OPINI

Nasihatilah Pak Kece Sampai Dia Berhenti Melecehkan Agama

By Asyari Usman ORANG yang mengaku bernama Muhammad Kece, si penista agama, penista Allah SWT, penista Quran, penista Nabi, harus terus diberi nasihat. Berilah dia nasihat sampai Pak Kece berhenti menista. Sampai dia tertunduk diam. Sampai dia memasuki alam sadar yang membuat dia menyesal. Yang memberikan nasihat tidak harus ulama atau ustad besar. Siapa saja boleh. Yang penting, nasihat yang diberikan haruslah tajam dan bisa menusuk sampai ke jantung kesadarannya. Yang bisa mematikan nafsu Pak Kece untuk menista agama Islam. Syaraf kebenciannya kepada Islam, terutama kepada Nabi SAW, mestilah diacak-acak dengan nasihat-nasihat yang tajam itu. Sampai dia insaf. Sampai dia merasa hatinya hancur berkeping-keping karena telah melakukan perbuatan yang sangat tercela. Kalau begitu, apakah diperlukan seseorang yang sangat pandai berceramah? Bisa jadi iya. Bisa tidak. Tetapi, yang lebih tepat untuk memberikan nasihat itu adalah orang-orang yang paham cara menusuk jantung kesadarannya. Yang tahu cara mematikan nafsu penistaan di dalam diri Pak Kece. Jangan pernah bosan menasihati si penista. Sebab, beliau sudah sangat melampaui batas. Sudah ratusan video pelecehan dan penghinaan yang diunggahnya. Artinya, Pak Kece benar-benar memerlukan nasihat yang bisa melenyapkan sumber utama penistaan di dalam dirinya. Sumber utama penistaan itu adalah pikiran kotornya tentang Islam. Pikiran kotor beliau setiap saat memproduksi narasi dan diksi penghinaan terhadap Islam, terhadap Quran, dan terhadap Nabi SAW. Pikiran kotor yang menjadi pabrik penghinaan dan penistaan itu, didukung oleh nafas jahat yang setiap saat keluar dari mulut Pak Kece. Nafas jahat ini berfungsi sebagai corong penistaan. Karena itu, nafas jahat penisataan tsb mutlak harus dihentikan supaya pelecehan Islam tak berlanjut. Setelah nafas jahat tadi dihentikan, niscaya nafas baik yang akan keluar dari mulut Pak Kece. Dengan nasihat yang menusuk jantung kesadarannya dan mematikan nafsu penistaannya, in-sya Allah Pak Kece akan memahami bahwa perbuatannya sangat menyakitkan bagi ratusan juta orang. Semoga dengan tusukan nasihat tajam itu, Indonesia tidak lagi memiliki penista agama Islam.[] (Penulis Wartawan Senior)

Best Friend or Worst Enemy

By M Rizal Fadillah KEMENANGAN Taliban dan mengusir Amerika suatu hal yang besar. Joe Biden Presiden AS menyebut evakuasi tentara dan orang-orang sekutunya adalah misi terbesar dan tersulit. Peristiwa Vietnam terulang dengan lebih menyedihkan. Betapa dahsyat "blitzkrieg" pasukan Taliban memguasai Kabul. Tak ada pilihan selain cepat kabur. Uni Sovyet, Inggris, dan kini Amerika merasakan ketangguhan pejuang-pejuang Afghanistan yang anti imperialisme. Sulit menaklukan hingga tuntas atau selesai. Melelahkan dan membuat putus asa. Untuk menangkap dan membunuh dua tokoh Gulbuddin Hekmatyar (Mujahidin) dan Mullah Omar (Taliban) saja Amerika dan penguasa bonekanya tidak mampu. Pejuang Afghanistan adalah "the worst enemy". Agama Islam yang membentuk kepribadian dan kekuatan mentalnya di samping pantang menyerah juga memiliki kemampuan untuk menggalang solidaritas. Mujahidin tak dapat mengusir Sovyet tanpa solidaritas rakyat, begitu juga Taliban tidak bisa mengusir Amerika tanpa simpati rakyat. Diplomasi dunia dengan pola yang soft and smart mampu membangun kepercayaan dan harapan. Mereka adalah "the best friend". "Best friend or worst enemy" menjadi julukan para pejuang Afghanistan. Nah kini siapapun dapat melakukan pilihan salah satu di antara keduanya. Indonesia tidak terkecuali. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut "Afghan owned and Afghan led" untuk menunjukkan empati penyelesaian oleh bangsa Afghanistan sendiri. Indonesia sejak awal telah ikut berkontribusi dalam proses perdamaian sebagai "co-fasilitators" atau "like minded" di Afghanistan. Retno Hadir menyaksikan pertemuan perdamaian di Doha Februari 2020. Nah kini sikap Pemerintah dan para pendukung diuji konsistensinya dalam menempatkan Taliban sebagai best friend. Tetap mendorong perdamaian atau justru memojokkan dengan stigma negatif sebagai teroris atau kelompok radikal. Jika Pemerintah tetap konsisten degan prinsip mendorong perdamaian dan "Afghan owned and Afghan led" maka cegah stigma negatif. Para Islamophobia, buzzer bayaran, serta tokoh penghasut, termasuk tokoh agama, yang terus memprovokasi bahaya Taliban untuk Indonesia dengan mengaitkan terorisme, radikalisme, atau ekstrimisme haruslah dicegah dan ditindak. Karena hal ini justru kontra produktif dan hanya akan menciptakan keretakan di dalam negeri. Membangun konflik yang tidak perlu. Simpati pada keberhasilan Taliban bukan bagian dari terorisme. Jangan bodoh dan sempit dalam berpandangan. Semoga bangsa Indonesia menjadikan Afghanistan sebagai "best friend" dan tidak memusuhinya sebab mereka itu bukan kelompok dan bangsa kaleng-kaleng. Kita pun tidak mau tentunya dianggap sebagai bangsa kaleng kaleng oleh yang dapat menjadi "the worst enemy". *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Intelektual Yang Melelahkan

