OPINI

Presiden Butuh Sosok Panglima yang Mampu Tegas dalam Bersikap

Oleh: Mochamad Toha Beragam analisa pakar perihal siapa calon Panglima TNI penganti Marsekal Hadi Tjahjanto yang memasuki masa pensiun pada November 2021 mulai mengemuka di berbagai media. Republika.co.id, Jumat (10 Sep 2021 08:46 WIB), misalnya menulis, KSAD Jenderal Andika Perkasa bersaing dengan KSAL Laksamana Yudo Margono menjadi calon Panglima TNI. Itu disampaikan oleh Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Ersento Maraden Sitorus, yang punya analisa soal isu reshuffle yang mengemuka pasca masuknya PAN ke Kabinet Presiden Joko Widodo. Menurutnya, dalam reshuffle yang akan datang kemungkinan besar posisi Panglima TNI yang akan ditinggalkan Hadi Tjahjanto akan diisi KSAL Yudo Margono. Menurutnya, Presiden Jokowi akan tunduk pada ketentuan yang diatur UU TNI. “Berdasarkan UU matra AL berkesempatan mengisi posisi posisi Panglima TNI. Selain itu Presiden Jokowi juga berkepentingan untuk tetap menjaga soliditas dukungan TNI,” kata Fernando, Kamis (9/9/2021). Fernando memprediksi KSAD Andika Perkasa tak akan menjabat Panglima TNI karena melangkahi ketentuan. Menurutnya, Presiden Jokowi akan mempercayakan kepada Andika untuk memimpin BIN. “Panglima TNI sebelum Hadi Tjahjanto dua kali berturut-turut dari matra AD yaitu Moeldoko dan Gatot (Nurmantyo),” ujar Fernando. “Presiden Jokowi (juga) memerlukan dukungan yang solid dari TNI sehingga menjadi alasan kuat untuk mempertahankan tradisi yang diatur oleh UU,” tambahnya. Selanjutnya, Kepala BIN Budi Gunawan akan dipercaya untuk memimpin Kemenko Polhukam menggantikan Mahfud MD. Menurut Fernando, Budi Gunawan merupakan orang kepercayaan di lingkaran satu. “BG yang sangat memberikan peran penting terhadap situasi negara pasca pilpres 2019 sangat dibutuhkan oleh Presiden Jokowi untuk mengisi Menko Polhukam,” ungkap Fernando. Menurut Fernando, Mahfud MD yang merupakan guru besar hukum sangat dibutuhkan Jokowi untuk mengisi posisi Jaksa Agung. Senada dengan Republika, tulisan Kompas.com, Selasa (14/09/2021, 12:31 WIB) juga mengarah kepada dua sosok yang disebut Fernando. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, kandidat Panglima TNI masih berkutat di antara dua nama: Andika Perkasa dan Yudo Margono. Menurut dia, belum pernah terjadi pergantian Panglima TNI dari matra yang sama selain dari TNI AD. Ia menilai, Andika Perkasa memiliki peluang besar untuk menjadi Panglima TNI. Sementara Yudo Margono, peluangnya terus menguat seiring waktu. “Peluang Andika Perkasa memang cukup besar jika pergantian Panglima TNI dilakukan dalam waktu dekat dan penundaan akan sangat berdampak pada peluang keterpilihan Andika,” ujarnya, Selasa (14/9/2021) pagi. “Peluang Yudo Margono cenderung terus menguat seiring waktu. Relatif tak ada masalah baginya dan bagi organisasi TNI, jika pergantian dilakukan sekarang ataupun menjelang masa pensiun Hadi Tjahjanto,” imbuh dia. Secara politik, Fahmi menyebut, kebutuhan Presiden Jokowi hari ini adalah mendapatkan para pembantu dengan loyalitas tanpa reserve, terutama untuk memuluskan agenda-agenda politik dan pemerintahan. Dari situ, bisa dilihat bahwa tidak ada barrier dalam relasi antara Jokowi dan Yudo Margono. Namun hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Yudo tidak punya endorser yang sangat kuat untuk menggaransi dirinya terpilih. Sedangkan, Andika Perkasa itu memiliki endorser kuat sekaligus barrier. “Melalui sosok ayah mertuanya, Hendropriyono, maupun dari beragam pernyataan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh,” tuturnya. Namun ia menyatakan, pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana Presiden mengusulkan, lalu DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan Presiden. Akan tetapi, yang tidak patut adalah jika para “bakal calon” ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih Presiden. Seperti contoh melalui komunikasi dan negosiasi politik yang ditampakkan dari dukungan maupun pernyataan politisi yang menunjukkan keunggulan calon tertentu dibandingkan calon lainnya. Melansir Gatra.com, Senin (13 Aug 2021 01:13), Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun, mengatakan, Panglima TNI bisa dijabat secara bergatian oleh perwira tinggi aktif dari setiap matra. Dosen Universitas Negeri Jakarta tersebut mengungkapkan, ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Atas dasar itu, panglima TNI biasanya dijabat secara bergilir oleh tiap perwira dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurutnya, pengangkatan ini bersifat kultural, bukan struktural. Jika merujuk pengisian jabatan Panglima TNI sebelumnya, lanjut Ubedilah, pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto nanti adalah giliran dari Angkatan Laut. Ubedilah menilai, KSAL Laksamana Yudo Margono, memenuhi syarat untuk mendapuk Panglima TNI mendatang. Yudo meniti karier dengan pendidikan militer terbaik. Karier militer yang pernah dirintis Yudo di TNI, yakni menjadi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I. Yudo juga sebagai sosok yang memberi perhatian serius pada pengembangan SDM TNI AL. Dari dua nama calon Panglima TNI yang mencuat itu, siapakah yang bakal diajukan Presiden Jokowi ke DPR nanti? Menurut sumber yang dekat dengan Istana, pengamat boleh saja bernyanyi tentang calon Panglima TNI. “Namun, Mas Jokowi akan memilih sosok yang berpengalaman melibas teroris dan pemberontak,” katanya. Sumber tadi menyebut, “Diantaranya OPM di Papua,” lanjutnya. Presiden Jokowi sebelumnya sudah meminta masukan dan data keamanan nasional. Juga, sosok yang mampu tegas dalam bersikap. Selain soal OPM, keamanan nasional yang dimaksud juga ancaman teritorial dengan masuknya TKA China di berbagai pelosok tanah air yang suatu saat bisa mengganggu keamanan nasional. Meski jabatan Panglima TNI sudah dua kali dipegang dari matra Darat, namun ketentuan dalam Pasal 13 ayat (4) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyebutkan “dapat dijabat secara bergantian” itu menyangkut etika saja. Sekarang, bola ada di tangan Presiden Jokowi. Mengedepankan etika atau ada pertimbangan strategis lainnya, adalah pilihan yang tidak mudah. Bak memakan buah simalakama, Jokowi dipastikan akan menghadapi polemik yang cukup memusingkan dia. Pilih etika atau kepentingan atau lainnya? Namun, di atas itu semua, baik Andika Perkasa maupun Yudo Margono memiliki peluang yang sama. Begitu pula dengan KSAU Marsekal Fajar Prasetyo. Mereka adalah putra-putra terbaik TNI saat ini. Mereka juga dipastikan dapat memperhatikan kepentingan organisasi TNI. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Anugerah Sebuah Hidayah

