OPINI

Hancur-Hancuran Jejak Pembunuhan di KM 50

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area kilometer (KM) 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)berlanjut ke perusakkan bangunan agar tak bisa digunakan. Lalu penutupan lagi untuk jalur persinggahan. Akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi-saki bisu pembunuhan dan pembantaian terhadap enam anggota enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat Kepolisian. Meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi mungkin hilang tetapi jejak tidak bisa. Terlalu terang peristiwanya. Terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya-upaya untuk menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu. Menghapus jejak di Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah wujud dari kegelisahan perencana dan pelaku pembunuhan yang sangat luar biasa. Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area kilometer 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan. Penghilangan TKP ini akan menjadi kasus tersendiri. Pasal 216 KUHP menghadang di depan. Begitu juga dengan delik perusakannya yang terancam dengan Pasal 233 KUHP. Lumayan juga ancaman jukuman. Bisa 4 tahun penjara. Ada dua mesium yang kelak bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya. Pertama adalah "Monumen Enam Syuhada" sebagai peringatan atas kebengisan aparat kepolisian melawan ketidakberdayaan rakyat. Kedua, "Museum Hak Asasi Manusia " ini lebih luas. Bukan hanya peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI saja, tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya. Ini kalau kekuasaan ini suah berganti tahun 2024 nanti Kilometer 50 dan areal sekitar Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi manusia, dan anti penjajahan politik negara kepada warga negara. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung pada syahid. Penghancuran sarana fisik di rest area KM 50 menyedihkan dan memilukan. Bagian dari upaya untuk menghilangkan jejak, ingatan, dan pembuktian. Penghancuran ini menjadi bukti terbaru dari kejahatan yang terjadi. Perlu pengusutan siapa yang mengatur penghancuran rest area KM 50? Apa motif politik? Apa keterkaitan dengan laporan Komnas HAM dan instruksi Kapolri baru tentang penyelesaian kasus? Kapolda Metro Jaya kini hilang bagai tertiup angin. Tak pernah muncul lagi dalam berita yang terkait kilometer 50. Dimanakah posisi petinggi Polri yang satu ini? Padahal awalnya diwacanakan akan mengisi jabatan strategis di Mabes Polri. Tetapi ternyata tidak. Ya namanya juga wacana. Bisa iya, namun bisa juga tidak. Tergantung user yang mau menggunakan. Memang Kapolda Metro jaya mestinya diberhentikan dulu, atau sekurangnya dinon-aktifkan, agar penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran HAM enam anggota laskar FPI dapat berjalan obyektif, transparan, dan bebas hambatan. Jangan sampai posisi Fadil Imran sebagai Kapolda Metro Jaya sekarang bisa menjadi hambatan penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Pengusutan harus cepat dimulai. Bukankah rest area sudah diratakan tanah. Terlalu lama para pelaku pembunuhan dibiarkan untuk menghirup udara bebas. Sementara aktor intelektual dan perencana juga telah cukup waktu untuk berfikir keras agar dapat lolos dari jeratan hukum. Mereka mungkin saja bisa lolos di pengadilan dunia, namun tidak untuk pengadilan akhirat. Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan. Keadilan dapat menggusur kezaliman. Kekuasaan yang zalim bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Moga saja tidak terwujud. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gencatan Senjata & Dialog Jakarta-Papua, Cara Paling Bermartabat

by Marthen Goo Jayapura FNN - Mestinya di era modern, orang harus berpikir bijaksana. Mencari jalan-jalan damai dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam semangat tersebut, maka mekanisme penyelesaian masalah seperti musyawarah untuk mufakat menjadi jalan penyelesaian masalah yang paling bertabat dan mengagumkan. Cara lain adalah dialog atau perundingan bisa dan sangat terbuka untuk dilakukan. Menolak perundingan dan dialog itu cara berfikir primitif, kampungan dan kuno. Jika negara itu meyakini bahwa negaranya menganut sistem demokratis, maka yang dipakai dalam pencarian penyelesaian masalah adalah dengan cara-cara bermartabat dan demokratis pula. Cara itu dengan mengedepankan semangat demokrasi. Bukan dengan kekerasan atau pendekatan militer yang berlebihan, sehingga rakyat tidak berdosa yang menjadi korban. Menghindari korban sekecil apapun itu adalah cara befikir yang orang-orang top yang berkelas dan mengumkan. Menurut Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua, Ambrosius Mulait, “kita sepakat, kekerasan tidak akan menghasilkan kedamaian. Baiknya mengedepankan gencatan senjata. Daripada bicara sana-sini, tetapi hasilnya tidak berubah. Peristiwa terus terjadi karena pemerintah tidak serius. Pemerintah pusat dan daerah harus mencari solusi masalah Papua secara konprehensif. Hari ini rakyat Intan Jaya membutukan pertolongan semua pihak”.(Jubi.co.id: 19/2/2021). Sementara Komisioner Komnas HAM (periode 2013 -2017), Natalius Pigai dalam mengunjungi Fraksi-fraksi di DPR RI memberikan rekomendasi agar Otonomi Khusus dibekukan dan digelar “Perundingan”. Tentu rekomendasi itu didasari berbagai masalah-masalah di Papua dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang tidak Efektif dan Efisien. Kesemuanya agar terciptanya kedamain. Riset yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berusaha merumuskan bahwa ada empat akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah integrasi Papua dan indentitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan politik dan masalah pelanggaran HAM. Ketiga, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus. Keempat, marjinalisasi orang Papua. Tentu empat masalah tersebut masih terus terjadi di era otonomi khusus. Pendekatan yang militeristik masih dianggap sebagai solusi di era modern dan era reformasi. Padahal pembangunan yang diheboh-hebohkan tersebut, menurut pendeta Dr. Benny Giay, “di Papua adalah pembangunan bias migran”. Tentu pembangunan yang dilakukan di Papua jika dilihat dari pernyataan Pendeta Doktor Benny Giay dan hasil penelitian LIPI, justru turut memberikan bobot mempercepat marjinalisasi terhadap penduduk Papua. Apalagi Papua dijadikan daerah operasi militer yang berdampak pada semua sektor. Pendekatan tersebut berbeda jauh dengan yang dilakukan Belanda terhadap penduduk Papua, yakni dengan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan. Mestinya dalam menyelesaikan masalah di Papua, tidak dilakukan pendekatan kekerasan atau militer. Pemerintah bisa mengkaji lebih dalam dari referensi Gus Dur dan referensi yang dilakukan oleh Belanda terhadap pendekatan masyarakat di Papua. Kekerasan Itu Menelan Korban Kekerasan atau pendekatan kekerasan yang dilakukan di Papua hanya mengorbankan warga sipil. Juga mencederai semangat demokrasi yang sudah dibangun sejak 1998 dengan lairnya reformasi. Tujuan reformasi adalah pemenuhan hak asasi manusia bagi semua manusia Indonesia ataupun dimana saja, tanpa batas dan tanpa memandang status golongan, suku, ras atau budaya. Pendekatan kekerasan di Papua telah merugikan rakyat sipil Papua. Ratusan , bahkan ribuan rakyat mengungsi di hutan-hutan. Dimana pun mereka pergi, hak kehidupan mereka diabaikan. Pemerintah belum menyiapkan tempat pengungsian yang wajar dan layak bagi warga. Hak hidup mereka tidak diberi jaminan. Kasus Nduga, Timika dan kini di Intan Jaya pun mengalami peristiwa yang sama. Mestinya pengungsian menjadi tanggungjawab negara. Terkait peran pemerintah (negara) terhadap pengungsian, bisa kita lihat perpedaan perlakukan. Saat warga pendatang atau migran di Wamena mengalami persoalan dikarenakan dampak dari peristiwa rasisme, negara cepat hadir untuk memproteksi dan melindungi warga migran. Hal itu berbeda dengan pengungsian orang asli Papua. keseriusan terhadap untuk memproteksi orang asli Papua tidak terlihat. Ada perlakuan yang berbeda dari negara. Karenanya kekerasan di Papua yang berlangsung begitu lama, dan terus menerus, apalagi diikuti dengan perlakuan yang berbeda, sesungguhnya juga turut merusak Demokrasi. Merusak Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (Sila ketiga). Perlindungan terhadap warga. terkhusus sila kelima soal keadilan pun tidak diwujudkan. Terhadap empat hal yang fundamental itu, memberikan bukti ada yang salah dalam implementasi kebijakan yang melindungi segenap warga bangsa dan mewujudkan secara kongkrit pembukaan UUD ’45. Gus-Dur harus dijadikan referensi dalam mengelolah negara untuk memproteksi seluruh rakyat dengan mengedepankan aspek demokrasi (musyawara untuk mufakat), kemanusiaan dan