OPINI
Mereka Memikirkan Rakyat?
By Asyari Usman JOKOWI memikirkan rakyat? Megawati risau dengan nasib rakyat kecil? Puan susah melihat orang susah? Bambang Soesatyo murung melihat penderitaan rakyat? Surya Paloh tertegun mendengar orang makin susah cari makan? Ataukah Luhut, Airlangga, Mahfud MD berlinang mendengar ketidakadilan dan kesewenangan di mana-mana? Zulkifli Hasan menangis melihat orang-orang yang tidur di dalam karton? Muhaimin Iskandar terhenyak melihat semakin banyak orang yang hanya makan sekali sehari? Dan semua mereka ini cemas memikirkan masa depan bangsa yang kini memikul utang besar? Cemas melihat isi perut Indonesia dikuras habis oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang “sangat akrab”dengan mereka? Anda sebaiknya basuh muka dulu. Sarapan dulu. Duduk tenang sebentar dengan kopi secangkir! Sempatkan membaca artikel, tulisan, laporan LSM tambang, LAM lingkungan, LSM kemanusiaan, LSM ekonomi-bisnis, dll. Renungkan kondisi Indonesia saat ini. Amati kelakuan dan mulut para pejabat negara ini, baik yang sudah disebutkan di atas maupun yang namanya tidak tertulis di sini. Simpulkan sendiri pikiran dan tindakan mereka. Untuk siapa mereka berkuasa? Apa yang telah mereka lakukan untuk rakyat?[] (Penulis wartawan senior)
Hakim Harus Baca Buku Putih
By Rizal Fadillah TELAH siap Kejaksaan untuk mengajukan dua Tersangka, yang sedunia merasa aneh, hingga kini masih dirahasiakan namanya. Publik hanya menduga bahwa kedua Tersangka adalah Fikri Ramdhani dan Yusmin. Dengan alasan masih aktif dan dijamin tidak akan melarikan diri maka keduanya tidak ditahan. Delik tuduhannya adalah pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) yang dilakukan secara bersama-sama ( Pasal 55 KUHP). Mengingat terdakwa adalah Polisi aktif yang sama-sama penegak hukum dengan Jaksa Penuntut Umum, maka dirasakan tidak mudah untuk memeriksa secara obyektif meski di ruang Pengadilan. Publik mengkhawatirkan baik Jaksa maupun Pengacara nantinya akan berada pada pos yang sama. JPU sulit untuk "all out" mengorek keterangan melainkan berpedoman pada skenario yang telah disepakati bersama antara Kejaksaan dan Kepolisian. Majelis Hakim menjadi harapan dan penentu. Akan tetapi mengingat hal ini merupakan kasus politik bukan hukum 'an sich' maka tidak mustahil kekuasaan akan melakukan intervensi. Karenanya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus pembunuhan "crime against humanity" ini harus kuat dan mandiri. Menegakkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa atau tekanan politik penguasa. Publik menyangsikan bahwa Fikri dan Yusmin adalah pelaku utama atau hanya mereka berdua yang melakukan. Ada pihak yang sesungguhnya lebih bertanggungjawab atas pembunuhan ini. Pengadilan diharapkan bukan selesai dengan menghukum keduanya, tetapi dari keduanya membongkar pelaku dan aktor intelektual kejahatan kemanusiaan tersebut. Bongkar siapa komandan yang berada di mobil Land Cruiser hitam, bagaimana voice note antara petugas lapangan dengan atasan, siapa saja penumpang yang bukan aparat Kepolisian di mobil Avanza silver B 1278 KJD dan Avanza hitam B 1739 PWQ yang diduga membunuh dua orang anggota Laskar. Lalu "di mana" dan "siapa saja" yang menyiksa dan akhirnya membunuh keenam anggota laskar tersebut? Atas perintah siapa semua kejahatan itu dilakukan? Majelis Hakim diharapkan seksama dalam menguak kasus. Menjadi awal dari pembuktian benar atau tidak dugaan atau kecurigaan publik. Hakim harus jujur dan benar-benar bekerja dengan keyakinan hati nurani. Tidak mudah terbeli. Ini adalah kasus berat yang dapat memuliakan atau menghinakan. Para Hakim di samping membaca Kitab Hukum juga membaca Kitab Suci Agama-nya. Lalu baca juga hasil temuan dan analisa Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) yang dituangkan dalam Buku Putih "Pelanggaran HAM Berat" Pembunuhan Pengawal HRS. Bacaan ini sangat penting karena ada fakta hukum yang berguna bagi telaahan Majelis Hakim. Buku Putih di atas mencoba membeberkan peristiwa sebenarnya dari kasus besar pelanggaran HAM berat yang justru dikecilkan dan dibuat seperti drama novel picisan. Nyawa manusia yang disampahkan. Mereka ingin menutupi kebiadaban dengan cara cara biadab. Majelis Hakim diharapkan menjadi manusia yang berjubah kemuliaan. Menjunjung tinggi harkat dan derajat kemanusiaan. Bukan menjadi bagian dari kebiadaban. Pelaku dan penyuruh pembunuhan enam laskar pengawal HRS harus menerima hukuman yang berat. Semua yang terlibat baik petugas lapangan, atasan, maupun pengambil keputusan politik harus merasakan derita penjara. Buku Putih menjadi bacaan wajib Majelis Hakim. Harapannya para Hakim itu memiliki hati dan pikiran yang putih. Agar nanti di hari pengadilan akherat dapat berwajah putih karena telah berlaku adil. Bukan berwajah hitam yang akan diseret-seret dengan hina dan mengerikan. Siksa yang dikhususkan bagi orang-orang yang telah berlaku zalim, apakah itu Penguasa ataupun Hakim. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Mural Wiji Thukul