Oleh Fauzul Iman (Rektor UIN Banten 2017-2021) SOSOK intelktual dari Jepang yang bernama Prancis Fukuyama merasa kelelahan setelah mempertaruhkn ideologi intelektualnya berkolobrasi dengan Presiden Amerika Serikat, George Bush untuk memporakporandakan Irak lewat peperangan biadab. Perang yang paling banyak memusnahkan peradaban menelan nyawa umat manusia saat itu. Fukuyama dengan bukunya yang berjudul Trust: Social Verture and Creation of Prosperity telah menunjukkan sikap trust-nya keluar dari perilaku neokonsertvatif Bush yang sangat ganas menghancurkan peradaban Irak. Fukuyama dengan penuh penyesalan menyatakan bahwa perang ala Bush telah membawa malapetaka dunia. Integritas Fukuyama ini selayaknya menjadi renungan kuat terhadap persoalan yang banyak menimpa di Indonesia dalam situasi pandemi yang belum kunjung padam. Renungan itu terutama pada pemerintah sendiri yang telah membuat kebijakan berhadapan dengan para kaum intelektual yang memberikan masukan dan atau kritik strategis yang disampaikannya. Sejak pandemi korona mulai lahir terjadi semacam kekalutan yang menandai para pejabat negara mengaku belum pengalaman dalam menangani pandemai korona. Sementara saat korona mulai merebak di negara-negara lain bulan Desember 2019, para pejabat Indonesia memandang remeh seraya menyatakan virus korona tidak bakal terjadi di Indonesia. Kenyataannya setelah sebulan kemudian korona menyerbu Indonesia dan banyak menelan korban rakyat. Sejak itu baru pemerintah dengan cepat bercampur sedikit panik berupaya menangani pandemi Covid-19 dengan cara memberlakukan PSBB. Cara ini mulai menuai kritik dari para komponen intelektual yang menginginkan untuk diadakan lockdown dari pada PSBB yang tidak cukup kuat mengatasi pandemi dengan efektif. Sementara Gubernur DKI Anies Baswedan dan beberapa bupati daerah lebih cenderung memilih cara lockdown. Dari sinilah awal munculnya ketidakkekompakan antara pemerintah pusat dan daerah yang membuat kritik dari berbagai kalangan bermunculan termasuk dari rakyat biasa. Pemerintah terkesan memandang angin lalu terhadap kritik yang datang dari berbagai elemen itu. Kebijakan terus berjalan dengan kebijakan lain seakan tidak dipandangnya sebagai masukan positif. Kebijakan lain di situasi pandemi yang teramat sensitif dengan tidak mempertimbangkan sama sekali kondisi psikologi umat. Pemerintah justru mengajukan Rancangan Haluan Ideologi Pancasila (HIP), UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta kerja. Kaum intelektual yang mengkritik keras kali ini lebih besar lagi, tidak hanya dari tokoh kaliber perseorangan tapi juga suara lantang datang dari Ketua Umum PB NU dan Ketua Umum PP Muhamadiyah. Baru setelah pimpinan ormas besar itu turun gunung, Rancangan Undang-undang HIP ditunda pembahasannya hingga sekarang. Para tokoh sedikit gembira, namun tetap dengan umatnya mewaspadai dan terus mengawasinya agar tidak dibahas kembali apalagi diundangkan dengan cara sembunyi-sembunyi oleh komplotan konspirasi pemerintah dan DPR RI. Di samping itu Undang HIP dicurigai umat Islam merupkan upaya penyelundupan kembali ideologi komunis oleh oknum Pemerintah dan DPR. Kaum intelektual baik perorangan maupun yang diwakili tokoh ormas Islam, LSM dan lain lain, tampaknya masih kecewa berat karena Undang-undang Cipta Kerja/Omnibus Law dan Minerba yang tetap disahkan oleh DPR dan diberlakukan dengan begitu cepat. Undang-undang yang ditengarai memberikan karpet merah kepada pengusaha asing dan oligarki itu telah memicu kemarahan masif dari kaum intelektual. Tidak kurang lantangnya tokoh ormas dari Muhamadiyah, NU, dan para buruh/pekerja lemah yang paling merasa banyak menelan korban kerugian turut mengkritik dengan pedas dan keras. Tokoh/pemikir nasionl dari berbagai latar belakang pun tidak tanggung-tanggung secara personafikasi turut mengkritik dengan terang- terangan atas kecerobohan pemerintah dan DPR RI dalam membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat itu. Tokoh kaliber seperti Dien Syamdudin, Kwik kian Gie, Busyro Muqaddas, Said Akil Siraj, Said Didu, Rizal Ramli, Faisal Basri, Rocky Gerung, Didik Rachbini, para aliansi guru besar, dekan dan dosen se-Indonesia yang dipimpin oleh Prof Dr Susi Dwi Hardijanti. Bahkan terakhir aliansi guru besar yang dipimpin oleh Prof Dr Azyumardi Azra telah mendesak KPK agar tunduk pada rekomendasi ambudsman yang menyatakan telah terjadi maladministrasi pada praktek TWK yang dilakukan KPK terhadap 70 para pegawainya. Presiden dalam hal ini terlihat membiarkan kondisi terburuk KPK dan dituduh melakukan upaya pelemahan lembaga anti-rasuah tersebut. Kritik publik yang diwakili para intelektual kaliber semakin menguat dengan berdirinya Organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia yang didirikan Prof Dien Syamsuddin. Koalisi berlanjut melakukan diklarasi dimulai dari Jakarta hingga ke daerah. Lagi-lagi pemerintah menggagalkan diklarasi koalisi itu dengan dalih mengganggu PSBB dengan kerumunan tak legal. Beberapa tokoh koalisi dituduh melalukan makar yang berujung ditangkapnya tiga tokoh koalisi yaitu Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan. Bahkan yang paling mengherankan dan sungguh sangat zalim, Dien Syamsuddin sebagai pimpinan koalisi yang sangat terkenal sebagai pejuang moderasi agama-agama di dunia kerap dibully dan dituduh sebgai tokoh radikal dan diusulkan agar dipecat dari Ketua Majelis Amanah ITB. Tokoh- tokoh lain yang terkenal paling kritis seperti Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Fadli Zon dan lain-lain juga tak luput dari serangan bully para buzzer dan kerap dilaporkan ke Bareskrim dengan tuduhan melakukan tindak pidana. Kondisi negara yang makin represif dan kurang memberikan kebebasan kepada suara kaum intelektual ini, membuat Kwik Kian Gie tokoh intelektual/Pakar ekonomi PDIP bernasib mengalami kelelahan intelektual seperti Francis Fukuyama. Bedanya Fukuyama mengalami kelelahan intelektual di tengah neo-konservatif Presiden Bush yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan lewat perang Irak. Kwik Kian Gie mengalami kelelahan intelektual berhadapan dengan pemerintah, yang menurutnya represif menghalangi kebebasan intelektual dalam menyampaikan pendapat, pikiran, dan keritik. Kwik tidak ingin lagi bicara mengkritik pemerintah karena takut dengan para buzzer yang suatu saat gampang melaporkannya ke polisi. Dalam jangka pendek, kondisi kelelahan kaum intelektual ini boleh jadi menguntungkn pemerintah karena status quo akan tegak abadi dengan mempertahankan stabilitasnya dengan penuh kesemuan. Namun dalam waktu jangka panjang, bukan tidak mungkin, akan tumbuh otoritarianisme baru dari pemerintah dengan makin leluasa membuat kebijakan baru yang selalu merugikan rakyat. Terbukti sampai hari ini pemerintah masih tetap membuat kebijakan barunya dengan memasung peran kebebasan intelaktual untuk dipercaya memimpin Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lembaga riset ini justru dikomandoi oleh Megawati, Dewan Pembina BPIP dan pimpinan partai politik terbesar yang sangat dicurigai bertendensi melakukan intervensi kepentingan. *)

