Mural Wiji Thukul

Oleh Ady Amar

Wiji Thukul hilang entah ke mana. Atau lebih tepat, Wiji Thukul dihilangkan entah oleh siapa. Rezim jahat saat itu mengambilnya, dan ia tak pernah kembali menemui istri dan buah hatinya di gubuk kecilnya di Solo.

Politik kekerasan, itu demokrasi yang tersumpal. Menyumpal demokrasi bahkan yang ada di pikiran. Maka, kritik umpatan sajaknya pada rezim, itu bisa jadi yang menyebabkan ia tak mampu lagi bersajak ria. Ia seolah ditelan bumi, atau hancur remuk raga jadi serbuk halus tertiup angin.

Tidak ada yang tahu dengan cara apa Wiji Thukul disudahi hidupnya, dan oleh siapa. Misteri itu tidak terungkap, meski rezim berganti. Tapi nasib hilangnya Wiji Thukul itu tidak terkuak sedikitpun. Bahkan tidak ada yang mencoba ingin menguak mengungkapnya.

Saat kanak-kanak, saat itu ia duduk di SMP, ia kaget ternyata sajak bisa buat ciut penguasa. Saat itu ia mulai menulis sajak pendek. Sajak nakal kelewatan. Sajak itu ia beri judul "Kemerdekaan", dibacakannya saat Hari Kemerdekaan RI. Itu di tahun 1982. Begini bunyinya:

Kemerdekaan adalah nasi.

Dimakan jadi tai

Keesokan harinya panitia Hari Kemerdekaaan RI di kampungnya, dan sekalian Wiji Thukul dipanggil dan diinterogasi Babinsa di Kelurahan.

Sajak Wiji Thukul memang sajak pemberontakan. Ia tampak menjadi orang kiri, yang dipaksa oleh keadaan. Menjadi kiri buat orang semacam Wiji Thukul seperti jadi keharusan. Kemiskinan yang tanpa pendampingan Tuhan, bisa menjadi kiri sebenarnya.

Ia anak seorang penarik becak. Cuma bisa Sekolah Menengah Atas Karawitan dan Tari, tidak tamat karena biaya. Ia mengalah pada adik-adiknya. Dan lalu ia jadi calo tiket bioskop.

Kondisi itu, bisa jadi, menyebabkan pilihan sajaknya penuh pergolakan, dan itu menyakitkan rezim yang tengah menikmati hidup serba nikmat. Sajak-sajaknya dianggap membahayakan keberlangsungan kenikmatan atas nama pembangunan, atau apapun namanya.

Saat ini, kutipan sajak "pemberontakan" Wiji Thukul muncul sebagai mural pada dinding-dinding di kota Solo juga Yogyakarta. Kutipan sajak yang dipilih tentu yang tidak tajam bak sembilu, agar tidak dihapus Satpol PP atas nama keindahan kota.

Wiji Thukul seolah dihidupkan kembali sebagai simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan. Rezim boleh berganti, tapi tabiat rezim yang bisa jadi sama tiraninya, memunculkan perlawanan. Maka, sajak-sajak Wiji Thukul -- bahkan juga kutipan sajak WS Rendra dan Chairil Anwar pun hadir sebagai mural-- amat relevan, seolah menjadi kawan kesuntukan melawan kekuasaan jahil dan lalim.

Apa yang Perlu Ditakutkan

Wiji Thukul hanyalah orang kecil, menjadi aktivis pilihannya. Di sela-sela aktivitasnya, ia menulis sajak, meski bukan terbilang penulis sajak papan atas, tapi pada sajak karyanya nuansa getir, kesulitan hidup, marah, perlawanan... dan seterusnya, itu punya nilai tersendiri. Masuk kategori sajak pamflet, mungkin itu tepat jika melihat sajak-sajak karyanya.

Sekeras apapun sajak dibuat, tidak pernah dalam sejarah mampu menumbangkan rezim berkuasa. Namun sajak mampu sebagai monster menakutkan bagi rezim tiran. Itu ibarat bangunan kokoh yang mustahil bisa dirobohkan, tapi mampu membuat penghuninya ketakutan.

Hari-hari ini nukilan sajak-sajak Wiji Thukul, WS Rendra, dan bahkan Chairil Anwar menghiasi tembok-tembok dihadirkan sebagai seni mural. Sajak-sajak yang melintasi periode waktu panjang, itu dimunculkan seolah mengiringi suasana zaman yang tidak jauh berbeda dengan saat sajak itu dicipta.

Sajak-sajak itu mengajarkan, seolah tidak ada yang berubah dari pergantian rezim. Sepertinya bangsa ini tidak beranjak lebih baik, tetap terpuruk dan terpuruk... Rezim boleh berganti, tapi tabiat (menuju) tiran terus ditampakkan....

Maka kehadiran sajak-sajak di tembok-tembok mana saja, itu tiada henti terus seolah berteriak mengingatkan bangsa yang bergerak menjauhi bandul sejahtera. Maka, sajak-sajak itu akan terus hadir, meski harus menanggung diserupakan musuh yang mesti dibabat habis. Maka menghapus mural dalam bentuk cuplikan sajak-sajak itu jadi pilihan.

Namun menghapus pesan pada mural yang bertumbuh di mana-mana, itu mustahil bisa dihentikan. Satu dihapus, maka sepuluh akan bertumbuh. Dan tentu kualitas pesan yang disampaikan akan makin kuat dan menohok.

Mural-mural itu mustahil bisa merobohkan tembok yang dihiasi dengan sajak-sajak dan gambar kritik sosial. Lalu apa yang mesti ditakutkan? Biarkan saja kehadirannya, jangan diganggu. Karena dengan itulah ia dapat mengekspresikan kesuntukan hidup.

Wiji Thukul sudah pergi entah ke mana, bisa jadi ia dihilangkan untuk tak kembali... Begitu pula WS Rendra, dan apalagi Chairil Anwar... mereka semua sudah pergi dengan alasannya masing-masing. Namun legacy yang ditinggalkan, sajak-sajak kritik sosialnya tetap abadi dinikmati.

Tanggal 27 Juli 1998, Wiji Thukul dinyatakan hilang, bersama 12 orang lainnya. Hilang dan dihilangkan tentu punya makna beda. Tapi dalam konteks Wiji Thukul, mungkin lebih netral dikatakan, pergi entah ke mana tak kembali.

Dan 23 tahun kemudian, Wiji Thukul muncul kembali, tidak sosoknya. Tapi kutipan sajaknya di tembok-tembok, menjadi mural lambang perlawanan. Meski yang muncul baru kutipan sajak terbilang sejuk, belum sampai yang mengguncang... (*)

*) Kolumnis

369

Related Post