Sejarah Mentang-mentang, dan Sentilan Gus Baha

Oleh Ady Amar *)

SEJARAH selalu diisi para pemenang. Atau dalam narasi lain, sejarah selalu diwarnai oleh mereka yang tengah berkuasa Merekalah yang menulis sejarah sesuai dengan keinginan dan versinya.

Rezim Orde Baru menulis sejarahnya sendiri, menurut versinya. Maka yang berbau Orde Lama dibersihkan, dibuang dalam buku-buku sejarah. Maka nama-nama yang berbau "kiri" akan sulit bisa ditemukan, dalam buku pelajaran sejarah sekolah.

Soeharto "panglima" Orde Baru muncul menghiasi sejarah, dan ia digambarkan tidak saja mampu melumat ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, tapi ia juga sebagai jenderal yang mampu menjaga stabilitas keamanan khususnya.

Maka operasi pembunuhan misterius (petrus) jadi andalan penegakan kamtibmas, meski itu dianggap melanggar HAM. Tidak terhitung penjahat yang ditembak mati tanpa pengadilan. Meski ditentang Barat, operasi petrus jalan terus, dan berhenti saat dianggap sudah cukup memenuhi target.

Untuk menegaskan peran Soeharto dalam merebut kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, dimunculkan film-film perjuangan, dimana Soeharto sebagai tokoh sentralnya. Film "Serangan 1 Maret/Janur Kuning" (1979), "Serangan Fajar" (1982), dan yang paling fenomenal film "Pengkhianatan G30S/PKI" (1984). Film ini rutin sejak 1985 diputar di TVRI, setiap tanggal 30 September.

Tidak ada yang salah dalam film-film itu, justru film-film itu membangkitkan semangat kejuangan, dan memperlihatkan kekejaman PKI sebagai dalang kudeta dengan melakukan pembunuhan para jenderal.

Pada masa Orde Baru, apa saja yang berbau kiri ditiadakan. Sehingga sulit untuk menemukan, misal buku Tan Malaka. Namanya menjadi asing, tidak dikenal anak-anak sekolah tingkat lanjutan pertama dan atas. Padahal ia termasuk pahlawan nasional. Bukunya Madilog (1951) sulit ditemukan. Buku itu magnum opus karya Tan Malaka, dan dianggap sebagai karya paling berpengaruh dalam Sejarah Filsafat Indonesia Modern.

Tapi bersyukur Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cukup berjasa saat mengangkat karya Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang dianggap orang paling mengerti akan kisah hidup Tan Malaka, sebagai aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia. Buku 3 jilidnya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia itu mampu melepas dahaga mengenal sejarah tokoh misterius satu ini.

Seiring berjalannya waktu, rezim Orde Baru lambat laun, khususnya pada pertengahan '80-an, mulai melonggarkan literasi agak kekirian, termasuk karya yang pada awalnya "terlarang". Bahkan Bung Karno, yang dianggap tokoh utama rezim Orde Lama, pelan-pelan pula namanya "dipulihkan", dan itu bisa terlihat dengan penamaan bandara dengan namanya bersama dengan nama Bung Hatta, Bandara Soekarno Hatta.

Namun soal Komunis sebagai ajaran terlarang, tidak bisa ditawar-tawar, yang itu dikuatkan dengan Tap MPRS, yaitu Tap XXV/MPRS/1966. Rezim Orde Baru tegas menegakkan ketetapan itu. Tidak ada tawar menawar, dan itu memang konsekuensi sebagai negara Pancasila yang berketuhanan.

Soekarno Menjadi Tidak Proporsional

Sebagai pahlawan nasional dan Proklamator RI bersama Hatta, Soekarno dibuat seolah milik keluarga, atau setidaknya milik PDI Perjuangan. Maka wajah Soekarno selalu menempel pada banner-banner beraroma PDIP, di samping juga tentunya wajah Megawati Soekarnoputri.

Peran Bung Karno ditarik atau dikecilkan tanpa disadari, seolah milik keluarga. Seperti PDIP tidak percaya diri jika tanpa mengikutsertakan nama besar Soekarno. Di sebalik itu masyarakat "dipaksa" mengakui peran-peran besar Soekarno dengan lomba memasang patungnya. Soekarno hadir menjadi tidak proporsional.

PDIP sebagai partai besar, menjadi partai penguasa yang seolah bisa berbuat apa saja. Apalagi dengan klaim kepemilikan "petugas partai" meski itu setingkat presiden, maka apa yang tidak bisa dibuat menjadi mudah dibuat dan diwujudkan. Maka semua pihak ingin mendekati partai besar ini, terutama mendekati sang pemilik partai, Megawati Soekarnoputri.

Megawati jadi pihak yang seolah diperebutkan. Keberadaannya bahkan lebih dari "petugas partai", yang meski orang nomor satu di republik ini. Sematan gelar "petugas partai" itu memang mengecilkan, itu hal tidak pantas. Itu upaya ingin menjadikan presiden juga milik partai, sebagaimana juga Soekarno milik partai.

Melihat itu, bermunculan mereka yang ingin mendekat dengan berbagai cara. Maka pengadaan patung Bung Karno jadi senjata untuk "dilihat" Megawati.