Oleh Ady Amar Wiji Thukul hilang entah ke mana. Atau lebih tepat, Wiji Thukul dihilangkan entah oleh siapa. Rezim jahat saat itu mengambilnya, dan ia tak pernah kembali menemui istri dan buah hatinya di gubuk kecilnya di Solo. Politik kekerasan, itu demokrasi yang tersumpal. Menyumpal demokrasi bahkan yang ada di pikiran. Maka, kritik umpatan sajaknya pada rezim, itu bisa jadi yang menyebabkan ia tak mampu lagi bersajak ria. Ia seolah ditelan bumi, atau hancur remuk raga jadi serbuk halus tertiup angin. Tidak ada yang tahu dengan cara apa Wiji Thukul disudahi hidupnya, dan oleh siapa. Misteri itu tidak terungkap, meski rezim berganti. Tapi nasib hilangnya Wiji Thukul itu tidak terkuak sedikitpun. Bahkan tidak ada yang mencoba ingin menguak mengungkapnya. Saat kanak-kanak, saat itu ia duduk di SMP, ia kaget ternyata sajak bisa buat ciut penguasa. Saat itu ia mulai menulis sajak pendek. Sajak nakal kelewatan. Sajak itu ia beri judul "Kemerdekaan", dibacakannya saat Hari Kemerdekaan RI. Itu di tahun 1982. Begini bunyinya: Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai Keesokan harinya panitia Hari Kemerdekaaan RI di kampungnya, dan sekalian Wiji Thukul dipanggil dan diinterogasi Babinsa di Kelurahan. Sajak Wiji Thukul memang sajak pemberontakan. Ia tampak menjadi orang kiri, yang dipaksa oleh keadaan. Menjadi kiri buat orang semacam Wiji Thukul seperti jadi keharusan. Kemiskinan yang tanpa pendampingan Tuhan, bisa menjadi kiri sebenarnya. Ia anak seorang penarik becak. Cuma bisa Sekolah Menengah Atas Karawitan dan Tari, tidak tamat karena biaya. Ia mengalah pada adik-adiknya. Dan lalu ia jadi calo tiket bioskop. Kondisi itu, bisa jadi, menyebabkan pilihan sajaknya penuh pergolakan, dan itu menyakitkan rezim yang tengah menikmati hidup serba nikmat. Sajak-sajaknya dianggap membahayakan keberlangsungan kenikmatan atas nama pembangunan, atau apapun namanya. Saat ini, kutipan sajak "pemberontakan" Wiji Thukul muncul sebagai mural pada dinding-dinding di kota Solo juga Yogyakarta. Kutipan sajak yang dipilih tentu yang tidak tajam bak sembilu, agar tidak dihapus Satpol PP atas nama keindahan kota. Wiji Thukul seolah dihidupkan kembali sebagai simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan. Rezim boleh berganti, tapi tabiat rezim yang bisa jadi sama tiraninya, memunculkan perlawanan. Maka, sajak-sajak Wiji Thukul -- bahkan juga kutipan sajak WS Rendra dan Chairil Anwar pun hadir sebagai mural-- amat relevan, seolah menjadi kawan kesuntukan melawan kekuasaan jahil dan lalim. Apa yang Perlu Ditakutkan Wiji Thukul hanyalah orang kecil, menjadi aktivis pilihannya. Di sela-sela aktivitasnya, ia menulis sajak, meski bukan terbilang penulis sajak papan atas, tapi pada sajak karyanya nuansa getir, kesulitan hidup, marah, perlawanan... dan seterusnya, itu punya nilai tersendiri. Masuk kategori sajak pamflet, mungkin itu tepat jika melihat sajak-sajak karyanya. Sekeras apapun sajak dibuat, tidak pernah dalam sejarah mampu menumbangkan rezim berkuasa. Namun sajak mampu sebagai monster menakutkan bagi rezim tiran. Itu ibarat bangunan kokoh yang mustahil bisa dirobohkan, tapi mampu membuat penghuninya ketakutan. Hari-hari ini nukilan sajak-sajak Wiji Thukul, WS Rendra, dan bahkan Chairil Anwar menghiasi tembok-tembok dihadirkan sebagai seni mural. Sajak-sajak yang melintasi periode waktu panjang, itu dimunculkan seolah mengiringi suasana zaman yang tidak jauh berbeda dengan saat sajak itu dicipta. Sajak-sajak itu mengajarkan, seolah tidak ada yang berubah dari pergantian rezim. Sepertinya bangsa ini tidak beranjak lebih baik, tetap terpuruk dan terpuruk... Rezim boleh berganti, tapi tabiat (menuju) tiran terus ditampakkan.... Maka kehadiran sajak-sajak di tembok-tembok mana saja, itu tiada henti terus seolah berteriak mengingatkan bangsa yang bergerak menjauhi bandul sejahtera. Maka, sajak-sajak itu akan terus hadir, meski harus menanggung diserupakan musuh yang mesti dibabat habis. Maka menghapus mural dalam bentuk cuplikan sajak-sajak itu jadi pilihan. Namun menghapus pesan pada mural yang bertumbuh di mana-mana, itu mustahil bisa dihentikan. Satu dihapus, maka sepuluh akan bertumbuh. Dan tentu kualitas pesan yang disampaikan akan makin kuat dan menohok. Mural-mural itu mustahil bisa merobohkan tembok yang dihiasi dengan sajak-sajak dan gambar kritik sosial. Lalu apa yang mesti ditakutkan? Biarkan saja kehadirannya, jangan diganggu. Karena dengan itulah ia dapat mengekspresikan kesuntukan hidup. Wiji Thukul sudah pergi entah ke mana, bisa jadi ia dihilangkan untuk tak kembali... Begitu pula WS Rendra, dan apalagi Chairil Anwar... mereka semua sudah pergi dengan alasannya masing-masing. Namun legacy yang ditinggalkan, sajak-sajak kritik sosialnya tetap abadi dinikmati. Tanggal 27 Juli 1998, Wiji Thukul dinyatakan hilang, bersama 12 orang lainnya. Hilang dan dihilangkan tentu punya makna beda. Tapi dalam konteks Wiji Thukul, mungkin lebih netral dikatakan, pergi entah ke mana tak kembali. Dan 23 tahun kemudian, Wiji Thukul muncul kembali, tidak sosoknya. Tapi kutipan sajaknya di tembok-tembok, menjadi mural lambang perlawanan. Meski yang muncul baru kutipan sajak terbilang sejuk, belum sampai yang mengguncang... (*) *) Kolumnis
KPK = Kapan Pemberantasan Korupsi?
