Sumbang Kritik, Eng Ing Eng Beredar Foto Jokowi dan Abu Janda, Karni Ilyas Blok Twitter Fadjroel Ada Apa?, Buzzer itu Bernama Denny Siregar, Din Syamsuddin Radikal Salah Alamat, PKS Tanyakan Gaji Abu Janda dan lain-lain. Penonton channel ini sampai 600-an ribu. FNN jumlah subscribernya 23,6 ribu orang. Sedangkan Hersubeno Point 182 ribu orang. Edisi mutakhir Hersubeno Point di antaranya tentang: Jangan Biarkan ITB Hancur Jadi Institut Teknologi Buzzer, Yang Bener Aja Jokowi Dorong Gibran Nyagub DKI 2022, Channel Hersubeno Point Diserang, Aksi Gerilya Abu Janda Agar Tak Masuk Penjara, Ini Dia Tokoh yang Memelihara dan Menyusupkan Abu Janda, Ketua MUI: Buzzer itu Pemakan Bangkai, SBY: Tindakan Moeldoko Sudah Tidak Bisa Ditolerir dan lain-lain. Selain di Youtube, pertarungan juga terjadi di twitter. Diantara tokoh-tokoh yang aktif dalam twitter adalah : Fadli Zon, Mahfud MD, Rizal Ramli, Hidayat Nur Wahid, Tengku Zulkarnain dan lain-lain. Era keterbukaan informasi ini memungkinkan orang untuk menyampaikan pendapat seluas-luasnya. Karena itu Undang-Undang ITE yang pasal-pasal karetnya menjerat kebebasan berpendapat, harusnya dicabut. Banyak tokoh mengusulkan hal ini, tapi pemerintah dan DPR ‘diam saja’. Kini, presiden dan para menteri menyerukan untuk masyarakat tidak segan mengkritik pemerintah. Para pendukung pemerintah ramai-ramai menyuarakan hal ini, tapi para oposan pesimis. Rocky Gerung menganggap bahwa pernyataan Jokowi itu paradoks karena banyak aktivis ditangkapi. Rizal Ramli mengingatkan tentang politik 1000 bunga Mao Zedong dan di medsos viral pernyataan Presiden diktator Uganda Idi Amin yang menyatakan bahwa kebebasan bicara dijamin, tapi kebebasan setelah bicara tidak dijamin. Meski Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa mereka yang mengkritik tidak akan ditangkap, para oposan tetap meragukan. Mereka menyatakan bahwa kalau pemerintah menghormati kebebasan berbicara, harusnya pemerintah membebaskan Jumhur Hidayat, Syahganda, Habib Rizieq dan pimpinan FPI dan lain-lain. Wallahu azizun hakim. Penulis buku "Agar Batu-Bata Itu Menjadi Rumah Yang Indah".
Pak Jokowi Minta Dikritik, Hipokrisi Dalam Demokrasi?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Dalam sambutan di acara Ombudsman, Presiden Jokowi berpidato yang terlihat hebat dan mantap. Diantaranya Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk memberi masukan dan aktif mengkritik pemerintah. Sikap yang sangat luar biasa dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan masyarakat, terutama kalangan oposisi civil society dan pers. Permintaan tersebut ditanggapi masyarakat beragam. Sayangnya, lebih banyak yang bersikap sinis daripada bahagia. Angin politik sepoi-sepoi ini membuat mata terbelalak. Bak mimpi di siang bolong. Bukan terkejut, tetapi tak percaya. Bahkan senyum sambil tertawa kecil. Apakah gerangan yang main dimainkan lagi oleh Presiden kita ini? Mantan Wakil Presdien (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mempertanyakan bagaimana caranya mengkritik itu tanpa ditangkap oleh polisi. Sebab terlihat Jokowi seolah-oleh membuka pintu untuk dikritik. Tetapi tombak penjara siap menancap di dada bagi mereka yang masuk dari pintu yang terbuka. Sebab tidak sesuai antara yang diomongin dengan kenyataan yang terjadi. Sejumlah tokoh oposisi yang berbeda pendapat dengan pemerintah masih mendekam di dalam penjara. Tecatat Habib Rizieq Shihab (HRS), Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Ustazah Kingkin, Gus Nur dan lain-lain telah lebih dulu ditahan polisi. Bahkan Ustadz Maheer sampai-sampai meninggal di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Hanya berselang beberapa sebelum atau sesudah himbauan agar pemerintah dikritik dengan keras, lima mantan pengurus Front Pembela Islam (FPI) kembali ditahan penguasa. Penahanan dengan delik yang sangat ece-ece, yaitu pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes). Makanya, pertanyan Pak Jusuf Kalla itu sebenarnya sebagai sindiran terhadap orang yang