kebudayaan. Gus-Dur pernah telah membuktikan bahwa mewujudkan Papua sebagai “tanah yang damai bisa dilakukan”. Walaupun hanya satu tahun kepemimpinan Gus Dur, Papua sempat menjadi Papua yang damai. Intinya soal “Hati nurani dan keseriusan”. Bukan pada banyaknya kunjungan ka Papua. Kita harus sepakat bahwa kekerasan hanya mencederai kemanusiaan. Merendahkan martabat manusia, seakan manusia tidak memiliki nilai yang humanis. Seakan cara-cara damai tidak bisa dilakukan. Pilihan utamanya hanya kekerasan, dan merusak citra kemanusiaan. Padahal Indonesia telah meratifikasi, dan bahkan merumuskannya dalam Pancasila, UUD ’45 sampai pada UU tentang HAM. Jika kekerasan hanya merendahkan martabat kemanusiaan, maka semua pihak harus bersepakat untuk dilakukannya “gencatan senjata”. Cara kongkrit dan bermartabat yang bisa dipakai sebagai sarana gencatatan senjata tersebut adalah “Dialog atau Perundingan Jakarta-Papua”. Cara damai dan cara-cara bermartabat sesungguhnya sudah harus dilakukan. Dialog Itu Indah Soekarno dikenal dengan “founding father”, selalu berkata “…Jangan sekali-kali melupakan sejarah…” yang kemudian dikenal dengan istilah Jas-Merah. Tentu kekerasan yang berulang-ulang tidak akan dilupakan oleh anak cucu. Akan membuat kebencian seumur hidup dalam perjalanan bangsa. Sehingga, harus dipikirkan cara-cara damai agar kedamaian pun tidak dilupakan, bahkan menjadi prinsip. Ciri bangsa yang bermartabat selalu mencari jalan damai dengan cara bermartabat. Cara itu adalah yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan serta mengedepankan demokrasi dan dialog. Jangan dijadikan dimbolis belaka. Indonesia dikenal dengan musyawarah-mufakat, dimana itu sebuah mekanisme yang selalu dipakai dalam mencari solusi damai. Dengan semangat itu, telah dipakai mencari solusi damai di Aceh. Pemerintah menggelar perundingan. Tentu dalam perundingan yang dialukan antara Aceh dan pemerintah pusat, tidak membahas tujuan. Dalam perundingan yang dilakukan membahas tentang masalah-masalah, kemudian dirumuskan solusi bersama. Sehingga, tidak ada alasan untuk menolak perundingan, karena itu mekanisme paling damai menyelesaikan masalah. Sesungguhnya hal yang sama bisa dilakukan di Papua. Mengutip perkataan almarhum Dr. Muridan SW. (peneliti senior LIPI), “dialog itu tidak membunuh”. Itu terbukti juga dalam mekanisme adat di Papua, ketika semangat menyelesaikan masalah yang rumit, dikenal dengan sebutan “Para-para Adat”. Sebuah mekanisme yang dipakai masyarakat adat dalam menyelesaikan berbagai masalah “mari bicara doloo”. Semangat mewujudkan “Papua Tanah Damai”, almarhum Dr. Pater Neles Tebay Pr, saat sebelum meninggal dunia, sebagai koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dan kemudian Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya Dialog Jakarta- Papua untuk menyelesaikan masalah Papua secara holistik. Sayangnya, hal itu belum dilihat penting. Karena dialog belum dilakukan juga pasca pertemuan tersebut. Barang kali kalau setelah koordinator JDP saat itu berjumpa presiden dan proses sudah dilakukan, masalah-masalah yang sekarang sedang terjadi sudah tidak ada lagi. Barang kali sudah tidak ada perang-perangan. Sudah tidak ada lagi pengungsian. Tidak ada lagi rakyat yang korban atau mungkin militer Indonesia yang korban. Tentu saja semua itu belum terlambat untuk mencari cara yang bermartabat, walau banyak yang sudah menjadi korban. Dengan rumitnya masalah di Papua, jika pemerintah ingin menyelesaikan masalah secara menyeluruh sebagai bangsa yang bermartabat, maka cara-cara yang bermartabat bisa dilakukan. Salah satu jalan yang efektif dan efisien adalah harus digelarnya Dialog atau Perundingan Jakarta-Papua. Presiden harus memberikan kewenangan Politik kepada Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin untuk mengurus pelaksanaan perundingan seperti penyelesaian masalah di Aceh. Dengan demikian, Presiden harus mengangkat Special Envoy untuk mempersiapkan semua tahapan sampai perundingan itu terjadi. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Papua.

Aneh Juga, Kok Menteri Bisa Kritik Kebijakan Pemerintah?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Indonesia memang unik. Bagaimana tidak, setelah enam tahun Presiden Jokowi memerintah, barulah masyarakat diminta untuk melakukan kritik kepada pemerintah. Kritiknya juga yang keras. Sayangnya, banyak yang tidak percaya karena menengok pada sejarah. Presiden yang sama, Jokowi pernah menyatakan rindu untuk didemo. Namun setelah di demo, eh malah banyak yang ditangkap, menjadi korban kekerasan, bahkan ada yang tewas ditembak. Soal kritik ini, keunikan muncul kembali. Ada menteri anggota kabinet Jokowi yang mengeluh atau mengkritik kebijakan Pemerintah. Publik merenung apakah menteri itu bukan bagian dari Pemerintah? Atau mungkin karena tidak ada visi misi menteri, tetapi yang ada adalah visi dan misi Presiden. Sehingga menteri bebas mengkritik visi misi Presiden? Adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Teten Masduki yang curhat berkonten kritik dalam acara Program Kolaborasi Akselerasi Mencetak 5000 Eksportir. Kata Teten, bahwa KUKM telah dipersulit oleh Pemerintah untuk melakukan ekspor. Banyak izin dan sertifikat yang harus dipenuhi untuk hal ini. Akibatnya, KUKM berat untuk melakukan ekspor berbagai komoditas. Sebaliknya, impor dari negara lain justru sangat mudah. Tidak berbelit-belit. Sebagai rakyat, apalagi pengusaha KUKM tentu berharap ada langkah konkrit untuk mempermudah ekspor dan mempersulit impor. Hal ini untuk mendorong semangat agar KUKM menjadi sokoguru usaha masyarakat, yang bukan saja diproteksi tetapi dibantu dan didorong oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi di pemerintahan Jokowi ini berbeda antara langit dengan bumi, jaka dibadingkan eranya Soeharto dulu. Ketika Orde Baru berkuasa, semua yang berbau impor dihalangi dengan berbagai kebijakan pemerintah. Impor hanya dikecualikan untuk barang-barang yang menjadi bahan baku produksi, dan tidak bisa dihasilkan dari dalam negeri. Akibatnya, ribut yang tak berkesudahan dengan organisasi perdagangan dunia World Trade Organisation (WTO) tidak bisa dihindari. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perundingan dengan WTO adalah Rahmat Saleh, Arifin Siregar, Sudrajat Jiwandono dan Billy Yudono. Sementara ekpor, terutama produk-produk dari KUKM harus digenjot dengan segala cara. Makanya, dibentuk Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) di bawah Departemen Perdagangan. Seharusnya Menteri Teten bukan dalam kapasitas mengeluh atau mengkritik. Tetapi langsung saja mengambil kebijakan atau mendiskusikan dengan menteri terkait lainnya, yaitu Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Perindutrian dan Menteri Pertanian untuk keluarnya suatu kebijakan yang memudahkan ekspor produk-produk KUKM. Bila perlu "menekan" Presiden agar mengeluarkan kebijakan yang memudahkan dan menguntungkan KUKM. Masyarakat dan pelaku usaha KUKM butuh mendengar dan menjalankan kebijakan yang memudahkan untuk ekspor produk mereka. Tidak perlu diajak untuk ikut pusing bersama pusingnya sang menteri. Apalagi hanya untuk mendengar curhat atau kritikan. Menteri itu bukan pengamat, tetapi pengambil keputusan. Bahasa lainnya menteri adalah Pemerintah juga. Pemerintahan memang kacau, koordinasi dalam kabinet saja tidak bagus. Presiden dan para Menteri cari panggung sendiri-sendiri. Mungkin juga korupsinya sendiri-sendiri. Sampai-sampai saling mengkritik pula. Terlihat seperti kekanak-kanakan. Jadi teringat pada bulan Juni 2020 lalu, dalam Rapat Paripurna Kabinet, Presiden mempertontonkan marah-marah dan mengkritik para menteri di panggung publik. Entah apakah ini pertanda kalau menterinya yang tak becus atau Presidennya sendiri yang kacau-balau? Atau kedua-duanya memang bermasalah? Kasus keluhan, curhat, dan kritik Menteri KUKM Tenten Masduki adalah bukti inkompetensi atau impotensi. Tontonan yang sebenarnya tidak menarik untuk dilihat dan didengar rakyat. Namun apa boleh buat. Masalah utamanya ada kepala pemerintahan yang memang tidak becus memimpin. Kata Cirero, “ikan itu busuknya dari kepala”. Pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa tidak ada visi menteri, itu sebagai mengukuhkan sistem pemerintahan presidensial. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden adalah penanggungjawab. Karenanya kekacauan kebijakan ekspor impor, kemerosotan ekonomi, tingginya hutang luar negeri, hingga pelanggaran hak asasi oleh Polisi, maka muaranya adalah Presiden. Semoga sistem pemerintahan presidensial tidak menyebabkan Presiden menjadi pembawa sial. Apalagi jika berwatak pembual dengan kabinet abal-abal. Membawa Indonesia meluncur terus menuju predikat sebagai negara gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Di Mana “Rasul” Kami?

