OPINI

Euforia Demokrasi di Tengah Distorsi Moral Bangsa

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Sejak bergulirnya reformasi, harapan kita adalah mewujudkan demokrasi dengan seutuhnya secara konsisten dan konsekuen. Harapan ini termanifestasi dalam lima tuntutan reformasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Namun hingga saat ini harapan itu masih jauh dari apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa kala reformasi 1998 dulu. Kita berada pada tahap dilema distorsi moral bangsa yang sangat dalam. Pasca reformasi memang kita disibukkan dengan berbagai penataan sistem ketatanegaraan, dan membangun perbaikan kembali dalam beberapa lembaga kenegaraan. Kenyataan ini sebagai bentuk konsolidasi demokrasi kembali menuju alam demokrasi seutuhnya. Namun apa yang dirasakan setelah masa-masa redemokrasi tersebut berlangsung hingga lima priodesasi presiden ini masih jauh dari cita-cita. Padahal reformasi yang digaung-gaungkan menjadi jargon demokrasi dahulu. Sungguh ironis jika hampir 23 tahun agenda pembangunan kembali Indonesia belum juga memberikan hasil yang signifikan. Konflik internal antar kelompok sosial serta masyarakat dengan negara tak kunjung selesai. Padahal konsolidasi demokrasi sudah dilakukan sejak lama. Tulisan Yudi Latif di Media Indonesia (21/01/2019), “Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam, manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda-tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menekankan semangat gotong-royong, ada tendensi melihat perbedaan dalam kerangka pembelahan politik. Bukan dalam kerangka saling menghargai dan kerja sama”. Lihat saja pada suksesi politik, baik daerah maupun secara nasional. Masyarakat terbelah dengan sakala besar. Media sosial dipenuhi dengan bergam komentar yang saling menyudutkan, bahkan sampai ke tingkat fitanh. Ingat loh bahwa kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, dengan sila ketiganya Persatuan Indonesia. Tulisan Ariel Heryanto pada media Kompas (06/03/2021), “Setahun terakhir sopan santun pengguna media sosial Indonesia paling terparah di dunia”. Hal ini diperoleh dari hasil riset Microsoft seminggu yang lalu. Dalam tulisan analisis budaya ini, Ariel menulis “memprihatinkan, tapi tidak mengejutkan jika ingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa tahun belakangan”. Keadaan ini bukan mustahil memperburuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat terpelihara, kebencian dan kemarahan akan menjadi distorsi moral kepada bangsa dan negara Indonesia. Kebiasaan ini akan terjadi regenerasi. Bagaimana kelak generasi penerus bangsa dan negara kita di kemudian hari? Jika perbedaan pandangan itu merupakan sunatullah, maka perbedaan itulah dijadikan potensi dalam membangun keragaman untuk mencapai Indonesia yang merdeka seutuhnya. Bukan malah sebaliknya, dijadikan musuh atau diberhanguskan begitu saja. Lain halnya kalau dengan ideologi yang menjadi parasit dalam tubuh NKRI. Memudarnya moral kebangsaan ini bukan tanpa sebab. Fenomena ini jika ditarik jauh ke belakang, maka kita dapati euforia demokrasi yang berlebihan. Akibatnya, terbengkalainya agenda-agenda penting regenerasi kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Selanjutnya menurut Yudi Latif, Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-spiritual (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah itu telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Lain halnya dengan pra kemerdekaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pemimpin-pemimpin bangsa sudah mempersiapkan diri dengan konsep-konsep yang brilian menuju Indonesia merdeka. Hal ini diperhitungkan secara matang dan tersistematis. Sekalipun banyak perbedaan pandangan diantara para founding father, sehingga konflik-konflik diantara mereka tidak dapat dihindari, namun konsolidasi perjuangan tetap dilakukan untuk menggapai Indonesia merdeka. Kita dapat menyaksikan bagaimana Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi Sarekat Islam (SI), Muhammadiah, Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, Persis dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya berpadu, berlomba-lomba dengan organisasi nasionalis seperti Budi Utomo hingga Taman Siswo yang menjadi cikal-bakal bangsa Indonesia terlahir hingga merdeka dan membentuk negara hari ini. Pemimpin bangsa Indonesia terdahulu berjiwa besar. Bahkan mereka rela berkorban tanpa imbalan. Hanya berharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. Lain halnya dengan era demokrasi Indonesia saat ini. Gontok-gontokan merebut kekuasaan atas nama rakyat. Alhasil terbangunn kelompok masyarakat yang pro dan kontra menghiasi dunia lingkungan masyarakat dan media sisial. Kondisi sosial masyarakat saat ini harus ditangani, dan diselesaikan secara baik dan benar. Keadaan ini sudah diibaratkan api dalam sekam. Jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan keadaan lebih menjadi buruk dan bertambah parah. Tentu itu kondisi yang tidak kita harapkan. Gambaran fenomena saat ini memberikan isyarat, supaya pembenahan kembali serta menyusun agenda konsolidasi demokrasi. Tujuannya untuk memperkuat tatanan kebangsaan, dan kenegaran demi menciptakan persatuan dan kesatuan menuju Indonesia emas 2045. Penulis adalah Kandidat Ketum PB HMI 2021-2023.

Permainan Kasar & Primitif Moeldoko

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara (Sumut) disebut-sebut sebagai kongres yang abal-abal karena sudah dipastikan melabrak Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Tetapi peduli apa, karena ini bukan misi kader untuk memperbaiki citra Partai Demokrat. Melainkan ada misi lain yang lebih besar. KLB Partai Demokrat Jum’at (05/06/2021) lalu, di Kabupaten Deli Serdang tersebut, misinya hanya untuk mengacak-acak partai. Selain itu, mengambilalih kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa. Dimulai dengan pembelahan dua kepengurusan. Ujungnya adalah keluarnya SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang mengesahkan kepengurusan KLB. Rakyat sudah dapat membaca dengan mudah kalau langkah ini adalah permainan kasar Moeldoko yang menjadi kepanjangan tangan kekuasaan. Bukan hanya kepentingan pribadi semata. Moeldoko adalah Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang bermukim di Istana. Muncul pernyataan bahwa Polisi tidak mengizinkan, tetapi tidak membubarkan. Masalah internal katanya. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sang Ketum yang diruntuhkan mengancam untuk melawan. Sementara Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) minta Menkumham agar tidak mengesahkan hasil KLB. Ketua Bidang bapilu serta Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPP Partai Demokrat, Andi Arief berkoar kalau bakal Istana digeruduk. Tentu semua akan melihat bukti-bukti nyata untuk membuat Istana gentar. Jika tidak, ya nasib bakalan berbicara lain. Menkumham kemungkinan saja bakal mengesahkan hasil KLB di Deli Serdang. Artinya, matilah SBY dan AHY. Demokrat abal-abal berubah menjadi Demokrat baru di bawah genggaman Istana, koalisi hasil kooptasi atau aneksasi. Persetan dengan demokrasi, katanya. Demokrasi akhirnya dipersetankan dan diplesetkan menjadi democrazy. Kekuasaan orang-orang gila. Gila kekuasaan dan gila kejumawaan. Dalam era transaksional, menjadi gila kekayaan juga. Aapakah itu memalukan? Sudah terlalu banyak kasus hingga kebal dengan peristiwa memalukan atau memilukan. Yang penting tujuan dapat tercapai, dan rakyat aman aman atau diam-diam saja. Sebenarnya sinyal gerakan kudeta sudah tercium beberapa waktu lalu. Sinyal tersebut sudah menjadi pembahasan publik. Akan tetapi AHY dan SBY tak nampu menahan gerakan hingga terlaksana KLB di Deli Serdang. Gerakan gaya Orde Baru dijalankan oleh rezim berbau Orde Lama. Membuldoser reformasi yang goyah dan hampir mati di serang pandemi. Virus politik suka-suka. Permainan kasar atau radikalisme Moeldoko untuk satu tahap telah berhasil membuat pembelahan nyata-nyata terjadi di Partai Demokrat. SBY tengah mengurut dada sambil berdendang "sakitnya tuh disini". Sementara itu, mungkin Jokowi menyanyi "kau yang mulai, kau yang mengakhiri". Lalu Moeldoko menimpali dengan lagu Queen "we are the champions" walaupun mungkin lirik pendek "we can be heroes, just for one day" David Bowie. Akhirnya permainan kasar Moeldoko tidak akan mendapat peluit pelanggaran dari wasit. Karena wasit mengatakan permainan itu adalah Aku. Aku ada di dalamnya. Aku wasit bersama dengan Moeldoko. Jangan tanggung kalau mau melawan Moeldoko. Karena yang dilawan adalah wasit yang merangkap sebagai pemain utama dan pemain cadangan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ring Tinju Moelkowi VS Beyehaye