paling tau prilaku Pak Jokowi yang tidak seiya sekata. Dulu Pak Jokowi juga mengatakan rindu untuk didemo. Jejak digitalnya masih ada sampai kini. Tetapi ujungnya pendemo babak belur, ditangkap, bahkan tewas ditembak oleh aparat. Wajar saja kalau masyarakat skeptis dengan pemintaan Pak Jokowi agar pemerintah dikritik dengan keras itu. Tentu ada tiga skenario dari permintaan Jokowi untuk dikritik tersebut. Pertama, memang Jokowi dan lingkaran elit telah sadar bahwa tanpa kritik, kehidupan demokrasi bergeser menjadi otokrasi. Itu berarti tercatat dalam sejarah, bahwa di eranya pemerintahan Jokowi, telah mengingkari amanat Konstitusi. Meskipun demikian, masih lebih baik terlambat diperbaiki, daripada tidak sama-sekali. Better late than never. Kedua, pemeritahan Jokowi terpaksa membuka pintu kritik, karena putus asa menghadapi kenyataan ketidakmampuan dalam mengelola negara dengan baik dan benar. Masalah kesehatan, ekonomi, hukum, dan politik hancur-berantakan tak terkendali. Masih terbuka sedikit celah untuk meminta maaf kepada publik, ya hanya dengan terpaksa membuka pintu kritik. Ketiga, nah ini yang paling banyak diduga masyarakat. Kritik memang dibuka luas dan lebar. Tetapi setelah itu dibungkam dengan masif. Merujuk pada cara Presiden diktator Uganda Idi Amin yang menyatakan “menjamin kebebasan berbicara, tetapi tidak menjamin kebebasan setelah bicara”. Prilaku yang mirip sama juga dilakukan oleh pemimpin Cina Mao Zedong. Mao Zedong menyatakan “membiarkan bunga mekar, setelah itu bunga semua dipetik. Para pengeritik terhadap kekuasaan Mao zedong dibantai habis setelah diberi kebebasan untuk mengkritiknya. Semoga pengalaman buruk pada Idi Amin dan Mao Zedong tidak terjadi di Indonesia. Makanya tidak berlebihan bila Pak Jusuf Kalla mengingatkan agar tanya lagi “bagaimana caranya agar tidak dipanggil polisi”? Skenario Ketiga inilah yang paling dikhawatirkan rakyat. Berangkat dari ketidakpercayaan terhadap janji-janji kampanye dan juga kinerja Pak Jokowi. Apalagi Jokowi dikenal sebagai Presiden yang inkonsisten. Mencla-mencle sebutannya. Pidato Jokowi dianggap hanya main-main. Karena di bawah mimbar pidato itu masih ada dua anjing galak yang terus menggonggong, yakni buzzer dan UU ITE. Pada sisi lain, paradigma Polisi belum berubah untuk reformasi kultural. Masih seperti tentara di eranya Orde Baru 32 tahun lalu. Polisi masih menjadi alat pemerintah. Bukan sebagai bukan alat negara. Artinya, penegakan hukum dapat dimanfaatkan sebagai alat pemenuhan keinginan politik pragmatik. Digunakan untuk menekan dan menghukum lawan-lawan politik semata. Jadi permintaan untuk aktif kritik, dan masukan sebagaimana diungkapkan Jokowi di acara Ombudsman dinilai bertendensi untuk memproteksi. Sepanjang masih banyak tokoh dan aktivis dipersekusi dan berada dalam jeruji besi, undang undang pengancam terus unjuk gigi, serta aparat yang gemar dan hobby mengeksekusi, maka permintaan untuk dikritik tetap menjadi sebuah hipokrisi dalam demokrasi. Rakyat menuntut bukti dan tidak butuh basa basi. Sebaiknya jangan tebarkan PHP lalgi. Toh, sudah terlalu banyak janji-janji kampanye yang tidak tersealisasi. Pagi tempe, sore dele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din Syamsuddin Penggagas Konsep “Darul Ahdi Was Syahadah”
by M. Hatta Taliwang Jakarta FNN - Hubungan saya dengan Prof. Din Syamsuddin sudah lama, sehingga saya punya catatan panjang tentang sosok ini. Tak elok saya ceritakan detail. Saya memang satu daerah dengannya, dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Jadi, saya banyak tahu riwayatnya sejak muda hingga sekarang. Tetapi tak ingin menceritakan hal-hal yang khusus. Saya hanya ingin ikut menjawab tuduhan terhadap Prof Din Syamsuddin yang dituduh radikal-radikul. Sepertinya pelapor Prof. Din Syamsuddin yang mengatasnamakan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ke Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) tidak memahami makna radikal dan radikalisme. Mungkin juga karena kurang baca berita di