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Hanya berselang sepuluh hari, masih di dalam suasana memperingati Hari Pers Nasional tahun ini, mata saya menangkap sebuah arsip yang berisi rangkuman suara hati almarhum Jakob Oetama dalam bentuk naskah pidato berjudul, “Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna". Pidato Jacob Oetamaitu disampaikan pada acara “Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa” dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 17 April 2003. Pemimpin “kerajaan” media grup Kompas tersebuta meninggal dunia 09 September 2020. Menjelang usia 76 tahun kemerdekaan Indonesia dan di usia 75 pers Indonesia, apa yang telah diberikan dunia pers kepada bangsa ini? Tidak ada salahnya mengutip kembali pernyataan JFK (John F. Kennedy) ketika dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35, “Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country”. Artinya, “jangan tanya apa yang negara Anda bisa lakukan untuk Anda ; tanyakan apa yang dapat Anda lakukan untuk negara Anda”. JFK, yang pensiunan Letnan Angkatan Laut Amerika Serikat (1941-1945) tersebut, pernah bekerja sebagai koresponden, Hearst Newspapers (1945-1946). JFK dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 pada Januari 1961, dan dibunuh, tertembak November 1963 pada usia 46 tahun. Saat ini beredar dua berita “trending topic” di masyarakat. Pertama, Transparency International Indonesia(TII) menyatakan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia pada 2020 turun ke peringkat ke 102 dari 180 negara. Dibandingan pada tahun 2019, Indonesia menempati posisi ke 85. Kedua, turunnya IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Sebelumnya 6.48. Di kawasan Asia Tenggara saja, indeks demokrasi Indonesia ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir Indonesia dikategorikan sebagai negara flawed democracy (demokrasi cacat). Sekitar 18 tahun yang lalu, Jakob Oetama dalam inti pidatonya itu telah memprihatinkan gejala “merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu” pada bangsa ini . “Media harus memahami lebih jauh, mengapa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela. Apa akar permasalahannya? Latar belakang struktur dan budaya feodal ikut menyuburkan KKN. Demikian pula dengan paham feodal, bahwa power is privilege. Warisan sejarah bisnis yang diungkapkan dengan setiap penguasa ada koneksi bisnisnya. Tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi. Merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, tulis Jakob Oetama. Frasa “tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi, merajelelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, yang disinggung Jakob, justru inilah persoalan bangsa yang serius. Infrastruktur moralitas merosot di tengah masifnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan tol, jembatan layang dan pelabuhan udara maupun laut. Kader partai politik sebagai pemangku jabatan publik melakukan malpraktik. Korupsi berjamaah, yang didalam berbagai kajian disebutkan, “korupsi materi dan korupsi politik”. Kenyataan iuni menegaskan lemahnya komitmen sekaligus rendahnya kualitas moralitas beberapa politisi. Miris membaca hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan yang menunjukkan sepanjang tahun 2004 - 2019 terdapat 1152 kasus yang melibatkan pejabat publik dan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 397 orang diantaranya menduduki jabatan politik. Tercatat 257 orang adalah anggota DPR atau DPRD, 21 orang adalah gubenur dan 119 orang adalah bupati atau walikota. Dimana semuanya berlatar belakang dari partai politik. Reformasi 1998 ternyata tidak serta merta menghilangkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh birokrasi Indonesia. Meski telah 20 tahun lebih reformasi berlalu, hingga kini, disaat Presiden Jokowi berkuasa, korupsi tetap saja menjadi “primadona” kekuasaan. Banyak yang menyebut korupsi yang Terstruktur, Sitematis dan Masif (TSM) saat ini sebagai “cacat bawaan” reformasi. Tercatat 11 menteri terjerat kasus korupsi. Tiga diantaranya merupakan menteri sosial. Mengungguli jabatan lain. Pelaku korupsi terbanyak kalangan legislatif dan eksekutif, bahkan yudikatif. Semuanya pejabat publik yang telah mengangkat sumpah dengan kitab suci. Kepada siapa lagi rakyat dapat menggantungkan harapan kemaslahatan masa depan bangsa ini? Sementara itu, pemimpin yang tersedia sebagaimana ditulis Jakob Oetama, mereka yang terlihat sangat bersemangat “konsumerisme dan hilangnya rasa malu”. Mesin Pemilu sebagai wahana demokrasi harus berani dikatakan “gagal total” menyeleksi calon pemimpin bangsa yang ditawarkan partai politik. Ibarat “kawah chandra dimuka”, partai politik gagal sebagai kampus suci penggemblengan mentalitas dan moralitas calon pemimpin supaya kuat, terlatih, bersahaja dan tangkas. Calon pemimpin yang berani tampil berani. Yang menutup semua peluang kejahatan politik. Apapun namanya. Jakob Oetama menyinggung tulisan Samuel P. Huntington bersama Laurence E. Harrison tentang Culture Matters yang disinggung kedua penulis dalam bukunya tersebut. Jakob mempertanyakan, kultur yang mana? Ethika Protestan? Revolusi Meiji, Konfucian, Ascetisme Gandhi, Ascetisme Hatta. Kita punya, kita bahkan termasuk kaya budaya. Bagaimana menjadikan budaya Indonesia sebagai pemicu kemajuan, Pemicu pemerintah yang bersih, Pemicu hidup hemat, kerja keras? Bagaimana berencana serta membangun social trust alias kepercayaan sosial yang kuat, kreatif, produktif? Peringatan Hari Pers Nasional 2021 diisi partisipasi insan pers atau para pekerja media alias wartawan mendukung program FJPP (Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku) yang diselenggarakan Dewan Pers dan Satuan Tugas Penanganan Covid 19 bersama PWI yang bertema, “Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan”. Diberitakan 5000-an wartawan dari Aceh sampai Papua aktif mengampanyekan perubahan perilaku masyarakat supaya taat prokes (protokol kesehatan) sesuai standar WHO. Sembari menangkal berita hoaks terkait Covid 19. Program yang diluncurkan awal Oktober itu, menurut Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Doni Monardo, pada Desember mencapai keberhasilan 63 persen program sosialisasi itu mengubah perilaku masyarakat. Dan itu oleh kerja keras dan kerja rela insan pers. Fakta itu membangun harapan dan semangat baru. Besarnya kepercayaan masyarakat kepada insan pers (wartawan) adalah modal sosial yang masif efektif membangun ketahanan akhlakul kharimah untuk “Reinventing Indonesia Baru”, sebagaimana disinggung Jakob Oetama. Bersih dari mental pecundang dan pembonceng gelap demokrasi. Kekuatan Indonesia baru itu sejatinya terkonsolidasi menjadi moral force (kekuatan moral) yang terniscayakan sebagai mesin pendorong gerakan nasional kesadaran rakyat untuk bangkit mengubah aneka UU hasil reformasi. Terutama pasal-pasal di dalam UU yang banyak salah jalan dan melahirkan pemimpin dadakan, yang daripadanya budaya korupsi tersuburkan. Pers Indonesia memikul tanggung jawab moral menjadi obor penerang langit demokrasi dari kegelapan. Rakyat harus didorong keberaniannya bangkit menyita mandat dari komplotan politisi korup yang bermarkas di partai politik. Politikus yang telah disandra para oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Oligarki dan konglomerasi yang tidak pernah puas menghisap darah kakyat negeri ini. Saatnya publik kembali mengampanyekan mentalitas kejujuran dan kesederhanaan sebagai prasyarat utama menjadi seorang pemimpin bangsa. Kita punya tokoh asketisisme legendaris yang harus dijadikan ikon suri tauladan moralitas. Seorang tokoh proklamator yang hingga akhir hayatnya, tidak pernah bisa mampu membeli, walau hanya sekedar sepasang sepatu Bally. Lantaran diikat konsistensi moralitas tinggi yang menolak menunggangi celah-celah kekuasaan. Namanya Bung Hatta! Seorang karib mantan pejabat mengirim pesan WhatsApp, “rakyat Indonesia saat ini merindukan pemimpin jujur”. Rakyat itu kini seakan sedang berteriak, dimana “rasul” kami? Penulis adalah Wartawan Senior Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

HMI Untuk Perdamaian Islam (Bagian-1)