Waspadai Dialektika Politik

By M Rizal Fadillah DALAM Rapat Paripurna MPR 16 Agustus 2021 Ketua MPR Bambang Soesatyo mengantarkan dengan menyinggung rencana Amandemen UUD 1945 mengenai Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). Agenda ini kemudiannya menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya partai politik pun belum ada kesepakatan. Dua hal yang perlu mendapat perhatian dari rencana amandemen PPHN. Pertama, bagaimana PPHN, sebagai nomenklatur lain dari GBHN, relevan dengan status Presiden yang bukan Mandataris MPR? Kedua, apakah amandemen satu pasal ini tidak membuka ruang bagi amandemen pasal lain seperti perpanjangan masa jabatan Presiden? Meski sepertinya Presiden Jokowi menolak perpanjangan tiga periode, akan tetapi suara yang mendorong dari pendukung ternyata tidak dicegah, bahkan dibiarkan. Pembentukan Jokpro 2024 pimpinan Qadari adalah sebuah contoh. Terkesan perpanjangan tiga periode adalah isu politik yang sengaja dilempar dan diramaikan. Dialektika politik sedang dimainkan dengan merujuk pada filsafat politik Friedrich Hegel, bapak materialisme yang pelanjutnya adalah Karl Marx. Hegel berprinsip "semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real". Hegel mengenalkan hukum dialektika dalam trilogi tesis, anti tesis dan sintesis. Menurutnya tidak ada suatu kebenaran absolut karena berlaku hukum dialektika. Yang absolut adalah semangat revolusionernya yakni perubahan tesis oleh anti tesis untuk menjadi sintesis. Masa jabatan Jokowi sesuai UUD 1945 yang selesai pada tahun 2024 merupakan tesis, sementara amandemen perpanjangan menjadi tiga periode hingga tahun 2029 adalah anti tesis. Lalu apa sintesisnya ? Inilah sebenarnya yang ditargetkan dari dialektika politik itu. Sintesisnya adalah perpanjangan 3 tahun hingga 2027 tanpa amandemen ! Pandemi akan menjadi alasan "rasional yang real dan realita yang rasional". Anggota MPR akan mudah menyetujui. Pandemi juga menolong anggota DPR dan DPD bahkan DPRD untuk mendapat anugerah perpanjangan tiga tahun. Bentuk hukumnya dapat Ketetapan MPR atau Perppu yang kemudian menjadi Undang-Undang. Mudah untuk digugat uji materiel, tapi MK pun mudah untuk diatur. Inilah bahaya ketatanegaraan di depan mata kita. Presiden dan Wakil Rakyat yang sedang berbicara tentang kepentingan dirinya sendiri. Sementara rakyat dibiarkan secara permanen merenungi nasibnya sendiri. Pandemi covid 19 menjadi alasan politik untuk berbuat semaunya. Merampok uang negara, memaksa rakyat, melarang unjuk rasa, menangkap dan menghukum, termasuk memperpanjang masa jabatan. Semuanya atas nama pandemi yang maha kuasa. Amandemen UUD 1945 soal PPHN adalah kotak Pandora untuk memulai malapetaka di ruang "semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real". Dialektika politik Hegel tesis, anti tesis dan sintesis ini harus diwaspadai. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 22 Agustus 2021

Cabe atau Catatan Babe: Hello Sadness! Paradigma dan Format Baru Politik Luar Negeri Amerika