koran, televisi, atau media online. Sebab Prof. Din Syamsuddin justeru merupakan tokoh Islam yang sangat moderat. Prof Din Syamsuddin adalah penggagas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Negara Kesaksian). Konsep ini kemudian disepakati oleh Muktamar Muhammadiyah tahun 2015 sebagai pedoman umat Islam untk mengisi Negara Pancasila. Gagasan ini dipidatokan kembali di Gedung MPR pada tanggal 1 Juni 2012 atas undangan Ketua MPR Taufik Kiemas. Pandangan yang sama dipidatokan Prof. Din Syamsudin lagi di Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir pada konperensi internasional tentang pembaharuan pemikiran Islam. Prof. Din Syamsuddin dikenal sering menghimpun para tokoh lintas agama dan berbagai elemen kemajemukan bangsa untuk kerukunan dan kebersamaan. Saya sering diundang pada diskusi yang menghadirkan berbagai tokoh lintas agama. Dalam kaitan ini, Prof. Din Syamsudin juga memprakarsai pembentukan Inter Religious Council (IRC) Indonesia, dan menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk kerukunan bangsa yg melahirkan berbagai kesepakatan penting. Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh perdamaian dunia. Antara lain dibuktikan memprakarsai Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasatiyat Islam (Islam Jalan Tengah). Pertemuan yg menghasilkan Pesan Bogor ini sangat penting utk mengarus dan mengutamakan Jalan Tengah dalam beragama. Lewat lembaga yg dipimpin Prof. Din Syamsuddin, yaitu Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations, menyelenggarakan World Peace Forum tujuh kali, sejak 2006 sampai dengan 2018. Forum yang menghadirkan para tokoh dari berbagai negara. Yang terakhir mengangkat tema The Middle Path for The World Civilization, yang antara lain mempromosikan Pancasila untuk menjadi ideologi dunia. Selanjutnya Prof. Din Syamsudin aktif dalam dialog antar agama dan peradaban. Bahkan sampai dengan sekarang menjadi President of Asian Conference on Religions for Peace(ACRP) yang berpusat di Tokyo Jepang. Jugad Co-President of Religions for Peace International yang berpusat di New York Amerika. Dalam kapasitas ini, Prof Din Syamsuddin diundang berpidato di PBB mewakili Islam dalam rangka World Interfaith Harmony Week. Selaiun itu, Prof. Din Syamsudin diundang untuk bverpidato pada konpererensi Organisasi Katholik Dunia di Assisi, yang dihadiri Paus Fransiscus. Juga berpidato pada General Assembly World Jewish Congress di Buddapest. Minggu lalu menjadi pembicara pada Perayaan Hari Persaudaraan Sedunia yg diadakan oleh The Higher Committee for Humanity Fraternity. Masih banyak lagi forum internasional yang dihadirinya, sehingga banyak menerima penghargaan dari beberapa negara. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah selama dua periode berturut-turut, sejak tahun 2005-2015. Ketua Umum Mejelis Ulama Indonedsia (MUI) tahun 2014-2015), dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI tahun 2015-2020. Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh Muslim moderat seperti wawasan keagamaan Muhammadiyah. Tentu sebagai tokoh Islam dan akademisi, Prof. Din Syamsuddin sangat concerned membela kebenaran dan keadilan. Maka beliau tidak segan-segan mengeritik penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang diyakininya sebagai amar ma'ruf nahyi munkar. Sangat terkenal dan konsisten dengan sikap yang demikian. Bagi yang memahami dunia akademik dan pergerakan Islam, memahamai radikalisme secara benar, maka tidak akan ceroboh menuduh Prof. Din Syamsuddin radikal. Kritis atas kebijakan pemerintah dengan data dan fakta obyektif yang disajikan tidaklah memadai untuk menjadikan itu sebagai hal yang radikal. Apalagi jika dikaitkan dangan prinsip demokrasi dan UUD45 yang memberi tempat untuk mengemukkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab. Prof. Din dalam berbagai percakapan dengan kami, sering mengatakan sudah selesai dengan urusan dunia. Sehingga hemat kami, Prof Din dipecat dari ASN dan berhenti mengajar di FISIP UIN Jakarta tidak akan