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Dahulu, para pendakwah dan penyiar Islam masuk ke nusantara yang hari ini Indonesia dengan membawa kedamaian. Selain menyiarkan ajaran yang diwahyukan kepada Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam, para penyiar ini juga mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan kepada para pribumi. Yang sangat kita kenal selain daripada ilmu aqidah ada juga syariat dan akhlak. Kenyataan ini mendorong peningkatan kualitas berpikir dan hidup ke jenjang yang lebih tinggi. Perlu kita apresiasi jasa kaum muslimin dalam membangun dunia serta bangsa dan negara Indonesia. Hari ini kita nikmati kemerdekaan dan hidup beranak-pinak di dalamnya. Bebas berekspresi dan membangun masa depan negara yang kita cintai ini. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam di Indonesia, patutlah menjadi ikon pembangunan Indonesia ke depan. Organisasi yang malang-melintang dalam perjuangan membangun Indonesia ini sedikit banyak memberikan kontribusi kepada perjalanan sejarah Indonesia masa kini dan masa yang akan datang. Begitulah organisasi mahasiswa Islam ini bermetamorfosis dari zaman ke zaman. Selain untuk kepentingan bangsa dan negara, HMI juga harus mengikuti perkembangan zaman yang kekinian. Sehingga HMI menjadi organisasi yang survive dalam perkembangan zaman. Selalu ada pada setiap dinamika dan perubahan dinamuka kehidupan. Organisasi HMI sudah saatnya membangun sistem kehidupan organisasi yang baik dan benar. Sehingga terwujudnya dinamika yang sehat. Hasilnya tercipta para kader yang cenderung kepada kebenaran (hanif). Maka yang pertama-tama adalah meninjau dan mengevaluasi kembali sistem keorganisasian yang dimulai dari perekrutan, pendidikan dan pelatihan hingga pengabdian. Tawaran untuk pengembangan organisasi yang baik secara kultur maupun struktur adalah suatu langkah strategis untuk pengembangan dan peningkatan sepak terjang HMI di masa yang akan datang. Sebab kita menghadapi hiruk-pikuk perkembangan organisasi-organisasi secara umum di dunia dan secara khusus di Indonesia yang kian signifikan. Jika kita perhatikan secara saksama saat ini, maka organisasi-organisasi tumbuh menjamur tak terkendali. Entah itu organisasi mahasiwa, organisasi masyarakat, organisasi profesi, organisasi buruh, organiasi usaha, organiasi pemuda, maupun organiasi pelajar dan lain-lain. Baik itu yang bersiafat stategis maupun taktis telah tersedia. Lain halnya dengan tahun 1990-an, yang kita kenal hanyalah beberapa organisasi. Apalagi pada kalangan mahasiswa. HMI memiliki pamor yang cukup signifikan. Selain itu, HMI juga menawarkan bergam pengetahuan yang dapat digeluti selain daripada politik kemahasiswaan. Sehingga organisasi yang terkenal dengan warna hijau hitam ini menjadi pilihan utama para mahasiswa. Belakangan banyak tumbuh organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, yang bertabuaran di dalam lingkungan akademis seperti jamu tumbuh di musim hujan. Tidak terkecuali juga organisasi-organisasi yang orientasinya meresahkan dan menyebarkan ketakutan, juga bebas aktif dan progresif dalam perekrutan, serta melakukan aktivitas organisasinya. Tumbuhnya organisasi mahasiswa di kampus menjadi pilihan kalangan tertentu mengembangkan bakat, dan menyalurkan hobi yang disediakan dalam berorganiasi. Sehingga hal ini memicu carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kehidupan yang luhur dan penuh dengan budaya dan adat-istiadat yang beraneka ragam ini. Kuncinya, jika kita akan membangun dan memperbaiki Indonesia, dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur, maka kita memperbaiki secara internal organisasi. Yang berkembang ke eksternal merupakan dampak daripada perbaikan internal organisasi. Karena inti perbaikan bisa dibangun melalui pribadi-pribadi, kolektif organisasi dan Negara. Perdamaian Islam Tatanan dunia yang bergerak dengan masif ke arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyuguhkan keterbukaan informasi yang bebas tanpa sekat kebangsaan atau kenegaraan. Kondisi perlu dicermati bahwa perkembangan dunia semakin jauh ke depan. Bahkan pada abad ke-21 ini seluruh negara-negara di dunia berlomba-lomba dengan pola dan gagasannya untuk menciptakan dominasi diantara sesamanya. Upaya ini diperkirakan bakal menimbulkan gesekan yang cukup keras. Konflik masyarakat dunia pun tak bisa dihindari. Dinamika kehidupan mengajarkan kepada kita, jika para pemangku kepentingan besar berhadap-hadapan, maka yang berikutnya adalah konflik. Sejarah dunia telah menyajikan cerita kepada kita yang seperti itu. Di sela-sala kehadiran Islam, terdapat dua kekuatan besar, yakni Romawi dan Persia. Begitu juga pada abad ke-15, dimana Portugis dan Spanyol membagi kekuasaan dunia. Hingga akhir perang dunia II, muncul dua kekuatan besar, yakni blok barat dan blok timur. Perkembangan hari ini dunia dikategorikan dengan predikat negara maju dan negara berkembang berdasarkan klasifikasinya. Begitu pesatnya perkembangan dunia dan penyebaran ideologi, serta berbagai ajaran yang ikut mengeringinya. Begitu juga dengan ajaran Islam yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Interaksi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dan paham-paham yang lahir dari para filsuf atau pakar dalam ilmu pengetahuan sering mengalami benturan. Benturan antara ajaran Islam dengan kaum filsuf ini mengakibatkan disharmoni dalam kehidupan. Apalagi konflik tersebut menyerempet masuk kedalam ranah politik hingga kekuasaan negara. Ujung-ujungnya perseteruan akan terjadi antar sesama. Sejarah islam juga pernah mengalami masa kelam, up and down. Dimana pergantian kekuasaan sangat rentan dengan konflik. Banyaknya suku mengakibatkan eskalasi konflik yang semakin meningkat diantara mereka. Namun tidak sedikit harmonisasi agama, budaya dan ilmu pengetahuan yang berkembang selaras dalam lingkungan islam yang berpadu subur dengan umat-umat lain. Lihat saja pada Joel L. Kraemer (2003 : 155) “Abu Zakariyya merupakan penganut Kristen Jacobis yang lahir di Tikrik, dimana tempat tersebut merupakan pusat cendekiawan. Tempat untuk diskusi-diskusi mengenai theologi dan filsafat sering diselenggarkan di Tikrit. Baik itu di kalangan internal kaum Kristen maupun antara kaum Kristen dengan kaum Muslim”. Pada masa tersebut tolerasi Islam sangat tinggi terhadap beragam perbedaan. Artinya, Islam tidak pernah alergi dengan pluralitas dan perbedaan dalam masyarakat. Namun menurut keyakinan kaum muslimin bahwa perbedaan adalah sunnatullah dari sang maha pencipta. Jika diingkari, maka mendurhakai hukum-hukum dalam ajaran Islam. Perbedaan menjadikan kita berpikir lebih jernih dan terbuka untuk menerima realitas yang dihadapi. Tak bisa dipungkiri sikap keyakinan mayoritas kaum beragama terkadang tumbuh bagaikan warna yang hanya hitam dan putih. Sehingga justifikasi yang terjadi pada suatu kelompok atau kejadian hanya benar dan salah yang ada. Tidak selain salah dan benar. Sebagai agama yang mayoritas di Indonesia, Islam memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk dan membangun Indonesia. Hanya saja, benturan yang terjadi belakangan ini menyeret-menyeret ajaran Islam masuk terlalu jauh ke ranah politik praktis dan kekuasaan. Kenyataan ini mengakibatkan dikotomi pemahaman dan partisan menjadi berkepanjangan. Bukannya hal ini menjadi salah di mata umat beragama atau ideologi lain yang saat ini berkembang. Namun terkadang fanatisme buta yang tumbuh secara berlebihan dari kelompok Islam tertentu yang mengakibatkan hubungan harmonis dalam lingkup pergaulan antar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi tercerai berai. Ajaran islam dihadapkan dengan tantangan-tantangan perkembangan zaman yang sungguh signifikan ini membuat benturan yang tidak terhindarkan. Benturan yang mengakibatkan gesekan terjadi di berbagai belahan dunia. Tidak dipungkiri bahwa kaum muslimin juga menjadi terpojok dan marjinal pada negara-negara tertentu. Pembunuhan, teror dan pengusiran secara besar-besaran pun terjadi sebagai dampak dari beberapa kejadian teror di dunia yang didalangi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. Sejak abad 18 masehi, kekuatan Islam mengalami kemunduran dikarenakan ambisi perebuatan kekuasan yang mengakibatkan negeri-negeri Islam