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah penantang Moelkowi dengan cara tidak etis berhasil didaulat menjadi penantang juara betahan Beyehaye untuk kelas nggak berat-berat’s amat, maka pertarungan kini disiapkan oleh petinju kedua kubu. Kubu Moelkowi berlatih keras di “Sasana Merdeka". Sedangkan Beyehaye berlatih di “Sasana Chike AS". Saat timbang badan, kedua petinju adu mulut. Untung saja keduanya pakai masker, jadi agak aman-aman saja. Nggak bau-bau amat. Moelkowi bercelana merah sesumbar dengan suara keras akan menjatuhkan Beyehaye di ronde ketiga. Sementara Beyehaye yang bercelana biru meyakinkan bisa menjatuhkan di ronde keempat. Mengukur kekuatan diri, minimal TKO, katanya. Pertarungan akan dilaksanakan besok di Mahkamah Square Garden. Di tengah persiapan pertarungan tersebut, para cukong petaruh mulai berhitung dan menyiapkan dana taruhan. Petaruh yang ingin memenangkan Moelkowi jauh lebih siap dana, maklum mereka adalah para Taipan. Beyehaye harus kalah. Apapun caranya dan berapapun biayanya. Pikiran curang memenuhi fikiran. Juri lalu diamat-amati keadaan kehidupan pribadinya. Dicari-cari sana-sini kelemahan dan aibnya. Lalu disiapkan pendekatan-pendekatan yang pas dan jitu. Cukong petaruh Moelkowi intens dan teliti hingga yakin dua dari tiga juri telah seratus persen dipegang. Yang ketiga pun masih digarap hingga waktu pertandingan nanti. Berapapun dana yang dibutuhkan, siap untuk dibayarkan. Juri dan wasit memihak adalah jaminan kesuksesan. Beyehaye berlatih serius menajamkan jab-jab, hook kiri kanan, upper cut, dan straight untuk melakukan serangan. Target Knock Out atau minimal TKO. Sementara Moelkowi disamping menajamkan pukulan serangan, juga memperkuat pertahanan weaving, elbow block, slipping, ducking atau rope a dope. Yang penting jangan KO atau TKO, dengan bertahan hingga akhir ronde, dijamin unggul angka. Juri adalah penentu dan itu telah diamankan Moelkowi. Kemungkinan Moelkowi akan keluar menjadi pemenang. Beyehaye harus menyerahkan sabuk kejuaraan. Sangat terasa sakit hati jika dibegal oleh perampok kawakan dan pembunuh bayaran yang bertopeng wasit dan juri pertarungan. Strategi Moelkowi yang dirancang adalah memancing emosi Beyehaye agar hilang konsentrasi dan memukul tanpa kendali. Bila habis enerji, maka kelak mudah untuk didikte. Diprediksi Tim Beyehaye akan melempar handuk. Wasit pun dipastikan memihak pada Moelkowi yang didukung cukong petaruh dengan finansial tak terbatas. Wasit dan juri adalah manusia. Ada takut ada pula butuh duit. Ring tinju akan menjadi saksi dari pertarungan yang memang tidak adil dan tidak jujur. Pertaurangn yang penuh dengan intik, kelicikan dan kecurangan. Kemenangan yang sudah direncankan dengan kecurangan. Seperti pemilihan presiden yang baru berlalu. Keangkuhan melawan keterpurukan. Keputusasaan yang ditekan oleh kekuasaan. Kejahatan dari rekayasa permainan yang membuang rasa malu atau dosa. Ring politik Moelkowi yang menghalalkan segala cara. Ia adalah cold blooded killer. Penulis Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Samakah Jokowi Dengan Richard Nixon Soal Partai Demokrat?