menjadi masalah baginya. Kami yakin banyak Universitas Swasta di dalam dan luar negeri akan menawarkan posisi sebagai dosen untuk Prof. Din Syamsuddin. Dugaan kami justru FISIP UIN Jakarta akan rugi karena Prof. Din Syamsuddin adalah satu-satunya Guru Besar di Prodi Hubungan Internasional saat ini. Sehingga tidak etis jika ada sekelompok alumni sebuah Perguruan Tinggi yang mengadukan dosen atau Guru Besar Perguruan Tinggi lain atas alasan yang mengada-ada, tak proporsional dan absurd, misled and misleading. Bisa saja orang luar ada yang berspekulasi dan berasumsi, apakah ulah kelompok ini merupakan bagian dari operasi intelijen atau kerja dari buzzer bayaran? Atau mereka disponsori oleh pihak yang diketahui tidak menyukai Prof. Din Syamsuddin berada di Majelis Wali Amanat (MWA) ITB sebagai penjelmaan pertarungan aliran keagamaan dan politik di lingkungan kampus? Dugaan kami, perlakuan tidak adil terhadap Prof Din Syamsudin dengan mendongkelnya dari ASN, justru menguntungkan kelompok oposisi. Sebab akan membuat Prof Din Syamsuddin lebih bebas dan leluasa menggerakkan kelompok oposisi menghadapi kezaliman penguasa. Penulis adalah Direktur Eksekutif Institut Soekarno Hatta.
Kebangsaan Din Syamsuddin Memang Radikal & Mendasar
by Poetra Adi Soerjo Sumbawa FNN - Saya berasal dari Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB). Sekampung dengan Prof. Din Syamsuddin, dan banyak berinteraksi dengan berbagai aktivitas dan pikiran beliau. Purna sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin lebih banyak pulang kampung, mengabdikan diri membangun generasi. Beliau mendirikan dan sekaligus menjadi pengasuh Pesantren Modern Internasional Dea Malela. Psantren yang santrinya datang dari seluruh penjuru dunia, demi membangun satu generasi Islam berkemajuan. Generasi yang bisa menebar rahmat bagi seluruh alam. Di Pesantren ini salah satunya saya banyak berjibaku dengan pikiran pikiran Prof. Din Syamsudin. Tidak hanya terkait agama dan kebangsaan, tetapi juga dunia dan peradaban. Dalam berbagai interaksi tersebut, saya berkesimpulan, memang pemahaman agama dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin sangat "radikal". Radikal itu berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara dalam, utuh dan menyeluruh. Tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiologi, tetapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut. Dalam artian inilah saya memandang pemahaman keagamaan dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin memang sangat dalam, kuat dan mengakar (radikal). Prof. Din Syamsuddin bukanlah orang yang gamang dalam memahami setiap disiplin keilmuan. Beliau memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dalam, utuh dan holistik. Sebagai seorang Profesor, Din Syamsuddin memiliki segala tools dan metodologi dalam memahami akar dari berbagai subjek dan disiplin ilmu. Apalagi terkait agama dan kebangsaan. Pengalaman menempa Prof. Din Syamsuddin dengan sangat sempurna untuk memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami relasi agama dan negara, peradaban barat. Menyelesaikan studi di Pondok Modern Darusalam Gontor, Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah, Master dan Phd di California University Amerika Serikat, menjadikan pikiran-pikiran beliau selama ini telah menjadi jembatan pengertian yang mendamaikan peradaban pengetahuan Timur dan Barat. Islam yang demokrasi dan pembangunan. Untuk itulah Prof. Din Syamsuddin memiliki pergaulan internasional yang luas dan telah menjadi tokoh dan duta perdamaian dunia. Terlalu lama kita sebagai negara bangsa disibukkan dengan definisi yang salah dalam menempatkan kata radikal. Kesalahan membangun definisi radikal inilah yang membuat riuh. Seperti tuduhan radikal yang dialamatkan ke Prof. Din Syamsuddin. Mereka menyamakan kata radikal dan radikalisme dengan ekstrim dan ekstrimisme. Ekstrimisme adalah sikap melampaui batas moderasi dan cenderung menggunakan kekerasan, maka disebut violent extremism. Radikal dalam beragama