Oleh Sugengwaras Wacana perekrutan Tim Testimoni dengan mencoba mantan pidana korupsi sebagai penyuluh anti korupsi tentu saja banyak mengundang pro kontra. BARANGKALIi gagasan ini muncul dari fenomena Ahok sang penista agama, mantan napi bisa menjadi petinggi BUMN, puluhan orang mantan ahli menangani korupsi justru dipecat melalui tes wawasan kebangsaan, bahkan tidak boleh lagi masuk anggota KPK, para tahanan politik ulama dan pengkritis pemerintah diborgol tapi bagi yang lain seperti Mohamad Kece si penoda agama masih bisa semangat bergelora tanpa diborgol, atau beberapa tahanan pidana korupsi masih bisa cengengas- cengenges dan lenggang kangkung, dengan sanksi hukum yang spektakuler. Juga mungkin penggagas berinspirasi dari pemikiran bahwa mantan pidana bisa jadi orang baik, sadar dan bertaubat karena pengalaman jiwa raganya selama ditahan yang bergelut dengan sedih, malu, menderita, bahagia, bangga dan berani. Dalam politik tidak ada yang tetap dan pasti, kecuali perubahan karena kepentingan itu sendiri. Dalam hukum yang mengandung sifat mengikat untuk mengikuti aturan dan sifat memaksa untuk menjalani resiko bagi yang melanggar, tidak ada yang murni karena adil belum tentu benar, sebaliknya benar juga belum tentu dirasa adil. Maka dengan semakin seringnya fenomena fenomena aneh yang mengandung kejutan dan kontroversial ini perlu dipekai dan dipedulii namun juga tetap waspada terhadap kemungkinan latar belakang, motif, maksud dan tujuanya, agar masyarakat tidak terpengaruh negatif, hanyut dan larut mengikuti arus penyesatan, pengalihan isu, pengelabuhan dan penjebakan. Artinya banyak kemungkinannya hal hal yang kontroversial itu dijadikan moment perubahan berpikir yang bisa jadi sensitif mengiringi situasi dan kondisi NKRI ini. Cermati fenomena pasang surutnya pandemi Covid -19, cemas harap rakyat atas kebijakan PPKM, wacana bergeser mundurnya pelaksanaan pilkada, pilpres, bertahannya ambang batas 20 %, jabatan presiden 3 periode serta diserentakkannya pilkada dan pilpres Di sisi lain, penggabungan, pengelompokan dan penampilan para tokoh dan fans justru bermunculan di tengah belum jelasnya berakhirnya pandemi, kebohongan rezim, kaburnya penanganan koruptor kakap, abainya hutang negara yang sangat membebani generasi penerus serta terabaikannya TKA dibalik digembar-gemborkannya kembali pemindahan Ibu Kota Negara Baru di Kaltim serta diam diamnya penyusunan BPIP / HIP yang siap menerkam Pancasila yang selama ini kita pedomani Hanya sosok pemimpin yang amanah, jujur, berani, Arief dan bijak serta berwawasan luas yang bisa menyikapi fenomena ini, Semoga dengan bekal persatuan dan kesatuan dalam bingkai kebhinekaan ini, NKRI segera lolos, bangun dan bangkit kembali tuk menjadi negara yang maju, adil, makmur, sejahtera dan Jaya....Aamiin......!!! *) Purnawirawan TNI AD
Koalisi Para Penipu
By Asyari Usman MEREKA sudah bertemu. Para penipu rakyat itu sudah saling berangkulan erat. Untuk mematangkan kerja sama yang lebih spektakuler lagi. Yaitu, memperpanjang penipuan terhadap rakyat. Atau, sinonimnya, memperpanjang pengabdian kepada oligarki bisnis. Yang diperpanjang adalah kesempatan bagi oligarki untuk menguras kekayaan Indonesia selama sekian tahun lagi. Tanpa syarat. Tanpa pengawasan. Tanpa rintangan. Pokoknya, oligarki bisnis mendapatkan perpanjangan “kontrak pengurasan” Indonesia. Dan dijamin aman. Kemudian, yang juga diperpanjang adalah kekuasaan para politikus antek oligarki. Mereka bisa berkuasa “extra time”. Ada tambahan waktu. Yang berarti tambahan uang haram dari oligarki yang mereka beri perpanjangan kontrak pengurasan. Sebagian politikus akan punya kesempatan tambahan untuk menumpuk kekayaan pribadi. Lalu, memperpanjang peluang para pemegang kekuasaan nyata di lapangan. Yaitu, mereka yang langsung berurusan dengan aktivitas harian operasi pengurasan kekayaan rakyat itu. Mereka pun mendapatkan bagian masing-masing sesuai proporsi peranan mereka. Itulah hasil pertemuan Koalisi Para Penipu. Koalisi besar yang memiliki kekuasaan untuk berbuat khianat dan jahat atas nama konstitusi. Mereka selalu, dengan licik dan cerdik, menggunakan celah-celah konstitusi untuk menipu rakyat. Tanpa ragu dan malu, mereka menyebut manuver bejat itu sebagai langkah yang konstitusional. Begitulah Koalisi Para Penipu. Mereka sangat pintar dan terlatih mencari momen yang tepat untuk menipu. Wabah Covid menyediakan peluang yang terbaik untuk mereka. Peluang penipuan konstitusional yang berkedok situasi darurat. Apa yang bisa dilakukan rakyat untuk mencegah penipuan ini? Nyaris tidak ada. Kecuali melalui komentar atau protes di media sosial (medsos). Tapi, reaksi melawan di medsos tidak akan berdampak. Skenario penipuan akan jalan terus. Sebagai penutup, kita hanya bisa mengulangi lagi bahwa yang berkuasa di Indonesia ini adalah oligarki bisnis. Merekalah yang merancang penipuan konstitusional itu. Dengan menggunakan tangan-tangan rakus, khianat, dan ceroboh yang sedang memegang kuasa legislatif dan eksekutif. Antek-antek oligarki itu tidak peduli kalau kecerobohan dan kerakusan mereka akan menghancurkan masa depan bangsa dan negara. Bagi mereka, kepuasan sesaat ketika mereka berkuasa sudah cukup. Itulah Koalisi Para Penipu. Mereka yakin penipuan lebih lanjut akan berhasil. Wallahu a’lam.[] (Penulis wartawan senior)
