Koalisi Obesitas
Oleh Ady Amar
OBESITAS itu kegemukan yang berlebihan, pastilah tidak nyaman dipandang mata. Bagi yang bersangkutan merasa terbebani dengan overweight-nya. Bahkan bisa menjadi sumber berbagai penyakit. Semua ingin menghindarinya, berupaya "memerangi" dengan berbagai cara, guna mencapai tubuh proporsional.
Tapi bagi rezim penguasa, koalisi politik dibuat mayoritas, dan itu penguasaan parlemen, bahkan dibuat gemuk, atau pantas disebut koalisi obesitas. Pada tubuh seseorang obesitas itu musuh, tapi justru itu diadopsi penguasa, dan itu pastilah memperlemah oposisi.
Koalisi obesitas itu melemahkan demokrasi, itu pernyataan tidak salah. Tentu jika koalisi dimaknai hanya untuk kepentingan memuluskan kebijakan-kebijakan yang sampai pada tingkat tidak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Partai politik pun yang tergabung dalam koalisi, yang memuluskan kebijakan bagi kalangan tertentu, itu sama dengan bekerja bukan pada kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Koalisi mayoritas yang bukan ditujukan pada kepentingan rakyat, itu sama dengan perselingkuhan tidak sah pada tujuan konsep negara modern, yang fungsinya jelas diatur pada tataran legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Perselingkuhan dalam konsep negara modern itu lebih pada kooptasi eksekutif atas legislatif bahkan atas yudikatif, sehingga peran utama legislatif pada check and balance tereduksi pada kepentingan eksekutif. Peran legislatif dengan sendirinya melemah. Pun peran yudikatif acap diselingkuhi kepentingan eksekutif. Politik menjelma jadi panglima, bukan lagi hukum. Maka istilah negara hukum, itu hanya sebatas teori ideal jauh panggang dari api.
Semua dibuat jadi mungkin dengan adanya koalisi obesitas, yang merujuk pada penguasaan parlemen (legislatif) oleh eksekutif. Maka semua keinginan eksekutif/pemerintah akan mudah diwujudkan, dan itu atas persetujuan mayoritas parlemen yang telah dikuasai.
Koalisi obesitas itu lebih pada bagi-bagi kue kekuasaan eksekutif pada legislatif, yang itu diwakili oleh partai politik yang tergabung dalam koalisi. Maka partai politik jadi rebutan, didekati atau bahkan mendekati penguasa yang sedang berkuasa (eksekutif). Semacam simbiosis mutualisme dimana kepentingan antara partai politik dan penguasa tidak dapat dihindari.
Suara rakyat hanya diperebutkan saat pemilihan legislatif (Pileg) lima tahunan. Rakyat memilih figur tertentu, dan hanya sampai disitu. Setelah itu figur-figur yang terpilih diikat oleh partai politik. Maka suara pemilih di-take over oleh kebijakan partai politik, menjadi kepentingan partai politik, yang seolah bekerja untuk kepentingan rakyat, yang itu hal mustahil bisa diwujudkan.
Anggota parlemen dipilih oleh rakyat, tapi setelah itu bekerja untuk partai politik. Kekuatan partai politik seolah lebih besar dibanding suara rakyat yang memilihnya. Sebuah paradoks eksistensial ditampakkan.
Memuluskan Amandemen
Demokrasi itu suara rakyat, bukan suara partai politik. Tapi saat ini menjadi sebaliknya, seolah suara rakyat itu diwakili partai politik, yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Kepentingan partai politik tidak identik dengan apa yang dikehendaki rakyat, tapi lebih pada kepentingan elit partai politik yang melebur menjadi bagian dari partai penguasa.
Maka kepentingan penguasa untuk menguasai parlemen itu diikhtiarkan dengan koalisi obesitas. Makin gemuk makin seksi buat penguasa guna mewujudkan kepentingannya. Tidak dicukupkan 50 % plus 1, itu mayoritas.
Koalisi yang dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mutlak menguasi parlemen. Sudah 427 kursi dikuasai, dan itu sama dengan 74% suara parlemen. Koalisi penguasa yang terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP.
Apakah dicukupkan 74 % itu saja penguasaan rezim atas parlemen. Rasanya tidak, justru ingin dibuat koalisi lebih obesitas, makin gemuk makin seksi, jika ingin sekaligus menguasai mayoritas suara MPR yang 2/3 itu. Maka diundanglah partai lain, yang bisa mencapai ukuran ideal, dan itu terbaca, yang tidak lain guna tujuan amandemen UUD 1945.
Maka pendatang baru yang dipinang masuk dalam barisan koalisi adalah PAN. Dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan ketua umum dan Sekjen partai koalisi, PAN diundang. Tampak dengan suka cita PAN menyambutnya. Sebentar lagi dimungkinkan ada reshufle kabinet, itu agar PAN dapat juga kecipratan kuenya.
Apakah dengan bergabungnya PAN itu angka 2/3 suara mayoritas MPR itu sudah tercapai. Ternyata belum cukup, kurang 3 kursi lagi. Dan itu bisa diambilkan dari suara DPD, dan itu perkara mudah.
Maka dengan 2/3 suara partai penguasa, maka amandemen UUD 1945 pastilah akan mulus tanpa hambatan. Pasal-pasal yang dikehendaki untuk adanya perubahan akan dengan mudah dicapai. Jabatan Presiden bisa dibuat 3 (tiga) periode, atau setidaknya lama jabatan Presiden akan ditambah beberapa tahun, dan itu karena kerja Presiden tidak efektif disebabkan pandemi Covid-19.
Koalisi obesitas ini pantas diibaratkan dengan tubuh seseorang yang mengalami obesitas. Sama-sama buruk, bahkan dampak dari koalisi obesitas, itu lebih buruk dari seluruh negeri yang warganya mengalami obesitas. Inilah demokrasi semu menuju rezim totaliter, yang bekerja tidak untuk kepentingan rakyat... Wallahu a'lam.
*) Kolumnis