Intelektual Yang Melelahkan
Oleh Fauzul Iman (Rektor UIN Banten 2017-2021)
SOSOK intelktual dari Jepang yang bernama Prancis Fukuyama merasa kelelahan setelah mempertaruhkn ideologi intelektualnya berkolobrasi dengan Presiden Amerika Serikat, George Bush untuk memporakporandakan Irak lewat peperangan biadab. Perang yang paling banyak memusnahkan peradaban menelan nyawa umat manusia saat itu. Fukuyama dengan bukunya yang berjudul Trust: Social Verture and Creation of Prosperity telah menunjukkan sikap trust-nya keluar dari perilaku neokonsertvatif Bush yang sangat ganas menghancurkan peradaban Irak. Fukuyama dengan penuh penyesalan menyatakan bahwa perang ala Bush telah membawa malapetaka dunia.
Integritas Fukuyama ini selayaknya menjadi renungan kuat terhadap persoalan yang banyak menimpa di Indonesia dalam situasi pandemi yang belum kunjung padam. Renungan itu terutama pada pemerintah sendiri yang telah membuat kebijakan berhadapan dengan para kaum intelektual yang memberikan masukan dan atau kritik strategis yang disampaikannya.
Sejak pandemi korona mulai lahir terjadi semacam kekalutan yang menandai para pejabat negara mengaku belum pengalaman dalam menangani pandemai korona. Sementara saat korona mulai merebak di negara-negara lain bulan Desember 2019, para pejabat Indonesia memandang remeh seraya menyatakan virus korona tidak bakal terjadi di Indonesia. Kenyataannya setelah sebulan kemudian korona menyerbu Indonesia dan banyak menelan korban rakyat. Sejak itu baru pemerintah dengan cepat bercampur sedikit panik berupaya menangani pandemi Covid-19 dengan cara memberlakukan PSBB.
Cara ini mulai menuai kritik dari para komponen intelektual yang menginginkan untuk diadakan lockdown dari pada PSBB yang tidak cukup kuat mengatasi pandemi dengan efektif. Sementara Gubernur DKI Anies Baswedan dan beberapa bupati daerah lebih cenderung memilih cara lockdown. Dari sinilah awal munculnya ketidakkekompakan antara pemerintah pusat dan daerah yang membuat kritik dari berbagai kalangan bermunculan termasuk dari rakyat biasa.
Pemerintah terkesan memandang angin lalu terhadap kritik yang datang dari berbagai elemen itu. Kebijakan terus berjalan dengan kebijakan lain seakan tidak dipandangnya sebagai masukan positif. Kebijakan lain di situasi pandemi yang teramat sensitif dengan tidak mempertimbangkan sama sekali kondisi psikologi umat. Pemerintah justru mengajukan Rancangan Haluan Ideologi Pancasila (HIP), UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta kerja. Kaum intelektual yang mengkritik keras kali ini lebih besar lagi, tidak hanya dari tokoh kaliber perseorangan tapi juga suara lantang datang dari Ketua Umum PB NU dan Ketua Umum PP Muhamadiyah.
Baru setelah pimpinan ormas besar itu turun gunung, Rancangan Undang-undang HIP ditunda pembahasannya hingga sekarang. Para tokoh sedikit gembira, namun tetap dengan umatnya mewaspadai dan terus mengawasinya agar tidak dibahas kembali apalagi diundangkan dengan cara sembunyi-sembunyi oleh komplotan konspirasi pemerintah dan DPR RI. Di samping itu Undang HIP dicurigai umat Islam merupkan upaya penyelundupan kembali ideologi komunis oleh oknum Pemerintah dan DPR.
Kaum intelektual baik perorangan maupun yang diwakili tokoh ormas Islam, LSM dan lain lain, tampaknya masih kecewa berat karena Undang-undang Cipta Kerja/Omnibus Law dan Minerba yang tetap disahkan oleh DPR dan diberlakukan dengan begitu cepat. Undang-undang yang ditengarai memberikan karpet merah kepada pengusaha asing dan oligarki itu telah memicu kemarahan masif dari kaum intelektual. Tidak kurang lantangnya tokoh ormas dari Muhamadiyah, NU, dan para buruh/pekerja lemah yang paling merasa banyak menelan korban kerugian turut mengkritik dengan pedas dan keras.