Luhut Merah atau Merah Putih
By M Rizal Fadillah URUSAN vaksin menjadi genggaman Luhut, apalagi dikaitkan dengan urusan investasi. Alih-alih mendorong berkembang industri vaksin dalam negeri, Luhut malah memproklamasikan akan berdirinya pabrik vaksin kerjasama dengan China di Indonesia pada tahun 2022. Belum jelas apa perusahaan Chinanya, yang jelas nama vaksin itu mRNA. Bagaimana nasib Vaksin Nusantara dan Vaksin Merah Putih karya anak-anak bangsa ? Meski basa-basi akan tetap dikembangkan, namun tidak ada bukti pemihakkan. Nyatanya prioritas justru kerjasama dengan China untuk mendirikan pabrik. Ini sama saja dengan membunuh vaksin dalam negeri. Bagaimana nanti persaingan produksi dalam pemasaran dan pengembangan ? Vaksin China baik Sinovac maupun Sinopharm termasuk vaksin yang paling diperbincangkan efektivitasnya di banding Pfizer, Johnson & Johnson, Astrazeneca atau lainnya. Di masyarakat pun banyak yang mempertanyakan dan meragukan. Jika saja tidak ada pemaksaan mungkin orang banyak yang akan melakukan pilihan. Terlepas dari persaingan politik dan bisnis vaksin asing, putera puteri bangsa kita sendiri terus berusaha melakukan inovasi atas vaksin Covid 19. Vaksin Nusantara yang dipelopori dr Terawan, mantan Menkes, terus diminati. Turki konon memesan 5,2 juta dosis dari vaksin ini. Bahkan Turki menawarkan menjadi lokasi uji klinis fase 3 Vaksin Nusantara. Vaksin Merah Putih vaksin juga terus di diteliti di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Bandung dan Universitas Airlangga Surabaya. Vaksin produksi dalam negeri ini harus diproteksi oleh Pemerintah sehingga terjamin baik pemasaran maupun pengembangannya. Investasi dari manapun selayaknya diarahkan pada kemandirian vaksin kita sendiri. Merah putih adalah kobaran nasionalisme melalui vaksinasi. Kini Luhut justru berpaling ke China yang memang ia koordinator urusan China-Indonesia. Tetapi Luhut bukan segalanya sehingga penentuan tidak boleh dilakukan sendiri. Apapun posisinya, Luhut hanya salah satu dari Menteri Kabinet Jokowi. Ini bukan negara Luhut, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih jauh rakyat harus terlibat untuk ikut mempertimbangkan. Ataukah bangsa dan rakyat Indonesia harus mengambil keputusan sendiri yakni tolak vaksin Luhut-China dan pilih vaksin Nusantara atau Merah Putih ? Ini bangsa yang merdeka, mandiri, dan berdaulat. Jangan jual negara ini kepada asing dengan dalih pandemi. Luhut bukan Louis XIV yang dahulu menyatakan di depan Parlemen Paris : "l'etat c'est moi"--Negara adalah aku ! Atau memang Luhut sudah merasa menjadi Louis ? *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Sejarah Mentang-mentang, dan Sentilan Gus Baha
Oleh Ady Amar *) SEJARAH selalu diisi para pemenang. Atau dalam narasi lain, sejarah selalu diwarnai oleh mereka yang tengah berkuasa Merekalah yang menulis sejarah sesuai dengan keinginan dan versinya. Rezim Orde Baru menulis sejarahnya sendiri, menurut versinya. Maka yang berbau Orde Lama dibersihkan, dibuang dalam buku-buku sejarah. Maka nama-nama yang berbau "kiri" akan sulit bisa ditemukan, dalam buku pelajaran sejarah sekolah. Soeharto "panglima" Orde Baru muncul menghiasi sejarah, dan ia digambarkan tidak saja mampu melumat ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, tapi ia juga sebagai jenderal yang mampu menjaga stabilitas keamanan khususnya. Maka operasi pembunuhan misterius (petrus) jadi andalan penegakan kamtibmas, meski itu dianggap melanggar HAM. Tidak terhitung penjahat yang ditembak mati tanpa pengadilan. Meski ditentang Barat, operasi petrus jalan terus, dan berhenti saat dianggap sudah cukup memenuhi target. Untuk menegaskan peran Soeharto dalam merebut kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, dimunculkan film-film perjuangan, dimana Soeharto sebagai tokoh sentralnya. Film "Serangan 1 Maret/Janur Kuning" (1979), "Serangan Fajar" (1982), dan yang paling fenomenal film "Pengkhianatan G30S/PKI" (1984). Film ini rutin sejak 1985 diputar di TVRI, setiap tanggal 30 September. Tidak ada yang salah dalam film-film itu, justru film-film itu membangkitkan semangat kejuangan, dan memperlihatkan kekejaman PKI sebagai dalang kudeta dengan melakukan pembunuhan para jenderal. Pada masa Orde Baru, apa saja yang berbau kiri ditiadakan. Sehingga sulit untuk menemukan, misal buku Tan Malaka. Namanya menjadi asing, tidak dikenal anak-anak sekolah tingkat lanjutan pertama dan atas. Padahal ia termasuk pahlawan nasional. Bukunya Madilog (1951) sulit ditemukan. Buku itu magnum opus karya Tan Malaka, dan dianggap sebagai karya paling berpengaruh