Oleh: Yusuf Blegur Fenomena Krisdayanti, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Junior Tumilaar yang memenuhi komunikasi publik belakangan ini. Bukan saja menjadi sesuatu yang unik. Apa yang mereka lakukan sejatinya memberi warna baru dan makna tersendiri. Terutama bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka yang dalam situasi dan keadaan berbeda, namun sama-sama sebagai pemangku kepentingan publik. Berani menyampaikan sikap dan tindakan yang tidak biasa. Diluar otoritas kelembagaan yang mengikat mereka dan semangat kolektif kolegial dari kawan-kawan lainnya. Krisdayanti yang anggota DPRI. Irjen Napoleon Bonaparte yang meski sedang menjalani hukuman terkait kasus pemberian Red Notice pada Joko Chandra buronan koruptor kakap, namun masih tercatat sebagai anggota Polri. Begitupun dengan Brigjen Junior Tumilaar yang menjadi petinggi di TNI-AD. Mereka bertiga merupakan figur yang masih bisa membuktikan bahwa status sosial dan jabatan tidak seharusnya membuat mereka bungkam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Minimal tidak hanya sekedar 'tahu tapi pura-pura tidak tahu' saat melihat ada sesuatu yang tidak sedang baik-baik saja. Terutama saat secara langsung dengan mata kepala sendiri melihat rakyat di negeri ini harus mengalami penderitaan dan hidup dalam ketidakadilan. Dimana mereka ada di dalam dan menjadi bagian dari sistem yang secara struktural menjadi penyebab semua dekadensi kenegaraan itu. Mereka bertiga, sesaat melawan mainstream dan tidak takut kehilangan eksistensi ataupun jabatan mereka. Bahkan terhadap apapun yang mungkin bisa terjadi pada diri mereka dikemudian hari. Sepatutnya seluruh rakyat Indonesia, bisa memberikan apresiasi dan mendukungnya. Apapun yang menjadi latarbelakang dan motif mereka saat menyuarakan realitas dan pembelaan mereka pada rakyat kecil, negara bangsa dan agama. Krisdayanti dengan segala atribut yang dimilikinya. Katakanlah prestasi di dunia tarik suara atau yang menempatkannya sebagai salah satu Diva musik Indonesia. Menjadi politisi dengan embel-embel artis yang cantik, terkenal dan cukup kaya. Baik yang didapat dari penghasilan karirnya sendiri maupun dari suaminya yang pengusaha. Merupakan figur idol yang menjadi dambaan hidup terutama bagi kebanyakan perempuan di Indonesia. Kehadirannya dalam dunia politik dan duduk sebagai anggota DPR RI. Mampu menepis bahwasanya kehadiran artis bukan sekedar pemanis dan penghias parlemen atau hanya untuk menjadi 'vote getter' bagi partai politik. Kalangan artis atau selebritas tidak melulu hanya menambah daftar panjang sederet figur planga-plongo pejabat dan pemimpin di republik ini. Krisdayanti dalam kesempatan acara bincang-bincang di satu acara video channel, sempat melantunkan senandung politik. Nyanyian fals yang tak mengibur dan membuat tak nyaman bagi institusi parlemen dan partai politik. Juga bagi koleganya para politisi senayan. Sekilas rakyat mengetahui seorang Krisdayanti memang memiliki vokal yang bagus di panggung politik, tidak sebatas di panggung konser musik. Krisdayanti terkesan berhasil membongkar 'aib' seperti apa kinerja anggota legislatif dibandingkan gaji dan fasilitas berlimpah yang diterimanya. Belum lagi ditambah kebiasaan kasus korupsi yang kerap dijumpai pada anggota dewan yang terhormat. Sementara terkait Irjen Napoleon Bonaparte jebolan akademi polisi (akpol) tahun 1988. Meskipun sedang menjalani hukuman, namun mampu membuat gebrakan dimata publik. Beliau mengambil tindakan terukur usai kebuntuan komunikasinya terhadap M Kece yang terlalu sering melecehkan agama Islam, menghina Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan merendahkan para ulama. Irjen Napoleon Bonaperte yang pernah menjabat Kepala Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri pada tahun 2020, mengambil tindakan 'tegas' didalam ruang tahanan bareskrim Polres Jakarta Selatan. M Kece yang perilaku sebelumnya jarang tersentuh hukum pada akhirnya mendapat ganjaran hukuman fisik. Wajah dan sekujur tubuhnya tidak lagi 'kece' seperti namanya. Bukan berarti membenarkan kekerasan. Kasus pemukulan M Kece, masihlah sangat ringan dibandingkan perlakuan di negara lain terhadap para penista agama ataupun yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu Alihi Wassalam. Bahkan di negara sekuler sekalipun. Dunia belum lupa pada pemenggalan kepala Samual Patty seorang guru sejarah di Prancis. Pendidik yang dianggap menghina karena menampilkan karikatur Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Beberapa kasus lain juga sering terjadi di dunia terkait penghakiman massa atau hukuman sosial saat hukum positif atau formal membiarkan pelaku penistaan agama Islam. Irjen Napoleon Bonaparte yang mengeksekusi M Kece, seakan memenuhi dahaga keadilan hukum bagi rakyat. Terutama umat Islam. Irjen Napoleon Bonaparte yang karirnya cukup bagus di kepolisian dan berpengalaman dalam bidang reserse. Menyiratkan ada pemberontakan kecil terhadap sistem hukum di Indonesia. Sistem hukum yang dikuasai oleh persekongkolan kekuasan politik dan mafia ekonomi. Ketidakadilan hukum yang sering memilih korban. Keberanian Irjen Bonaparte, memicu kasus penganiayaan M Kece menjadi bukti betapa keadilan Tuhan juga bisa hadir didunia. Tidak pula harus menunggu pengadilan akherat. Tindakan tegas dan terukur Irjen Napoleon Bonaparte, boleh jadi merupakan perwujudan aspirasi dari rakyat utamanya umat Islam. Mungkin juga menjadi representasi para tokoh dan pemimpin baik dari kalangan sipil dan militer yang selama ini terbelenggu dan tak berdaya oleh sistem. Demikian juga dengan Brigjend Junior Tumilaar. Saat membela Ari Taharu seorang warga miskin yang buta huruf (67 tahun). Ari Taharu merupakan pemilik tanah waris yang diserobot oleh PT. Citra Internasional/ Perumahan Citraland. Bukan itu saja. seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) seketika didatangi Brimob bersenjata Polda Sulawesi Utara. Sementara Ari Taharu sudah setengah bulan ditahan Polresta Kota Manado sejak Brigjend Junior Tumilaar menulis surat kepada Kapolri yang ditulis pada tanggal 15 September 2021. Perhatian dan keberpihakan Brigjend Junior Tumilaar terhadap rakyat kecil termasuk seorang petugas Babinsa, menjadi sesuatu yang istimewa di republik ini. Mengingat yang dihadapi adalah borjuasi korporasi besar. Publik terlanjur memahami bahwa negara lebih banyak diatur oleh perusahaan ketimbang para aparatur pemerintahannya. Apalagi baik insitusi kepolisian dan TNI karena ulah oknum-oknumnya sering dianggap sebagai 'beking' pengusaha kakap yang tipis perbedaannya dengan mafia atau sindikat. Kekuasan dan pengaruh mafia tanah yang memunculkan 'extrim prejudice' bahwa dibelakangnya ada Polri dan TNI, termasuk birokrasi pemerintahan seperti BPN. Brigjend Junior Tumilaar yang jebolan Akademi Militer (Akmil) Angkatan Darat tahun 1988, merupakan pejabat Inspektur Komando Daerah Militer XIII/Merdeka. Ia merupakan seorang Jenderal TNI kerakyatan yang langka, berkarakter memperjuangkan rakyat kecil dan tertindas. Mengigatkan negara pada figur jenderal besar dan pahlawan Soedirman. Berani mengambil resiko apapun dari keyakinan dan tindakan yang diyakini kebenarannya, untuk rakyat, bangsa dan negara. Selain itu, mengingatkan khalayak sejarah pada sosok Jenderal Polri Hoegeng yang jujur dan berintegritas yang tak akan dijumpai di kepolisian Indonesia, mungkin sampai kiamat nanti. Spiritualitas Melawan Sekulerisme Memang sangatlah sulit untuk merubah sistem yang sangat lama begitu akut membentuk sifat dan mentalitas manusia yang berorientasi pada kebebasan baik aspek material maupun imaterial. Seperti negara yang lahir dengan sistem politik yang memisah relasi agama dan negara. Maka seiring itu negara menentukan kebijakan negara tidak pada landasan agama. Sehingga bisa dipastikan kehidupan rakyatnya begitu kering dari spiritualitas. Masyarakat menjadi penganut materi dan kebendaan lainnya. Nilai-nilai religius tercerabut dalam hati, pikiran dan tindakannya dalam pelbagai sendi kehidupan. Agama hanya sekedar simbol dan formalitas praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jauh dari isi, menyimpang dari substansi dan esensi Ketuhanan (Tauhid). Dalam kehidupan dunia yang dijejali oleh sekulerisasi dan liberalisasi. Termasuk penyelenggaraan tata kelola negara dengan sekedar jargon Pancasila dan NKRI ini. Rakyat Indonesia terbiasa menghirup udara kapitalisme. Norma-norma sosial dan prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi fosil dari kebudayaan lama yang baik. Pranata sosial dan kearifan budaya luhur seperti menjadi usang dalam alam modernitas. Humanisme menjadi tabu pada menguatnya perilaku hedon. Orang-orang terutama pada pemegang kebijakan publik dan dalam lingkar kekuasaan berlomba-lomba mengejar harta dan dan tahta. Baik elit swasta maupun pemerintah tak peduli menghancurkan tradisi positif masa lampau. Seperti nilai-nilai gotong-royong, kepedulian terhadap sesama dan sikap pengorbanan diri (altruisme dan patriotisme). Semoga apa yang baru kita cermati dengan kemunculan pemikiran, sikap dan tindakan yang berani dari sosok Krisdayanti, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjend Junior Tumilaar menjadi 'trigger' kesadaran kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia. Meskipun kecil dan sedikit, setidaknya mereka telah memulai sesuatu yang diharapkan dapat menjadi pembuka kesadaran makna dan kesadaraan krisis bagi semua komponen bangsa dan negara. Betapapun perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan itu, bukanlah sesuatu yang murah dan bisa bisa didapat begitu saja. Upaya-upaya untuk menjadi manusia taat dan menghamba pada Tuhan Yang Maha Kuasa itu. Akan sebanding dengan melepaskan hasrat keduniawian. Membuang jauh-jauh hati dan pikiran yang mencintai berlebih harta dan jabatan. Kesadaran nilai dan prinsip itu , pastinya akan menjadi kegilaan dan keterasingan di tengah jaman jahiliyah yang modern ini. Pada akhirnya seseorang atau siapapun akan sulit mempertahankan idealismenya menghadapi rasionalitasnya. Terlebih berkomitmen, berintegritas dan istiqomah pada prinsip menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Apalagi jalan lurus yang akan ditempuhnya itu beresiko melepaskan semua fasilitas dan kenikmatan hidup dunia yang dimiliki ataupun yang akan diraihnya. Akan tetapi itu bukan hal yang mustahil dan bukan berarti tidak dapat diwujudkan. Karena diluar kehendak dan kemampuan manusia. Masih ada harapan bagi orang di dalam ataupun di luar sistem yang akan dapat merubah keadaan menjadi lebih baik. Kebaikan yang telah diamanatkan dan bersumber dari Ilahi. Sebuah anugerah dalam wujud hidayah. Semoga. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Tindakan Terukur Sang Jenderal, dan Suka Cita Umat