sebagaimana asal katanya haruslah dimaknai sebagai sebuah sikap bertumpu dan berorientasi pada dasar atau akar agama (ushuluddin). Sementara radikal dalam bernegara adalah konsisten dalam menegakkan dasar negara dan konstitusi. Dalam pengertian inilah saya mengakui Prof. Din Syamsuddin sebagai seorang yang beragama dan bernegara secara radikal. Namun demikian, jika diajukan pemahaman yang keliru atas kata radikal seperti segelintir yang difahami sebagian alumni ITB yang bergabung dalam GAR, maka itu salah kaprah dan sesat-menyesatkan. Sikap kelompok ini justru sebuah sikap yang ekstrim, karena melampaui batas. Itulah penyakit intlektual hari ini yang kurang radikal dalam memahami disiplin ilmu. Kurang radikal dapat disebut sebagai dangkal atau tanggung atau tidak utuh memahami akar dari berbagai pemahaman dan peta pemikiran. Pemahaman yang tidak radix atau dangkal inilah yang membuat seseorang menjadi ngambang, gamang dan mudah digoyang. Dari sinilah justru ekstrimisme itu lahir. Ekstrimisme dalam sejarahnya selalu lahir dari orang-orang yang tidak memiliki tradisi berpikir yang mendasar (radix). Karena kedangkalan berpikir itulah yang membuat mereka gamang dan mudah distir atau dibelokkan menjadi ekstrimis. Jika orang memiliki dasar pikiran yang kuat dengan tradisi berpikir yang baik dan mengakar (radix), maka dia tak akan mudah terjebak menjadi ekstrimis. Ingat, radikal dan ekstrim ini adalah dua terma yang jauh berbeda. Radikal sama sekali bukanlah ekstrimisme. Radikalisme berpikir memang akan melahirkan sikap kritis karena keutuhan dalam memahami konsepsi, dan adalah kemunduran ke era jahiliyah, jika tradisi berpikir kritis dipandang sebagai ekstrimisme. Apalagi labeling radikalis dewasa ini cenderung disematkan hanya karena berbeda pendapat dengan kekuasaan. Para intlektual yang tidak radix dan atau dangkal dalam berpikir inilah yang suka genit menggunakan terma radikal tidak pada tempatnya. Orang-orang yang dangkal dalam berpikir terlalu banyak berbicara terkait sesuatu yang dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan. Lebih jauh lagi, tradisi berpikir yang tidak radix dalam jangka waktu yang lama telah menciptakan peradaban masyarakat dengan pribadi yang lemah dan hipokrit. Pagi bicara tahu sore bicara tempe. Apa yang menjadi keyakinan hatinya berbeda dengan yang terucap. Berbeda lagi dengan apa yang menjadi tindakannya. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak lahir dari keyakinan hati yang mantap. Namun lahir dari utuhnya pemahaman dan konsepsi. Untuk itulah Islam mengajarkan kita kaffah atau menyeluruh atau radix dalam pikiran dan pemahaman, tidak boleh dangkal dan separuh. Seperti dalam puisi seorang jomblo yang kesepian "aku lelah menjadi separuh". Orang yang separuh memang nelangsa. Dalam kapasitas Prof Din Syamsuddin sebagai seorang ASN, apakah beliau tidak boleh kritis dan berbeda pendapat dengan pemerintah? Banyak orang yang tak sadar bahwa dunia akademisi adalah panggung mimbar bebas. Panggung yang lepas dari intervensi negara dan pasar. Seorang akademisi bebas menyampaikan thesis yang dibangunnya, apapun temuan dan dalam forum apapun itu. Jangan karena seseroang terikat dengan norma sebagai seorang ASN, laku harus mengatakan demokrasi telah berjalan dengan baik, meski sebenarnya sedang jatuh pada titik nadirnya hanya karena dia tidak boleh berbeda pendapat dengan kekuasaan sebagai seoramg ASN. Untuk itulah ada UU yang lex specialis bagi guru dan dosen yang meski sebagai seorang ASN. Namun tetap bebas menyampaikan apapun temuan yang didasarkan pada indikator indikator ilmiah yang dibangun. Di Pondok Modern Internasional Dea Malela, Prof. Din Syamsuddin telah dan sedang membangun generasi muda yang kuat dalam berpikir. Kokoh dalam berpendirian. Berkarakter dalam bersikap, dan terbuka dengan berbagai perbedaan. Prof. Din Syamsuddin adalah orang yang sudah, sedang dan terus berbuat untuk membangun generasi bangsa yang berkarakter. Generasi dengan tradisi berpikir yang terbuka dan komplek. Generasi