Tentu Mega punya alasan shahih untuk menangis. Karena 2-3 hari sebelum menangisi Jokowi, Mega menegur keras Jokowi agar stop pencitraan. Oleh Ridwan Saidi PADA bulan Mei 2021 terjadi konflik senjata Hamas vs Israel. Orang menduga conflict as usual. Sebentar lagi juga setop sendiri. Orang hafal sejak 1967 selalu demikian. Ternyata konflik Mei 2021 beda dengan serangkaian konflik pasca 1967. Timeframe konflik Mei 2021 selama 11 hari, negara barat tidak ada yang campur, bahkan komentar pun tidak. Lebih tidak terduga konflik berujung rundingan, Israel menurut. Belum hilang May Surprise tahu-tahu Taliban berpentas di Afganistan. Begitu Amerika Serikat mnyatakan meninggalkan Afghanistan, timeframe Kabul jatuh bagai terukur. Saya hormat pada yang berpendapat Amerika Serikat (AS) keok. Akan tetapi, kalau belajar dari kasus perang Vietnam, maka kesimpulan bisa lain karena format yang dipakai kepada Taliban mirip dengan yang dipakai di Vietnam dimana US Army pergi dari Vietnam dan beberapa tahun kemudian kembali, tidak fisik, tetapi pengaruhnya yang datang di Vietnam. Melihat Taliban Agustus 2021, saya simpulkan ini format baru, konten tetap. Namun, saya hargai pendapat lain. Gaza membangun sekarang dengan bantuan Mesir. Mesjid indah Palestina pun sudah diresmikan. Sampai terbentuknya negara Palestina, Israel tidak boleh ganggu, apalagi kalau Negara Palestina berdiri. Sementara itu, Taliban mengakui tidak kurang dari enam kali mereka bertemu Donal Trump, semasa masih Presiden Amerika Serikat. Tampaknya, politik luar negeri AS tidak berubah, tetapi oradigmanya baru. Begitu juga di Asia Tenggara. Penyelesaian kudeta militer di Myanmar, didiamkan saja oleh AS. Demikian juga penyelesaian krisis pemerintahan Malaysia juga tidak dikomentari AS. Bagaimana dengan Indonesia? Baru-baru ini Megawati menangisi Presiden Jokowi yang diejek medsos atau media sosial. Padahal, netizen di medsos mengejek Jokowi sudah lama. Akan tetapi, kok baru menangis sekarang. Tentu Mega punya alasan shahih untuk menangis. Karena 2-3 hari sebelum menangisi Jokowi, Mega menegur keras Jokowi agar setop pencitraan. Meyakinkan, kalau di antara dua event terjadi pertemuan Jokowi-Mega. Kalau pertemuan itu ada, tentu Jokowi menceritakan sesuatu kepada Mega. Hal itu sebab sejati banjir air mata pada acara zoom Megawati. Sesuatu yang diceritakan Jokowi kepada Mega bukan kisah Bollywood, tetapi itu Bonjour Tristesse, film 1958 Otto Preminger. Hello Sadness. Berdekatan dengan cry story Mega, Prabowo imbau agar kita tiru pimpinan partai komunis China. Hari Ulang Tahun Partai Komunis Cina 1 Juli, baru diapresiasi satu setengah bulan kemudian. Apa mau membuat Amerika cemburu? Susahnya kalau tidak dihiraukan. Emang gue pikirin? Expresi unik kedua tokoh tersebut menggiring saya pada kesimpulan, telah tiba "Sandya Kala Ning Mojopahit". (Majapahit bubar pada 1479 karena kehabisan ongkos). Penulis adalah budayawan Betawi.

Ganti Pejabat Kades di SBB, Plh Bupati Akerina Bikin Gaduh

by Hasan Minanan Ambon FNN - Masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku dibuat resak dalam dua minggu tarkhir ini. Penyebabnya, kebijakan Pelaksana Harian (Plh) Bupati SBB Timotius Akerina yang melakukan pembersihan terhadap para Pejabat Kepala Desa yang dianggap sebagai pendukung setia mantan Bupati, almarhum Yasin Payapo. Tidak harmonisnya hubungan antara mantan Bupati SBB, almarhum Yasin Payapo dengan wakilnya selama emat tahun, membuat membuat Timotius Akerina seperti menyimpan dendam kusumat. Ketika menjabat sebagai Plh Bupati, Akerina seperti pejabat yang kalap. Dendamnya kepada orang-orang yang dianggap sebagai pendukung Yasin Payapo seperti terlampiaskan. Mendapat tempat penampungan. Sejumlah pejabat Kepala Desa (Kades) di Kabupaten SBB yang diangkat oleh mantan Bupati Yasin Payapo diancam bakal dicopot. Kebijakan ini kalau benar sampai dilaksanakan, maka Akerina nyata-nyata memproduksi kegaduhan di tengah masyarakat. Padahal masyarakat tengah berjuang dan berperang melawan penyebaran pandemi Covid-19. Masyarakat juga sedang berupaya keras untuk meningkatkan kemampuan ekonominya. Sebab faktanya daya beli masyarakat di seluruh Indonesia lagi menurun dengan drastis. Menghadapi situasi darurat kesehatan, darurat ekonomi dan darurat sosial seperti ini, menjadi tugas utama pejabat daerah untuk membangun ketenangan di tengah masyarakat. Bukan sebaliknya, malah membuat keruh suasana, bahkan menciptakan kegaduhan. Soliditas dan keharmonisan yang telah ada di masyarakat, harusnya didorong untuk dikuatkan. Syukur-syukur bisa ditingkatkan. Jangan malah sebaliknya, yang sudah solid dan harmoni itu, dibuat menjadi gaduh hanya karena dendam kepada mantan Bupati. Bisa juga karena yang diganti itu dianggap sebagai orangnya mantan Bupati Yasin Payapo. Bukan pekerjaan mudah membangun soliditas di tengah masyarakat yang lagi berjuang, bahkan berperang melawan dan menghadapi tiga tekanan kehidupan yang datang secara bersamaan. Pertama tekanan masalah kesehatan (Covid-19). Kedua, tekanan masalah ekonomi. Ketiga, tekanan masalah sosial, berupa kelanjutan pendidikan setiap anak. Penyebaran Covid-19 sudah sampai ke desa-desa di Kabupaten SBB. Cirinya banyak masyarakat yang mengalami kehilangan penciuman dan rasa terhadap makanan yang di makan. Ada yang semua anggota keluarga di dalam rumah mengalami hal yang sama. Hanya saja masyarakat tidak mau melaporkan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat yang asa di SBB. Masyarakat lebih memilih untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Menghadapi situasi ini Plh Bupati SBB, Timotius Akerika harusnya membuat kebijakan yang memastikan tidak adanya pergantian pejabat yang menimbulkan kegaduhan. Kecuali hanya untuk kebutuhan yang benar-benar amat mendesak. Misalnya, untuk mengisi kekosongan pada jabatan mereka yang akan pensiun atau berhalangan tetap, sehingga dikhwatirkan tidak bisa melaksanakan tugas sebagai pejabat publik di pemerintahan dengan baik dan benar. Memimpin tata kelola pemerintahan yang berbasis dendam, hanya mempertontonkan ciri dan karakter kepemimpinan yang picik, licik, kerdil, picisan, amatiran dan kampungan. Pemimpin yang kehilangan kewarasan dan empati terhadap bahannya sendiri. Pengajar filsafat di Universitas Indonesia Rocky Gerung menyebutnya dengan pemimpin yang dungu dan dongo. Pemimpin seperti ini, bila terus menjabat, dikhawatirkan akan selalu dan selalu memproduksi keterbelahan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Bisa juga disebut sebagai pemimpin odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Pemimpin yang tidak memahami esensi bernegara, yaitu sila “Persatuan Indonesia”. Persatuan itu membuat yang terpecah menjadi bersatu atau bersama. Bukannya membuat yang sudah bersatu terpecah, dan berbalik memusuhi pemipim. Seorang pejabat Kepala Desa bercerita, bahwa Timotius Akerina dendam kepadanya. Karena dianggap sebagai orangnya mantan Bupati Yasin Payapo yang meninggal dunia 1 Agustus 2021 lalu. Kepala Desa sering mengikuti rapat yang dihadiri Yasin Payapo dan Timotius Akerina. Namun Akerina dendam karena merasa tidak dihargai. Dendam itulah yang berikat sang Kepala Desa terancam dicopot Akerina yang sekarang menjadi Plh Bupati SBB. Timotoius Akerina akan berakhir sebagai Plh atau Pejabat Bupati SBB nanti pada 22 Mei 2021 nanti. Dengan sisa waktu hanya tingga sembilan, bukan waktu yang tepat untuk mempruksi kegaduhan dan keterbelahan di tengah masyarakat. Bukan juga waktu yang tepat untuk takut kepada almarhum Yasin Payapo yang sudah menghadap Allaah Subhaanahu Wata’ala. Rangkul dan satukan kembali masyarakat Kabupaten SBB, dengan cara membatalkan semua pergantian pejabat, terutama Kepala Desa. Kecuali untuk yang mendesak karena kekosongan jabatan mereka yang pensiun, atatu mereka yang terlibat korupsi penyalahgunaan Dana Desa. Jangan biarkan masyarakat SBB imumnya turun hanya karena kebijakan yang penuh dendam. Gunakan waktu yang tersisa sumbulan bulan lagi ini untuk meninggalkan legesi bahwa Timotius Akerina dikenang sebagai pemimpin pemersatu rakyat SBB. Pemimpin yang selalu dibanggakan dan diagungkan, karena kebijakannya yang menyejukan. Sehingga imun masyarakat semakin kuat dalam menghadapi penyebaran pandemi Covid-19. Teman saya, seorang wartawan senior mengim pesan di Whats App, “kalau kelak ditaqdirkan menjadi pemimpin, tiupkanlah kembali kekuatan dan semangat kehidupan itu kepada mereka yang takut kehilangan jabatan akibat terjadi pergatian kepemimpinan, agar mereka kembali bersemangat dan loyal kepadamu”. Setelah itu tetap awasi mereka agar tidak membuat kebijakan yang merugikan kepentingan publik. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Rakyat Menggugat: MPR Bukan Pemilik Hakiki Kedaulatan Rakyat