Muncul patung setengah dada Ir. Soekarno di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, (7 Februari 2020). Gubernur Akmil, kala itu, Mayjen Dudung Abdurrahman, cerdas menangkap momen itu. Ia diapresiasi Megawati, yang dalam sambutannya mengucapkan terima kasih dan penghargaan.

Megawati mengatakan, bahwa Bung Karno itu pendiri Akmil, dan menjadi aneh jika tidak ada patungnya. Itu sudah hampir melupakan sejarah. Lanjutnya, padahal kita tahu bahwa sejarah di dunia ini pun sangat penting untuk menunjukkan yang namanya kita sebagai warga bangsa. Sambutan khas Megawati dengan kalimat ala kadarnya yang terpontal-pontal, itu pun disambut penuh kekaguman.

Mayjen Dudung pun menyambar, itu tampak dalam sambutannya, bahwa patung Ir. Soekarno di Akmil sebagai simbol untuk menghormati dan mengabadikan perjalanan perjuangan bersejarah Sang Proklamator. Selain itu dijadikan panutan bagi Taruna-Taruni sebagai calon pimpinan TNI AD dan TNI masa depan.

Patung Ir. Soekarno di Akmil, itu yang menjadikan Mayjen Dudung dalam hitungan bulan diangkat sebagai Pangdam Jaya. Benar-benar sakti. Tidak lama setelah itu, Mayjen Dudung menyambar lagi dengan menurunkan baliho-baliho Habib Rizieq Shihab. Tidak lama kemudian, ia diangkat sebagai Pangkostrad dan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Entah ini bisa disebut kebetulan, atau langkahnya memang penuh perhitungan.

Lalu muncul lagi patung Ir. Soekarno Duduk di kursi sedang membaca buku, diresmikan di depan kantor Lemhanas, (20 Mei 2021). Tidak persis tahu apa motif Letjen (Pur) Agus Widjoyo, Gubernur Lemhanas, menghadirkan patung itu. Seolah berlomba membangun patung Soekarno jadi model, dan tentu itu politik kepentingan.

Lalu gong sementara dari semuanya adalah patung Ir. Soekarno yang dibangun Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, sebuah patung Ir. Soekarno Menunggang Kuda, (7Juni 2021). Patung itu diletakkan di halaman depan Kantor Kementerian Pertahanan. Peresmiannya juga oleh Megawati Soekarnoputri.

Jika lalu pihak lain mengatakan, bahwa perjalanan sejarah bangsa ini bukan cuma oleh seorang Ir. Soekarno, itu tidak salah. Menghadirkan Ir. Soekarno berlebihan, itu politik mumpung sedang berkuasa.

Sentilan Gus Baha

Indonesia dibentuk oleh seluruh bangsa, bukan hanya segelintir orang saja, sentil Gus Baha. Itu disampaikannya dalam video berdurasi 45 detik, Gus Baha menyatakan, bahwa Indonesia bukan hanya milik PDIP dan Soekarnoisme saja.

"Tentu Pak Karno bikin negara itu untuk semua bangsa, bukan untuk PDIP saja, bukan untuk partai yang berpaham marhaenisme, juga bukan untuk partai yang berpaham Soekarnois saja," ujarnya.

Kebesaran Soekarno jangan sampai direduksi atau disederhanakan hanya melalui partai saja. Itu justru merupakan bentuk pengkerdilan pada Soekarno.

"Ya kita gak mungkin gak menghormati Soekarno. Beliau adalah pahlawan besar yang harus kita hormati... Tapi ya, kebesaran pak Karno dan bangsa Indonesia jangan kemudian direduksi, disederhanakan hanya melewati partai. Itu kan pengkerdilan," ujar Gus Baha.

"Bahkan HOS Cokroaminoto bikin partai Islam adalah untuk mengusir bangsa Belanda dari Indonesia, yang mestinya juga untuk kepentingan semua bangsa Indonesia dan bukan hanya Islam saja," imbuhnya.

Apa yang disampaikan Gus Baha, sebenarnya hal biasa saja. Menjadi istimewa karena yang menyampaikan Gus Baha. Semua yang bisa berpikir sedikit rasional, merasakan hal sama, bahwa Bung Karno serasa direduksi/disederhanakan. Atau, Bung Karno dibuat menjadi kecil, seolah pahlawan kelas keluarga dan partai (PDIP) saja. Makanya itu, Bung Karno selalu dihadirkan pada baliho-baliho yang menyertakan Megawati atau PDIP.

Orang bertanya-tanya, tumben Gus Baha ceramahnya "nyasar" pada pereduksian Bung Karno itu. Bisa jadi, ia dan juga manusia merdeka lainnya melihat, bahwa upaya mereduksi Bung Karno sedang terjadi. Sebaliknya muncul upaya menganggap pahlawan bangsa itu cuma Soekarno, itu yang dikritisinya. Dan lalu jadi keprihatinan Gus Baha, dan tentu kita semua... Sejarah memang suka mentang-mentang sedang berkuasa, dan melupakan periode sejarah sebelumnya.

*) Kolumnis

314

Related Post