dalam Sejarah Filsafat Indonesia Modern. Tapi bersyukur Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cukup berjasa saat mengangkat karya Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang dianggap orang paling mengerti akan kisah hidup Tan Malaka, sebagai aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia. Buku 3 jilidnya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia itu mampu melepas dahaga mengenal sejarah tokoh misterius satu ini. Seiring berjalannya waktu, rezim Orde Baru lambat laun, khususnya pada pertengahan '80-an, mulai melonggarkan literasi agak kekirian, termasuk karya yang pada awalnya "terlarang". Bahkan Bung Karno, yang dianggap tokoh utama rezim Orde Lama, pelan-pelan pula namanya "dipulihkan", dan itu bisa terlihat dengan penamaan bandara dengan namanya bersama dengan nama Bung Hatta, Bandara Soekarno Hatta. Namun soal Komunis sebagai ajaran terlarang, tidak bisa ditawar-tawar, yang itu dikuatkan dengan Tap MPRS, yaitu Tap XXV/MPRS/1966. Rezim Orde Baru tegas menegakkan ketetapan itu. Tidak ada tawar menawar, dan itu memang konsekuensi sebagai negara Pancasila yang berketuhanan. Soekarno Menjadi Tidak Proporsional Sebagai pahlawan nasional dan Proklamator RI bersama Hatta, Soekarno dibuat seolah milik keluarga, atau setidaknya milik PDI Perjuangan. Maka wajah Soekarno selalu menempel pada banner-banner beraroma PDIP, di samping juga tentunya wajah Megawati Soekarnoputri. Peran Bung Karno ditarik atau dikecilkan tanpa disadari, seolah milik keluarga. Seperti PDIP tidak percaya diri jika tanpa mengikutsertakan nama besar Soekarno. Di sebalik itu masyarakat "dipaksa" mengakui peran-peran besar Soekarno dengan lomba memasang patungnya. Soekarno hadir menjadi tidak proporsional. PDIP sebagai partai besar, menjadi partai penguasa yang seolah bisa berbuat apa saja. Apalagi dengan klaim kepemilikan "petugas partai" meski itu setingkat presiden, maka apa yang tidak bisa dibuat menjadi mudah dibuat dan diwujudkan. Maka semua pihak ingin mendekati partai besar ini, terutama mendekati sang pemilik partai, Megawati Soekarnoputri. Megawati jadi pihak yang seolah diperebutkan. Keberadaannya bahkan lebih dari "petugas partai", yang meski orang nomor satu di republik ini. Sematan gelar "petugas partai" itu memang mengecilkan, itu hal tidak pantas. Itu upaya ingin menjadikan presiden juga milik partai, sebagaimana juga Soekarno milik partai. Melihat itu, bermunculan mereka yang ingin mendekat dengan berbagai cara. Maka pengadaan patung Bung Karno jadi senjata untuk "dilihat" Megawati. Muncul patung setengah dada Ir. Soekarno di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, (7 Februari 2020). Gubernur Akmil, kala itu, Mayjen Dudung Abdurrahman, cerdas menangkap momen itu. Ia diapresiasi Megawati, yang dalam sambutannya mengucapkan terima kasih dan penghargaan. Megawati mengatakan, bahwa Bung Karno itu pendiri Akmil, dan menjadi aneh jika tidak ada patungnya. Itu sudah hampir melupakan sejarah. Lanjutnya, padahal kita tahu bahwa sejarah di dunia ini pun sangat penting untuk menunjukkan yang namanya kita sebagai warga bangsa. Sambutan khas Megawati dengan kalimat ala kadarnya yang terpontal-pontal, itu pun disambut penuh kekaguman. Mayjen Dudung pun menyambar, itu tampak dalam sambutannya, bahwa patung Ir. Soekarno di Akmil sebagai simbol untuk menghormati dan mengabadikan perjalanan perjuangan bersejarah Sang Proklamator. Selain itu dijadikan panutan bagi Taruna-Taruni sebagai calon pimpinan TNI AD dan TNI masa depan. Patung Ir. Soekarno di Akmil, itu yang menjadikan Mayjen Dudung dalam hitungan bulan diangkat sebagai Pangdam Jaya. Benar-benar sakti. Tidak lama setelah itu, Mayjen Dudung menyambar lagi dengan menurunkan baliho-baliho Habib Rizieq Shihab. Tidak lama kemudian, ia diangkat sebagai Pangkostrad dan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Entah ini bisa disebut kebetulan, atau langkahnya memang penuh perhitungan. Lalu muncul lagi patung Ir. Soekarno Duduk di kursi sedang membaca buku, diresmikan di depan kantor Lemhanas, (20 Mei 2021). Tidak persis tahu apa motif Letjen (Pur) Agus Widjoyo, Gubernur Lemhanas, menghadirkan patung itu. Seolah berlomba membangun patung Soekarno jadi model, dan tentu itu politik kepentingan. Lalu gong sementara dari semuanya adalah patung Ir. Soekarno yang dibangun Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, sebuah patung Ir. Soekarno Menunggang Kuda, (7Juni 2021). Patung itu diletakkan di halaman depan Kantor Kementerian Pertahanan. Peresmiannya juga oleh Megawati Soekarnoputri. Jika lalu pihak lain mengatakan, bahwa perjalanan sejarah bangsa ini bukan cuma oleh seorang Ir. Soekarno, itu tidak salah. Menghadirkan Ir. Soekarno berlebihan, itu politik mumpung sedang berkuasa. Sentilan Gus Baha Indonesia dibentuk oleh seluruh bangsa, bukan hanya segelintir orang saja, sentil Gus Baha. Itu disampaikannya dalam video berdurasi 45 detik, Gus Baha menyatakan, bahwa Indonesia bukan hanya milik PDIP dan Soekarnoisme saja. "Tentu Pak Karno bikin negara itu untuk semua bangsa, bukan untuk PDIP saja, bukan untuk partai yang berpaham marhaenisme, juga bukan untuk partai yang berpaham Soekarnois saja," ujarnya. Kebesaran Soekarno jangan sampai direduksi atau disederhanakan hanya melalui partai saja. Itu justru merupakan bentuk pengkerdilan pada Soekarno. "Ya kita gak mungkin gak menghormati Soekarno. Beliau adalah pahlawan besar yang harus kita hormati... Tapi ya, kebesaran pak Karno dan bangsa Indonesia jangan kemudian direduksi, disederhanakan hanya melewati partai. Itu kan pengkerdilan," ujar Gus Baha. "Bahkan HOS Cokroaminoto bikin partai Islam adalah untuk mengusir bangsa Belanda dari Indonesia, yang mestinya juga untuk kepentingan semua bangsa Indonesia dan bukan hanya Islam saja," imbuhnya. Apa yang disampaikan Gus Baha, sebenarnya hal biasa saja. Menjadi istimewa karena yang menyampaikan Gus Baha. Semua yang bisa berpikir sedikit rasional, merasakan hal sama, bahwa Bung Karno serasa direduksi/disederhanakan. Atau, Bung Karno dibuat menjadi kecil, seolah pahlawan kelas keluarga dan partai (PDIP) saja. Makanya itu, Bung Karno selalu dihadirkan pada baliho-baliho yang menyertakan Megawati atau PDIP. Orang bertanya-tanya, tumben Gus Baha ceramahnya "nyasar" pada pereduksian Bung Karno itu. Bisa jadi, ia dan juga manusia merdeka lainnya melihat, bahwa upaya mereduksi Bung Karno sedang terjadi. Sebaliknya muncul upaya menganggap pahlawan bangsa itu cuma Soekarno, itu yang dikritisinya. Dan lalu jadi keprihatinan Gus Baha, dan tentu kita semua... Sejarah memang suka mentang-mentang sedang berkuasa, dan melupakan periode sejarah sebelumnya. *) Kolumnis
Serahkan Pada Ahlinya
Bak tiba masa tiba akal cara kerja rezim ini, tidak ada konsep yang signifikan, yang ada hanya kasus melulu. Oleh Sugengwaras TERKAIT Covid, padahal banyak orang orang rezim yang profesional di bidangnya, seharusnya terbagi habis pada kementerian masing-masing, sampai-sampai istilah atau nama yang dipakai berganti ganti mulai PSBB, kehidupan baru, ada lagi darurat darurat dan kini PPKM yang berlevel, yang esensinya sebagai upaya pencegahan dan pemutusan mata rantai penularan Covid - 19 sesuai kadar ancaman Kita sangat respon dan menghargai upaya upaya ini, namun dalam implementasinya banyak kendala di sana sini yang membuat rakyat terpaksa dan penuh cemas harap Kita juga menjadi tanda tanya, LBP sebenarnya fokus kerja pada bidang apa, tapi nyatanya nyaris menangani segala urusan, hebat bener! Akankah cara kerja tingkat negara akan terus begini? Memang tidak gampang menyikapi pandemi ini, di samping resiko tinggi juga masalah yang timbul juga rumit, justru disinilah empati dan kebijakan rezim diuji Jadi Jokowi tidak boleh sembarangan mengatur kerja ini karena menyangkut kehidupan orang banyak dan masa depan bangsa. Enam kali perpanjangan PPKM, dan masih sangat mungkin diperpanjang panjang terus hanya membuat kekhawatiran, panik, cemas harap dan ketidak pastian masyarakat dalam memperjuangkan kelangsungan hidup Pernyataan Menkes tentang akan berlangsung panjang bertahun tahun pandemi ini, tambah serem lagi ketika disusul pernyataan LBP bahwa PPKM akan diberlakukan selama ada pandemi, yang keduanya menunjukkan ketidak pastian yang membuat mirisnya rakyat kebanyakan maupun para pengusaha Apapun alasannya PPKM telah membatasi aktifitas dan produk, bayangkan jika benar benar berlangsung sangat lama. Sebagai contoh keharusan vaksinasi sebagai persyaratan banyak hal, ini sangat meresahkan masyarakat banyak pada situasi dan kondisi seperti sekarang. Saya hanya mengingatkan, tidakkah bisa diambil langkah langkah konkrit yang justru kendala dijadikan peluang? Tolong rezim lebih punya prinsip dalam hal hal normatif, tapi kadang perlu luwes terhadap hal hal yang sulit diterjemahkan Semisal, tidak perlu digembar gemborkan tentang resiko dan denda, dengan kata lain hargai hak asasi manusia. Jadi hindari rasa belum puas kalau belum membuat masyarakat terus pusing, cemas harap dan penuh ketidak pastian, justru pribumi yang ditekan dan diuber uber, disisi lain TKA berlenggang kangkung. Bekerja yang profesional sesuai tingkat pimpinan pusat, seharusnya bekerja dalam bingkai ruang dan waktu, secara berencana bertahap, berkesinambungan, terpadu, terkoordinir, terkendali dan terukur yang pada muaranya tidak membuat masyarakat merasa dibuat panik dan ketidakpastian. Dengar, manfaatkan dan berdayakan anak anak bangsa sendiri yang ahli dan berpotensi seperti dr Terawan, dr Siti Fadilah dan lain lain, tinggalkan egosentric, lepaskan perbedaan pandangan / politik, kedepankan dan utamakan persatuan, kesatuan, kekompakan dan kerjasama yang baik, demi keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan rakyat! Saya yakin ini bisa dilaksanakan sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memotivasi semangat hidup ! Penulis Purnawirawan TNI AD.
Survei Fixpoll: La Nyalla Mattalitti Masuk Sepuluh Besar Capres
Jakarta, FNN - Direktur Eksekutif Fixpoll Indonesia Muhammad Anas RA menyatakan bahwa Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI LaNyalla Mahmud Mattalitti masuk dalam sepuluh besar calon potensial presiden." "LaNyalla Mattalitti masuk dalam sepuluh besar calon potensial sebagai presiden," ucap Muhammad Anas RA dalam keterangan tertulis yang diterima oleh ANTARA di Jakarta, Selasa. Dalam pertanyaan tertutup, LaNyalla menempati posisi sepuluh besar dengan perolehan 0,8 persen. Ia berada di atas nama seperti Menteri BUMN Erick Thohir yang mendapat 0,7 persen, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto 0,5 persen, serta Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar 0,3 persen. Persentase LaNyalla juga berada di atas Ketua Umum PKS Ahmad Syaikhu, Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang masing-masing memperoleh 0,2 persen. Anas menjelaskan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto masih menempati posisi teratas survei dengan persentase sebesar 20,7 persen. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saling berdekatan, dimana masing-masing memperoleh 15,2 persen dan 12,8 persen. Posisi keempat ada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dengan 7,8 persen, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dengan 6,9 persen, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno 4,9 persen, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan 2,7 persen. "Ketua DPR Puan Maharani dan mantan Panglima TNI Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo masing-masing mendapatkan 2,5 dan 1,1 persen," ucapnya. Selain itu, Anas menjelaskan bahwa di dalam survei yang dilakukan, ia juga mengajukan pertanyaan terkait isu presiden tiga periode. Hasilnya, sebanyak 53,4 persen masyarakat tak setuju dengan adanya isu tersebut. Masyarakat mayoritas tak setuju jika Jokowi menjabat sebagai presiden tiga periode. Begitu pun jika dipasangkan dengan Prabowo pada Pilpres 2024," ungkap Anas. Sebanyak 43,8 persen masyarakat tak setuju jika Jokowi menjabat sebagai presiden tiga periode meski dipasangkan dengan Prabowo. Akan tetapi, terdapat 14,4 persen yang menyuarakan persetujuan mereka. Survei Fixpoll Indonesia melibatkan 1.240 responden di seluruh Indonesia yang diwawancarai langsung pada 16 Juli - 27 Juli 2021. Untuk margin of error survei sebesar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. (sws)
Menjilat Demi Bangsa, Negara, dan Agama, Opo Tumon?
Oleh Ady Amar*) NJILAT itu menjijikkan. Itu seperti anjing yang kerap menjilat-jilat, dan buat seorang muslim jilatannya itu najis, dan itu harus dibasuh tidak cukup pakai air, tapi juga dengan pasir. Kata njilat atau menjilat yang distempelkan pada seseorang, itu maknanya lebih menjijikkan dari jilatan anjing. Maka kata menjilat punya konotasi negatif, tidak cuma menjijikkan tapi juga dianggap manusia dengan karakter moral rendahan. Menjilat jadi alat atau senjatanya untuk bertahan hidup. Punya jabatan sedikit saja, maka ia tampil over acting dengan gaya menjilat-jilat berlebihan membela atasannya. Lakunya itu memang sudah diniatkan, dan itu agar jabatannya setidaknya bisa bertahan, syukur-syukur bisa dapat bonus jabatan lebih sebagai komisaris. Jika ikhtiarnya direspons dengan baik oleh atasannya, maka ia akan makin menjilat-jilat lagi. Menjilat dianggapnya langkah efektif untuk setidaknya mengekalkan jabatan. Semua memang sudah diperhitungkan dengan cermat. Jika tidak sekarang, kapan lagi. Itu jadi kredonya. Maka, kesempatan yang didapat dieksplornya habis-habisan. Ia sudah tidak lagi memperhitungkan manusia lain nek atas ulahnya dan lalu ingin muntah, itu tidak jadi pertimbangannya. Bisa jadi pikirnya, besok saat pergantian pimpinan, belum tentu ia akan ditunjuk lagi sebagai "tombak" untuk menyalak. Maka masa bodoh dengan pihak lain yang menganggapnya menjilat berlebihan. Bahkan jika saja ia dijuluki Raja Penjilat pun, ia tidak keberatan. Ia menikmati saja hal yang orang lain merasa tabu, dengan tidak berharap mendapat julukan demikian. Bahkan ia pun cuek saja dengan munculnya mural mirip Ngabalin, di Bogor. Mural dengan mata ditutup, tertulis di situ "504 Error", yang disekitarnya ada beberapa ekor kambing. Sindiran untuknya, bahwa orang yang menganggap gambar yang mirip Jokowi dengan tulisan 404: Not Found, itu ekspresi, disebutnya sebagai manusia kelas kambing. Harmoko, Ruhut dan Ngabalin Sejarah para penjilat (flatterer) memang panjang, dan pastinya dikenang dengan buruk sepanjang massa. Kita masih ingat, kebiasaan yang selalu menyebut nama presiden, jika pejabat itu menyampaikan keterangan, meskipun itu keterangan remeh temeh, tetap saja nama presiden diseretnya. Siapa yang tidak kenal dengan kalimat "menurut petunjuk Bapak Presiden", jadi andalannya. Ialah Pak H. Harmoko, Menteri Penerangan RI, di era Presiden Soeharto. Harmoko di setiap memberikan keterangan selalu saja kalimat "menurut petunjuk Bapak Presiden" itu tidak pernah absen diucapkan. Bahkan tidak cuma sekali kalimat itu meluncur dari mulutnya, pada setiap memberi keterangan, bisa beberapa kali. Maka kalimat Harmoko itu jadi guyonan tidak saja pelawak yang memelesetkan dengan apa saja, tapi juga kalangan umum sering memakai kalimat itu untuk lucu-lucuan. Kalimatnya Harmoko itu masih kontekstual, meski orang menganggapnya itu juga masuk kriteria menjilat. Harmoko-lah sepertinya pribadi yang mengawali komunikasi dengan gaya menjilat. Tapi sekali lagi, Harmoko menyampaikan kalimat ikoniknya itu masih dalam ranah sewajarnya. Ada lagi politisi yang mantan pengacara, Ruhut Sitompul. Disebut politisi kutu loncat. Setidaknya tiga partai ia jelajahi. Awalnya saat Orde Baru, ia ada di Golkar. Setelah Partai Demokrat memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi presiden, Ruhut sudah ada dalam barisan Partai Demokrat. Selalu nama Pak SBY dibawa-bawanya, dan dipuji-pujinya setinggi langit. Gaya memujinya memang berlebihan, menjilatnya tidak ketulungan. Setelah Pak SBY tidak lagi menjadi presiden, Ruhut sudah nemplok di PDI-P, partai yang menjadikan Joko Widodo jadi presiden. Kehadiran di partai barunya, sepertinya tidak diterima sepenuh hati. Mungkin Ruhut lupa, bahwa saat di Partai Demokrat, ia kerap usil menghajar Ibu Megawati Soekarnoputri. Meludahi orang boleh lupa, tapi yang diludahi mustahil lupa. Menjadi ciri Ruhut, seperti biasanya, partai lama yang ditinggalkan diserang habis-habisan. Dan saat Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dibegal lewat KLB Deli Serdang, Sumatera Utara, Ruhut pun tampak senang, dan pembegal itu justru dibelanya. Tapi di atas semuanya itu, tampaknya hanya Ali Mochtar Ngabalin yang paling "berkualitas" jilatannya. Ia menikmati gaya menjilatnya itu, tentu dengan sadar. Dan itu bagian dari yang diikhtiarkan. Ngabalin punya tujuan dalam memakai komunikasi gaya menjilatnya itu. Strategi Ngabalin efektif, yang tidak dipunya Ruhut yang tampil sporadis, asal bicara tanpa tujuan pasti. Ruhut hanya senang menghantam lawannya dengan makian, yang cuma berharap orang lain bisa tertawa. Ruhut jadi politisi salah memilih tempat, jika jadi pelawak ia mungkin lumayan lucu juga. Ali Mochtar Ngabalin, pernah jadi aktivis dakwah, dan aktivitas-aktivitas berbau keislaman lainnya. Tapi saat ia menjadi Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), ia sepertinya sekaligus jadi pembela Presiden Jokowi paling depan. Ngabalin total menyerang siapa saja yang coba-coba mengoreksi langkah Jokowi. Ngabalin tidak perduli jika harus berhadapan dengan tokoh-tokoh Islam aktivis dakwah yang dulu berjuang bersana mengikhtiarkan kebaikan. Semua dianggapnya musuh olehnya, jika mengoreksi-mengkritik kebijakan Presiden Jokowi. Di mata Ngabalin, kebenaran atau yang paling benar hanya Jokowi. Setidaknya ia men-setting pikirannya demikian. Maka yang lain, yang mengoreksi kebijakan itu salah, meskipun pihak lain itu mengoreksi dengan data. Ngabalin menikmati perannya. Karenanya, ia pun diganjar sebagai Komisaris Pelindo III, itu buah ikhtiarnya selama ini. Bahkan ia tidak berkeberatan disebut penjilat. Atau bahkan sekalipun disebut Raja Penjilat. Meski demikian, Ngabalin tetap seperti biasanya berdalih dengan dalih yang kuat meski dalih itu absurd, bahwa ia tidak keberatan disebut penjilat, itu semata karena ia menjilat demi bangsa, negara dan agama, opo tumon? Apa iya demikian? Mungkin Ngabalin sudah menganggap dirinya sebagai representasi negara. Karenanya, ia boleh menjadi apa saja, termasuk laku menjilatnya itu bagian dari kerja untuk bangsa dan negara. Maka jika diterus-teruskan, bisa pula suatu waktu Ngabalin mengkhianati penguasa, yang dibelanya saat ini, dan itu atas nama negara, bangsa dan agama. Tentu ini sekadar berandai saja, lho... (*) *) Kolumnis