Oleh Ady Amar *) AWAL Agustus sudah terjadi perdamaian antara M. Kece (kasus penodaan agama) dan Irjen Napoleon Bonaparte (terpidana kasus suap dan penghapusan red notice Djoko Tjandra). Rentang waktu cukup lama, sekitar 1,5 bulan dari saat kejadian, M. Kece (MK) melaporkan Napoleon Bonaparte (NB) atas tindakan penganiayaan di tahanan Bareskrim Mabes Polri. Sepertinya ia butuh waktu cukup lama untuk berani melaporkan kejadian penganiayaan yang menimpanya. Keberanian yang memang dari diri sendiri muncul, atau ada pihak eksternal yang back up untuk ia berani melaporkan. Analisa bisa ditarik ke sana, itu jika melihat waktu kejadian dan saat melaporkan kejadian butuh waktu begitu lama. Lalu bagaimana lebam-lebam yang diterima MK setelah kejadian itu, apa tidak tampak di wajah dan tubuhnya bekas penganiayaan. Apa tidak perlu karena itu ia perlu dirawat karena luka-lukanya. Apa dibiarkan saja ia kesakitan tanpa perlu diberi pertolongan medis. Analisa bisa juga ditarik pada kasasi yang diajukan NB, karena Pengadilan Tinggi memutus 4 tahun penjara, adakah pelaporan MK itu bersinggungan dengan kasasinya agar hakim yang memutus di tingkat kasasi, jika mungkin dengan penetapan hukum yang sama dengan putusan sebelumnya (PT) atau bahkan jika perlu lebih berat lagi. Apa yang menyebabkan informasi penganiayaan itu sampai harus keluar dari Bareskrim, tidak ada yang tahu. Analisa bisa dibuat, dan hakim yang akan memutuskan pun tentu punya standar hukum sendiri. Kasus belakangan berkenaan dengan penganiayaan, jika benar itu dilakukan NB, tentu tidak ada hubungan dengan kasus hukum yang dihadapinya. Lalu untuk apa kasus itu muncul, itu yang mesti dicari tahu. Keberanian MK itu jika muncul bukan dari dirinya, tapi dari bujukan pihak lain, tentu itu akan membahayakan dirinya. Tidak menutup kemungkinan tahanan lainnya akan memburu mencari kesempatan menghajarnya, jika kesempatan didapatnya. Membahayakan diri sendiri itu perbuatan konyol. Suara Umat yang Terjawab Napoleon Bonaparte (NB), terlepas dari apa yang dilakukan terhadap si penoda agama (Islam), M. Kece (MK), itu tindakan penganiayaan yang tidak pantas dilakukan, bahkan masuk kategori perbuatan di luar hukum. Namun anehnya, tindakannya itu mendapat apresiasi sebagian besar umat Islam khususnya. Menghajar si penoda agama, itu rasa yang ingin pula dilakukan oleh sebagian umat, jika kesempatan memungkinkan. Meski harus menghadapi risiko hukum. Agama yang dinista/dinodai itu wajib dibela dengan apa yang bisa dilakukan. Maka, tindakan di luar hukum, yang dilakukan NB, justru disikapi umat dengan suka cita. Apa yang dilakukan NB itu seperti harapan umat yang terwakili. Karenanya, disambut umat dengan suka cita. Apa yang menyebabkan NB sampai melakukan hal di luar hukum, padahal ia seorang penegak hukum, itu sulit dijelaskan. Agama yang diyakininya, seperti juga yang dibelanya, itu punya kedudukan khusus dan teratas. Itulah yang disebut keyakinan. Dalam Islam biasa disebut akidah. Menghinanya maka akan muncul tindakan yang sulit bisa dinalar. NB dalam surat terbukanya menjelaskan, boleh hina saya, tapi jangan agamaku dan Nabi Muhammad. Negara mesti tahu soal-soal yang demikian. Negara mestinya tidak memberi tempat, dan selayaknya "menghajar" pelaku penodaaan/penistaan agama dengan hukum sekeras-kerasnya, jika tidak ingin ada pihak lain muncul sebagai pengadil. Abainya negara memunculkan NB, yang muncul sebagai pengadil, dan menghajar pelaku penista agama dengan bogem mentah, dan bahkan jika benar kabar lainnya yang muncul, ia lumuri wajah dan tubuh MK dengan tinja. Itulah yang disebut NB dengan tindakan terukur, yang tidak sampai membuat MK lebih parah lagi dibuatnya. Meski sebenarnya kesempatan itu bisa saja dilakukannya. Negara memang tidak atau kurang hadir, jika Islam diperolok oleh mereka yang kebetulan berdekatan dengan kekuasaan. Banyak kasus penodaan/penistaan agama muncul, dilaporkan tapi tidak ada tindak lanjut atas kasus pelaporan yang dilanjut memproses pelakunya. Kasus Denny Siregar, Permadi Arya (Abu Janda), Ade Armando dan lainnya, mereka seperti manusia istimewa yang tidak bisa disentuh hukum. Maka, jangan salahkan jika umat lalu mencari keadilan hukum dengan jalannya sendiri. Kesabaran umat akan terkikis jika agama yang diyakini itu dihinakan, dan negara abai merespons keresahan itu. Maka pengadilan jalanan lambat laun akan muncul, dan itu berbahaya. Antisipasi acap dinomorsekiankan, sehingga jika apa yang tidak diinginkan itu terjadi, maka semua berteriak menganggap pelakunya biadab dan sebagainya. Padahal perlakuan "biadab" itu oleh sebagian yang lain, bahkan bisa jadi oleh mayoritas, dianggap pahlawan yang membela agamanya. Semua tentang sudut pandang. NB memberi pelajaran, bahwa agamanya dan Nabinya (Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam) tidak patut dinodai, dan terjadilah kasus pelajaran di rutan Bareskrim pada si penista agama. Melihat apa yang terjadi, tidaklah adil jika hanya melihat pada kejadian semata, tanpa melihat mengapa sampai MK dihajar. Itu peristiwa bukan ujug-ujug atau tidak berdiri sendiri. Bahkan bukan cuma masalah NB, tapi masalah umat yang meminta keadilan yang tidak didapatnya. Maka, umat melihat kasus NB atas tuduhan pidananya tidak lagi dilihat sebagai masalah hukum. Justru bogem mentahnya, itu menjadikan ia dielukan bak pahlawan yang dikirim Tuhan. Memang berlebihan melihatnya, tapi setidaknya kegeraman umat selama ini direspons baik oleh Napoleon Bonaparte dengan tindakan terukurnya. (*) *) Kolumnis