Oleh: Anthony Budiawan (Managing Director Political Ecoomy and Policy Studies (PEPS) SEBELUM 17 Agustus 1945, negara Indonesia belum berdiri. Pemerintah (Indonesia) belum ada. Pada 17 Agustus 1945, sekelompok masyarakat Indonesia, yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, mendeklarasikan berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka, dari Sabang sampai Merauke. Sekelompok masyarakat ini, yang mendapat kepercayaan dari seluruh rakyat (Indonesia), sepakat untuk membentuk pemerintah, berdasarkan butir-butir kesepakatan yang dituangkan di dalam produk hukum Undang-Undang Dasar (UUD), yang menjadi pegangan hukum bagi semua pihak, bagi rakyat dengan pemerintah yang dibentuknya, dan senantiasa harus ditaati. Berarti, kesepakatan sekelompok masyarakat yang dituangkan menjadi UUD tersebut pada dasarnya adalah kontrak sosial antar-masyarakat. Sedangkan pemerintah, yaitu presiden dan segenap pembantunya, adalah pihak yang ditunjuk untuk menjalankan kesepakatan kontrak sosial (UUD) antar- masyarakat ini. Untuk menyeimbangi kekuasaan presiden agar selalu berada dalam koridor kesepakatan kontrak sosial (UUD). Kontrak sosial juga sepakat menunjuk perwakilan rakyat yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan golongan dan utusan daerah, yang sekarang (setelah amandemen UUD) menjadi Perwakilan Daerah. DPR dan MPR mempunyai wewenang yang berbeda. DPR mengawasi jalannya pemerintahan antara lain pembentukan peraturan perundang-undang yang diperlukan negara. MPR berwenang antara lain memilih dan memberhentikan presiden. Seusai kontrak sosial (UUD) yang disepakati pada 17 Agustus 1945, yang mana wewenang MPR tersebut sekarang sudah diamputasi sendiri oleh MPR, melalui amandemen UUD (atau kontrak sosial). Pertanyaannya, apakah amandemen UUD tersebut sah? Apakah MPR dapat mengubah kontrak sosial antar- masyarakat yang disepakati pada 17 Agustus 1945 tanpa melibatkan masyarakat secara langsung? Apakah MPR sebagai perwakilan rakyat dapat menjelma menjadi rakyat, sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam mengubah Kontrak Sosial (UUD)? MPR periode 1982 – 1987 yang dipimpin oleh Amir Machmud sebagai ketua MPR berpendapat bahwa MPR tidak berwenang mengubah kontrak sosial (UUD) tanpa melibatkan rakyat secara langsung dan sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Oleh karena itu, MPR mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR No IV/MPR/1983 tentang referendum. Pasal 2 menyatakan "Apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum". Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR ketika itu menjalankan perintah MPR sepenuhnya dengan menerbitkan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum untuk perubahan UUD. Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri, banyak pihak yang ingin mengubah dan menghancurkan kontrak sosial antar- masyarakat tertanggal 17 Agustus 1945. MPR pimpinan Harmoko periode 1 Oktober 1997 hingga 30 September 1999 mengeluarkan TAP MPR No VIII/MPR/1998 pada 13 November 1998 yang isinya mencabut TAP MPR tentang Referendum. Dengan demikian, UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum kehilangan dasar hukum, dan Presiden Habibie ketika itu “terpaksa” mencabut UU tersebut dengan menerbitkan UU No 6 Tahun 1998 tentang pencabutan UU No 5 tahun 1985. Alasan pencabutan TAP MPR tentang referendum tersebut karena referendum melanggar hak MPR. Pertama, melanggar Pasal 1 ayat (2) UUD bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. dan kedua, MPR mempunyai wewenang untuk mengubah UUD seperti tercantum pada Pasal 37 UUD. Referendum dianggap mengamputasi hak MPR tersebut. Dampaknya, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap isi kontrak sosial (UUD) tertanggal 17 Agustus 1945, di mana MPR bahkan mengamputasi sendiri secara suka rela wewenangnya sebagai wakil rakyat, sebagai “pemilik” kedaulatan rakyat. Di mana MPR tidak mempunyai wewenang lagi untuk memberhentikan presiden apabila dianggap melanggar kesepakatan kontrak sosial (UUD). Hal ini juga berarti, MPR melanggar kontrak sosial tertanggal 17 Agustus 1945. MPR tidak menjalankan tugas yang diberikan kepadanya untuk menegakkan kontrak sosial (UUD), sehingga MPR tidak layak lagi menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Karena MPR saat ini hanya berfungsi sebagai pelaksana (tukang) lantik, pelaksana berhentikan presiden kalau diminta DPR, dan pelaksana mengubah UUD tanpa melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebenarnya. Menurut pendapat saya, dan sekaligus sebagai pembuka diskusi publik, referendum untuk mengubah kontrak sosial (UUD) tidak melanggar hak MPR. Tidak melanggar kontrak sosial (UUD) 17 Agustus 1945. Karena, pertama MPR masih mempunyai wewenang untuk mengubah UUD sesuai Pasal 37. Tetapi, ada persyaratan tambahan, yaitu sebelum mengubah UUD rakyat harus tahu apa yang akan diubah dan memberi persetujuan atas topik yang mau diubah tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan kontrak sosial antar-masyarakat. Kedua, bertanya langsung kepada rakyat (referendum) sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya tidak melanggar Pasal 1 ayat 2 UUD yang mengatakan kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Karena, “dilakukan sepenuhnya oleh MPR” bukan berarti terjadi pengalihan hak dari rakyat kepada MPR secara abosult dan permanen. Oleh karena itu, untuk hal-hal penting yang menentukan nasib rakyat di masa depan seperti perubahan kontrak sosial (UUD), MPR bahkan harus melibatkan rakyat secara langsung tanpa melalui perwakilan, melainkan melalui referendum, termasuk kemungkinan referendum mosi tidak percaya baik terhadap eksekutif maupun kepada pimpinan DPR dan MPR. --- 000 ---