yang tidak rapuh menghadapi dalam menghadapi problematika kebangsaan dan keagamaan di era post truth. Era dimana kita sedang menyaksikan orang-orang tak lagi memahami apa yang sedang dibicarakan. Apalagi untuk memahami orang lain. Jauh dari yang diharapkan. Prof. Din Syamsuddin telah menjadi figur dan tokoh dunia dalam isu perdamaian dan kemanusiaan yang universal. With or with out state, Prof. Din Syamsuddin sebagai pribadi telah menjadi rujukan bagi terbangunnya jembatan pengertian antar peradaban. Betapa ruginya Indonesia, jika seorang tokoh yang dikenal dunia sebagai simbol perdamaian dan telah berkonstribusi besar dalam berbagai konflik dunia justru di-blackmail di negaranya sendiri. Negara harusnya mengambil untung dari keberadaan dan pergaulan internasional Prof. Din Syamsuddin yang telah menjadi duta dunia. Faktanya Indonesia selama ini telah diuntungkan dari berbagai aktivitas Prof. Din Syamsuddin di dunia Internasional. Penjurubicaraan beliau atas isu-isu perdamaian telah membawa harum dan atau setidaknya menutup banyak bopeng wajah demokrasi Indonesia selama ini. Karena dalam kapasitasnya berbicara sebagai penyeru perdamaian, solidaritas, toleransi dan HAM. Prof. Din Syamsuddin tetaplah direkognisi dunia sebagai orang Indonesia dan sekaligus sedang menjurubicarai Indonesia. Sehingga lucu jika emas yang telah menjadi duta Indonesia di berbagai forum dunia justru dirusak dengan labelling radikal dalam pengertian yang sempit di negerinya sendiri. Dilabeli dengan pengertian radikal dengan basis definisi yang contradictio in terminis. Definisi yang sebenarnya sedang menpertontonkan kedunguan kita sebagai bangsa dalam peradaban pengetahuan. Penulis adalah Anak Muda Sumbawa & Direktur Eksekutif Open Parliament Institute.
Ketika Segalanya Dipolitisir
by Shamsi Ali Doha FNN - Seringkali kita dengarkan istilah poltisasi agama. Tentu yang dimaksud adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain agama dijadikan obyek demi meraih kepentingan politik. Agama diserert-seret, dibawa-bawa untuk hal-ihwal yang berkaitan dengan politik semata. Ternyata dalam dunia, dimana politik menjadi penentu dominan dalam kehidupan publik, bukan hanya agama yang dipolitisir. Tetapi hampir segala aspek kehidupan publik yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa diwarnai oleh terpaan angin politik. Dari soalbudaya, pendidikan, bahkan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari rasa politik alias politisasi. Orang-orang mendukung atau menentang sesuatu bukan karena memang hal itu baik atau sebaliknya tidak baik. Tetapi karena secara politik tidak sejalan dengan rasanya (kepentingannya). Bertentangan dengan keinginan dan kepentingan politik sesaat. Bentuk busana didukung, bahkan dipakai bukan karena “murni” (genuine) suka atau senang dengan busana itu. Tetapi karena busana itu pada saat tertentu mendukung kepentingan politiknya. Lihatlah larisnya baju-baju koko dan peci di musim-musim politik. Atau wanita-wanita politisi yang selama ini dengan terbuka menentang “syariah” ikut memakai jilbab di musim-musim politik. Bahkan istilah-istilah syariah seperti halal dan wakaf juga menjadi laris ketika hal itu dapat mendukung kepentingan atau imej politik tertentu. Padahal secara umum syariah oleh orang-orang yang sama dianggap berbahaya, bahkan anti Pancasila, anti UUD dan anti NKRI. Kini kecenderungan itu merambah ke ranah konsep karakter orang atau sekelompok orang. Seseorang dengan mudah dianggap intoleran hanya karena yang bersangkutan tidak sejalan dengan posisi pilitiknya. Demikian sebaliknya. Betapa prilaku kasar dan intoleransi seseorang atau sekolompok orang dipertontonkan tanpa malu. Tetapi tetap saja dibiarkan, bahkan seolah dipelihara dan dilindungi. Akibatnya konsep toleransi terasa aneh. Toleransi yang pernah saya sebut dengan toleransi memihak. Toleransi yang dipasung untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Politisasi Radikalisme dan Moderasi Kini yang juga mengkhawatirkan adalah politisasi