Ciri-Ciri Geliat Komunis

By M Rizal Fadillah SUSANINGTYAS Nefo yang mengklaim pengamat intelijen bisa membuat ciri ciri teroris berbasis Islamophobia dengan analisis gampangan. Untuk mengendus ciri ciri geliat komunis dapat dengan analisis gampangan juga. Tak perlu pusing pada kritik, ya mbak. Mau disebut abal abal atau fikiran dengkul oke oke saja. Nah ciri ciri geliat komunis di negeri ini yang bisa dilempar, yaitu : Pertama, revolusi mental sebagai aktualisasi dari slogan Ketua CC PKI DN Aidit yang memulai dengan menghapus nama dirinya "Ahmad". Berakar dari filsafat Karl Marx dan dipopulerkan oleh pendiri Partai Komunis Tiongkok Chen Duxiu dan Li Dazhao untuk mencuci otak kelompok buruh dan petani agar berani melawan kekaisaran. Revolusi Mental Jokowi ternyata gagal pula. Kedua, meminimalisasi bahkan mengeliminasi peran agama dan tokoh-tokoh agama. Agama ditempatkan sebagai penghambat kemajuan dan pembangunan. Agama bersimbol politik adalah musuh yang harus dihabisi. Persekusi dan krimininalisasi ulama dan tokoh agama menjadi model dari kebijakan politik. Pembubaran HTI dan FPI, penzaliman HRS, Munarman, serta pembunuhan sadis 6 laskar menjadi indikasi. Ketiga, penistaan agama merajalela dan terproteksi. Buzzer bayaran bukan saja membela tuan jilatannya tetapi juga menyerang keyakinan agama. Sebutan Kadrun, teroris, radikalis adalah peluru tembakan. Belum lagi penghina seperti Zhang dan Kace. Bagus juga Bonaparte membuat Kace tidak kece. Keempat, perlindungan dan persahabatan dengan RRC. Komunis butuh support global dan saat ini pengendali kekuatan global itu adalah Republik Rakyat China. Investasi dan "debt trap" RRC berimplikasi politik. Kerjasama Partai Politik dengan Partai Komunis China tidak boleh dianggap sederhana. Demikian juga PKC yang telah sukses menginjak Istana. Kelima, kepercayaan diri tokoh-tokoh minoritas untuk tampil di panggung politik akibat dukungan taipan. Setelah ekonomi dihabisi kini ruang politik dijajagi dan dikangkangi. Menjadi bagian dari kekuatan oligarki yang dominan mengendalikan negeri. Atmosfir untuk geliat komunis tengah diciptakan. Keenam, kehadiran TKA China di Indonesia. Mereka dipastikan berideologi komunis karena ketentuan hukum kewarganegaraan negeri China. Mendapat dukungan dan perlindungan dari warga China diaspora. Ada kekhawatiran para pekerja itu juga adalah tentara merah yang disusupkan. Ketujuh, adu domba antar agama dan golongan dengan menyembur fitnah. Konflik dibangun. Mendorong perkembangan faham sesat seperti Ahmadiyah, Syi'ah, Baha'i juga mistik-mistik dan Nabi Nabi palsu. Kedelapan, semangat untuk menghapus Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 karena dianggap menghalangi pengembangan Komunisme. Mendengungkan perlindungan keberadaan faham kiri termasuk sosialis komunis sebagai bagian dari HAM. Kesembilan, gerakan pelurusan sejarah dengan membangun citra bahwa pelaku kudeta itu bukan PKI tetapi Soeharto, PKI sebagai korban, skenario Amerika, serta mengangkat kasus-kasus pembunuhan kader PKI oleh TNI dan umat Islam. Ditambah dengan membangun isu rekonsiliasi dan rehabilitasi. Kesepuluh, banyak yang teriak komunis sudah tidak ada. Komunis sudah kompromi dengan Kapitalis, tunjukkan mana PKI atau Komunis di Indonesia, serta ungkapan serupa agar abai dengan faham Komunisme. Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa mereka yang teriak Komunis tidak ada itu sebenarnya adalah Komunis. Kewaspadaan terhadap gerakan Neo PKI, Neo Marxis, dan Neo Komunis harus terus ditingkatkan. Oligarkhi dan korporatoktatisme serta jurang kaya dan miskin yang semakin lebar membuka celah untuk tumbuh dan bangkit Komunisme. Penyusupan pada birokrasi, partai politik, dan instansi pemerintah lainnya adalah model gerakan tanpa bentuk dari PKI dan Komunis. Pilihan hanya waspada, tangkal, dan basmi atau kita yang babak belur dihabisi. Komunis adalah ideologi nir-moral dimana para pendukungnya adalah babi-babi yang buta. Komunis lebih dari sekedar ideologi, kini ia telah bermutasi menjadi pemain watak yang mahir bersembunyi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Napoleon Bonaparte