Amandemen UUD 1945 Berbahaya

Oleh Tony Rosyid Banjarnegara, FNN - Amandemen UU 1945, sudah beberapa kali terjadi. UUD 1945 bukan kitab suci, kata Bambang Soesatyo, ketua MPR. Karena itu, bisa diubah dan tak perlu tabu. Kita semua tahu, Bamsoet, panggilan akrab ketua MPR ini adalah inisiator, orang yang paling awal dan paling getol usulkan presiden tiga periode. Entah apa agenda di balik itu, yang pasti semangat itu nampaknya belum surut hingga hari ini. DPR terbelah terkait hal ini. Dua fraksi mendukung Amandemen yaitu PKB dan PPP. Enam fraksi menolak yaitu PKS, Demokrat, Nasdem, Gerindra, Golkar dan PAN. Dua faksi yang berseberangan ini perlu tulisan sendiri untuk membedahnya. Terutama alasan mengapa PKB dan PPP setuju, ini menarik untuk dianalisis kepentingan politiknya dibalik dukungan itu. Tepatnya, ada hal menarik dibalik manuver partai-partai ini. Ditolaknya amandemen UUD 1945 saat ini karena dua alasan. Pertama, alasan normatif. Karena Indonesia sedang fokus hadapi pandemi. Amandemen UUD 1945 bisa membuat pemerintah gagal fokus. Ini argumen normatif, halus dan santun. Biasanya, argumen macam ini hanya basa-basi. Bukan argumen yang sesungguhnya. Argumen semacam ini oleh penguasa dianggap sopan, dan oleh rakyat dianggap rasional. Kedua, argumen substansi. Ada kekhawatiran yang amat serius bahwa amandemen akan dijadikan pintu masuk untuk mengubah masa jabatan presiden. Selama ini, wacana presiden tiga periode atau pemilu diundur 2027 kencang sekali. Ada banyak informasi bahwa ini bukan sekedar wacana dan main-main, tapi ini agenda besar yang telah dipersiapkan dengan matang. Ada pihak-pihak yang ngotot dengan agenda ini untuk menjaga kepentingannya di dalam kekuasaan. Salah seorang ketua umum partai bicara ke saya, jika agenda ini dipaksakan akan berpotensi memicu kegaduhan nasional. Karena jelas-jelas bertentangan dengan aspirasi rakyat. Rakyat mendukung sikap enam partai yang menolak amandemen saat ini. Bukan amandemennya, tapi agenda dibalik amandemen itu yang harus diwaspadai. Meski narasinya "amandemen terbatas", tapi tak ada yang menjamin akan betul-betul terbatas. Ini bisa liar. Sejumlah survei menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menolak presiden tiga periode. Ini sama dengan pendapat presiden Jokowi itu sendiri, menolak jabatan presiden tiga periode. Klop! Presiden Jokowi dan rakyat kompak. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang memaksakan tiga periode hanya akan mengundang banyak masalah. Ini sikap tidak rasional dan berbahaya. Tapi, semua akan tetap bergantung ke dua pihak. Pertama, ke ketua umum PDIP. Dan kedua, ke presiden Jokowi itu sendiri. Kalau kedua orang ini setuju amandemen, siapa yang bisa menghalangi? Jika amandemen UUD 1945 disetujui, maka lobi dan negosiasi terkait presiden tiga periode akan terbuka. Saat itulah rakyat boleh jadi akan menyaksikan nasib demokrasi kita yang semakin terpuruk. Reformasi pun akan secara sempurna kehilangan jejak spiritnya pasca KPK direvisi UU-nya. Kita berharap, kedua tokoh besar ini menolak amandemen, karena ini berpotensi memancing kegaduhan politik. Lebih baik bangsa ini fokus tuntaskan pandemi dan genjot pertumbuhan ekonomi. *) Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Waspadai, Upaya "Selundupkan" Pasal Perpanjangan Jabatan Presiden!