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat, sejauh ini sah secara hukum. Memang Kongres Luar Biasa (KLB) telah terselenggara di Deli Serdang. Pak Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum dan Dr. Marzuki Ali sebagai Ketua Dewan Pembina. Sayangnya KLB itu tak menggunakan AD/ART terakhir sebagai dasar. Konsekuensinya KLB itu tidak sah. Itu sebabnya layak dipertimbangkan skema playing victim. Bagaimanapun Pak Moeldoko pernah memiliki relasi manis dengan Pak SBY. Tetapi andai bukan playing victim, maka AHY dan Pak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden dua periode sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai ini, telah didatangi masalah besar. Hal Tak Terlihat Pembaca FNN yang budiman. Pak SBY telah kumadangkan perang menegakan keadilan dalam kasus ini. Masalahnya siapa yang mau diperangi? Aapakah SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Pak Moeldoko atau Presiden Jokowi yang mau diperangi? Apa target terdekatnya? Bagaimana amunisi, strategi dan taktik, dan siapa saja yang sebarisan dengan AHY dan Pak SBY? Tetapi sebelum lebih jauh menyusuri koridor itu, saya ingin mengajak Pembaca FNN yang budiman untuk mengenal penilaian negarawan-negarawan Amerika terhadap partai politik. Partai politik dalam penilaian mereka, terlihat buruk. John Kenneth White, dalam Handbook of Party Politics, diedit oleh Richard S Katz dan William Corothy (ed) mengungkap pandangan berkelas dari tiga negarawan Amerika. Mereka adalah mantan Presiden George Wahington, John Adam dan Thomas Jefferson. George Washington, orang pertama yang mengawali praktek pemerintahan presidensial di dunia, seperti ditulis White, menilai buruk partai politik. Washington, tulis White menyatakan “dalam satu pemerintahan monarki, patriotisme mungkin memandang dengan toleran, jika tidak dengan mendukung semangat partai. Tetapi dalam pemerintahan rakyat, pemerintah yang murni pilihan, semangat partai tidak perlu didorong”. Lain Washington, lain pula John Adam, yang menjadi penerusnya sebagai presiden kedua Amerika Serikat. Kata Adam “tidak ada yang aku takuti selain terbelahnya republik menjadi dua partai besar. masing-masing diatur dibawah pimpinannya dan mengambil langkah-langkah yang bertentangan satu sama lain”. Abigail Adam, istri Jhon Adam, memang bukan politikus. Tetapi penilaiannya juga menarik. Katanya “roh partai itu buta, jahat, tertutup, tidak jujur, dan tidak kenal ampun.” Mirip dalam substansinya dengan Abigail, Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat ini mengatakan pada tahun 1789 “jika saya tak bisa masuk surga kecuali dengan partai, maka saya rela untuk tak masuk surga“. Amerika, dalam kenyataan sejauh ini, benar-benar terbelah ke dalam dua partai. Partai Republik dan Partai Demokrat. Garis politik keduanya berbeda dalam sejumlah aspek substansial dan tampilan praktisnya. Tetapi apakah kedua partai inilah, yang melukis secara independen wajah sosial, politik, ekonomi dan hukum Amerika? Tak selalu juga. Pelukis sesungguhnya bukan mereka. Mereka tidak selalu bisa menampilkan garis dan keyakinan politiknya secara independen. Hampir tidak ada dari mereka yang mampu menggunakan energinya secara independen untuk menantang ide-ide financial oligarky. Tetapi sudahlah, simpan dulu soal-soal itu. Mari, sejauh yang bisa meraba langkah lanjutan AHY dan SBY, anak dan ayah ini. Akankah SBY yang terlihat mengerti nilai etika dan martabat sebagai orang beradab menjadikan Pak Moeldoko sebagai target? Bila itu dilakukan, jelas Pak ABY menentukan target, sekaligus terlihat kalah level sama Pak Moeldoko. Mengapa begitu? Pak Moeldoko tak bakal bisa berstatus Ketua Umum Partai Demokrat, kalau Presiden Jokowi melalui Menteri Hukum dan Ham, tidak mengesahkan komposisi kepenggurusan Demokrat hasil KLB itu. Sebaliknya, kalau Pak Yasona mengesahkannya, maka Pak Moeldoko resmi berstatus sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Sejauh belum ada SK Menkumham, maka untuk alasan hukum, AHY dan SBY sah dalam status saat ini. Konsekuensinya, tidak tepat menjadikan Pak Moeldoko sebagai sasaran perlawanan. Lalu siapa yang mau dilawan? Presiden Jokowi? Apa argumentasinya? Terlihat sepadan bila Pak SBY melawan Pak Presiden Jokowi. Pak SBY menjadi Presiden dua periode (2004-2009 dan 2009-2014) dan Pak Jokowi juga Presiden dua periode (2014-2019, dan 2019-2024). Jadi, sepadan mereka. Tapi apa argumentasinya? Andai Pak SBY mengidentifikasi Pak Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), sehingga secara silogistik Pak SBY menyatakan terdapat hubungan hukum langsung antara Pak Moeldoko dengan Pak Presiden Jokowi, jelas itu logis. Masalahnya, apakah kenyataan itu beralasan hukum dikonstruksi sebagai hal hukum yang menjadi dasar Presiden Jokowi memikul tanggung jawab atas tindakan Pak Moeldoko? Begitulah penalaran hukum atas kasus ini, suka atau tidak. Lain lagi kalau politik. Dalam politik, tidak ada norma yang bersifat imperatif. Pak SBY, tak mungkin tak tahu itu. Pada spekterum ini, Pak SBY harus sangat produktif dan cermat menemukan langkah. Pak SBY meminta, dengan nada apapun kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi untuk berpegang teguh pada etika politik, bahkan etika personal, jelas sangat beralasan. Tetapi cukupkah itu? Tidak cukup sama sekali. Pak SBY telah berkali-kali menyatakan itu secara terbuka. Kenyataannya, KLB tetap berlangsung dan berakhir dengan hasil yang sejauh ini disangkal AHY dan SBY sebagai abal-abal. Itu sebabnya Pak SBY harus menemukan cara yang mampu membawa Presiden Jokowi ke koridor yang dikehendakinya. Untuk sampai dititk itu, terasa layak membayangkan Pak SBY memperhitungkan hal-hal yang sejauh ini tak terlihat. Bagaimanapun Pak SBY tak mungkin tidak tahu bahwa kehidupan politik nyata selalu dililit dengan ide-ide dan target tak terlihat. Diksi salah pilih Pak Moeldoko dulu, dan meminta ampun kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas kesalahannya, itu bagus. Tetapi sebaiknya diksi itu dihentikan. Sebab orang dapat membalik nalar diksi itu menjadi “AHY dimungkinkan jadi Ketum Demokrat” boleh jadi salah juga. Harus Cerdas Bila KLB itu bukan formula playing cictim, maka Pak SBY, harus menggali semua hal tak terlihat pada persitiwa KLB Partai Golkar dan PPP. KLB yang mendatangi kedua partai tersebut, dengan sebab-sebab organisasi yang satu dan lainnya terlihat memiliki kemiripan dengan apa yang dialami Demokrat kini. Demokrat, partai yang netral pada putaran kedua Pligub DKI Jakarta, dan biasa-biasa saja pada Pilres 2015 dan 2019 kemarin, memang terlihat tak pro pemerintah. Tetapi tidak juga oposan, apalagi ekstrim menyediakan ide alternative terhadap kebijakan Pak Jokowi. Kenyataan ini bisa menyulitkan Pak SBY menemukan argumen logis melebel Pak Jokowi gunakan tangan Pak Moeldoko “mencaplok” Demokrat. Walau begitu, apakah Pak SBY dengan semua keterampilan dan koneksi politik internasionalnya tidak memetakan keuntungan politik, yang mungkin diperoleh Pak Jokowi dalam peristiwa ini? Bila iya, bagaimana Pak SBY mendemonstrasikannya? Suka atau tidak, satu-satu kenyataan yang tak bisa disangkal oleh Pak Jokowi adalah status Pak Moeldoko dalam pemerintahan ini. Status officialnya adalah pejabat negara, berada langsung di bawah Presiden. Ini poin utama tata negara. Bukan politik. Berstatus sejelas itu dalam hukum tata negara, memungkinkan Pak SBY mempertimbankan cara partai Demokrat Amerika membongkar keterlibatan Presiden Richard Nixon dalam kasus Watergate tahun 1973 dulu. Bukan karena kebetulan sama-sama mempunyai nama “Partai Demokrat”. Untuk waktu yang lama, Presiden Nixon menyangkal semua tuduhan Partai Demokrat Amerika bahwa dirinya terlibat dalam skandal Watergate. Tetapi langkah-langkah tata negara Partai Demokrat di DPR Amerika berhasil membuat semua sangkalan Nixon, terbukti bohong, bohong dan bohong. Menariknya lagi, sejauh ini argumen Demokrat terlihat begitu terbatas. Sampai dengan artikel ini ditulis minggu siang, Demokrat AHY dan SBY terlihat sangat landai. Spektrum argumennya terlihat terisolasi sebatas politik, dalam balutan prinsip etis demokrasi dan rule of law penyelenggaraan pemerintahan. Apa Pak SBY sengaja membuat landai agar lawan terlena? Kalau KLB sekadar replica playing victim, ya tak bakal ada hal heboh. Bila tidak, maka AHY dan Pak SBY tak boleh gagal menghalau SK pengesahan Kepengurusan Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang. SK Menkumham itu, andai terbit, juga mungkin disambut orang sebagai cara rasa sakit, merendahkan, bahkan penghinaan mendatangi dan menyapa AHY dan Pak SBY. Untuk alasan hukum, SK Menkumham, andai terbit, memiliki dua konsekuensi. Pertama, sejak SK itu terbit, maka AHY dan SBY tidak lagi sah menjadi ketua Umum Demokrat dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Semua kewenangan Ketua Umum beralih ke Pak Moeldoko. Dengan demikian, Pak Moeldoko memiliki wewenang melakukan tindakan hukum positif dan negatif terhadap seluruh anggota DPR dan DPRD dari Fraksi Partai Demokrat. Kedua, Pak Moeldoko dan kawan-kawan berhak menggunakan Sekretariat Partai Demokrat di dekat Tugu Proklamasi, berikut seluruh property lainnya. Tak ada alasan untuk tak menyerahkan property-property ini kepada mereka. Semoga saja tak terjadi. Memang itu dapat dihentikan sementara. Tetapi penghentian sementara hanya dapat dinyatakan oleh pengadilan melalui putusan sela. Apakah Pak SBY telah memetakan soal ini? Apakah Pak SBY cukup yakin bahwa keadilan tak bisa dikoordinasikan? Pembaca FNN yang budiman, partai memang telah menjadi entitas penting dalam demokrasi dan rule of law. Tetapi Woodrow Wilson, Presiden Amerika ke-28, tak melihat partai sebagai hal penting. Baginya tanggung jawab partai tak lebih dari sekadar fiksi oleh kawanan gerombolan gembala yang kebingunan. “Saya tidak percaya pada partai. Saya percaya pada orang. Saya tidak menuntut tanggung jawab partai. Saya menuntut tanggung jawab orang. Saya tidak mendapat ekspresi pendapat yang tunggal dari partai. Saya mendapatkannya dari orang”, begitu kata William Graham Summer yang dikutip White. Pembaca FNN yang budiman, sembari waspada pada Covid-19, mari menantikan AHY dan SBY menemukan cara mencegah terbitnya SK Menkumham. Bagaimana cara Pak SBY, dan bukan AHY yang membawa Presiden Jokowi, masuk ke dalam penyelesaian kasus ini, jelas mengasyikan untuk dinantikan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Pemerintah Jokowi Terlihat Bingung

