Inspirasi Santri Afghan

Oleh : Daniel Mohammad Rosyid

DUNIA beberapa hari ini dikejutkan oleh kemenangan para santri Afghan dalam mengambil alih pemerintahan dari pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan boneka yang mengandalkan dukungan AS dan sekutunya untuk bertahan kini meninggalkan Afghanistan entah ke mana.

Selama 20 tahun lebih para santri Afghan itu berjuang dengan darah dan airmata untuk mengusir penjajah. Lebih menakjubkan lagi: Kabul ditaklukan hampir-hampir tanpa setetes darah pun.

Ironis, di sebuah kawasan di timur jauh Afghanistan berjarak sekitar 10ribu kilometer yang disebut Indonesia, sejarah justru menemukan sebuah bangsa yang pernah menyatakan kemerdekaannya namun kini justru semakin terjajah secara politik, ekonomi dan budaya. Bangsa yang berani menyebut dirinya merdeka selama 76 tahun justru telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa merdeka.

Kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta itu sejak awal sudah dibegal oleh kekuatan-kekuatan nekolimik asing yang tidak pernah rela membiarkan negeri kepulauan ini merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Konferensi Meja Bundar 1949 sudah menjegal konstitusi UUD 45 pada saat republik ini harus tunduk pada non-state actors semacam IMF dan the World Bank. Sistem keuangan riba sejak awal telah membuat kemerdekaan itu ilusif.

Penjarahan kekayaan alam negeri ini dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif melalui riba ini. Kini kita dipaksa WHO untuk percaya bahwa pandemi PCR test ini adalah pandemi Covid-19 untuk merampas kebebasan sipil demi kejayaan industri vaksin asing.

Longsor konstitusional oleh riba itu kemudian diikuti oleh gempa sekulerisme, banjir konsumerisme dan akhirnya tsunami dunguisme sejak 5 tahun terakhir. Gempa sekulerisme itu berepicentrum pada sistem persekolahan paksa massal yang dirancang sebagai instrumen teknokratik untuk menjauhkan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara, menyiapkan tenaga kerja yang trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan investor asing.

Konsumerisme dipompa lebih jauh melalui televisi dan setelah era internet dan medsos selama 10 tahun terakhir, dunguisme mentsunami bangsa ini. Dunguisme ini diperberat melalui covid-19 Meerlooan bioterror yang telah memperkosa pikiran waras massal manusia selama setahun lebih ini.

Adalah santri Afghan yang masyhur disebut Thaliban itu yang menjadi penghibur bagi pikiran yang masih mencoba untuk merdeka dari teror ketakutan covid-19 ini. Kini monsterisasi Thaliban mulai digencarkan oleh residu dan boneka kekuatan-kekuatan nekolimik untuk tetap menjajah bangsa ini.

Proklamasi telah mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan, namun seluruh protokol covid-19 ini justru mendesaknya mundur dari pintu gerbang itu. Hak-hak dasar kita sebagai warga negara yang merdeka justru dirampas, dan massal warga negara itu justru membiarkan perampasan itu terjadi dengan alasan kesehatan publik. Sejarah telah menemukan kami kini menjadi bangsa yang kerdil.

Merdeka adalah bebas dari penghambaan kepada apa pun selain hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Penampilan para santri Afghan yang sederhana itu memberi inspirasi bahwa kemerdekaan itu memang sederhana.

Tapi yang sederhana ini ternyata sulit dipahami oleh manusia berjas dan berdasi yang sudah mengalami gempa sekulerisme, banjir konsumerisme dan tsunami dunguisme. Negara-negara yg masih menyebut dirinya dengan congkak sebagai negeri maju itu kini dicekam oleh Orwellian totaliterianism.

Terimakasih Thaliban (santri Afghan), untuk inspirasimu. Sudilah belajar dari keteledoran kami. Jangan ulangi kesalahan pemimpin-pemimpin kami.

Semoga Allah SWT memberi ridha, maunah dan kekuatan untuk membangun Afghanistan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta menjadi bagian dari komunitas dunia yang cinta perdamaian dan kemerdekaan. Aamiin.

(Bandung, 20 Agustus 2021)

Ketua MPUI-I (Majelis Permusyawaratan Ummat Islam Indonesia)

325

Related Post