kata radikal dan intoleransi. Juga sebaliknya dengan kata moderat. Seseorang akan mudah dilabeli dengan kata radikal hanya karena berseberangan secara kepentingan politik. Sebaliknya seseorang atau sekolompok orang dengan enteng dilabeli moderat karena sejalan secara kepentingan politik. Masalahnya kemudian label radikal dan intoleransi ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tetapi boleh jadi membawa kepada perangkap keamanan atau ancaman stabilitasi negara. Pada akhirnya orang yang dipaksakan untuk diposisikan sebagai posisi radikal dan intoleransi itu dianggap membahayakan negara atau pemerintah. Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Dimana saat itu kata radikal atau ekstrim menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan apa yang disebut “terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada “kaum radikal”. Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah. Tetapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada “terror” atau “war on terror” dimaknai sebagai peperangan kepada Umat Islam. Inilah sesungguhnya dikemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam untuk masuk Amerika. Dimulai dari tujuh negara. Tetapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs kepada orang Islam untuk masuk Amerika. Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump, ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada substansi moderasi itu sendiri. Karena beberapa pihak yang dianggap moderate justeru secara ideologi cukup kontras dengan nilai-nilai moderasi. Di zaman GW Bush misalnya, Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar Bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia. Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa ternyata penilaian radikal, intoleran dan/atau moderat itu banyak dan ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik ketika itu. Dan pada akhirnya nilai itu terasa kehilangan esensinya. Hari-hari ini isu radikal kembali ramai dibicarakan. Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, tokoh nasional dan internasional, mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode, Presiden Kehormatan Agama-Agama Dunia untuk perdamaian (World Religion for Peace) dan seabrek posisi nasional maupun internasional konon dilaporkan oleh apa yang disebut Getakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB. Saya pribadi sangat terkejut dan kecewa. Karena saya yakin, siapa saja yang memiliki logika sehat akan melihat Pak Din Syamsudin tidak saja sebagai tokoh nasional dan internasional yang moderat. Tetapi juga beliau berada di jalan perjuangan untuk membangun Moderasi (advancing moderation) dan perdamaian dunia (world peace). Pak Din Syamsudin sendiri pernah menjadi Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Perdamaian dan Dialog antar Agama dan Peradaban. Hanya saja beliau meninggalkan posisi itu karena ada sesuatu yang tidak sejalan dengan visi beliau sebagai tokoh agama dan perdamaian. Apakah begitu mudah kemudian seorang Din Syamsuddin dituduh sebagai radikal hanya karena tidak setuju atau tidak sejalan dengan keadaan atau kebijakan politik yang ada? Begitu mudah mengingkari perjalanan panjang dan bersejarah beliau dalam membangun moderasi dan perdamaian? Disinilah urgensinya untuk kita saling mengingatkan. Kiranya masanya perlu menghentikan politisasi istilah radikalisme atau moderasi. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter “we vs them” (kami lawan mereka). Kecenderungan memecah belah atau “divide at empire” ini pastinya hanya akan semakin melemahkan Umat dan bangsa itu sendiri. Karena sesungguhnya Umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk pak Din Syamsudin, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa. Karenanya serangan kepada tokoh-tokoh agama seperti pak Din Syamsudin ini adalah bagian dari upaya pelemahan Umat dan bangsa. Kecurigaan-kecurigaan itu boleh saja terbangun. Salah satunya, jangan-jangan memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.