Oleh : Mochamad Toha Pengganti Jokowi dipastikan akan sulit mengembalikan perekonomian yang sudah berantakan dalam waktu 5 tahun. KETUA MPR Bambang Soesatyo telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jumat (13/8/21). Menurut Ketua MPR, Presiden Jokowi akhirnya setujui amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (RI) Tahun 1945. Politikus Partai Golkar itu memastikan bila nantinya pembahasan amandemen itu tidak akan menjadi bola liar, khususnya terkait perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. Kekhawatiran itu justru datang dari Presiden Jokowi. Ia mempertanyakan apakah amandemen UUD 1945 tidak berpotensi membuka kotak pandora sehingga melebar, termasuk mendorong perubahan periodesasi presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode? “Saya tegaskan kepada Presiden Jokowi, sesuai dengan tata cara yang diatur di Pasal 37 UUD NRI 1945 sangat rigid dan kecil kemungkinan menjadi melebar,” kata pria yang karib disapa Bamsoet seperti dikutip dari laman mpr.go.id, Minggu (15/8/2021). Bamboet menyebut, Presiden Jokowi mendukung dilakukan amandemen terbatas UUD 1945 hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan tidak akan melebar ke persoalan lain. Adapun PPHN diperlukan sebagai bintang penunjuk arah pembangunan nasional. Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR RI mengenai pembahasan amandemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN, karena merupakan domain dari MPR. “Beliau hanya berpesan agar pembahasan tidak melebar ke hal lain, seperti perubahan masa periodesasi presiden dan wakil presiden, karena Presiden Jokowi tidak setuju dengan itu,” ujarnya. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menyatakan, pasal 37 UUD 1945 mengatur secara rigid mekanisme usul perubahan konstitusi. Perubahan tak bisa dilakukan secara serta merta dalam pembahasan rapat semata. Namun, terlebih dahulu diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR. Dengan demikian, tidak terbuka peluang menyisipkan gagasan amandemen di luar materi PPHN yang sudah diagendakan. “Semisal, penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. Karena MPR RI juga tidak pernah membahas hal tersebut,” tegas Bamsoet. Menurutnya, amandemen terbatas hanya akan ada penambahan dua ayat dalam amandemen UUD 1945. Salah satu contohnya seperti penambahan ayat pada Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Penambahan satu ayat di Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat di Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN. “Selain itu, tidak ada penambahan lainnya dalam amandemen terbatas UUD 1945,” kata dia. Pada Rabu 18 Agustus 2021, Bamsoet kembali menegaskan rencana amandemen konstitusi itu dengan menyebut bahwa Konstitusi UUD 1945 bukan merupakan Kitab Suci. Oleh karena itu, menurut Bamsoet, jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan atau amendemen UUD 1945, maka tidak boleh dianggap tabu. “UUD NRI 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan,” ungkap Bamsoet dalam acara peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-76 MPR yang dipantau secara daring, Rabu (18/8/2021). Tapi, publik tak percaya dengan ujaran Bamsoet yang menjamin amandemen hanya terbatas pada PPHN dan tidak melebar pada perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. Sebab, politisi berbohong itu lumrah sebagaimana lazimnya Jokowi berbohong. Sementara itu di DPR, wacana tiga periode atau menambah jabatan Jokowi menjadi 8 atau 7 tahun di periode kedua ini menguat. Pandemi Covid-19 akan dijadikan dalih untuk memperpanjang kekuasaan Jokowi melalui Amandemen konstitusi khususnya ketentuan pasal 7 UUD 1945. Ia menjamin amandemen hanya terkait PPHN. Sayangnya Bamsoet tak mau merinci apa yang dimaksud PPHN dalam wacana amandemen. Bagaimana jika dalam PPHN dimaksud memuat PPHN dalam Kondisi Darurat? Bagaimana nanti jika kelak Kondisi Darurat itu termasuk bencana non alam seperti Pandemi Covid-19? Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin mempertanyakan, bagaimana nanti, jika norma yang diadopsi dalam amandemen PPHN berbunyi: “Dalam hal negara mengalami kegentingan yang memaksa, baik oleh sebab bencana alam, bencana non alam, kerusuhan, dan sebab lainnya, maka Pemilu dan Pilpres ditangguhkan,” tulisnya. Dan, “Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan MPR ditambah hingga menjadi 8 tahun dan setelahnya Pemilu dan Pilpres dapat kembali diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi kegentingan telah berlalu.” Seperti diketahui, beberapa bulan terakhir ramai kembali soal wacana masa jabatan presiden dan wakil presiden ditambah menjadi tiga periode. Wacana itupun seolah menguat dengan munculnya sejumlah komunitas pendukung Jokowi untuk maju kembali sebagai presiden. Namun, dibutuhkan amendemen UUD 1945 untuk mengubah ketentuan yang mengatur masa jabatan presiden itu, misalnya menjadi maksimal tiga periode. Karena, gagasan tiga periode jelas menabrak Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan presiden dan wakil presiden hanya bisa menjabat maksimal dua periode. Sebelumnya, Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 alias Jokpro 2024 terus mendorong supaya Presiden Jokowi bisa maju lagi pada Pilpres 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto. Penasihat Jokpro 2024, M. Qodari optimis Amandemen UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden menjadi 3 periode sangat mungkin dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam UUD RI 1945 terpenuhi. “Memang UUD 45 sudah mengatur pada pasal 37 bahwa UUD 45 bisa diubah sejauh syarat-syaratnya dipenuhi, diusulkan sepertiga anggota MPR, kemudian dihadiri 2/3 anggota MPR dan juga disetujui 50 persen plus 1 kalau nggak salah nanti bisa dicek konstitusinya,” ujarnya. “Tapi intinya sejauh syarat-syarat itu terpenuhi, maka kemudian amandemen bisa dilakukan,” lanjut Qodari dalam keterangannya, Sabtu (13/8/2021). Ia menambahkan, pada kenyataannya amandemen UUD 1945 sudah pernah dilakukan beberapa kali: 1999, 2000, 2001, dan 2002. Ia mengatakan, amandemen itu dilakukan secara faktual bukan prank atau tipuan. Untuk itu, Qodari berpandangan dengan besarnya koalisi pemerintahan di parlemen sudah memenuhi syarat untuk melakukan amandemen UUD 1945. “Jadi kalau kita bicara kekuatan politik yang ada pada hari ini ya yang ada di parlemen, itu sudah sangat mendekati syarat-syarat untuk peluang bisa terjadinya amandemen, begitu,” ungkapnya. Qodari menyatakan, dukungan untuk Jokowi maju menjadi tiga periode saat ini pekerjaan rumahnya hanya dengan rakyat. Pasalnya soal urusan dengan elite politik terkait amandemen sudah terselesaikan. “Jadi PR kita hari ini ada dua, pertama elite politik, yang kedua adalah masyarakat, saya melihat bahwa PR terbesar itu justru ada di masyarakat, karena ya kalau bicara elite politik tanya setuju apa nggak, ya kan 80 persen koalisinya Pak Jokowi,” kata Qodari. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer tersebut, dengan koalisi besar di parlemen bukan tidak mungkin amandemen akan dilakukan. Menurutnya, UU Omnibus Law yang berat saja bisa lolos di parlemen. “Kita udah melihat bagaimana perundang-undangan yang sulit misalnya seperti Omnibus Law segala macam kan disetujui begitu. Jadi, saya melihat PR kita itu ada di masyarakat,” lanjut Qodari. Ia memperkirakan target amandemen UUD 1945 terjadi sebelum dimulainya tahapan pemilu oleh KPU yang diperkirakan akan terjadi sekitar pertengahan 2022. Agar antara amandemen dengan tahapan pemilu tidak bertabrakan sekaligus mempermudah pekerjaan KPU. Tapi, berdasarkan pengalaman selama ini, yang patut diwaspadai adalah “penyelundupan” pasal “perpanjangan” jabatan presiden dan wakil presiden. Sumber FNN.co.id dan FORUM yang dekat dengan Istana menyebutkan, semua skenario itu tak mungkin diterima Presiden Jokowi. “Apa pun caranya untuk 3 periode, akan ditolak oleh Jokowi,” ungkapnya. Sebab, rencana 3 periode bagi Presiden Jokowi terlalu beresiko. “Dia harus tanggungjawab kembalikan kondisi ekonomi RI yang hancur. Yang tak mungkin bisa dikembalikan dalam 5 tahun terakhir,” lanjutnya. “Jokowi itu pinter, Mas. Daripada mumet mengembalikan kondisi perekonomian RI yang berantakan, lebih baik mundur teratur dan aman. Biarkan Presiden hasil Pilpres 2024 yang tanggungjawab kembalikan perekonomian RI yang sudah berantakan,” tegasnya. Sehingga siapa pun Presiden hasil Pilpres 2024, dipastikan namanya rusak karena tidak akan mampu mengembalikan perekonomian Indonesia dalam waktu singkat. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Taliban Menang Umat Senang