Tokoh/pemikir nasionl dari berbagai latar belakang pun tidak tanggung-tanggung secara personafikasi turut mengkritik dengan terang- terangan atas kecerobohan pemerintah dan DPR RI dalam membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat itu. Tokoh kaliber seperti Dien Syamdudin, Kwik kian Gie, Busyro Muqaddas, Said Akil Siraj, Said Didu, Rizal Ramli, Faisal Basri, Rocky Gerung, Didik Rachbini, para aliansi guru besar, dekan dan dosen se-Indonesia yang dipimpin oleh Prof Dr Susi Dwi Hardijanti. Bahkan terakhir aliansi guru besar yang dipimpin oleh Prof Dr Azyumardi Azra telah mendesak KPK agar tunduk pada rekomendasi ambudsman yang menyatakan telah terjadi maladministrasi pada praktek TWK yang dilakukan KPK terhadap 70 para pegawainya. Presiden dalam hal ini terlihat membiarkan kondisi terburuk KPK dan dituduh melakukan upaya pelemahan lembaga anti-rasuah tersebut.
Kritik publik yang diwakili para intelektual kaliber semakin menguat dengan berdirinya Organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia yang didirikan Prof Dien Syamsuddin. Koalisi berlanjut melakukan diklarasi dimulai dari Jakarta hingga ke daerah. Lagi-lagi pemerintah menggagalkan diklarasi koalisi itu dengan dalih mengganggu PSBB dengan kerumunan tak legal.
Beberapa tokoh koalisi dituduh melalukan makar yang berujung ditangkapnya tiga tokoh koalisi yaitu Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan. Bahkan yang paling mengherankan dan sungguh sangat zalim, Dien Syamsuddin sebagai pimpinan koalisi yang sangat terkenal sebagai pejuang moderasi agama-agama di dunia kerap dibully dan dituduh sebgai tokoh radikal dan diusulkan agar dipecat dari Ketua Majelis Amanah ITB. Tokoh- tokoh lain yang terkenal paling kritis seperti Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Fadli Zon dan lain-lain juga tak luput dari serangan bully para buzzer dan kerap dilaporkan ke Bareskrim dengan tuduhan melakukan tindak pidana.
Kondisi negara yang makin represif dan kurang memberikan kebebasan kepada suara kaum intelektual ini, membuat Kwik Kian Gie tokoh intelektual/Pakar ekonomi PDIP bernasib mengalami kelelahan intelektual seperti Francis Fukuyama. Bedanya Fukuyama mengalami kelelahan intelektual di tengah neo-konservatif Presiden Bush yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan lewat perang Irak. Kwik Kian Gie mengalami kelelahan intelektual berhadapan dengan pemerintah, yang menurutnya represif menghalangi kebebasan intelektual dalam menyampaikan pendapat, pikiran, dan keritik. Kwik tidak ingin lagi bicara mengkritik pemerintah karena takut dengan para buzzer yang suatu saat gampang melaporkannya ke polisi.
Dalam jangka pendek, kondisi kelelahan kaum intelektual ini boleh jadi menguntungkn pemerintah karena status quo akan tegak abadi dengan mempertahankan stabilitasnya dengan penuh kesemuan. Namun dalam waktu jangka panjang, bukan tidak mungkin, akan tumbuh otoritarianisme baru dari pemerintah dengan makin leluasa membuat kebijakan baru yang selalu merugikan rakyat. Terbukti sampai hari ini pemerintah masih tetap membuat kebijakan barunya dengan memasung peran kebebasan intelaktual untuk dipercaya memimpin Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lembaga riset ini justru dikomandoi oleh Megawati, Dewan Pembina BPIP dan pimpinan partai politik terbesar yang sangat dicurigai bertendensi melakukan intervensi kepentingan. *)