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor. Namun di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah konslet. Terganggu kesehatan fikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Terlihat panik soal kebijakan-kebijakan ekonomi di dalam negeri. Kesana salah ke sini keliru. Sebelumnya soal investasi industri minuman keras (miras) yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun yang dicabut hanya lampiran. Juga soal pernyataan Direktur Pidana Umum Badan Reserse Keriminal (Bareskrim) Polri terkait status tersangka enam syuhada, anggota laskar Pront Pembela Islam (FPI). Setelah berselang tiga jam diumumkan penghentiannya oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. Plan A yang gagal. Pemerintah sudah "confuse" dalam segala hal. Pemerintah juga kehilangan "wisdom", berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak nabrak sana-sini. Pemerintah sudah kaya orang bingung. Tidak tau lagi harus berbuat apa. Akibat dari yang pemerintah bingung, maka rakyat juga beingung. Maka, mari bungung rame-rame, berjamaah. Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat sekarang. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk. Masalah terus bertumpuk, dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali gowa. Menyelesaikan masalah dengan memproduksi masalah baru. Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah sikap naif dari seorang presiden yang berlebihan. Hanya mempertontonkan kebungungan kepada rakyat. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu, maka sudah pasti buzzer segera menuduh "hate speech", lalu dilaporkan ke polisi. Katanya tidak bisa gaul global. Hanya karena sumber “hote speech” itu presiden, karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme. Mambangun nasionalisme hanya bermodalkan benci terhadap produk-produkl luar negeri. Tragisnya, hampir 80% kebutuhan pangan kita hari ini adalah Impor, termasuk impor garam dan ayam. Pemerintah seperti terus dibayangi oleh hantu. Hantu dari kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) terus mengganggu pemerintah. Ketakutan yang luar biasa menghantui pemerintah, hingga tempat Kejadian Perkara (TKP) pun dihancurleburkan. Diratakan dengan tanah. Tidak lagi ada jejak yang ditinggalkan. Penanganan kasusnya dilambat-lambatkan, serta opini yang coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk bagi pemerintah. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kini giliran Partai Demokrat yang diobrak-abrik. Kudeta lewat Rongres Luar Biasa (KLB) akhirnya jadi juga. Moeldoko, sang brutus tersebut terang-terangan membunuh SBY yang telah membesarkannya. Moeldoko yang dibesarkan SBY, mulai dari kolonel samai jendral bintang empat, dan berakhir dengan jabatan Panglima TNI. Kini Moeldoko telah menjadi Ketua Umum hasil KLB. Mungkin tidak lama lagi, Surat Keputusan Menkumham tentang pengesaham kepungurusan Moledoko segera terbit. Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri kini telah bertumpuk-tumpuk, mencapai Rp. 6.233 triliun. Sementara hutang tambahan yang baru, sangat sulit, bahkan setengah mati untuk bisa mendapatkan. Investasi asing juga tidak kunjung tiba, dan terus masih dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti dalam kebijakan. Hanya pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung. Aduh biyung...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Faksi Anas Dibalik Kudeta Partai Demokrat Oleh Moeldoko

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Disinyalir tokoh senior mantan kader Partai Demokrat yang hadir di Kongres Luar Biasa (KLB) abal-abal Partai Demokrat di Hotel The Hill Deli Serdang, Jum'at 5 Maret 2021. Mayoritas dari mereka adalah orang-orangnya dari Faksi Anas Urbaningrum (AU). Mereka yang dikenal gigih memperjuangkan AU di Kongres 2010. Mereka juga yang mengantarkan AU menjadi orang nomor satu di Partai Demokrat. Bahkan santer terdengar ketika itu, AU telah disiapkan menjadi Calon Presiden 2014. Sayangnya, menurut info yang beredar ketika itu. Niat AU untu menjadi calon presiden pada 2024 tercium oleh SBY. Singkat cerita, Skandal Hambalang dijadikan jembatan untuk “mengubur” impian besar AU dan faksinya untuk bersinar hingga 2014. Impian AU tenggelam pada medio 2012, dan terkubur melalui KLB Partai Demokrat tahun 2013. Jika dicari celah, maka pejabat politik mana yang tidak korupsi di zaman now. Namun kasus Hambalang dijadikan alasan oleh SBY untuk membunuh Anas. Aroma adanya balas dendam politik antara gabungan Faksi AU dan Moeldoko dengan “saling meminjam tangan”, yang kebetulan lagi mencari kendaraan politik untuk tahun 2024 terbaca dengan cerdik oleh Moeldoko dan istana. Memanfaatkan Faksi AU untuk tujuan politik Moeldoko dan istana. Faksi AU tentu saja mempunyai dendam politik politik yang besar kepada ABY. Karena digusur oleh SBY melalui Kongres Partai Demokrat tahun 2013. Kongres yang dilakukan setahun menjelang SBY lengser dari kursi Presiden. Hasilnya, semua gerbong UU dihabisi oleh SBY Adanya konspirasi politik antara Faksi AU dengan Moeldoko, walaupun berbeda tujuan politik, namun memiliki target yang sama, yaitu SBY. Target politik Faksi AU tentu 'menghabisi' politik dinasti SBY di Partai Demokrat. Sementara, target politik Moeldoko untuk kepentingan politik tahun 2024. Soal legal atau ilegal, itu soal belakangan. Yang penting, rebut dulu kembali Partai Demokrat. Politik jahiliyah memang kejam dan tak bermoral. Pertarungan Faksi AU dan SBY memasuki babak kedua pasca KLB Partai Demokrat tahun 2013. Nyaris semua orang-orang AU disingkirkan. Setelag KBL Deli Serdang, sekarang kemungkinan giliran semua orang-orang SBY yang disingkirkan. Serangan balik terjadi setelah 7 tahun Faksi AU tersingkir dari Partai Demokrat. Kini, mereka faksi AU telah menemukan celah balik untuk menghabisi'SBY melalui kudeta Partai Demokrat oleh Moeldoko. Peluang kepengurusan Moeldoko cs untuk disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM sangat besar. Bila tidak ada MLB (Manuver Luar Biasa) dari SBY untuk menggagalkan pengesahan kepengurusan Moeldoko oleh Menteri Hukum dan HAM. Beginilah bila keserakahan dan ambisi politik tidak dibarengi dengan agama. Politik menghalakan segala cara bisa terjadi setiap saat. Politik ala orang-orang tidak beragama. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإمَارَةِ ، وَسَتَكونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَة “Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (HR. Bukhari no. 7148) Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

Fatamorgana Indonesia, Penduduk Miskin Naik Menjadi 27,5 Juta

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Semua bangsa punya masalah, tanpa kecuali. Tetapi persoalannya bukan pada masalah yang menimpa, melainkan cara sebuah bangsa merespon masalah tersebut. Respon yang tepat berujung pada solusi. Namun respon yang keliru menambah berat persoalan. Pandemi global Covid-19 adalah cermin yang tepat buat kita mengaca perbedaan negara-bangsa merespon situasi. Ketika pandemi melanda dunia setahun lalu, negara lain sibuk membatasi akses lalu lalang dan pergerakan orang. Menutup batas wilayah negara dan memblokade akses antar provinsi. Bangsa kita malah mempromosikan pariwisata atau mempromosikan jamu. Saat itu, untuk tahun anggaran 2019, pemerintah menganggarkan Rp 72 Miliar untuk mebayar influencer dan promosi wisata. Anggaran sebesar itu menjadi bagian dari total insentif sebesar Rp 298,5 miliar yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan mancanegara. Bukannya menyadari kekeliruan itu, sejumlah kebijakan dan ucapan pejabat malah menjadi sumber kontroversi. Lekat diingatan kalimat "corona masih jauh, masker hanya untuk orang yang sakit, mudik versus pulang kampung," dan seterusnya. Selain jamu, seorang menteri bahkan pernah perkenalkan kalung anti corona. Hasilnya? Indonesia sempat mencatat rekor negara pertama di Asia Tenggara dengan satu juta kasus covid-19. Negara dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Menempati urutan ketiga di Asia setelah India dan Iran. Bukan Tentang Covid Sekali lagi, ini bukan tentang Covid-19. Ini tentang cara kita merespon masalah yang berpengaruh pada disorientasi perumusan keputusan. Ya ada koreksi, ada introspeksi pada setiap kebijakan yang keliru. Bila perlu sebuah permintaan maaf kepada publik, setiap kali kebijakan yang merugikan rakyat. Itu tidak buruk. Itu sehat demi perbaikan negeri. Penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga ekonomi. Masalahnya, dua sektor ini saling overlapping. Titik balik perbaikan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19. Sementara penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, solusi yang dipandang paling jitu sepertinya hanya mengutang. Sudah begitu, bunganya tinggi pula. Tadinya, utang menumpuk demi infrastruktur. Sekarang, utang menggunung demi memenuhi pembiayaan penanganan Covid-19. Hingga akhir Januari 2021, jumlah utang Indonesia mencapai 6.233,14 triliun rupiah. Seiring menggunungnya pokok utang, bunganya pun terus membengkak. Tahun ini saja, beban bunga utang naik lagi 18,8 persen, atau sekitar dari Rp. 314,1 triliun pada 2020 triliun. Sekarang bunga utang naik menjadi Rp 373,26 triliun pada 2021. Ironisnya, kebijakan utang pemerintah yang dulu dikonsentrasikan untuk pembangunan infrastruktur, justru terancam mangkrak di beberapa tempat. Sebutlah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai U$ 5,5 miliar dolar atau jalur kereta api Makassar-Parepare sepanjang 145 kilometer di Sulawesi Selatan. Perencanaan proyek yang ambisius berubah menjadi mimpi buruk. Rumah rakyat tergusur, lahan pertanian beralih fungsi, belum lagi dampak banjir akibat pembangunan rel dengan perhitungan drainase yang minim. Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah manargetkan pembangunan proyek rel kereta api di Sulsel selesai Juni 2021. Namun, tak kunjung terlihat pergerakan di lapangan. Belakangan, sang gubernur malah terjerat Operasi Tangkap Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Upaya pencegahan dan pemberatasan korupsi semestinya dilakukan dari pucuk tertinggi pemerintahan. Namun, dari sana pula catatan buruk korupsi juga banyak ditemukan. Belum genap dua periode Jokowi menjabat presiden, empat menterinya sudah tersandung korupsi. Sebanyak dua menteri di periode pertama yakni Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Dua menteri lagi di periode kedua, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Presiden Jokowi gagal dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi ketika jajaran kabinet yang dipilih dan disusunnya sendiri justru tersandera korupsi. Seharusnya pengalaman dua menteri terciduk KPK di periode pertama memberi pelajaran untuk ekstra hati-hati menyusun kabinet di periode kedua. Namun, reputasi yang sama kembali terulang. Bahkan catatannya menjadi lebih buruk sebab penangkapan dua menteri terjadi dalam tempo belum satu setengah tahun periode kedua berjalan. Kemiskinan Merebak Pada akhirnya, rakyat jugalah yang menanggung. Kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan pandemi yang berkepanjangan menambah berat bobot persoalan menyusul robohnya sejumlah usaha dalam sektor industri dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Alhasil, persentase kemiskinan menembus dua digit. Data ini berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020 oleh Badan Pusat Statistik ( BPS). BPS mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta atau 10,19 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut naik 2,76 juta jiwa dibandingkan September 2019 atau bertambah 0,97 persen secara tahunan. Tingkat kemiskinan terakhir kali menembus dua digit pada September 2017 dengan jumlah 26,58 juta jiwa. Alasan yang selalu dipakai pemerintah, kenaikan penduduk miskin itu karena faktor Covid-19. Namun, kalau kita menelisik data BPS sebelumnya, tren angka kemiskinan sesungguhnya telah menanjak sebelum musim Covid-19 . Faktanya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang, lalu bertambah menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Relevan dengan data tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam laporan catatan awal 2021 menyatakan, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan naik hampir dua kali lipat sebesar 7,8 persen atau sebanyak 10,4 juta jiwa. Angka pengangguran itu belum termasuk pengangguran terselubung yang jumlahnya dua kali lipat dari pengangguran terbuka. Praktis, pelebaran angka kemiskinan mengakibatkan kehidupan kesehatan masyarakat menjadi rentan. Pasalnya, kemiskinan cenderung diikuti oleh permasalahan lain, seperti rendahnya kualitas hidup masyarakat. Juga kurangnya asupan gizi, kecukupan nutrisi serta kualitas pangan, dan lain-lain. Padahal, di musim pandemi begini, daya tahan tubuh harus selalu ditingkatkan. Salah satunya melalui suplai nutrisi yang baik dan berkualitas. Di tengah situasi demikian, iuran BPJS kesehatan justru naik sejak Januari 2021 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini rasanya berbanding terbalik dengan relaksasi pajak penjualan mobil, meski terbatas dalam kategori produk low cost green car (LCGC). Yang miskin semakin miskin. Sebaliknya, yang kaya semakin kaya. Alhasil, jurang kesenjangan sosial semakin terbuka lebar. Jangankan saat ini, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda saja, kesenjangan sosial sudah terlihat nyata dan telanjang di masyarakat. Laporan KPK yang diformat dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) 2018 menyebutkan, pengelolaan SDA di Indonesia jauh dari rasa keadilan, karena tingkat ketimpangan yang tinggi. Untuk sektor kehutanan, penguasaannya seluas 40.463.103 hektar. Namun masyarakat hanya mendapatkan porsi 1.748.931 hektar, atau perbandingannya setara 96 : 4. Pertanyaannya, dengan fakta-fakta di atas, lalu apa yang akan diwariskan Pemerintah saat ini kepada anak cucu kita kelak? Kita tunggu seperti apa perjalanan republik 3,5 tahun ke depan, hingga akhir masa Jabatan Presiden Jokowi. Jangan biarkan Presiden Jokowi bekerja sendiri. Kita dukung beliau dengan kerja-kerja produktif dan kritik yang argumentatif, agar Indonesia tidak menyimpang lebih jauh. Presiden Jokowi menyebut tahun 2021 ini dapat menjadi momentum Indonesia menjadi negara maju, jika mampu keluar dari krisis akibat Covid-19 dengan baik. Penulis Adalah Senator DPD RI.

Oligarki Dan Demokrasi Anti Klimaks

by Tamsil Linrung Jakrta FFN- Demokrasi bisa naik, bisa juga turun. Bergantung pada banyak faktor. Musabab paling pokok adalah karakter dan gaya kepemimpinan. Bila pemimpinnya dzolim, demokrasi akan mati namun dibedaki seolah-olah demokrasi hidup. Membahas demokrasi Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sudut pandang kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun sayangnya, di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia tak cuma paceklik ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi. Indeks demokrasi terburuk selama reformasi. Oligarki tumbuh sehat. Dinasti politik bahkan dimulai dari diri presiden sendiri. Anak dan menantu diberi ruang menjadi kepala daerah dari negara yang dipimpin oleh ayah dan mertua. Ini adalah sejarah pertama di Indonesia sekaligus cermin paling buruk dinamika demokrasi kita. Berlimpah ruah argumentasi demokratis yang dapat diajukan menjadi pembela. Tetapi, seorang negarawan sejati tak akan pernah membiarkan keluarganya duduk dalam tahta kepemimpinan daerah dari negeri yang dipimpinnya, karena berpotensi mengundang kontroversi, cemoohan dan persepsi buruk dari rakyat. Oligarki adalah musuh biadab demokrasi. Bukan hanya Covid-19, wabah oligarki juga menjadi pandemi dalam konteks politik Indonesia hari ini. Kemasan setiap pengambilan keputusan selalu dipoles seolah-olah demokratis. Tetapi esensinya tetaplah memperkuat oligarki. Politik turun-temurun adalah bagian dari wajah oligarki yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini. Wajah politik turun temurun terlihat sejak awal pemerintahan periode kedua, selain dari terang benderangnya politik dinasti yang dipertontonkan di hadapan kita. Publik bisa meraba relasi oligarki kekuasaan dan politik turun temurun itu. Nikmat oligarki bahkan sempat menggelontorkan wacana amandemen UUD 1945 terkait Presiden tiga Periode. Saat itu, banyak yang bertanya-tanya, lompatan besar apa yang telah dilakukan sehingga wacana presiden tiga perode dimunculkan? Kolumnis produktif Tony Rasyid sempat mengulas berkali-kali tentang wacana yang sulit dijangkau akal sehat ini. Pertanyaan tersebut harus selalu diajukan agar fokus perhatian kita selalu berpulang kepada substansi. Kita tahu, sebagian dilema demokrasi Indonesia hari ini adalah fenomena buzzer politik. Siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, buzzer selalu siap membela. Bila ada persoalan serius atau blunder politik, buzzer dengan cekatan mengalihkan perhatian publik. Anti Klimaks Indonesia punya catatan demokrasi yang panjang. Ada klimaks, ada anti klimaks. Hari ini kita berada pada ruang demokrasi anti klimaks. Anti klimaks itu ditandai oleh indeks demokrasi Indonesia yang semakin turun. The Economist Intelligence Unite menempatkan index demokrasi Indonesia pada rangking 64 dunia. Menjadi pencapain terburuk selama 14 tahun terakhir. Kita bahkan berada di bawah Malaysia dan Timor Leste, negara baru pecahan Indonesia. Penurunan index demokrasi tersebut terjadi seiring dengan menguatnya oligarki. Itu karena karena dua hal. Pertama, karena politik kita berbiaya mahal. Pemilihan Presiden ditengarai beberapa pihak mencapai triliunan rupiah. Angka ini fantastis dan sulit, bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri. Maka kandidat Pilpres berjejaring dengan para pengusaha, sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya oligarki. Kedua, adanya Presidential Threshold (PT). Selain mengerdilkan demokrasi, juga menjadi sumber petaka oligarki. Untuk mengusung calon presiden, partai politik sejak awal harus bersekutu demi memenuhi ambang batas pencalonan. Padahal, ambang batas tak lebih dari keengganan partai politik besar memunculkan figur-figur alternatif dalam kontestasi Pilpres. Sebagai akibat dari fenomena itu adalah melemahnya kekuatan oposisi. Kita tahu, oposisi adalah nyawa demokrasi. Partai politik yang hari ini nyatanyata beroposisi terhadap pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa sikap, juga Partai Demokrat. Sementara rekonsiliasi politik yang beraroma elitis hanya menambah daftar panjang kuasa oligarki politik. Oligarki harus dilawan. Tidak boleh dibiarkan tumbuh subur, menjadi kanker ganas yang bisa menggerogoti demokrasi. Sebab, oligarki mereduksi partisipasi politik dan kedaulatan rakyat yang secara keseluruhan berujung pada tumbuhnya sikap anti demokrasi. Celakanya, sikap anti demokratis tersebut dapat merembes pada rakyat kebanyakan. Karena oligarki cenderung mengandalkan kekuatan finansial, suara rakyat dikalkulasi dalam nominal rupiah. Rakyat dididik melihat pesta demokrasi sebagai musim amplop. Rakyat hanya dibutuhkan sebagai stempel demokrasi semata. Usai memperoleh suara rakyat, pemerintahan yang tersandera oligarki cenderung tak memusatkan pikiran pada kesejahteraan mereka. Sebaliknya, oligarki justru memaksakan kehendak dengan produk-produk kebijakan yang menguntungkan investor. Salah satunya bisa kita lihat pada pengesahan UU Cipta Kerja yang mendapat pertentangan dari masyarakat kelas menengah dan buruh. Sebagai buntut UU yang ditengarai pro-investor tersebut, baru-baru ini lahir Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 yang memberikan izin investasi minuman keras di empat provinsi di Indonesia. Kebijakan tersebut seperti kacamata kuda. Hanya berfokus pada investor dengan harapan bisa mengatrol ekonomi bangsa yang sedang sulit. Tanpa mengaca kepada karakter umum manusia Indonesia secara umum. Beruntung, kebijakan ini lalu dianulir setelah mendapat respon keras sejumlah kalangan. Keberpihakan kepada pemilik modal pastilah semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial. Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya Indonesia memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% kekayaan yang tersisa. Dilema DPD RI Oligarki menjadi kian sempurna ketika lembaga legislatf sebagai pengawas pemerintahan menjadi bagian dari oligarki. Faktanya, partai-partai politik saat ini sebagian besar merupakan pendukung pemerintah. Kenyataan ini sangat menghawatirkan masa depan demokrasi. DPD RI sendiri, dalam posisinya yang lemah menjadi serba dilematis. Kita tahu, fungsi dan kewenangan DPD RI sangat terbatas. Jangankan menyuarakan aspirasi rakyat, untuk dapat menyuarakan kepentingan DPD sendiri, terkadang masih menemui kendala. Sejumlah kalangan bahkan menyebut lembaga ini sebagai anak tiri senayan. Padahal, dalam konteks perlawanan terhadap oligarki, DPD RI punya nilai lebih. Pertama, wakil-wakil rayat yang duduk di lembaga ini bukan representasi partai politik dan oleh karena itu, sepak terjangnya relatif aman dari kepentingan partai dan oligarki. Kedua, memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang diwakilinya. Tetapi tentu, DPD RI bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak yang telah dilakukan. Hanya, dalam konteks mengurai benang kusut oligarki, upaya yang dilakukan menemui kendala ketika belum apa-apa sudah dipandang sebelah mata. Untuk mengefektifkan dirinya, sebagian Anggota DPD bersuara melalui kanal-kanal publik, baik melalui webinar, melalui tulisan di media massa, menggalang civil society, dan lain-lain. Hal pertama dan paling utama dijaga tentulah terlebih dahulu menjauh dari pusaran oligarki. Pemerintahan harus dikritisi secara proprsional, agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang semestinya. Terlebih, berbagai persoalan sosial politik akhir-akhir ini merebak sebagai rangkaian sistem politik yang memihak oligarki, seperti praktik korupsi, pelanggaran Hak Asasi manusia HAM, dan lain-lain. Sementara itu, masyarakat dibuat saling menegasi pada aneka persoalan yang menjauhkan pikiran mereka dari peromlematika bangsa sesungguhnya. Reformasi lambat laun disandera oligarki dan secara langsung mengamputasi demokrasi. Bila tidak ada komitmen kuat dari kita semua, oligarki akan semakin menguat dan mencengkeram sendi-sendiri demokrasi kita hingga lumpuh tak berdaya. Penulis adalah Senator DPD RI.