By Asyari Usman SAYA mengenal Napoleon Bonaparte sejak 1973. Semasa duduk di kelas 3 SMP. Waktu itu, saya membaca sejarah dunia. Dulu ada pelajaran sejarah dunia dan sejarah Indonesia. Napoleon adalah seorang tokoh militer dan politik di Prancis. Dia menjadi cemerlang di masa Revolusi Prancis. Napoleon beberapa kali sukses memimpin perang semasa revolusi itu. Dia kemudian menjadi pemimpin Republik Prancis pada awal abad ke-19. Ketika itu, jabatan tertinggi di Prancis masih disebut “kaisar”. Dengan gelar “Napoleon I”, Kaisar Prancis itu memang terkenal lihai dalam strategi militer dan politik. Di mata sebagian rakyat Prancis, Napoleon Bonaparte dianggap sebagai pahlawan. Dialah yang mampu meluaskan kekuasaan ke sejumlah wilayah Eropa bagian barat. Setamat SMP, jarang sekali saya membaca atau bertemu nama Napoleon Bonaparte. Baru “berjumpa” lagi dengan Napoleon sewaktu ada kesempatan berkunjung ke Paris. Tiga atau empat kali. Soalnya lumayan dekat dari London –tempat saya bermukim lebih kurang 30 tahun. Alhamdulillah, dalam beberapa hari ini saya diingatkan kembali pada Napoleon Bonaparte oleh Napoleon Bonaparte versi Indonesia. Tak kalah hebat. Versi Indonesia itu adalah seorang inspektur jenderal. Bintang dua di kepolisian. Irjen Napoleon mendadak dinobatkan menjadi pahlawan. Banyak yang menyampaikan terima kasih secara terbuka di media sosial (medsos) atas keberanian dia melakukan “tindakan terukur” terhadap tersangka penista agama Islam, Muhammad Kece. Meme yang bertuliskan “Terima kasih Jenderal telah mewakili kami” beredar luas di medsos. Pelecehan dan penghinaan yang dilakukan oleh Kece terhadap Islam, Al-Quran, dan Nabi memang keterlaluan. Dia sudah lama murtad. Seenaknya menyebut Nabi dikelilingi jin, dsb. Lebih 400 rekaman video Kece yang melecehkan Islam. Kebetulan saja, Irjen Napoleon Bonaparte “jumpa” dengan Kece di rumah tahanan Bareskrim Polri. Kece ditangkap belum lama ini, sedangkan Irjen Napoleon sedang menjalani hukuman dalam kasus pencabutan “red notice” Interpol atas nama Djoko Candra –seorang koruptor yang menjadi burunan bertahun-tahun di luar negeri. Napoleon dihukum karena lalai mengawasi anak-buahnya yang menyebababkan “red notice” itu dicabut. Irjen Napoleon mengatakan dia melakukan “tindakan terukur” terhadap Kece karena dia tidak bisa menerima penghinaan terhadap Al-Quran dan Nabi. Kalau diamati foto Kece setelah “tindakan terukur” itu, memang dapat dilihat sejumlah bekas di wajahnya dengan berbagai “ukuran”. Misalnya, ada lebam yang kelihatannya berbentuk bundar berukuran 6-7cm dengan ketebalan yang lumrah. Mungkin sekali ini yang dimaksud “terukur” itu. Artinya, ada lebam-lebam yang “konvensional”. Kalau kita analisis laporan-laporan tentang suasana “sambutan” untuk Kece di rutan Polri, sebetulnya tindakan yang dialami oleh penista Islam itu dapat dikategorikan sebagai “amuk massa”. Dalam arti, bukan Pak Napoleon saja yang naik pitam waktu itu. Banyak napi lain yang juga mengekspresikan kemarahan mereka terhadap kelakuan Kece. Dahsyatnya, Irjen Napoleon Bonaparte tampil untuk mengambil alih semua tanggung jawab atas “amuk massa” itu. Beliau menulis surat terbuka yang ditujukan ke seluruh rakyat. Intinya, Napoleon tak bisa menahan emosinya ketika Nabi dan kita suci dihina. Begitulah hidup ini. Semula orang melihat Irjen Napoleon dengan stigma negatif. Karena memang hal buruklah yang membawa dia ke penjara. Tetapi, kini Napoleon menjadi buah bibir selepas beliau membut bibir berbuah. Dia disanjung dan didukung. Dipuja dan dibela. Wallahi a’lam.[] (Penulis wartawan senior FNN)