By M Rizal Fadillah TALIBAN pimpinan Hibatullah Akhundzada menang, rezim boneka tumbang, Ashraf Ghani tunggang langgang, umat Islam senang. Sebagai kekuatan Islam puritan di Afghanistan yang selalu dipojokkan bahkan dikualifikasi kelompok radikal bahkan teroris, kesuksesannya menjadi perhatian dunia. Uniknya setelah kembali berkuasa Taliban justru menuai harapan. Afghanistan yang lebih baik ke depan. Pimpinan baru adalah Abdul Ghani Baradar. Awalnya boneka Sovyet Komunis Babrak Karmal menjadi Presiden setelah menggulingkan dan mengeksekusi mati Hafizullah Amin. Gabungan kekuatan Mujahidin pimpinan Gulbuddin Hekmatyar melakukan perlawanan dan berhasil mengambil alih kekuasaan. Namun yang terjadi adalah perang saudara. Faksi baru Taliban sukses merebut kekuasaan yang kemudian digulingkan oleh invasi Amerika. Ashraf Ghani menggantikan Hamid Karzai boneka Amerika. Taliban kini mengusir Ghani dan berhasil berkuasa untuk kedua kalinya. Sebelum sukses seperti saat ini, delegasi Taliban pernah datang ke Indonesia untuk membangun hubungan baik. Jusuf Kalla menjadi figur penting dari persahabatan ini. Dan saat bangsa Indonesia merayakan HUT kemerdekaan ke 76 kemarin Taliban mengucapkan selamat dan menyatakan kemenangan perjuangannya serupa dengan bangsa Indonesia yang telah memerdekakan negaranya dari penjajah asing. Kemenangan Taliban dapat membuat ketar-ketir rezim yang cenderung memusuhi umat Islam. Penyematan Islam radikal, intoleran, bahkan ekstrem adalah bukti tiada penghargaan dan persahabatan kepada umat. Kriminalisasi ulama dan tokoh Islam adalah bukti lanjutan. Sesungguhnya aneh pemimpin negara ini justru cenderung mengeliminasi kekuatan Islam. Benar Taliban itu di Afghanistan bukan di Indonesia tapi pemimpin negara Indonesia harusnya sadar bahwa umat Islam dimana pun adalah pejuang. Bukan umat yang mudah untuk dikuyo-kuyo. Taliban memberi pelajaran bahwa penjajah itu cepat atau lambat akan dikalahkan. Pemerintah Jokowi seharusnya jangan memusuhi dan meminggirkan kekuatan umat Islam. Karena hal demikian di samping a historis tetapi juga mengabaikan fakta politik. Dampaknya akan buruk, bukan saja menjadi catatan hitam sejarah tetapi juga akan terus mendapat perlawanan. Andai Pemerintah segera membebaskan HRS, mengusut pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 laskar FPI, melepas tokoh KAMI yang diadili, serta mengubah kebijakan politik anti Islam, maka Jokowi mungkin akan selamat. Taliban sudah pasti tidak berkaitan dengan Indonesia namun persoalan keumatan dan kekuasaan berlaku universal. Spiritnya sama yaitu tidak boleh ada penjajahan dan tindakan sewenang-wenang. Agama yang dimusuhi dan dikecilkan adalah jalan menuju keruntuhan dan malapetaka. Keberhasilan Taliban itu di luar dugaan semua pihak. Amerika pun kaget atas cepatnya Taliban merebut Istana. Semoga Pemerintah Indonesia juga semakin arif dan bijaksana. Perubahan itu sering terjadi dengan cepat dan tiba-tiba. "Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan, Kami turunkan siksa secara tiba-tiba (baghtatan), maka ketika itu mereka terdiam putus asa" (QS Al An'am 44). *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan