Menjilat Demi Bangsa, Negara, dan Agama, Opo Tumon?
Oleh Ady Amar*)
NJILAT itu menjijikkan. Itu seperti anjing yang kerap menjilat-jilat, dan buat seorang muslim jilatannya itu najis, dan itu harus dibasuh tidak cukup pakai air, tapi juga dengan pasir. Kata njilat atau menjilat yang distempelkan pada seseorang, itu maknanya lebih menjijikkan dari jilatan anjing.
Maka kata menjilat punya konotasi negatif, tidak cuma menjijikkan tapi juga dianggap manusia dengan karakter moral rendahan. Menjilat jadi alat atau senjatanya untuk bertahan hidup.
Punya jabatan sedikit saja, maka ia tampil over acting dengan gaya menjilat-jilat berlebihan membela atasannya. Lakunya itu memang sudah diniatkan, dan itu agar jabatannya setidaknya bisa bertahan, syukur-syukur bisa dapat bonus jabatan lebih sebagai komisaris.
Jika ikhtiarnya direspons dengan baik oleh atasannya, maka ia akan makin menjilat-jilat lagi. Menjilat dianggapnya langkah efektif untuk setidaknya mengekalkan jabatan. Semua memang sudah diperhitungkan dengan cermat. Jika tidak sekarang, kapan lagi. Itu jadi kredonya.
Maka, kesempatan yang didapat dieksplornya habis-habisan. Ia sudah tidak lagi memperhitungkan manusia lain nek atas ulahnya dan lalu ingin muntah, itu tidak jadi pertimbangannya. Bisa jadi pikirnya, besok saat pergantian pimpinan, belum tentu ia akan ditunjuk lagi sebagai "tombak" untuk menyalak.
Maka masa bodoh dengan pihak lain yang menganggapnya menjilat berlebihan. Bahkan jika saja ia dijuluki Raja Penjilat pun, ia tidak keberatan. Ia menikmati saja hal yang orang lain merasa tabu, dengan tidak berharap mendapat julukan demikian.
Bahkan ia pun cuek saja dengan munculnya mural mirip Ngabalin, di Bogor. Mural dengan mata ditutup, tertulis di situ "504 Error", yang disekitarnya ada beberapa ekor kambing. Sindiran untuknya, bahwa orang yang menganggap gambar yang mirip Jokowi dengan tulisan 404: Not Found, itu ekspresi, disebutnya sebagai manusia kelas kambing.
Harmoko, Ruhut dan Ngabalin
Sejarah para penjilat (flatterer) memang panjang, dan pastinya dikenang dengan buruk sepanjang massa. Kita masih ingat, kebiasaan yang selalu menyebut nama presiden, jika pejabat itu menyampaikan keterangan, meskipun itu keterangan remeh temeh, tetap saja nama presiden diseretnya.
Siapa yang tidak kenal dengan kalimat "menurut petunjuk Bapak Presiden", jadi andalannya. Ialah Pak H. Harmoko, Menteri Penerangan RI, di era Presiden Soeharto.
Harmoko di setiap memberikan keterangan selalu saja kalimat "menurut petunjuk Bapak Presiden" itu tidak pernah absen diucapkan. Bahkan tidak cuma sekali kalimat itu meluncur dari mulutnya, pada setiap memberi keterangan, bisa beberapa kali. Maka kalimat Harmoko itu jadi guyonan tidak saja pelawak yang memelesetkan dengan apa saja, tapi juga kalangan umum sering memakai kalimat itu untuk lucu-lucuan.
Kalimatnya Harmoko itu masih kontekstual, meski orang menganggapnya itu juga masuk kriteria menjilat. Harmoko-lah sepertinya pribadi yang mengawali komunikasi dengan gaya menjilat. Tapi sekali lagi, Harmoko menyampaikan kalimat ikoniknya itu masih dalam ranah sewajarnya.
Ada lagi politisi yang mantan pengacara, Ruhut Sitompul. Disebut politisi kutu loncat. Setidaknya tiga partai ia jelajahi. Awalnya saat Orde Baru, ia ada di Golkar. Setelah Partai Demokrat memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi presiden, Ruhut sudah ada dalam barisan Partai Demokrat.
Selalu nama Pak SBY dibawa-bawanya, dan dipuji-pujinya setinggi langit. Gaya memujinya memang berlebihan, menjilatnya tidak ketulungan. Setelah Pak SBY tidak lagi menjadi presiden, Ruhut sudah nemplok di PDI-P, partai yang menjadikan Joko Widodo jadi presiden. Kehadiran di partai barunya, sepertinya tidak diterima sepenuh hati. Mungkin Ruhut lupa, bahwa saat di Partai Demokrat, ia kerap usil menghajar Ibu Megawati Soekarnoputri. Meludahi orang boleh lupa, tapi yang diludahi mustahil lupa.
Menjadi ciri Ruhut, seperti biasanya, partai lama yang ditinggalkan diserang habis-habisan. Dan saat Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dibegal lewat KLB Deli Serdang, Sumatera Utara, Ruhut pun tampak senang, dan pembegal itu justru dibelanya.
Tapi di atas semuanya itu, tampaknya hanya Ali Mochtar Ngabalin yang paling "berkualitas" jilatannya. Ia menikmati gaya menjilatnya itu, tentu dengan sadar. Dan itu bagian dari yang diikhtiarkan. Ngabalin punya tujuan dalam memakai komunikasi gaya menjilatnya itu. Strategi Ngabalin efektif, yang tidak dipunya Ruhut yang tampil sporadis, asal bicara tanpa tujuan pasti. Ruhut hanya senang menghantam lawannya dengan makian, yang cuma berharap orang lain bisa tertawa. Ruhut jadi politisi salah memilih tempat, jika jadi pelawak ia mungkin lumayan lucu juga.
Ali Mochtar Ngabalin, pernah jadi aktivis dakwah, dan aktivitas-aktivitas berbau keislaman lainnya. Tapi saat ia menjadi Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), ia sepertinya sekaligus jadi pembela Presiden Jokowi paling depan. Ngabalin total menyerang siapa saja yang coba-coba mengoreksi langkah Jokowi. Ngabalin tidak perduli jika harus berhadapan dengan tokoh-tokoh Islam aktivis dakwah yang dulu berjuang bersana mengikhtiarkan kebaikan.
Semua dianggapnya musuh olehnya, jika mengoreksi-mengkritik kebijakan Presiden Jokowi. Di mata Ngabalin, kebenaran atau yang paling benar hanya Jokowi. Setidaknya ia men-setting pikirannya demikian. Maka yang lain, yang mengoreksi kebijakan itu salah, meskipun pihak lain itu mengoreksi dengan data.
Ngabalin menikmati perannya. Karenanya, ia pun diganjar sebagai Komisaris Pelindo III, itu buah ikhtiarnya selama ini. Bahkan ia tidak berkeberatan disebut penjilat. Atau bahkan sekalipun disebut Raja Penjilat.
Meski demikian, Ngabalin tetap seperti biasanya berdalih dengan dalih yang kuat meski dalih itu absurd, bahwa ia tidak keberatan disebut penjilat, itu semata karena ia menjilat demi bangsa, negara dan agama, opo tumon? Apa iya demikian?
Mungkin Ngabalin sudah menganggap dirinya sebagai representasi negara. Karenanya, ia boleh menjadi apa saja, termasuk laku menjilatnya itu bagian dari kerja untuk bangsa dan negara. Maka jika diterus-teruskan, bisa pula suatu waktu Ngabalin mengkhianati penguasa, yang dibelanya saat ini, dan itu atas nama negara, bangsa dan agama. Tentu ini sekadar berandai saja, lho... (*)
*) Kolumnis