PPHN Harus Dibatalkan dan Digagalkan

By M Rizal Fadillah POKOK-Pokok Haluan Negara (PPHN) menjadi kontroversial karena tiga hal, pertama masalah yang krusial dilempar di masa pandemi, kedua MPR bukan lembaga tertinggi, dan ketiga diprediksi konten PPHN akan menggabungkan pola perencanaan Orla dan Orba. Masyarakat pun menanggapi dengan pro dan kontra. Partai Ummat dipimpin Ketua Umum Dr. Ridho Rahmadi mendatangi pimpinan DPD MPR untuk menyampaikan aspirasi tentang keberatan atas agenda pembahasan PPHN karena amandemen itu di samping membuka celah bagi perpanjangan masa jabatan Presiden, juga penetapan PPHN dinilai berlawanan dengan semangat reformasi. PPHN diusulkan agar tidak masuk dalam Konstitusi maupun Ketetapan MPR. Bambang Soesatyo Ketua MPR-lah yang memulai secara formal menyebut PPHN sebagai agenda utama MPR. Meski belum utuh kesepakatan fraksi tetapi kajian dan persiapan pembahasan PPHN sebagai pengganti GBHN terus digodok. Bambang Soesatyo pun terus rajin mensosialisasikan rencana tersebut. Mengapa pembahasan amandemen UUD 1945 tentang PPHN, yang disinyalir bakal menjadi kotak Pandora, harus dibatalkan atau digagalkan? Pertama, akan memunculkan problematika hukum. Meski MPR berhak melakukan amandemen tetapi MPR kini tidak berwenang menghidupkan GBHN meski dengan nama PPHN. Kewenangan MPR untuk menetapkan "garis-garis besar dari pada haluan negara" telah dicabut atau dihapus. Kedua, konsekuensi hukum amandemen PPHN adalah MPR menjadi lembaga tertinggi. Artinya MPR berkedudukan lebih tinggi dari Presiden. PPHN diamanatkan untuk dijalankan oleh Presiden. Pesiden sebagai Mandataris MPR konsekuensinya harus bertanggungjawab kepada MPR. Ketiga, bila PPHN berakar pada GBHN Orde Baru dan PNSB Orde Lama, maka reformasi menjadi terancam. Menghidupkan mayat akan berbau bangkai. Paradigma kenegaraan yang berorientasi ke depan prakteknya bergerak ke belakang. Indonesia maju untuk Indonesia mundur. PPHN adalah program undur-undur berbingkai Konstitusi. Kegerahan Partai Ummat yang merepresentasi kegerahan masyarakat adalah hal yang wajar dan patut didukung. Sudah semestinya mendapat perhatian DPD untuk awalnya, DPR selanjutnya. PPHN harus dibatalkan dan digagalkan. Amandemen terbatas menurut Bambang Soesatyo hakikatnya adalah amandemen tak terbatas. Batas-batas dari suatu kepentingan politik itu tipis. Tipis sekali. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

BPIP Makin Boros, Bubarkan!

By M Rizal Fadillah SETELAH didesak agar BPIP dibubarkan karena menjadi lembaga boros dan tidak berguna, kini malah BPIP akan mendapat kucuran dana ratusan milyar. Uang negara akan dialokasikan untuk lembaga yang dinilai mubazir. Badan yang sebenarnya perlu evaluasi apakah dibutuhkan atau tidak. Faktanya sepi kegiatan dan lebih banyak menggaduhkan. Terakhir soal lomba artikel naif dan Islamophobia "Menghormat Bendera Menurut Hukum Islam" dan "Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam". Bukan tidak penting bahwa Pancasila harus diperkuat oleh seluruh elemen, akan tetapi jika Pancasila hanya dijadikan alat kepentingan untuk penguatan kekuasaan maka hal ini menjadi berbahaya. Gerakan PKI dahulu tidak menarasikan mengubah Pancasila bahkan akan mengamankan atau membela Pancasila, tetapi dalam prakteknya justru menyimpang bahkan berkonspirasi untuk mengganti ideologi Pancasila tersebut. BPIP tidak dibentuk atas aspirasi rakyat melainkan kemauan dan kepentingan Pemerintah oleh karenanya dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden. Tepatnya Perpres No. 7 tahun 2018. Anggaran terus meningkat tanpa adanya evaluasi terbuka. Dari 160 M (2020) menjadi 208,8 M (2021) dan 343,9 M (2022). Lonjakan tinggi untuk tahun depan ini aneh karena yang diajukan hanya 193,9 M namun setelah pembahasan justru ditambah 150 M sehingga total menjadi 343,9 Milyar. RUU BPIP sebagaimana RUU HIP diprediksi masih akan mengundang kontroversi. Implikasinya pada peran dan fungsi BPIP sendiri. Lalu penggunaan dana 343,9 Milyar menjadi tidak jelas. Personal Dewan Pengarah yang dipimpin oleh Ketum PDIP Megawati bergaji cukup besar. Sementara pekerjaan minim. Gaji buta namanya. BPIP sebagai lembaga boros, berdaya guna kecil dan tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat harus dipertimbangkan eksistensinya. Di era pandemi keberadaan lembaga "politis" ini bukan lagi primer. Karenanya ide pembubaran layak diapresiasi. Apalagi jika Pancasila yang disosialisasikan semata bersandar pada perspektif kekuasaan. BPIP yang bukan menjadi tangan rakyat tetapi tunggangan Pemerintah. BPIP kehilangan urgensi setelah gagal konten. Materi RUU HIP yang tadinya dirancang menjadi bahan bagi kerja badan ini nyatanya gagal menjadi UU. RUU HIP memang tendensius dan dinilai tidak fungsional untuk merawat ideologi, justru sebaliknya merusak Pancasila. Wajar jika rakyat bereaksi untuk menggagalkan. 343,9 Milyar dialokasikan untuk BPIP yang semakin tidak jelas peran dan fungsinya, tidak memiliki standar pola dan materi pembinaan, serta lemah daya dukung eksistensinya. Di samping merupakan pemborosan atas uang negara, alokasi ratusan milyar ini juga rawan bagi terjadinya korupsi. BPIP makin boros : Audit dan bubarkan ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Dudung Merundung

Oleh Ady Amar *) PEKAN ini adalah pekannya Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman. Apa yang disampaikannya dalam kunjungan kerja di Batalyon Zoni Tempur 9 Lang-Lang Bhuana Kostrad, di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, (Senin, 13 September), itu menimbulkan kontroversi. Mengalahkan berita-berita lain yang muncul sepekan ini. Geger beritanya bahkan mengalahkan berita pesawat Rimbun Air, yang jatuh di Intan Jaya. Kontroversi ucapannya, "Semua agama benar di mata Tuhan," menimbulkan tanggapan bertubi di tengah masyarakat, terutama tanggapan dari kalangan ulama. Beberapa pengurus teras MUI pun mengomentari pernyataan Letjen Dudung itu. KH Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI merespons dengan nasihat, agar Letjen Dudung Abdurachman minta maaf atas pernyataannya yang menyebut semua agama itu benar di mata Tuhan. Jelasnya, "Pernyataan semua agama itu benar, itu sesat dan menyesatkan", Rabu (15/9). Bukannya mendengar nasihat itu, justru sehari kemudian Letjen Dudung perlu membuat klarifikasi atas pernyataannya yang sampai menimbulkan geger itu. Motifnya tentu membela diri, meyakini bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Katanya, "Pernyataannya bahwa semua agama adalah benar di mata Tuhan, karena dia sebagai Pangkostrad perlu menyatakan semua agama benar saat berbicara di hadapan prajuritnya. Sebab, prajuritnya berasal dari berbagai pemeluk agama." "Saya ini Panglima Kostrad, bukan ulama. Jika ulama mengatakan bahwa semua agama itu benar, berarti dia ulama yang salah," ujarnya penuh yakin dalam keterangan persnya, Kamis (16/9). Dudung jelas mengatakan, bahwa sebagai petinggi militer dia berhak bicara pada prajuritnya, bahwa semua agama benar di mata Tuhan, itu karena dia bukan ulama. Tanpa sadar sebenarnya ia menjelaskan, entah disadarinya atau tidak, bahwa ia penganut relativisme kognitif, dimana tidak ada kebenaran mutlak dan universal dalam pandangan manusia, dan itu tentang apa saja. Ia seolah menolak absolutisme, lawan dari relativisme, yang meyakini bahwa harus ada kebenaran dan kebaikan tunggal dan objektif. Pilihannya hanya dua: benar mutlak atau salah mutlak. Dalam absolutisme, tidak boleh ada yang setengah-setengah, setengah benar atau setengah salah. Meyakini agamanya paling benar, itu absolutisme. Tentu itu bukan bentuk intoleran. Karenanya, bukan pula hanya monopoli ulama, semua insan harus meyakini bahwa agamanya itu benar absolut. Meski tidak patut diteriakkan pada pemeluk agama lain dengan pongah. Pun non-Islam juga meyakini, bahwa agama yang dipeluknya yang paling benar. Sikap yang ingin dibangun Letjen Dudung di hadapan prajuritnya, hingga keluar ungkapan "semua agama itu benar di mata Tuhan", dimaksudkan bagian dari toleransi. Padahal toleransi tidak keluar dari batasnya, yaitu (hanya) saling menghargai, bukan menggugurkan keyakinan absolut yang mesti dipunyai pemeluk agama. Letjen Dudung memang bukan ulama, itu pasti. Tapi tidak harus jadi ulama seorang (muslim) memahami batasan toleransi itu. Menyenangkan prajurit yang beragam agama/keyakinan, itu tidak harus sampai menggerus keyakinan, bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang paling benar. Keyakinan (akidah), pastilah bukan monopoli ulama. Pluralisme Merundung Ucapan Letjen Dudung sungguh merundung, dalam makna mengganggu. Ucapan kontroversialnya itu mengganggu, dan jika disadarinya, itu menelisihi agama yang dipeluknya. Bagaimana bisa dikatakan agama yang dipeluknya sama dengan agama lainnya, dan itu hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam dalam beragama. Pernyataan Letjen Dudung diawali dengan pesannya, "Agar prajurit TNI menghindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama..." Lalu dilanjut, karena semua agama itu benar di mata Tuhan." Fanatik terhadap agama itu justru anjuran. Tentu bukan fanatik buta. Jika tidak fanatik, apa beragama harus kurang lebih, begitu... Atau jika fanatik pada agamanya, apa itu bisa menciptakan kekerasan, lalu hilang sikap toleran pada agama lain. Tentu tidak demikian. Justru sebaliknya yang didapat. Fanatik janganlah dimaknai sempit, lalu jadi negatif. Ini yang menjadikan merundung. Letjen Dudung dengan pernyataannya, itu jelas pluralisme agama, sebuah paham yang mengatakan bahwa semua agama itu benar di mata Tuhan. Pluralisme menjelma menjadi agama baru, agama gado-gado sesembahan liberalis. Karenanya, Islam menolak pluralisme itu. Tidak Islam saja yang menolaknya, bahkan Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk , jelas menolak dengan keras pluralisme agama itu. Mestinya semua agama menolaknya. Mana mungkin atas nama toleransi, satu agama mengakui agama lainnya hanya karena toleransi. Ini bisa merundung, dalam konteks Letjen Dudung Abdurachman, akan menghancurkan bangunan agama yang sudah kokoh hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam agamanya. (*) *) Kolumnis

Krisdayanti Menyingkap Kebenaran Publik

Oleh: Yusuf Blegur SEKETIKA kepolosan Krisdayanti di channel video Akbar Faisal mengundang beragam respon. Pemaparan Krisdayanti yang tak ubahnya nyanyian politik itu secara spontan mengungkap isi jeroan parlemen dan para politisi kontrak penghuninya. Termasuk bagaimana uang beredar yang formal dan non-formal menyokong kerja-kerja legislasi, pengawasan pemerintah, dan menyuarakan aspirasi rakyat. Meski samar-samar rakyat telah mengetahui status dan peran anggota DPR RI, celoteh artis cantik yang pernah menjadi diva musik Indonesia itu, semakin menegaskan betapa pekerja parlemen itu berlimpah fasilitas. Termasuk berhamburan uang rakyat yang menggaji politisi Senayan yang juga petugas partai politik. Sebagai orang dalam, KD panggilan Krisdayanti yang berasal dari daerah pemilihan Malang, Jawa Timur, saat berdialog dengan Akbar Faisal terasa santai mengungkap sisi dalam dan pernak-pernik lembaga politik beserta perangai personalnya. KD seperti menjadi "insider" di sebuah perusahaan yang sedang membuat pengakuan membongkar kejahatan perusahaannya sendiri di hadapan publik. Pelbagai previlage, kemudahan, dan pelayanan prioritas yang dimiliki anggota DPR RI terlontar tanpa sensor. Krisdayanti terlihat nyaman dan menikmati saat mengupas sisi under cover DPR RI. Senyaman dan sesantai KD saat tampil di panggung konser musik. Menariknya, KD begitu gamblang blejetin angka demi angka uang negara dalam parlemen yang kantornya pernah diduduki ratusan ribu mahasiswa saat dianggap tak berfungsi sebelum pecah reformasi. Nominal yang sangat besar dan menggiurkan untuk ukuran kerja politik seadanya yang dituntut hasil maksimal oleh rakyat. Apalagi kemewahan hidup anggota DPR itu seiring sejalan dengan kesengsaraan hidup rakyat di tengah pandemi. Bisa ditebak, pro dan kontra menyeruak merespons pengakuan panas KD. Sikap dan pandangan kontra sudah bisa dipastikan berasal dari kalangan atau kolega parlemen sendiri dan partai politik yang menjadi induk semangnya. Partai politik dan perpanjangan tangannya di Senayan, merasa seperti ketahuan belangnya. Seperti merasa dibeberkan kenyataan-kenyataan minor yang sebenarnya, dari lembaga dan orang-orang yang diberi gelar terhormat dan mewakili rakyat. Sementara di lain sisi, respons positif datang dari publik atas penampilan dan argumentasi politik KD. Cantik, cukup cerdas, kaya raya, dan polos membeberkan fakta seputar anggota legislatif pusat itu. Kontan mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat. KD seperti oase di tengah gurun pasir. Memberi kesejukan dan keteduhan di tengah gersangnya imej DPR RI selama ini. Besar Pasak dari padaTiang Jika melihat dan mendengar langsung narasi gamblang Krisdayanti soal anggota legislatif di tingkat pusat, ada beberapa poin penting yang bisa menjadi ajang refleksi dan evaluasi kinerja punggawa DPR RI itu. Berikut yang paling mendasar terkait fasilitas yang ada dan kinerja yang dihasilkan. 1. Dengan gaji dan fasilitas yang cukup besar peran anggota DPR RI dirasakan belum memuaskan. Pencapaian kinerja masih dianggap jauh dari maksimal. Baik dari produk legislasi yang dihasilkan, fungsi kontrol dan pengawasan pemerintahan terkait kebijakan politik dan anggaran, maupun pendampingan dan advokasi permasalahan rakyat. Penilaian itu sulit dibantah mengingat, sejauh ini banyak kasus yang berkolerasi dengan lemahnya kinerja anggota DPR RI. Dari sekian banyak persoalan, sebut saja beberapa diantaranya. Semisal polemik UU HIP dan Minerba. DPR RI terkesan mengabaikan suara dan aspirasi rakyat. Begitu juga yang aktual soal pandemi. Selain kisruhnya uu kesehatan termasuk soal karantina dan prokes. DPR RI bersama pemerintah gagal menyelamatkan kepentingan rakyat. Penanganan yang berlarut-larut hanya menimbulkan kemerosatan ekonomi, kekacauan politik, dan korban nyawa rakyat. 2. Anggota DPR RI bersama partai politiknya telah menjadi bagian dari oligarki yang dibangun dan bersumber dari borjuasi korporasi besar. Meraka pada akhirnya menjadi 'patron klein' dari pemilik modal dan mafia yang selama ini menggunakan jubah pengusaha kakap. Praktis keadaan itu membuat performa DPR RI jauh dari kata berkualitas dan memiliki integritas. Bahkan sejak dari menjadi calon legislatif yang transaksional dan kapitalistik hingga kinerja yang asal-asalan dan suara-suara mereka di parlemen yang mudah dibeli dan mengangkangi aspirasi rakyat. Wajar saja, jika pada akhirnya rakyat sangat apriori dan skeptis terhadap keberadaan dan eksistensi DPR RI. Rakyat akhirnya lebih suka mencari saluran alternatif dan membuka sumbatan-sumbatan aspirasi yang mampu mewakili mereka. Demokrasi jalanan akhirnya menjadi pilihan dan dipakai rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Menyuarakan kebenaran dan keadilan melalui media sosial dan kreatifitas lainnya seperti mural, spanduk, gerakan tutup kuping dsb. 3. Kemandulan DPR RI ini bukan semata menjadi indikator kegagalan peran dan fungsi insitusi politik yang vital dan strategis tersebut. Lebih dari itu telah terjadi pergeseran makna dan hakekatnya. Bahwasanya menjadi anggota DPR RI dan jenjang di bawahya bukan lagi sebagai tugas kenegaraan dalam mewakili dan mengemban amanat penderitaan rakyat. Kini lembaga politik itu telah cenderung menjadi orientasi dan kumpulan orang-orang oportunis yang mengejar ekonomi dan status sosial. Jabatan anggota DPR RI yang melekat pada dirinya, tak ubahnya seperti jabatan karir ekonomi dan profesi semata. Kondisi yang demikian diperparah dan semakin hancur dengan perilaku maksiat seperti korupsi, kebohongan publik dll. Oleh karena itu harapan besar rakyat terhadap kinerja DPR RI dalam memperjuangkan rakyat seperti menjadi uthopis. Rakyat seperti merasa dikhianati dan terus-menerus menjadi korban politik dari kekuasaan. Baik dari institusi pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Krisdayanti untuk sesaat telah mewakili suara rakyat. Mengungkap pengkhianatan politisi pada rakyat. Sebagai bagian dari kumpulan pelaku-pelaku politik dan pemangku kebijakan di Senayan. Krisdayanti juga vulgar menyampaikan perselingkuhan aspirasi anggota dewan yang terhormat. Tetap cantik, bersuara indah dan polos untuk sang Diva. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Moeldoko dan Semburan Fitnah