Sekda Papua, Defacto Doren Wakerkwa, Dejure Dance Flassy

by Marthen Goo Nabire FNN - Pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) Papua pada 1 Maret 2021 dilakukan langsung secara bersamaan kepada dua individu yang berbeda. Yang satu dilantik oleh Pemerintah Pusat, dan satu lagi dilantik oleh Pemerintah Daerah. Mungkin ini fenomenal unik, dan sepanjang berdirinya republik Indonesia adalah sejarah baru. Karena baru pertama kali terjadi. Jadi, kalau begini caranya pemerintah mengelola negara yang kaya ini, bagimana bisa dijadikan contoh yang baik kepada publik? Mungkin menambah cerita bahwa hanya di Indonesia saja, hal-hal yang seperti ini bisa terjadi. Yang tadinya tidak mungkin, bisa berubah menjadi mungkin. Malahnya, Menteri Dalam Negeri melantik Dance Y. Flassy sebagai Sekda Propinsi Papua versi pemerintah pusat. Namun pada saa yang bersamaan Wakil Gubernur Propinsi Papua melantik Doren Wakerkwa sebagai Sekda Propinsi Papua versi pemerintah propinsi. Pro dan kontra menjadi tontonan yang sangat fatal, namun juga menarik. Apalagi sampai tercipta dua kubu pendukung yang dikawatirkan saling berhadap-hadapan. Bisa saja berpotensi menciptakan konflik horizontal antara para pendukung. Belum lagi saling tidak percaya yang berkepanjangan. Terkait kasus seperti ini, mestinya pemerintah pusat arif dan bijaksana. Hal-hal yang turut menciptakan kegaduan harusnya ditutupi dan dihindari. Pemerintah pusat seharusnya lebih professional dalam mengurai persoalan-persoalan seperti ini. Bukannya malah menciptakan kegaduhan baru di Papua. Kalau begini polanya, kapan Papua bisa tenang? Pemerintah Pusat harusnya merujuk pada kepastian hukum. Semangat negara hadir untuk menciptakan ketenangan dan kedamainan. Mestinya ketenangan dan kedamaian menjadi pijakan pemerintah pusat. Bukan malah sebaliknya. Kepastian hukum saja tidak cukup. Harus diikuti dengan etika pengelolaan pemerintahan yang baik dan benar, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Aspek Etika Dalam pelaksanaan pencarian Sekda Papua, pemerintah pusat melakukan tes secara terbuka. Barangkali biasanya disebut itu lelang jabatan. Tes terbuka itu disaksikan oleh publik. Karena disaksikan oleh publik, maka sudah tentu publik akan menyimpulkan bahwa siapa yang mendapatkan nilai tertinggi akan menjadi Sekda. Begitu cara masyarakat Papua memahaminya. Menggunakan logika anak kecil saja, yang menjadi juara satu, pasti akan keluar sebagai pemenang. Itu tidak bisa terbantahkan, dengan menggunakan dalil apapun. Dengan demikian, maka, pemerintah pusat mestinya konsisten terhadap apa yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Termasuk kepada kandidat yang mengikuti tes tersebut. Faktanya, pemerintah pusat menentukan lain dari perspektif yang dipahami dan dimengerti selama ini oleh masyarakat. Pemerintah pusat justru memilih dan menetapkan calon yang nilainya di bawah yang juara satu. Walaupun kita tahu bahwa siapapun yang diputuskan dan ditetapkan pemerintah pusat adalah menjadi kewenangan mutlak dai pemerintah pusat. Namun dari aspek etika, sudah sangat salah. Inilah sumber kegaduhanitu. Apalagi pemerintah pusat tidak menjelaskan secara terbuka alasan kenapa Sekda yang dipilih bukan yang nilainya paling tinggi. Apakah ada muatan politik? Hanya pemerintah pusat yang bisa jelaskan. Sebab hanya akan melahirkan kubu-kubu di kalangan rakyat Papua. Juga akan menghambat pelayanan pemerintahan dengan baik. Dari hasil tes, tentu masyarakat Papua sudah tahu bahwa yang pantas untuk menjadi Sekda Papua adalah Doren Wakerkwa. Sehingga secara etika, Doren mestinya diputuskan oleh pemerintah pusat sebagai Sekda Propinsi Papua. Walau secara hukum bisa berbeda, pada akhirnya tergantung kepada putusan presiden, jika dilihat dari dasar legalitasnya. Dengan demikian, aspek transparansi, profesionalisme dan ketaatan pada legalitas sangat dibutuhkan dalam pelayanan pemerintahan yang baik dan benar. Sehingga asas Good Governance harus benar-benar bisa diwujudkan dalam soal-soal seperti ini. Jangan asal-asalan saja. Legalitas atau Kepastian Hukum? Karena Indonesia adalah negara hukum, maka penentuan Sekda Propinsi didasari pada pemilihan tiga nama oleh Gubernur melalui Panitia Seleksi (Pansel). Kemudian diajukan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan diputuskan satu nama oleh presiden. Artinya, terhadap hal itu sudah menjadi hak priorogatif presiden untuk memutuskan siapa Sekda Propinsi Papua. Jika merujuk pada Undang-undang Aparatur Sipil Negara dengan jelas menyebutkan bahwa “…pejabat pembina kepegawaian mengusulkan tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri (pasal 114 ayat (4))…”. Sementara lebih lanjut juga dijelaskan untuk menentukan satu nama, “…presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya (pasal 144 ayat (5))…”. Atas dasar inilah kemudian lahir keputusan presiden nomor: 159/TPA /2020 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua. Yance Y Flassy yang diputuskan Presiden menjadi Sekda Propinsi Papua. Aturan turunan dari Undang-undang dalam soal Sekda adalah Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2018 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 91 tahun 2019. Dalam Perpres No 3/2018 dijelaskan “…Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengangkat penjabat sekretaris daerah provinsi untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah provinsi setelah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri… (pasal 5 ayat (1))...”. Gubernur hanya boleh mengangkat Sekda atas persetujuan Menteri Dalam Negeri. Sementara jika melihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 91/2019, “….Penjabat sekretaris daerah provinsi yang ditunjuk oleh menteri sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik (pasal 7 ayat (1))…”. Penjabat ditunjuk oleh menteri sebelum dilakukan pelantikan oleh gubernur. Secara teknis soal pelantikan, dijelaskan dalam aturan pelaksana teknis yakni dalam peraturan Menteri Dalam Negeri, “…dalam hal Gubernur tidak melantik penjabat Sekretaris Daerah Provinsi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menteri melantik penjabat sekretaris daerah provinsi (pasal 7 ayat (4))…”. Jadi, jika merujuk pada pasal 7, maka, pelantikan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri secara hukum terpenuhi. Kesimpulan Dari penjelasan singkat di atas, kini sampai pada kesimpulan. Secara etika, kami berharap pemerintah pusat bisa menjelaskan secara professional kepada publik Papu kenapa sampai pemilik nilai tertinggi tidak menjadi Sekda? Apakah pertimbangan politik, atau pertimbangan apa? Kenapa pelelangan bersifat terbuka, dengan melakukan ujian terbuka, dan publik mengetahui hal tersebut dengan perspektif dan kesimpulannya yang dilakukan masing-masing? Untuk menutupi tulisan ini, secara hukum, Dance Y. Flassy terpenuhi dan menjadi Sekretaris Daerah Propinsi Papua. Ucapan selamat sukses yang disampaikan oleh Yosua Noak Douw, tokoh intelektual Papua kepada Dance Y Falssy atas kesuksesan sudah sangat tepat. Atas pemenuhan legalitas, patut kita apresiasi kepada pak Dance. Semoga amanah yang diembankan kepada pak Dance bisa dilaksanakan dengan baik dalam pengelolahan birokrasi pemerintahan di Propinsi Papua. Sejak Dance Y. Flassy dilantik oleh Menteri Dalam Negeri, maka secara sah Sekretaris Daerah Propinsi dipimpin oleh Dance Y. Flassy, dan pelantikan yang dilakukan di luar dari Menteri Dalam Negeri secara hukum adalah gugur. Bagi pihak yang merasa dirugikan, masih bisa menempuh jalur hukum, walaupun dasar hukum sudah bersifat kongkrit jika merujuk pada UU ASN, Perpres, serta Permen. Semoga dengan tulisan ini, kita sama-sama bisa secara bersama meminimalisir konflik diantara yang pro dan kontra. Pemerintah pusat diharapkan ke depan harus bisa jauh untuk lebih professional. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Papua.

Jimly Asshiddiqy Salah Besar

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqy menyalahkan Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang melaporkan Presiden ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Pernyataan Jumly tersebut dinilai salah besar. Hal ini disebabkan Presiden bukan orang yang bersih dan dianggap sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan pidana. Nah saat Presiden melakukan pelanggaran hukum, apakah penganiayaan, penipuan, korupsi, maka Presiden harus diproses secara pidana. Bukan tata negara atau administrasi negara. Andaikan presiden dinyatakan bersalah oleh pengadilan, barulah hasil atau vonis putusan pengadilan itu yang dibawa ke DPR, MK dan MPR untuk diproses lebih lanjut soal pemberhentian presiden. Jimly secara naif menyatakan, bahwa karena Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sehingga proses pelanggaran hukumnya harus dibawa ke DPR, MK, dan MPR. Mungkin saja Jimly lupa, bahwa kemana melaporkan itu tergantung pada pelanggarannya. Apakah itu pelanggaran perdata, pidana, tata negara atau tata usaha negara. Jika pelanggaran yang dilakukan Presiden itu perdata, maka dibawa ke Pengadilan Negeri. Namun kalau pelanggaran pidana, maka tentunya ke Kepolisian, dan dilanjutkan oleh Jaka Penuntut Umum (JPU) ke pengadilan. Jika pelanggaran tata negara, barulah ke DPR, MK, dan MPR. Jika Presiden melanggar administrasi, ya prosesnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Presiden dapat dilaporkan ke Kepolisian untuk memperoleh kepastian hukum dari duagaan adanya pelanggaran pidana. Jika Presiden telah terbukti secara hukum melakukan perbuatan pidana, barulah itu menjadi alasan untuk proses hukum ke tata negara. Disitulah DPR, MK, dan MPR mulai bekerja. UUD 1945 mengatur demikian, sebagaimana ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi : "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". Nah proses menuju ke DPR, MK dan MPR ternyata dapat didahului oleh proses pelanggaran pidana. Kalimat "terbukti" harus telah ditetapkan oleh Pengadilan. Baik berupa perbuatan korupsi, penyuapan, dan tindakan pidana berat. Tentu saja itu melalui penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian atau Kejaksaan. Untuk korupsi dapat juga dilakukan pemeriksaan oleh KPK. Kerumunan yang terjadi di Maumere Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan, itu merujuk pada penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Bareskrim untuk dugaan tindak pidana yang sama. Karenanya aktivis GPI yang melaporkan dugaan tindak pidana Jokowi ke Bareskrim adalah sangat tepat. Menjadi salah dan ngawur jika melaporkan ke DPR, MK, atau MPR sebagaimana saran dari Jimly. Pak Jimly memang pakar Hukum Tata Negara, tetapi semestinya tahu akan proses hukum lainnya. Pernyataannya justru memerosotkan kredibilitas sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Gampangnya saja, misalnya seorang Presiden melakukan pembunuhan, maka apakah itu diproses dan diadili di DPR, MK atau MPR? Tentu tidak. DPR, MK, dan MPR "mengadili" menyangkut pemberhentiannya sebagai Presiden. Begitu Pasal 7A UUD 1945 mengatur. Jadi, Pak Jimly tidak perlu merasa sedih dan meratapi langkah aktivis GPI. Para aktivis GPI lah yang semestinya merasa sedih dengan cara pandang Prof Jimly yang menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.