dan wilayah Timur Tengah dikuasai bangsa barat. Namun dalam waktu yang bersamaan bangsa-bangsa barat mencapai puncak kekuasaan dan kejayaan, hingga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi mutakhir. Sejarah mencatat kejadian ini, salah satu penyebab terjadi keruntuhan Islam karena klaim kebenaran kelompok. Sebaliknya, balik menuduh kelompok yang lain salah sehingga konflik menjadi tak terelakkan. Pembangunan stigma negatif tentang Islam bukan saja datang dari orang-orang yang menjadi musuh, melainkan juga datang dari kelompok-kelompok internal islam sendiri. Munculnya sitgma negatif tentang Islam ini diakibatkan karena panatisme yang berlebihan terhadap kelompok. Bukan patantisme kepada ajaran islam itu sendiri. Harusnya perbedaan dalam mazhab menjadi khasanah bagi umat Islam untuk selalu mengingat Allah Subhaanhu Wata’ala. Konflik internal dalam kaum muslimin tidak begitu sengit dan berkepanjangan jika dibandingkan dengan konflik agama Islam dan negara saat ini. Tersiar di seantero penjuru dunia, bahwa Islam menjadi tandingan atas negara-negara dengan prinsip dan keyakinan terkait struktur negara yang berbeda dengan sistem tatanan negara domokrasi hari ini. Sehingga menjadikan Islam dikategorikan sebagai ajaran yang anti perbedaan, atau istilah terkini intoleran. Samuel P. Huntington (1997:89) “demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri dimana mayoritas besar pendududknya beragama Islam, Budha atau Konfusius”. Artinya, semua negara-negara Islam sementara bertransformasi menuju sistem demokrasi. Sebagaimana agama kristen protestan dan katolik terdahulu. (bersambung). Penulis adalah Bakal Calon Ketua Umum PB HMI Kongres XXXI Surabaya.

Obrolan Punakawan ke-6, Mengapa Hanya GBHN, Seharusnya?

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Ada perkembangan menarik di tahun 2019/2020, terkait tuntutan “Kaji Ulang Hasil Amandemen UUD 1945” ataupun “Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan Dengan Adendum”. Menarik karena bergulir di masyarakat. Menarik kedua, karena sampai di telinga para wakil rakyat di DPR/MPR. Lebih menarik, karena ada respon dari elite politik setelah para tokoh pergerakan bersama masyarakat menyampaikan aspirasinya di MPR. Namun sayang, responnya setengah hati. Bagaimana tidak setengah hati? Perbincangan di elite politik, kelompok pertama hanya bilang perlunya GBHN. Kelompok kedua, ingin mengembalikan kedudukan MPR tetapi Pilpres tetap dengan Pilpres langsung. Kelompok tiga, ingin MPR dikembalikan seperti sebelum amandemen, tetapi suara ini nyaris tak terdengar. Semua berjalan alot, sehingga berhenti. Umumnya mereka punya kesadaran tenang perlu perencanaan pembangunan yang berkesinambungan. Di dalam UUD 1945 dinamai garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Beda dengan sistem presidensial hasil amandemen. Rencana pembangunan dari visi dan misinya Presiden. Sehingga, Presiden selesai menjabat, pergi tak pamit. Tak pula memberi pertanggungjawaban. Ini ngawur. Mereka ada juga yang sadar, bahwa sistem ketatanegaraan kita perlu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Tetapi mereka kebingungan antara berpikiran pragmatis, partaiku atau golonganku dapat apa? Jarang yang berpikir strategis konseptual dalam kesisteman demi bangsa dan negara. Ujung-ujungnya kebingungan, karena berpikir sektoral. Akibatnya tidak menemukan kata sepakat, alias macet. Kabar tersebut tertangkap di kupingnya para punakawan. Seperti biasa para Punakawan Semar, Gareng (G), Petruk (P) dan Bagong (B) sambil makan singkong goreng dan secangkir kopi sore ngrumpi ngobrol soal-soal negara. G : Romo, jujur saja ya,… negara kita itu demokratis apa nggak sih? B : Romo, pertanyaan Gareng penting. Romo perlu menjawab. Semar : Anak-anakku bocah bagus, jika kalian rajin baca buku pengetahuan pasti ngerti. Kalian hanya baca komik, yo mesti bingung. P : Romo itu aneh, tidak menjawab malah nyindir. Petruk baca di media, sekarang demokrasi mati. Pak Kwiek Kian Gie, begitu juga yang lain, bilang takut jika mengutarakan pendapat yang beda. Padahal masuk era reformasi, maunya negara ini dibikin demokratis. Bagaimana pendapat Romo? Semar : Ngger anakku, demokratis atau tidak, ukurannya macem-macem. Tergantung sing ngomong. Dulu sistem pemerintahan kita ya demokratis. Cuma kata si pengamandemen UUD 1945 dan asing, tidak demokratis karena ada MPR dan Presiden dipilih MPR. Padahal “founding fathers” di Pembukaan UUD 1945 sudah menekankan “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Berdasar kepada ‘………Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan seterusnya. Nilai tersebut ditransformasikan ke dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Sedang di Pasal 6 ayat (2), ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak”. Jadi kurang opo maneh? Negara berkedaulatan rakyat dan di tangan rakyat. Itu ciri negara demokratis. Jadi, negara demokratis kita. Kalau Pilpres oleh MPR, itu kan caranya. Karena ada yang pingin demokrasi liberal seperti Amerika Serikat, kita dibilang tidak demokratis. Padahal, Amerika Serikat saja Pilpres tidak seperti di Indonesia. Beberapa negara yang Kepala Pemerintahan dipegang Perdana Menteri, juga ada yang tidak dipilih langsung rakyat. Setelah Pilpres dipilih rakyat langsung, kita seperti dininabobokan. Bangga dapat nomor sebagai negara demokratis. G : Apa maksud Romo dininabobokan? B : Reng, kamu tahu lagu ninabobok? Karena dipuji sebagai negara demokratis, diantara kita banyak yang terlena. Mata dan hati tertutup, tertidur. Tidak mau mikir, pelaksanaan kedaulatan rakyat yang cocok untuk Indonsia itu sebenarnya seperti apa. Umumnya, jarang yang sadar, bahwa Pilpres dan Pilkada langsung sudah membelah persatuan kita. Mungkin ini maunya asing. Sistem ini ada yang menyukai, utamanya Parpol, karena diuntungkan. Hanya Parpol yang punya hak usung calon Presiden dan Wapres. Tetapi bagi kepentingan bangsa dan negara jelas merugikan, khususnya terhadap Persatuan Indonesia, tidak dihitung. Semar : Seratus untuk Bagong. Cara melaksanakan kedaulatan rakyat yang cocok dengan budaya kita adalah musyawarah perwakilan. Jangan dikira “founding fathers” kita tidak ngerti sistem-sistem barat itu. Bapak bangsa kita ngerti, tetapi tidak milih demokrasi barat, karena bisa merusak budaya kita. Kalian pasti mengamati, sejak ada Pilpres dan Pilkada langsung, sosial budaya kita rusak. Ketidakjujuran dan ketidakadilan menjamur. Orang mudah bohong, memfitnah, mencaci, umbar kebencian, tidak ada toleran, korupsi, dan radikal. Bukan saja rakyat kecil, pejabat dan kelas menangah ke atas pun ikut melakukan. Perpecahan terjadi tidak saja di keluarga, tetapi juga di RT, RW, organisasi-organisasi, masyarakat luas, dan lain-lain. B : Apa yang diomongkan Romo benar. Kondisi sosial budaya kita sebelum Pilpres langsung tidak seperti ini. Padahal Persatuan Indonesia itu sangat penting bagi kehidupan kita. Persatuan yang dibangun susah payah untuk melawan penjajah, sekarang mudah dirusak, akibat salah pilih cara pemilihan Presiden. G : Tapi anehnya, elite politik kok malah berpikir akan mendahulukan bikin GBHN dibanding mencari penyebab rusaknya sosial budaya, dan mancari jalan keluar agar Persatuan Indonesia tidak koyak ya? Semar : Romo juga heran. Untuk apa mendahulukan GBHN, tetapi persatuan terbelah? Pembangunan itu memerlukan persatuan dan stabilitas dalam segala bidang. Makanya cita-cita nasional, “Persatuan” itu nomor dua setelah merdeka. Mestinya cara berpikirnya tidak sepotong-potong, tetapi harus komprehensif dan integral dalam sebuah sistem. G, P, B : Haa… apa itu Romo? Nalarnya bagaimana? Semar : Gampangnya begini tole anakku. Kalian kalau mau mendirikan rumah kan bikin podasi dulu. Nah, ketika kita akan mendirikan negara Indonesia merdeka, para “founding fathers” pertama-tama juga mencari, menyusun atau membuat pondasi negara yang disebut “Dasar Negara”. Romo tidak akan ngulangi prosesnya ya. Kalian sudah ngerti bukan? B : Betul. Bagong ingat, Romo pernah cerita. Bagong juga baca beberapa literatur yang memberikan penjelasan, nilai-nilai dalam Pancasila itu bersumber dari budaya bangsa. Buku tulisan Yudi Latif : “Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”. Juga buku Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. : “Filsafat Hukum Pancasila dan Semiotika Hukum Pancasila” dan bukunya Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari : “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” memberikan gambaran yang jelas tentang Pancasila. Semar : Wouuw… kamu hebat Bagong. Romo ngaku kalah. Mata Romo sudah tak tahan baca. B : He he he…. Tetapi lanjutannya Romo saja. Semar : Baik tole anakku. Setelah dasar negara Pancasila disepakati, selanjutnya nyusun Hukum Dasar atau Undang-Undang Dasar, yang dikenal dengan UUD 1945. Nah, pasal-pasal UUD 1945 itu merupakan jabaran dari nilai-nilai Dasar Negara, Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945. Kalau Bung Karno mengenalkan Sila keempat Pancasila sebagai Demokrasinya Indonesia, maka pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar ya harus ngikuti nilai-nilai tersebut bukan? Coba bayangkan, kalian bikin rumah dengan pondasi gaya Betawi. Tetapi di atasnya kalian bangun gaya Spanyolan, bisa nggak? Kuat nggak? Tentu mudah roboh karena arsitektur bangunan beda dengan pondasinya. G, B, P : Ha ha ha… karena Romo tidak punya gelar profesor doktor, njelasinya ya gaya Warung Tegal. Lugas, gamblang, murah dan kenyang. Romo tidak pakai istilah demokrasi barat, demokrasi liberal, “one man one vote” yang invidualistis, sehingga gamping bangiit, saya menerimanya. Semar : Kalau GBHN disusun MPR, berarti perlu legalitas. Padahal MPR saat ini tidak punya produk hukum lagi. Ketetapan MPR sudah tidak ada lagi. Agar Presiden tunduk untuk melaksanakan GBHN dari MPR, berarti Presiden harus “Mandataris MPR”. Padahal Parpol masih suka Pilpres dipilih langsung rakyat, jadi mana mungkin? Belum lagi soal siapa anggota MPR saat ini. Anggota DPR plus DPD, nyaris orang-orang Parpol semua. Semua anggota melalui pemilihan yang sarat dengan “money politic”. Tidak ada Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagaimana ciptaan “founding fathers”. Sehingga keterwakilan rakyat tidak tampak. MPR bukan lagi sebagai representasi rakyat Indonesia. Dengan demikian, jika sistem masih menggunakan demokrasi liberal, maka yang kuat itu yang menang. Pemilik modal atau kapitalis yang menang. Tidak menutup kemungkinan para konseptor GBHN adalah jago-jagonya kaum kapitalis. Mereka akan leluasa mendikte, pembangunan apa yang mereka inginkan. Karena mereka sudah menguasai lahan dan tambang (misalnya). Mereka bisa saja mendikte untuk memindahkan Ibu kota Negara, Propinsi ataupun Kabupaten. Mereka bisa mendikte memindahkan ataupun membuat lapangan terbang dan pelabuhan yang bisa mendukung kepentingannya. Semua tersusun dalam GBHN dengan argumentasi yang cantik, sehingga bisa diterima, walaupun tentu ada yang mengkritisi. Tetapi apalah artinya kritik, jika sistem sudah dikuasai pemilik modal. Apalah artinya GBHN yang disusun MPR itu, jika Presiden bukan Mandataris MPR. Apakah akan dipaksakan? Pemaksaan Presiden yang bukan Mandataris MPR untuk melaksanakan GBHN produk MPR, jelas itu penyimpangan dari pemahaman Presidensial, dimana Presiden dipilih rakyat langsung. Dalam sistem Presdiensial, pembangunan didasarkan visi dan misinya Presiden, walaupun hanya dipilih 50 % plus 1 orang. B : Waduh… apakah yang disampaikan Romo tersebut yang akhirnya angin sepoi-sepoi MPR akan bikin GBHN maju mundur, terus macet? Semar : Bagong anakku cah bagus, Romo ora ngerti opo sebabnya. Penjelasan Romo tadi, pendapat Romo saja. Romo hanya ingin membandingkan dengan pemikirannya “founding fathers” yang runtut seperti ini. Setelah Dasar Negara ditetapkan, nilai-nilainya melandasi sistem ketatanegaraan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR (Ps. 1 ayat 2). Siapa MPR? MPR representasi rakyat Indonesia, anggotanya diatur (Ps.2 ayat 1). Bagaimana rakyat bisa menyalurkan keinginan membangun negara untuk kesejahteraan? MPR diberi kewenangan menetapkan GBHN (Ps. 3). GBHN tentu ada yang menjalankan. Siapa? Ya Presiden. Dalam “Sistem Pemerintahan Negara” ditentukan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawahnya MPR. Kemudian dalam “Kekuasaan Pemerintahan Negara”, kekuasaan dan kewenangan Presiden, cara pemilihan Presiden, semua diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6 UUD 1945. Inilah yang disebut dengan “Sistem Pemerintahan Sendiri” atau Sistem Pemerintahan MPR. Prijanto dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) lebih suka menyebut dengan Sistem Pemerintahan Pancasila. Mengapa, karena dilandasi nilai-nilai Pancasila. Negara lain memakai sistem Parlementer, Presidensial atau kombinasi keduanya, silakan saja. Kita harus bangga dengan milik dan cara sendiri. Baca : (https://rmol.id/read/2021/02/06/473938/menepis-pendapat-amien-rais-bagian-6-soal-presiden-memegang-kekuasaan-membentuk-undang-undang) (Google) B : Romo hebat. Rasa nasionalisme Romo seperti “founding fathers”. Saat ini, sulit dicari tandingannya. Lanjutken Romo. Semar : Sehingga pertanyaan kritisnya “Mengapa hanya GBHN yang dipikirkan”? Konon kata petinggi Parpol, masalah Pilpres secara langsung tunda dulu. Ini kan pikiran yang sifatnya sektoral. Apa karena Pilpres secara langsung memberi kenikmatan Parpol, sehingga ditunda dan dibiarkan? Padahal Pilpres secara langsung merusak Persatuan Indonesia. Seharusnya semua berpikir komprehensif dan integral. Tinggalkan kepentingan kelompok dan golongan, menatap ke depan demi bangsa dan negara. Persatuan Indonesia adalah utama, GBHN dari MPR sangat diperlukan, Presiden sebagai Mandataris MPR agar bisa melaksanakan amanat GBHN syarat utama. G : Sore ini Romo panjang banget ceritanya. Biasanya kalau ditulis paling 900-an kata. Tetapi sore ini lebih dari 1600 kata. G, P, B : Terima kasih Romo atas penjelasannya. Semar : Romo juga terima kasih, kalian mau mendengarkan. Semoga ngerti dan bermanfaat. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Aster Kasad 2006-2007/Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Heuristika Hukum Menjawab Tantangan Berhukum Indonesia

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN - Konsep heuristika hukum merupakan suatu lompatan berpikir yang cerdas dan mengagumkan. Konsep ini sangat futuristik, holistik dan menukik di tengah kebekuan penarapan hukum normatif yang tidak menjawab rasa keadilan masyarakat hari ini. Gagasan besar dari Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH. tentang Heuristika hukum bisa memecahkan kebekuan dan kekakuan hukum kekinian. Kekauan dan kebekuan yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Ide dan gagasan heuristika hukum merupakan buah dari pemikiran Yang Mulia Ketua Mahkaham Agung H.M Syarifuddin selama menyelami dan menjiwai dunia berhukum sebagai hakim kurang lebih 35 tahun. Ketua Mahkamah Agung ini menyadari betul ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik hukum. Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Terutama yang berkaitan dengan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Kedua pasal ini memberikan ruang penafsiran yang sangat leber kepada penegak hukum, termasuk para hakim untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku. Bahkan kurang memberi rasa keadilan dan kemanfaatan hukum kepada para pihak. Kenyatan ini sebagai akibat dari model penafsiran hukum oleh hakim yang ansih hanya bersifat legalistik formal semata. Hakim terkesan sangat kaku. Malah tidak berani keluar dari pakem normatif formalisitk. Hakim tidak berani tampil out of the box dalam penjatuhan sanksi pidana di pengadilan. Yang di dunia peradilan dikenal dengan istilah Judicial Aktivism. Oleh karena itu, sudah sangat tepat ajakan dari Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin kepada teman-teman sejawatnya sesama hakim, agar jangan terpaku pada aturan normatif semata. Hakim harus berfikir secara holistik dan progresif dalam mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan demi mewujudkan keadilan sejati. Keadilan yang tidak hanya bermanfaat untuk manusia dan pencari keadilan di dunia. Tetapi juga bermanfaat untuk hakim ketika di depan pengadilan Allah Subhaanahu Wata’ala. Sebab semua putusan hakim ada pertanggungjawaban di depan pengadilan akhirat. Ajakan dari Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin ini sejalan dengan karekter dan prinsip-prinsip pemidanaan dari Yang Mulai Hakim Syuraih, seorang hakim yang sangat terkenal dalam sejaraah peradaban Islam. Yang Mulia Hakim Syuraih terkenal di masa Khalifah Umar Bin Khatab Radiallahu Anhu sampai dengan Khalifah Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengkuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Konsep ini sebagai terobosan penting dan strategis. Heuristika ini adalah bentuk lain ijtihad seorang dalam membuat keputusan. Konsep heuristika hukum baru terdengar sebagai sebuah motode di jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Khususnya dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun ini merupakan suatu lompatan berfikir yang futuristik untuk memecahkan kekakuan dan kebekuan hukum normatif, yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Yang mulia Prof. Dr. Syarifuddin sudah sangat tepat dengan dan layak dengan konsep heuristika hukum. Apalagi sebagai orang yang menduduki puncak pimpinan tertinggi di Lembaga Peradilan Indonesia. Tentu saja konsep ini berangkat teori dan pengalamannya selama menjadi hakim. Konsep heuristika juga lahir dari pergolakan pemikiran secara teoritis. Tujuan dari konsep heuristika hukum adalah memberikan solusi bagi kebuntuan hukum normatif yang ada saat ini. Kebuntuan yang banyak dialami para hakim. Kebuntuan yang terkadang tidak mampu untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam rangka memberikan layanan keadilan bagi para pencari keadilan di pengadilan. Konsep heuristika hukum ini lahir dari pergolakan batin Yang Mulia Prof Dr. Syarifuddin yang panjang sebagai seorang hakim, yang mengedepankan hati nurani. Pergolakan batin dalam menjatuhkan putusan untuk menegakan hukum dan keadilan secara substantif. Keadilan tanpa mengesampingkan aspek kepastian dan kemanfaatan hukum. Karena menjadi sesuatu yang baru di Indonesia, maka konsep heuristika hukum perlu disosialisasikan dan dibedah melalui forum-forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Tujuannya, agar konsep ini bisa diuji eksistensinya. Terutama dalam rangka menjawab problem penegakan hukum, khususnya di lembaga peradilan. Sebagai sebuah gagasan, sudah tentu pasti terjadi pro dan kontra. Namun pro-kontra adalah hal yang wajar di kalangan akademisi. Pro-kontra yang tentu saja untuk menambah dinamika dan dialektika wajah hukum Indonesia. Juga untuk memperkaya intelektual seiring lahirnya konsep heuristika hukum. Dalam pidatonya, Ketua Mahkamah Agung, Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin mangatakan tantangan penegakan hukum adalah dalam hal disparitas pemidanaan. Lebih spesifik lagi dalam contoh kasus putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum yang sama maupun adanya kesamaan pada unsur-unsur tindak pidana korupsi. Namun tetap saja terdapat kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas terkait adanya disparitas pemidanaan tersebut dalam putusan hakim. Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan ini semakin melebarkan jarak antara ekspektasi masyarakat terhadap putusan hakim dan tujuan hukum. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Pemerintahan Jokowi Semakin Lemah?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Meski sulit mempercayai begitu saja ucapan Presiden, namun ada fenomena yang ada patut mendapat pencermatan. Dua hal yang menarik pernyataan dari pemerintahan Presiden Jokowi belakangan ini. Pertama, permintaan agar masyarakat banyak melakukan kritik yang keras kepada pemerintah. Kedua, pengusulan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Informatika dan Tekonologi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008. Rupanya Presiden kalayu sadar bahwa UU ITE telah banyak ditafsirkan salah oleh aparat penegak hukum di lapangan. Polisi asal main tangkap, dan menetapkan orang sebagai tersangka. Urusan benar-salah, itu belakangan. Yang penting tangkap, tangkap dan tangkap saja dulu. Itu terlihat pada penangkapan disertai penetapan tersangka kepada Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin dan kawan-kawan. Membuka pintu kritik dan revisi UU ITE positifnya adalah terjadi proses demokratisasi yang meluas di masyarakat. Namun yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, apakah kenyataan ini sebagai pertanda paradigma baru bahwa kepemimpinan Presiden Jokowi yang percaya diri dan semakin kuat? Atau hanya cermin bahwa Pemerintah semakin lemah ? Sejak menjabat Presiden untuk periode kedua, situasi ekonomi dan politik terasa semakin berat. Penanganan seperti tak terarah. Apa yang dirasakan dan menjadi kegelisahan rakyat selalu dicoba untuk ditutupi. Pandemi Covid 19 berefek pada hutang yang semakin membengkak, investasi mandeg, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kasus Habib Rizieq Shuhab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) yang berujung pada tuduhan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian juga dengan penahanan terhadap para tokoh dan aktivis yang bernuansa politik. UU ITE menjadi alasan atas pelanggarannya. Namun korupsi terus terkuak. Mulai dari Jiwasraya, Asabri, BPJS Tenaga Kerja hingga Bantuan Sosial (Bansos) Covid 19. Desakan untuk mundur serta pemakzulan akibat ketidakmampuan melaksanakan teta kelola negara yang baik dan benar menjadi wacana dan tuntutan publik. Sementara Presiden nampak terus kesulitan memacu kerja dan mengendalikan kabinetnya. Para menteri anggota kabinet seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa visi yang jelas. Apalagi prestasi segala. “Jauh panggang dari api”, kata orang tua-tua dari kampung-kapung. Pemborosan dan kebocoran keuangan terjadi hampir di semua anggaran Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Deparetemen. Sehingga membuka pintu kritik yang dilempar Presiden tanpa dibarengi oleh pembebasan tahanan politik adalah omong kosong semata. Hanya janji, seperti janji-janji lain, yang tidak bisa direalisasikan Presiden Jokowi. Revisi terhadap UU ITE pun ditanggapi beragam. Ada yang setuju ada pula yang mendorong dicabut saja. UU ITE dinilai sama dengan UU Anti Subversi. Di tengah pengelolaan negara yang semakin berantakan, maka sikap akomodatif pada aspirasi rakyat adalah suatu keniscayaan. Pilihan ini hanya untuk menopang langkah Pemerintah terlihat yang semakin melemah dari hari ke hari. Sebaliknya, jika kritik dan revisi terhadap UU ITE hanya merupakan permainan politik, maka langkah lemah itu justru akan menambah goyahnya pemerintahan. Sehingga akhirnya ambruk tak bisa tertolong. Butuh pembuktian dan itikad baik. Caranya dengan membuka pintu kritik dan revisi UU ITE adalah langkah serius untuk melanjutkan dengan demokratis lain, seperti pembebasan aktivis yang kritis. Begitu juga dengan perubahan kinerja aparat penegak hukum ke arah yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Tanpa ada langkah demokratis lanjutan, maka membuka pintu kritik dan revisi UU ITE hanya merupakan bualan politik dan sandiwara babak berikutnya saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ikhtiar Menemukan Keadilan Humanitas (Bagian-2)

Tulisan ini adalah bagian kedua dari catatan akademis singkat terhadap buah pikiran Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH., teman sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, terkait pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Diponegoro, dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern : Pendekatan Heurestika Hukum”. by Prof. Dr. Syaiful Bahri SH. MH. Jakarta FNN – Prof. Dr. M. Muhammad Syarifuddin SH. MH meyakini bahwa Heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Sebab hukum adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Hukum selalu mengikuti kebutuhan berhukum di masyarakat. Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal. Sebaliknya, hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa. Karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan agama (Syarifuddin, 2021: 22). Dalam mengimplementasikan gagasan tersebut, pandangan saya sebagai kolega yang bersangkatan adalah terletak pada hakim itu sendiri. Hal ini menyangkut isyu tentang kemandirian hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Terutama dalam menjatuhkan putusan hakin yang berkaitan erat dengan pidana dalam perkara-perkara korupsi. Pemidanaan bermaksud untuk menegakkan kemaslahatan, perdamaian, serta kebahagiaan untuk seluruh manusia. “Tidaklah seseorang yang berdosa akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum, hingga Kami utus Rasul terlebih dahulu” (Q.S. 17 ayat (15). Pidana sebagai nestapa yang dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang. Pidana dijatuhkan secara sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Ukuran kenestapaan pidana yang patut diterima oleh seseorang merupakan persoalan yang tidak terpecahkan. Pidana baru dirasakan secara nyata apabila sudah dilaksanakan secara efektif. Tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan (Saleh, 1983: 9). Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sekunder, yakni apakah perbuatan pidana itu betul-betul harus dijatuhi hukuman. Karena secara primer hukum pidana, berguna untuk menginsafkan perbuatan yang keliru agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum pidana terkandung asas kemasyarakatan dan perikemanusiaan yang merupakan sendi-sendi negara kita. Itu berarti perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, laksana dua mercusuar yang memancarkan sinarnya di atas samudera yang gelap dan berbahaya. Sehingga para pelayar dalam menuju pangkalannya diharapkan tiba dengan selamat dan berbahagia. Karenanya dua pangkal sinar itu harus selalu diawasi dan diikuti. Sebab jika tidak, bukan kebahagiaan yang akan dialami, sebaliknya kesengsaran dan kesewenang-wenangan (Moelyatno, 2008: 27). Setiap pemidanaan yang dijatuhkan oleh peradilan, dengan aktor utamanya adalah hakim pidana, selalu mendapatkan perhatian di masyarakat. Terutama terhadap tingkat kepuasan dan keseriusan dari pemidanaan tersebut. Apakah suatu alat pembalasan ataukah alat pembinaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam warna warni “keadilan” yang dimaknainya. Disinilah pertemuan pemikiran falsafah Pancasila sebagai pengendali emosi dan hasrat keadilan di relung paling dalam dan suci dari para hakim pidana dalam memberikan kemuliaannya. Menilai peristiwa konkrit dengan tulus ikhlas. Tanpa adanya tanpa muatan-muatan apapun. Hanya dengan hasrat keadilan, hakim dapat membenarkan putusan-putusan pemidanaannya (Bakhri, 2016 : 4). Dalam budaya hukum pidana barat, hakim pidana, karena kepercayaan yang diberikan padanya, menikmati kewenangan yang cukup luas. Kewenangan yang berkenaan dengan penetapan hukuman. Kebebasan itu tidak hanya terhadap pilihan-pilihan bentuk pemidanaan semata. Namun juga terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Patokan berat ringannya pemidanaan, berdasarkan pada patokan tentang tingkat keseriusan dari perbuatan. Juga latar belakang situasi dan kondisi yang melingkupi pelaku ketika melakukan tindak pidana. Karena itu sangat mendapatkan perhatian tentang sejumlah panduan, atau berkaitan dengan sejumlah ciri-ciri yang terkait dengan kejahatan tersebut. Hakim dapat menyimpangi ketentuan perundang-undangan, dengan memberikan alasannya (Kelk, 2012: 69). Tidak ada batas yang jelas atas kebebasan yudisial, bukan berarti hakim tidak terikat dengan peraturan. Tetapi dalam arti kreasinya, hakim menafsirkan bunyi undangundang dan menilai fakta dalam kerangka menyusun nalar hukum. Putusan yang tidak adil, tidak manusiawi dan sebagainya, yang konotasinya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan harapan masyarakat, secara teknis tercakup dalam kategori salah dalam menerapkan hukum. Hakim bisa salah. Tetapi hakim dengan keyakinannya dapat menilai relevansi, signifikasi dan realibiltas fakta, serta bukti untuk menentukan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa pidana. Sehingga hakim dalam menentukan hukuman, apakah mengukum atau membebaskan dari segala dakwaan (Asmara, 2011: 11). Jaminan yang diberikan kepada seorang hakim, sangatlah penting keberadaannya. Penting guna tercapainya tujuan hukum, dalam hal ini hukum pidana dan ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman di Indonesia, telah dijamin dalam konstitusi Indonesia. Independensi hakim diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya. Kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak ekstra yudisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan undang-undang. Mengenai penyelenggaraan pengadilan, walaupun kekuasaan kehakiman, karena kedudukannya yang bebas dan bertanggungjawab, tidaklah boleh Hakim menyalahgunakan kedudukannya yang bebas itu. Karena hakim terikat pada syarat-syarat tertentu yang harus diindahkannya saat menunaikan tugasnya. Syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku, untuk memberi jaminan-jaminan bagi suatu penyelenggaraan peradilan yang layak dan adil. Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan. Dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim bebas dari campur tangan kekuasaan, bersih dan berintegritas serta profesional. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim bukan hanya sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan hukum. Sehingga setiap Hakim bersifat spiritual. Secara lahiriah, terdapat tanggung jawab hakim secara batiniah, Bertanggungjawab pada hukum, diri sendiri dan kepada rakyat, serta lebih jauh pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam merumuskan tujuan hukum yang sesungguhnya, tidak dirumuskan dalam kata-kata, tetapi dipahami dan dihayati, karena bersumber pada hati nurani manusia (Bakhri, 2016: 27). Habis. Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Rezim Bani Berudu Bengak Buyan & Lolo

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN – Setelah itu kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang berkata bukan berdasar landasan ilmu, dan berbuat bukan berdasar landasan ilmu. Barang siapa menjadi penasihat mereka, pembantu mereka, dan pendukung mereka, berarti ia telah binasa dan membinasakan orang lain. Hendaklah kalian bergaul dengan mereka secara fisik. Namun janganlah perbuatan kalian mengikuti kelakuan mereka. Persaksikan siapa yang berbuat baik diantara mereka sebagai orang yang berbuat baik, dan orang yang berbuat buruk diantara mereka sebagai orang yang berbuat buruk. (HR. Ath-Thabrani, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah no. 457) Orang Palembang menyebut penguasa, penasihat, pembantu dan pendukung mereka seperti diungkap dalam hadits di atas sebagai bengak, buyan dan lolo, yang disingkat BBL. "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS. al-An'am: 44) Dalam tafsir al-Madinah al-Munawwarah/Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, Professor Fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah menjelaskan ayat di atas: فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ (Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka). Yakni meninggalkan kesadaran setelah peringatan dengan kemiskinan dan kemelaratan dan mereka malah berpaling dari peringatan tersebut. فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ (Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka) Kami memberi mereka istidraj (jebakan berupa limpahan rezeki karena bermaksiat) dengan membuka pintu-pintu kenikmatan bagi mereka. حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ (sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka) Berupa kenikmatan-kenikmatan dengan berbagai jenisnya, lalu mereka merasa senang dan penuh keangkuhan dan kesombongan serta merasa bahwa mereka diberi kenikmatan karena kekafiran mereka merupakan jalan yang benar. أَخَذْنٰهُم بَغْتَةً (Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong) Yakni dengan tiba-tiba, dan mereka tidak menyangka kedatangannya. فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ (maka ketika itu mereka terdiam berputus asa) Yakni sedih dan putus asa dari hal yang baik karena buruknya keadaan yang menimpa mereka. Rezim bani berudu sedang mendapat istidraj, salahsatunya kekuasaan yang mereka peroleh hari ini karena kemaksiatan mereka. Tiba-tiba mata mereka terbelalak karena buruknya keadaan yang bakal menimpa mereka. Wallahua'lam bish-shawab. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.