By M Rizal Fadillah MOELDOKO saat berkunjung ke Pesantren Lirboyo Kediri Jawa timur menyebutkan bahwa "faham radikal sudah menyusup di tengah-tengah masyarakat dan lembaga pendidikan. Ini harus kita waspadai karena gerakannya sistematis dan terstruktur". Perlu klarifikasi ucapan Kepala KSP ini. Sepanjang hal itu bias dan hanya melempar isu saja, maka Moeldoko telah melakukan semburan fitnah. Semburan fitnah atau konteks politiknya adalah "firehose of falsehood" berasal dari doktrin Pemerintah Rusia. Operasi ini digunakan Rusia tahun 2012-2017 dalam krisis Crimea, konflik Ukraina, dan perang sipil Suriah. Semburan fitnah dilakukan untuk melemahkan perjuangan lawan dengan melakukan kebohongan untuk memecah belah. Ketika timbul ketidakpercayaan sesamanya maka kelemahan itu segera dimanfaatkan. Serangan masif kepada umat Islam dan institusi keagamaan tentang radikalisme, intoleransi ataupun terorisme jelas membahayakan dan menciptakan iklim yang tidak kondusif. Negara dan para pejabat negara yang terus menyemburkan fitnah adalah pelaku kejahatan sistematis dan terstruktur. Betapa keji tuduhan yang dilakukan tanpa adanya pembuktian. Negara sebenarnya memiliki perangkat lengkap untuk melakukan tindakan nyata atas sesuatu yang dinilai mengancam. Bukan melempar-lempar isu yang tidak jelas. Apalagi menyasar kepada lembaga pendidikan keagamaan seperti Pesantren. Nah, agar pemerintah atau negara tidak menjadi institusi penyembur fitnah, maka: pertama, jelaskan makna atau batasan radikal itu agar menjadi tidak bias dan berbenturan dengan keyakinan atau keimanan. Sepakati batasan tersebut dengan tingkat obyektivitas tinggi. Jangan radikalisme itu dimaknai semata berdasarkan faham atau persepsi subyektif dari Pemerintah. Kedua, segera buktikan lembaga pendidikan mana yang telah tersusupi beserta langkah yang telah diambil dalam rangka pencegahan atau tindakan terhadap lembaga pendidikan yang telah tersusupi oleh paham radikalisme tersebut. Ketiga, membuat takut masyarakat dan lembaga pendidikan atas kemungkinan terjadinya penyusupan paham radikal justru merupakan radikalisme itu sendiri. Negara tidak boleh menjadi teroris. Teror bukan bagian dari pendidikan politik rakyat yang sehat. Paham radikal menurut Moeldoko masuk ke lembaga pendidikan itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Moeldoko harus mempu menjelaskan bagaimana gerakan radikal yang tersistematis dan terstruktur itu. Adakah gerakan tersebut bersifat original atau artifisial? Sebelumnya pengamat intelijen Susaningtyas Nefo juga dikualifikasi menyemburkan fitnah tentang ciri-ciri teroris yang di samping belajar dan menggunakan bahasa Arab, juga berada di madrasah-madrasah yang berkiblat pada Thaliban. Nefo sendiri tidak bisa menampilkan mana madrasah-madrasah yang berkiblat pada Thaliban tersebut. Moeldoko harus membuktikan tuduhannya. Tanpa hal itu maka ia telah menyebarkan fitnah dan melakukan teror psikologis kepada umat Islam. Moeldoko lupa bahwa dirinya justru pernah melakukan gerakan radikal dengan mencoba melakukan kudeta kepemimpinan partai melalui kongres abal abal. Muldoko adalah seorang radikalis dan Istana telah tersusupi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan