OPINI
PPHN adalah Kudeta Haluan Negara
By M Rizal Fadillah PPHN atau Pokok Pokok Haluan Negara yang secara formal diperkenalkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo saat mengantarkan Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi, yang berbaju adat, tanggal 16 Agustus 2021 sebenarnya sudah dicanangkan oleh PDIP sejak tahun 2015 dan diperkuat tahun 2019. Masa kepresidenan Jokowi. Setelah gagal di DPR untuk menggolkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mengarah pada Ekasila yaitu Gotong Royong dan atau menghidupkan Pancasila 1 Juni 1945 untuk “menggantikan” spirit Pancasila 18 Agustus 1945, maka kini gagasan itu dicoba untuk masuk ke ruang MPR melalui PPHN. Perencanaan jangka panjang yang sekaligus menjadi arah dari bangsa dan negara untuk menggantikan GBHN. PPHN digagas dan diputuskan PDIP pada Kongres V Bali tahun 2019. Semestinya kembali ke GBHN, hanya saja PDIP alergi pada GBHN yang menjadi “benchmark” Orde Baru. Sukses GBHN dijalankan Presiden Soeharto “musuh” Soekarno. Sebenarnya secara normatif GBHN adalah ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang ditetapkan PPKI yang justru diketuai oleh Soekarno. Bagi PDIP, PPHN adalah gabungan GBHN era Soekarno dan Soeharto. Soal GBHN masa Soeharto kita semua sudah tahu, bahkan menjadi bahan ajar anak sekolah. Nah “GBHN” era Soekarno itu apa ? Ternyata berawal dari Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang basisnya adalah Manipol/Usdek (Manifesto Politik/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Pidato Soekarno 17 Agustus 1962 berjudul “Tahun Kemenangan” berisi penegasan kewajiban rakyat Indonesia untuk bersatu padu dan bergotong royong memegang teguh Manipol/Usdek. Di era demokrasi terpimpin inilah kekuatan politik disatukan dalam “Nasakom”. Sementara kekuatan Islam dimarjinalisasi. Masyumi dibubarkan. Jika PPHN mengambil dasar filosofis dari pemikiran Soekarno era 1959-1965 maka nuansanya adalah demokrasi terpimpin Orde Lama. Jika digabungkan dengan GBHN, maka PPHN menjadi bersifat anti reformasi. Orla yang berkolaborasi dengan Orba adalah kemunduran sekaligus ancaman bagi demokrasi. Jika demikian, PPHN tidak lain adalah kudeta haluan negara. Karenanya amandemen UUD 1945 yang berencana menetapkan PPHN harus ditolak keras. Di samping dinilai akan mengacaukan konsentrasi penanganan pandemi covid 19, juga berbahaya karena akan membawa negara pada kemunduran berdemokrasi. PPHN adalah sebuah bid’ah Konstitusi yang menambah marak obrolan dan obralan tentang Amandemen. Pembahasan yang dipastikan membuang enerji dan hanya akan menciptakan kegaduhan baru. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bung Radhar Sudah Lurus
By M Rizal Fadillah APA yang ditulis oleh Radhar Tribaskoro berjudul "Bung Zulhas" itu sebenarnya sudah sangat benar. Artinya tidak ada hal yang menegasikan pandangan Zulhas. Hanya Radhar diujung tulisan membuat warning agar Zulhas dan partai nya tetap berjalan di jalur reformasi. Itupun sudah sangat tepat. Tulisan Lutfi Nasution yang mencoba meluruskan sebenarnya tidak perlu, apalagi sampai bahasa "terkejut". Radhar menegaskan bahwa sila keempat Pancasila tentang kerakyatan "yang dipimpin" tidak boleh disimpangkan menjadi demokrasi terpimpin sebagaimana pernah diimplementasikan pada periode kepemimpinan Soekarno 1959-1965. Presiden yang memiliki kekuasaan besar sering membangun tafsir sendiri soal norma-norma kenegaraan. Soekarno adalah contoh. Menurut Radhar tahun-tahun kepemimpinan Soekarno adalah "periode gelap" yang menjadikan Presiden sebagai diktator. Kediktatoran itu di samping disebabkan oleh tafsir sendiri atas norma kenegaraan juga akibat dukungan tanpa syarat dari lingkaran dalam dan luar atas kepemimpinan absolutnya. Ini yang dikhawatirkan Radhar kepada siapapun, termasuk Zulhas, yang bisa saja menjadi pendukung bagi pergeseran sistem pemerintahan ke arah demokrasi terpimpin. Menurut Radhar seharusnya keterpimpinan itu bukan pada personal tetapi pada nilai "hikmat dan kebijaksanaan" dengan mekanisme "permusyawaratan" sebagaimana rumusan tegas sila keempat Pancasila. Kewaspadaan ini menjadi penting mengingat fenomena politik saat ini adalah tampilan loyalitas tanpa syarat. Pertemuan puja puji Ketum Partai koalisi di Istana baru-baru ini menjadi contoh. Zulhas termasuk di dalamnya. Radhar sebenarnya mengingatkan dan mengkhawatirkan akan hal itu. Apalagi pemerintahan Jokowi sejak 2015 juga telah cenderung bersifat oligarkhis dan otoriter. Kooptasi dan kendali atas partai politik dapat menjadi peta jalan bagi demokrasi terpimpin sebagaimana dahulu Soekarno berhasil menghimpun kekuatan Partai Politik dalam wadah Front Nasional. Zulhas tentu saja tidak mendukung demokrasi terpimpin, tetapi melihat arah politik kini yang oligarkhis dan otoritarian bukan mustahil secara tidak disadari para Ketua Umum partai koalisi telah dan akan memberi andil bagi arah terwujudnya sistem pemerintahan demokrasi terpimpin tersebut. Radhar Tribaskoro sekadar mengingatkan. Bung Radhar tak perlu diluruskan. Ia menjadi radar rakyat yang mencium gelagat arah dari politik yang semakin buruk. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Reign of Fear: Cara Orang Bodoh Meminpin Negara
By Asyari Usman JUDUL tulisan ini lebih-kurang bermakna “menjalankan kekuasaan dengan cara menakut-nakuti”. Kalau Anda buka kamus, kemungkinan besar arti “reign of fear” (ROF) itu adalah “pemerintahan ketakutan”. Pada dasarnya, kekuasaan pemerintahan yang mengandalkan ancaman. Bisa ancaman pidana, ancaman penjara, ancaman penangkapan, dsb. Bahkan pembunuhan dan penyiksaan. Di bawah cengkeraman “reign of fear”, pihak oposisi dan pengeritik selalu dihantui ketakutan. Takut dipenjarakan. Takut serangan fisik. Dan takut proses hukum yang selalu dimenangkan oleh pihak yang berkuasa. Sumber hukum tertinggi “reign of fear” adalah dua pasal yang sangat terkenal di dunia hukum rimba. Pasal 1, penguasa tidak pernah salah. Pasal 2, kalau penguasa salah, lihat Pasal 1. Di Indonesia, “reign of fear” itu mengambil beberapa bentuk implementasi. Pertama, mengandalkan kebrutalan aparat keamanan. Ada demo, sikat. Ada gejala aksi protes meluas, tindas habis. Atau ditangkap dengan tuduhan yang bisa dibelok-belokkan sesuka hati penguasa. Peluru karet dan peluru tajam tak tentu lagi mana yang duluan dipakai. Gas air mata adalah kesewenangan yang teringan. Ciduk orang-orang yang terlihat “leading” di demo jalanan. Tujuannya adalah menimbulkan efek jera. Supaya orang takut berdemonstrasi. Kedua, mengandalkan pasal-pasal UU ITE. Yang digunakan untuk mengancam kaum oposisi pemakai media sosial (medsos). Juga untuk mengancam para penulis yang tak sejalan dengan penguasa. Pasal-pasal ITE sangat elastis. Bisa ke mana saja. Penggunaanya sama dengan berbagai pasal karet UU antisubversi di tahun 70-an hingga 80-an. Ketiga, pengendalian sejumlah platform media sosial (medsos) termasuk Facebook, Twitter, Youtube, dll. Para pejabat menggunakan kekuasaan mereka untuk memblokir atau menskorsing akun-akun medsos yang kritis. Keempat, tekanan langsung kepada media atau acara televisi yang populer di masyarakat tetapi merugikan penguasa. Penghentian talk-show Indonesia Lawyers Club (ILC) adalah contoh tindakan brutal terhadap media yang tidak memihak penguasa. Itulah antara lain praktik-praktik yang mendukung “reign of fear”. Tebar ketakutan di tengah masyarakat khususnya di kalangan pengguna media sosial. Dalam bentuk yang ekstrem, penguasa ROF tidak segan-segan melakukan tindakan yang tidak seharusnya terjadi di sebuah negara yang menerapkan demokrasi. Bentuk ekstrem ini antara lain pembunuhan sadis, penyiksaan, penghilangan, atau pencederaan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuh penguasa. Misalnya, pembacokan di jalanan oleh orang tak dikenal. Penyiraman air keras. Atau intimidasi langsung ke lingkungan tempat tinggal orang-orang yang kritis. Tindakan-tindakan sadis seperti contoh di atas sebagian terungkap sebagai operasi resmi atas nama institusi keamanan. Ada pula operasi oknum aparatur keamanan. Ini sangat menakutkan. Sebab, orang-orang kritis itu boleh dikatakan “tak berdaya”. Sangat rentan untuk diserang secara fisik di mana saja. Begitulah cara kerja ROF. Seram dan kejam. Itu mereka lakukan untuk menimbulkan ketakutan kepada orang yang bersuara sumbang terhadap penguasa. Seperti apa tipe penguasa yang menggunakan ROF? Secara universal, ROF dilakukan oleh orang-orang yang peradabannya adalah kebiadaban. Penguasa tak rela menerima kritik pedas. Kekerasan adalah argumentasi mereka. Di negara-negara otoriter, ROF tidaklah mengherankan. Tapi, sangat tak masuk akal kalau itu terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Lalu, mengapa ROF bisa muncul di negara demokratis? Hanya ada satu kemungkinan. Bahwa cara ini adalah andalan utama para penguasa yang “terpilih secara demokratis” namun tidak memiliki kapabilitas (kemampuan) untuk mengelola negara. Kebodohan dan ketidakmampuan menjelma setiap hari. “Reign of fear” diaktifkan untuk menutupi ketidakmampuan dan kebodohan itu. Sebagai catatan, "reign of fear" dekat-dekat dengan "reign of terror". Yaitu, menjalankan kekuasaan dengan meneror rakyat sendiri. Cara-cara ROF memang bisa membantu para penguasa mempertahankan kekuasaan mereka. Tetapi, di sepanjang kekuasaan itu pula berlangsung ketegangan antara penguasa dan rakyat. Hubungan yang tegang itu adalah bom waktu. Pasti akan sampai ke detik-detik terakhir “timer”-nya.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Luput Interpelasi Formula E, Muncul Petisi: GM Satu di Antara Inisiatornya
Oleh Ady Amar *) FRAKSI partai politik DPRD DKI Jakarta, PDIP dan PSI, gagal ajukan Interpelasi berkenaan dengan pembatalan penyelenggaraan Formula E, karena penolakan 7 fraksi partai politik lainnya. Akrobat dua partai tadi, itu hal yang sudah biasa dilakukan. Semua yang sedang dikerjakan dan akan dikerjakan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, menjadi aneh jika tidak disikapi negatif. Anies dibuat tanpa ada baiknya, dibuat tampak buruk. Maka, sekali lagi, hal biasa jika dua partai tadi bersikap menolak kebijakan yang dibuat Anies Baswedan. Kegagalan interpelasi itu diserupakan pahlawan yang gagal di medan laga. Maka di kantor DPRD DKI Jakarta, dipenuhi belasan karangan bunga tanda respek atas perjuangan dua partai tadi. Semacam tradisi "tipu-tipu" mencoba menggiring opini, seolah karangan bunga itu diberikan "rakyat" Jakarta karena perjuangan keras dua partai tadi. Gak jelas siapa pengirimnya, tapi muncul nama pengirimnya dibuat aneh-aneh, seperti ngasal saja dalam memberi nama. Misal, nama pengirimnya, "Forum Duda", "Pemerhati Teman Makan Malam", dan nama-nama aneh lainnya. Pengirimnya bisa jadi diri sendiri, dan itu untuk memuji diri sendiri. Hehehee... Sejak era Ahok kalah dari Anies di Pilkada DKI Jakarta (2017), tradisi kirim karangan bunga seperti dilestarikan. Saat itu ribuan karangan bunga dikirim atas kekalahan Ahok, seolah ingin disimbolkan bahwa kalahnya itu bukan kalah sebenarnya, tapi kalah oleh politik aliran yang dihembuskan kaum fanatik (Islam). Kalah yang tidak mau disebut kalah, lalu cari-cari alasan. Aneh memang, kalah kok dapat karangan bunga. Tapi sebenarnya ada cerita di balik karangan bunga itu. Begini ceritanya... Ahok-Djarot oleh pendukungnya sudah dibayangkan pemenang dalam pilkada DKI Jakarta 2017 itu. Segala hitung-hitungan sudah dibuat, segala cara sudah ditempuh. Maka perayaan kemenangan sudah direncanakan sebelum pencoblosan. Termasuk mempersiapkan ribuan ucapan kemenangan dengan karangan bunga. Uang pun sudah dibayarkan pada perusahaan jasa pembuat karangan bunga. Tapi setelah jagoannya dinyatakan kalah, sedang uang sudah dibayarkan, dan daripada uang hilang maka pesan dalam karangan bunga yang tadinya Selamat Atas Kemenangan... diubah menjadi ucapan bernada belangsungkawa atas kekalahan itu. Isinya dengan narasi macam-macam, intinya penuh ratapan. Maka pengiriman karangan bunga dijadikan media politik absurd. Jadi tradisi yang berketerusan, itu bisa dilihat juga saat Pangdam Jaya, Mayjen Dudung Abdurrahman perang terhadap ratusan baliho Habib Rizieq Shihab. Maka markas Pangdam Jaya dipenuhi karangan bunga, yang intinya dukungan atas langkah "perang" lawan baliho. Tradisi karangan bunga yang dikirim berikutnya, pasca keoknya Ahok, itu tampak ada kaitan dengan mereka yang belum move on dengan kekalahan pilkada DKI Jakarta. Habib Rizieq dianggap sosok yang bekerja keras memenangkan Anies saat itu. Makanya itu Pangdam Jaya dianggap simbol pahlawan dalam "peperangan" melawan Habib Rizieq. Sedang "mengerjai" Anies, yang selalu diwakili PDIP dan PSI, itu bukan sekadar memori kekalahan 2017 yang tidak terlupa, tapi lebih pada menjegal agar Anies bukan sosok yang pantas tampil pada perhelatan Pilpres 2024. Menggagalkan penyelenggaraan Formula E dengan dalih macam-macam, itu juga bagian dari itu. Dan tentu tidak akan berhenti, akan terus ada berbagai macam godaan "ditembakkan" pada Anies. Muncul Petisi Gagal lewat Interpelasi di DPRD DKI Jakarta, yang diwakili PDIP dan PSI, langkah menggagalkan Formula E ini diteruskan lewat Petisi, yang digagas 19 orang. Dari 19 orang ini ada jurnalis gaek Goenawan Mohamad (GM), musisi Ananda Sukarlan, yang memang Ahokers sejati, yang menjadikan Anies musuh sepanjang masa. Lalu politisi senior yang sudah pensiun, Sarwono Kusumaatmadja, sosiolog UI Imam Prasodjo. Tidak ketinggalan intelektual Yudi Latif, Akhmad Sahal, Inayah Wahid, dan lainnya. Cukup bervariasi mereka yang buat petisi yang ditujukan pada ke-7 Fraksi DPRD DKI Jakarta yang menolak Interpelasi. Intinya, mereka setuju bahwa silahkan menyelenggarakan perhelatan Formula E, tapi tidak menggunakan dana APBD. Heheheee... Seperti tawar-menawar saja lagaknya. Interpelasi tidak diinginkan diselenggarakan Formula E, karena masa pandemi. Sedang petisi diarahkan untuk tidak memakai dana APBD. Petisi dicukupkan hanya 500 penandatangan. Mungkin mereka merasa bahwa jumlah segitu sudah dianggap cukup mewakili warga Jakarta. Tidak persis tahu latar belakang inisiator mengajukan petisi itu, apakah memang ada hal pribadi masa lalu yang mengganjal yang tidak bisa dihilangkan bersangkutan dengan Anies Baswedan. Mungkin beberapa orang darinya bisa terlacak, tetapi yang lain tampaknya tidak berhubungan. Tampak lebih sebagai solidaritas antarkawan. Jika tidak, maka mereka yang senior itu seharusnya melakukan tabayun menemui Anies di Balai Kota DKI, guna mendiskusikan dengan berkenaan penyelenggaraan Formula E itu. Bukan lalu membuat petisi segala. Banyak peristiwa lebih dahsyat yang muncul di republik ini, misal tentang KPK yang dimandulkan, atau saat pembahasan UU Cipta Kerja, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang biayanya membengkak dari Rp 86,1 triliun, jadi Rp 113 triliun. Naik Rp 26,91 triliun... mereka adem-adem saja, gak keliatan geliatan penolakannya. Eh giliran Anies mau buat ajang internasional, yang itu akan mengangkat tidak saja nama Jakarta, tapi juga nama Indonesia, kok mesti direcoki. Maunya apa sih, tahun 2024 masih jauh, lagian Anies pun belum tentu diusung partai politik yang ada untuk maju sebagai Capresnya. Heran juga lihat sikapnya, paranoid kok dipelihara! (*) *) Kolumnis
Jokowi Ria
By M Rizal Fadillah JIKA kita memberi makan burung dara yang berkerumun maka kita melempar dan menaburkan makanan. Begitu juga ketika memberi makan ayam-ayam, maka hewan itu akan berebut mematuk makanan yang baru ditaburkan tersebut. Senang hati rasanya melihat perebutan seru. Begitulah gambaran Jokowi yang melempar bingkisan ke tengah masyarakat yang berkumpul. Mereka tampaknya dianggap hewan-hewan yang mesti diberi makan. Harus berpayah-payah masuk selokan kotor karena kaos yang dilempar ternyata nyebur ke selokan tersebut. Presiden telah kehilangan nurani kemanusiaan. Sungguh mengerikan. Tega rakyat diperlakukan demikian apalagi mereka harus berdesakan, bertubrukan, atau berebutan untuk mendapatkan bingkisan yang dilempar-lempar tersebut. Hal demikian sebenarnya adalah satu bagian saja dari episode kepemimpinan Presiden Jokowi. Drama, hiburan, pernak pernik yang ada di sekitar Jokowi. JIka dulu ada Kamera Ria, Aneka Ria Safari, atau Ria Jenaka, maka kini ada Jokowi Ria. Ini bukan Jokowi-nomics karena terlalu berat menampilkan prestasi ekonomi khas Jokowi yang melesatnya ke bawah, bukan pula Jokowi-mania atau kharisma karena mereka yang berkerumun di sekitar mobil Presiden belum tentu karena cinta kepada Jokowi tetapi cinta kepada sembako, bingkisan, dan kaos. Mereka nekad melanggar prokes demi lempar-lemparan itu. Jokowi Ria dalam konteks agama tentu dilarang karena merupakan akhlak buruk. Tepatnya Jokowi riya. Riya difoto sendiri di pantai, di sawah, atau jongkok di pinggir jalan kereta dan di kolam kodok-cebong. Jika hal itu tujuannya adalah agar dipuji puji, maka haram hukumnya. Gila pujian namanya. Kasus para Ketum Partai koalisi yang berlomba memuji-muji Jokowi saat dikumpulkan di Istana adalah fenomena ganjil dan berbahaya karena bisa membuat Jokowi melambung atau menggelembung. Belum ada prestasi yang signifikan soal penanganan Covid 19. Justru faktanya adalah hutang dan pemborosan keuangan. Korupsi pun terjadi. Rosulullah SAW mengajarkan apabila ada orang di sekitar yang memuji-muji di hadapan kita maka lemparlah ia dengan pasir. Nabi mengingatkan bahwa puja-puji itu dapat mencelakakan dan membuat kita menjadi orang yang berkarakter narsistik atau riya'. Nah semestinya Pak Jokowi kemarin melempar pasir ke wajah Mega, Prabowo, Airlangga, Zulkifli, Surya Paloh dan lainnya karena puja puji mereka itu jelas berbahaya. Dapat melalaikan dan menjatuhkan. Tetapi sikap itu berlaku jika memang Jokowi mau mengikuti Sabda Nabi. Jika tidak ? "Yo wes, sakarepmu lah". Emang gue pikirin. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Interpelasi Anies: PDIP dan PSI Masih Ada Luka Pilkada 2017?
By Asyari Usman JAJARAN pimpinan PDIP Jakarta dan pimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merasa sangat senang dikirimi karangan bunga yang mendukung interpelasi terhadap Gubernur Anies Baswedan terkait penyelenggaraan Formula E (FE). Mereka mengatakan, balap mobil listrik itu akan membuang-buang uang rakyat. Interpelasi adalah hak anggota DPR atau DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah atau pemerintah daerah tentang kebijakan strategis yang berdampak luas. Soal penyelenggaraan balap mobil listrik internasional (yang dinamakan Formula E), memang bisa saja dibawa ke interpelasi. Salahkah Anies membawa FE ke Jakarta? Pertanyaan ini hendaklah dijawab secara objektif melihat kondisi dan kemampuan Pemprov DKI. Faktor lainnya adalah edukasi tentang energi bersih dan bebas polusi. Formula E dibawa ke Jakarta bukan karena Anies ingin dilihat top. Bukan juga karena gagah-gagahan. FE adalah simbol “green energy” (energi hijau). Dengan menghadirkan FE di Indonesia, Gubernur Anies ingin berpartisipasi dalam menggalakkan penggunaan mobil yang tidak berbahan bakar fosil (minyak bumi). Harus diakui, di seluruh dunia upaya penggalakan mobil listrik (green energy) tidaklah mudah. Jumlah kendaraan listrik hanya 2% dari total kendaraan yang diproduksi. Hanya orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi tentang lingkungan, yang antusias memakai mobil listrik. Tetapi, kampanye mobil listrik harus dilakukan terus-menerus. Dan itulah salah satu tujuan Anies menyelenggarakan FE di Indonesia. Untuk menumbuhkan kesadaran tentang kendaraan bebas polusi. Formula E adalah bagian dari kampanye panjang dan melelahkan untuk menggalakkan “clean energy” (energi bersih). Apakah Pak Gubernur perlu ikut dalam kampanye ini? Pastilah perlu. Jakarta adalah salah satu kota di dunia yang menghasilkan polusi asap kendaraan dalam jumlah besar. Jadi, dari sisi ini, Anies berpikir jauh ke depan. Strategi yang menjangkau keperluan mendesak untuk membebaskan ibukota dari polusi kendaraan berbahan bakar minyak. Biaya penyelenggaraan Formula E memang relatif besar. Sampai sekitar 4.4 triliun. Sekitar 10% dari pendapatan asli daerah (PAD) Jakarta yang pada 2018 lalu mencapai 44.5 triliun. Memang di masa wabah Covid ini PAD menurun drastis. Dilihat sepintas, biaya FE itu tidaklah kecil? Tetapi, bukan juga angka yang akan “menyulitkan” keuangan Pemprov. Lagi pula harus diingat bahwa biaya 4.4 triliun itu adalah untuk penyelenggaraan selama 5 (lima) tahun, mulai tahun 2022. Kalau para anggota DPRD dari PDIP dan PSI hanya melihat biaya penyelenggaraan Formula E dengan kaca mata kuda, tentu terasa cukup besar. Namun, perlu ditengok pula aspek pendidikan lingkungan yang akan dihasilkannya. Jadi, penyelenggaraan Formula E tidak hanya sekadar menghadirkan balap internasional di Indonesia. Perhelatan ini merupakan “politik energi” Anies yang sangat diperlukan guna mendorong penggunaan kendaraan bebas polusi. Yaitu, kendaraan bertenaga listrik. Saudara-saudari dari PDIP dan PSI tak mungkin tidak paham tentang “clean energy” (energi bersih). Untuk sektor transportasi, mobil listrik adalah masa depan yang sedang disiapkan oleh semua negara maju di dunia. Indonesia tidak mungkin “asal ikut” saja dalam proses peralihan energi yang sangat krusial saat ini. Para pakar polusi memberikan peringatan bahwa seluruh dunia hanya punya waktu 10 tahun saja untuk pindah ke energi bersih sebelum terjadi “climate change” (perubahan iklim) yang sangat berbahaya. Kita semua, termasuk para politisi, hendaklah membaca persoalan besar yang bakal melanda manusia. Partisipasi Anies untuk mendorong penggunaan mobil listrik lewat Formula E, belum apa-apa dibandingkan invetasi besar negara-negara lain dalam upaya melenyapkan polusi. Terakhir, kepada bapak-ibu dari PDIP dan PSI di DPRD DKI. Marilah kita melihat lebih objektif dan jauh ke depan. Mungkin perlu ditinjau ulang. Apakah interpelasi yang Anda gagas untuk Formula E itu benar-benar bermotifkan kepentingan publik, atau karena masih ada luka Pilkada 2017? Semoga tidak![] (Penulis wartawan senior FNN)
Niat Pak Jokowi Sih Baik...
Oleh Ady Amar *) ADA saja ulah Presiden Jokowi yang tampak salah di mata mereka yang kerap mengkritisinya. Semua yang dilakukan dikesankan salah. Begini salah, begitu salah... segalanya lalu tampak salah. Apa memang benar-benar salah yang dilakukannya, atau itu cuma nyinyiran kaum yang memilih tempat tidak sejajar dengannya. Pak Jokowi masuk kampung ke luar kampung pun dikomentari, itu sih blusukan style yang dipilihnya, memastikan jalannya pelaksanaan vaksin di sebuah Kelurahan di Jakarta, eh kok malah dikatakan, itu sih kerjaan mantri kesehatan. Juga saat ninjau peternakan bebek di Kalimantan Tengah eh dikatakan, itu cara ia menghindar dari istana yang tengah dikepung para demonstran UU Cipta Kerja. Pokoknya Pak Jokowi terkesan salah terus, dan jadi bahan candaan. Mungkin tak ada presiden sebelum-sebelumnya yang dijadikan candaan melebihi Pak Jokowi. Tapi ya biasa sajalah wong namanya publik figur sekelas presiden, maka wajar jika sering ditiup angin kencang. Makin tinggi jabatan seseorang, maka goyangan angin akan semakin keras. Kebiasaan Pak Jokowi ini sepertinya memang suka mancing-mancing agar ada komen tidak sedap yang didapat. Mungkin harapnya, makin banyak yang nyinyir komen tidak wajar tentangnya, itu bisa meluruhkan dosa-dosanya. Makanya ia tampak mengulang hal yang sama dilakukan, yang lalu mengundang cibiran nyinyir banyak pihak, dan sepertinya itu nyinyiran para pihak yang bukan sembarang nyinyir. Itu bentuk protes yang sepantasnya. Mengulang hal yang sama pada waktu dan cara tidak tepat memang acap dilakukan Presiden Jokowi. Dan itu tampak kontradiktif. Tampaknya hal itu yang mengundang komen tidak sedap atasnya. Beberapa hari sebelumnya, Presiden Jokowi mengumumkan lanjutan PPKM, artinya pelarangan terhadap keramaian yang menciptakan kerumunan, tapi justru ia lagi-lagi yang menciptakan kerumunan. Saat kunjungan ke Cirebon Selasa (31 Agustus), Jokowi membagi-bagikan sembako, yang mengundang kerumunan massa saling dorong. Kesan yang ditampakkan Pak Jokowi itu memang bukan kesan yang baik, dan jika muncul komen nyinyir menyikapinya, itu konsekuensi atas sikapnya yang kontradiktif. Bagaimana mungkin bisa berkumpul sikap melarang dan melanggar sekaligus pada diri seseorang, dan itu dilakukan seorang Presiden. Melihat dari Teori Millon Niat Presiden Jokowi itu sih sebenarnya baik, tapi dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Dan bahkan masuk kategori salah. Kebiasaan mendatangi rakyat langsung dengan membagi-bagi sembako dan apalagi melempar-lempar bingkisan pada kerumunan, pada masa pandemi lagi, itu tentu bukan hal tepat bahkan masuk kategori pelanggaran. Keheranan kelompok yang biasa mengkritisinya, tampak wajar. Sikap Presiden Jokowi, yang di satu saat melarang kerumunan, tapi tetap berharap punya keistimewaan boleh melanggar larangan yang dibuatnya, itu hal aneh. Sepertinya, keinginan untuk melanggar itu bukan hal yang diniatkan, tapi jadi kebiasaan dan keasyikan tersendiri. Senang melihat orang berebutan, memang pada orang-orang tertentu jadi keasyikan tersendiri. Tidak salah jika lalu orang menyebut ada sikap yang salah yang dipunyai Presiden Jokowi dengan melempar-lemparkan bingkisan, itu seperti menghina akal sehat saja. Bukankah itu laku merendahkan dan bahkan bisa disebut penghinaan, meski tidak dimaksudkan demikian. Presiden Jokowi seolah ingin mengatakan, ini cara saya menghibur rakyat yang saya temui di jalan. Memangnya tidak ada cara lain bisa dilakukan, dengan tidak harus melempar-lempar bingkisan, yang bisa menyenangkan rakyat. Memang rakyat yang tengah terpuruk dan butuh sembako tidak akan pernah merasa risih diperlakukan demikian. Tapi akal sehat pastilah menolaknya. Melihat cara Presiden Jokowi mendekati rakyat, dengan memilih model yang menimbulkan kerumunan, dengan melempar-lempar bingkisan, itu sebenarnya bukan cuma membuat setidaknya orang yang menerima senang, tapi terutama justru membuat dirinya senang. Melihat tangkapan orang yang menerima lemparan bingkisan sambil berebutan, itu akan menyenangkan buatnya. Apalagi sampai adegan nyosop segala. Saya jadi teringat pada masa kanak-kanak dulu, dimana kawan sepermainan yang tergolong kaya dibanding yang lainnya, suka "menggarap" kawan lainnya dengan kelakuan tidak wajar. Tentu yang disasarnya kawan yang memang dari keluarga yang secara ekonomi benar-benar sulit... Ditraktir oleh kawan keluarga kaya tadi, tapi dengan tantangan makan rujak dengan lombok 25 biji. Kawan yang berharap bisa makan rujak tadi mengiyakan tantangan tadi. Dimakannya dengan lahap rujak itu dengan mulut yang menahan pedas dan dahi berpeluh, sampai habis sepiring beserta bumbu-bumbunya. Itu sesuai kesepakatan bahwa piring harus bersih mengkilap. Kawan yang mentraktir tadi senang melihat adegan itu, sambil tertawa-tawa lepas tanda puas. Seorang kawan bijak yang dalam segi usia lebih tua menasihati, mengapa mentraktir harus dengan cara tidak baik. Nasihat itu diabaikan, baik kawan yang mentraktir maupun yang ditraktir dengan memilih tidak menanggapinya. Bukannya lakunya itu berhenti, justru jumlah lomboknya ditingkatkan menjadi 30 biji dan seterusnya... tampaknya "menyiksa" itu jadi keasyikan tersendiri buatnya. Itu masa kanak-kanak, tentu kepribadian belum terbentuk sempurna, dan nilai-nilai agama belum tertanam dengan baik. Maka, kelakuan pada masa kanak-kanak itu bisa dimengerti, meski berharap saat ini tidak ada bullying anak-anak jadi model kenakalan dengan "menyiksa" pihak kawan lainnya. Teori Millon (Theodore Millon), salah satu di antara beberapa teori dalam ilmu kepribadian yang terkenal. Teori ini melihat kepribadian seseorang yang tidak wajar, dan menyimpulkan 14 macam kepribadian, yang itu bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar. Meski demikian, terjadi juga percampuran kepribadian pada seseorang, yang memiliki beberapa ragam kepribadian berbeda, dan itu tentu makin tidak wajar. Tiga kelompok besar, itu dikategorikan dalam kelompok A, B dan C. Kelompok A, disebut kelompok dengan kepribadian unik. Kelompok B, biasa disebut dengan kelompok berisik. Sedang kelompok C, disebut kelompok pendiam dan cenderung berada dalam kecemasan. Dari ke-14 jenis kepribadian, itu di antaranya adalah depresive, narsistik, antisocial, sadistic, negativistic, paranoid, schizoid, avodant, depressive, dependent, histrionik, compulsive, masochistik, dan schizotipal. Tidak tahu persis, saya dan Anda ada dikategori mana dalam teori Millon, dan tentu kepribadian Pak Jokowi juga ada di kelompok mana, itu bisa dilihat dari kepribadian tidak wajar yang cenderung dilakukan terus-menerus. Tapi tentu tidak boleh gegabah membuat kesimpulan, bahwa seseorang memiliki kepribadian tidak wajar, hanya melihat luarnya saja. Dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif, tentu itu tidak bisa dipukul rata. Tulisan ini tidak dimaksudkan menilai kepribadian seseorang, apalagi kepribadian seorang Presiden Jokowi, tapi lebih pada menjelaskan, bahwa niat baik saja untuk membantu, itu tidak cukup... apalagi dengan cara lempar-lempar bingkisan. Tentu itu tak elok dipandang mata... (*) *) Kolumnis
KPK Ayo Periksa Menteri Agama
By M Rizal Fadillah RAPAT Kerja Kemenag dengan Komisi VIII membongkar anggaran 21 Milyar untuk diseminasi pembatalan haji 2021. Benar apa yang dikemukakan anggota Fraksi Demokrat bahwa diseminasi tidak diperlukan apalagi dengan biaya Rp 21 Milyar. Publik termasuk jama'ah dengan pengumuman pembatalan saja sudah paham. Ada pandemi dan ada pula otoritas Saudi yang hingga saat itu tidak membuka visa haji. Lalu Rp 21 Milyar untuk apa? Mengumpulkan jama'ah juga tidak, baik di daerah maupun di pusat. Sayangnya Menteri Yaqut Cholil Qoumas tidak mengklarifikasi atas penggunaan dana tersebut di depan rapat Komisi VIII sehingga wajar jika kini muncul pertanyaan publik, terjadi korupsi kah? Dana haji yang besar memang rawan penyimpangan. Meskipun dana haji itu kini dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bukan berarti telah terjamin keamanan pemanfaatan. Saat muncul isu penggunaan untuk infrastruktur saja telah mengguncangkan jama'ah dan umat Islam. Perlu kejelasan Rp 21 Milyar yang digunakan untuk diseminasi pembatalan itu menggunakan dana apa dan untuk alokasi apa saja. Dibandingkan dengan korupsi trilyunan jumlah Rp 21 Milyar itu kecil, tetapi jika dengan puluh atau ratus juta maka itu sangat besar. Lagi pula korupsi itu tidaklah memandang besaran jumlah karena yang penting adanya kerugian negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perlu diselidiki apakah ada penyimpangan hukum dari kasus diseminasi ini? Ayo KPK atau Kejaksaan Agung periksa Menteri Agama. Pembatalan yang sudah jelas merugikan jama'ah ternyata kini terindikasi merugikan negara pula. Ke kantong dan rekening siapa saja dana itu mengalir? Bahaya jika begitu mudahnya uang rakyat digasak dengan mengatasnamakan kegiatan agama. Teringat saat Menteri Agama dulu Suryadarma Ali yang tersangkut kasus penggunaan dana haji hingga harus mendekam di penjara. Awalnya menganggap sama sekali tidak melakukan penyalahgunaan. Seluruhnya dilakukan sesuai prosedur. Akan tetapi setelah didalami oleh PPATK dan untuk kemudian KPK turun tangan, maka terbuktilah bahwa apa yang dilakukan Menteri Agama itu adalah keliru. Menteri melakukan tindak pidana korupsi. Komisi VIII DPR yang telah memulai mempertanyakan harus pula menindaklanjuti temuan ini, karena saat pertemuan terbuka dengan Menteri Agama Yaqut ternyata belum mendapat jawaban yang jelas dan memuaskan. Bila Menag meyakini dirinya bersih, maka ia dan jajarannya harus siap untuk diperiksa baik oleh PPATK, KPK, ataupun Kejaksaan Agung. Selamat bersih-bersih, Gus Yaqut. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Keterlaluan, Bully dan Pelecehan Seksual di KPI
By Asyari Usman SUNGGUH tak disangka, tak diduga. Kalau itu benar terjadi. Di satu lembaga bergengsi yang menggunakan intelektualitas sebagai ujung tombak tugasnya, diduga telah terjadi perbuatan yang sangat memalukan. Lembaga itu adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Perbuatan tercela yang diduga berlangsung bertahun-tahun di situ adalah perundungan (bullying), pelecehan seksual, penganiayaan dan penghinaan. Korbannya adalah seorang laki-laki yang berinisial MS. Kemarin, 1 September 2021, MS akhirnya melepaskan semua yang dipendamnya selama tujuh tahun. Dia membuat rilis media yang mirip surat terbuka. Ditujukannya rilis media itu kepada Presiden Jokowi dengan harapan bisa menolong agar dia mendapatkan keadilan. Benar-benar mencengangkan isi “curhat” MS itu. Dia dikeroyok oleh delapan orang staf KPI lainnya yang diduga melakukan perundungan, pelecehan, dan penganiayaan serta penghinaan terhadap dirinya. Menurut pengakuan MS, dia sangat terpukul. Diikuti oleh stress berat. Itu semua karena dia merasa tak berdaya untuk melawan keroyokan 8 (delapan) orang staf KPI itu. Wakil Ketua KPI, Mulyo Hadi Purnomo, menegaskan pimpinan KPI tidak akan mentoleransi perbuatan yang dialami MS. Korban akan diberi perlindungan hukum. Dan dia meminta agar penegak hukum menindaklanjuti klaim MS. Sikap awal KPI ini sangat tepat. Apalagi, MS harus mendekam dalam penderitaan selama tujuh tahun di tempat kerjanya sendiri. KPI adalah salah satu lembaga terhormat dengan tugas yang sangat terhormat pula. KPI bertugas memantau konten siaran televisi. Untuk mengawal agar tayangan televisi Indonesia tidak tercemar oleh pornografi, adegan kekerasan ekstrem, adegan-adegan SARA, dan konten-konten yang dapat merusak moral bangsa. Misi KPI adalah membangun watak dan jatidiri bangsa yang beriman dan bertakwa. Pastilah orang-orang yang bekerja di situ memiliki mentalitas yang terbaik. Mulai dari komisioner sampai ke jenjang terbawah sekali pun. Pastilah semua orang di KPI masuk dengan berbekal akal sehat dan pendidikan formal plus pendidikan moral. Sangatlah mengejutkan ketika ada seorang staf yang dirundung dan dilecehkan secara terus-menerus selama bertahun-tahun. Dan tanpa ada tindakan apa pun dari struktur organisasi KPI. MS pernah melaporkan penderitaannya itu ke kepolisian. Namun, petugas kepolisian di Jakarta Pusat cenderung anggap enteng. Korban malah disarankan melapor ke atasannya. Padahal, tidak ada keharusan suatu dugaan tindak pidana harus dilaporkan ke atasan lebih dulu. Polisi menolak, kata MS. MS menuruti saran Pak Polisi. Dia menceritakan penderitaannya kepada atasan di KPI. Tapi, atasan hanya memindahkan MS ke ruangan kerja lain yang diasumsikan dihuni oleh orang-orang baik. Sangat mengherankan mengapa si atasan tidak mengambil tindakan yang lebih serius untuk melindungi MS. Padahal, korban menceritakan semuanya kepada Pak Atasan. Termasuk menyebutkan nama-nama delapan (8) staf yang membully, melecehkan dan menganiaya. Kali kedua, pada 2020, MS mengadu lagi ke kepolisian. Tetapi, kata dia, petugas malah meminta nomor-nomor telefon pelaku agar Pak Petugas bisa menelefon langsung para terduga pelaku perbuatan tak bermoral itu. MS harus bisa mendapatkan keadilan dari penderitaannya itu. Sebaliknya, para terduga pelaku harus dihukum pidana sesuai dengan dugaan kejahatan yang mereka lakukan. Di atas itu semua, orang-orang seperti ini tidak layak melanjutkan pekerjaan mereka di KPI. KPI adalah lembaga yang mengemban tugas untuk menjaga moralitas bangsa. Kedelapan orang yang mengeroyok MS akan menjadi beban KPI jika mereka terus diberikan keistimewaan. Jika penyelidikan penegak hukum membuktikan kesalahan delapan orang itu, mereka tidak lagi layak menyandang atribut KPI. Mereka tidak punya tempat lagi di lembaga yang terhormat ini.[] 2 September 2021 (Penulis wartawan senior)
Koalisi Obesitas
Oleh Ady Amar OBESITAS itu kegemukan yang berlebihan, pastilah tidak nyaman dipandang mata. Bagi yang bersangkutan merasa terbebani dengan overweight-nya. Bahkan bisa menjadi sumber berbagai penyakit. Semua ingin menghindarinya, berupaya "memerangi" dengan berbagai cara, guna mencapai tubuh proporsional. Tapi bagi rezim penguasa, koalisi politik dibuat mayoritas, dan itu penguasaan parlemen, bahkan dibuat gemuk, atau pantas disebut koalisi obesitas. Pada tubuh seseorang obesitas itu musuh, tapi justru itu diadopsi penguasa, dan itu pastilah memperlemah oposisi. Koalisi obesitas itu melemahkan demokrasi, itu pernyataan tidak salah. Tentu jika koalisi dimaknai hanya untuk kepentingan memuluskan kebijakan-kebijakan yang sampai pada tingkat tidak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Partai politik pun yang tergabung dalam koalisi, yang memuluskan kebijakan bagi kalangan tertentu, itu sama dengan bekerja bukan pada kepentingan rakyat yang diwakilinya. Koalisi mayoritas yang bukan ditujukan pada kepentingan rakyat, itu sama dengan perselingkuhan tidak sah pada tujuan konsep negara modern, yang fungsinya jelas diatur pada tataran legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perselingkuhan dalam konsep negara modern itu lebih pada kooptasi eksekutif atas legislatif bahkan atas yudikatif, sehingga peran utama legislatif pada check and balance tereduksi pada kepentingan eksekutif. Peran legislatif dengan sendirinya melemah. Pun peran yudikatif acap diselingkuhi kepentingan eksekutif. Politik menjelma jadi panglima, bukan lagi hukum. Maka istilah negara hukum, itu hanya sebatas teori ideal jauh panggang dari api. Semua dibuat jadi mungkin dengan adanya koalisi obesitas, yang merujuk pada penguasaan parlemen (legislatif) oleh eksekutif. Maka semua keinginan eksekutif/pemerintah akan mudah diwujudkan, dan itu atas persetujuan mayoritas parlemen yang telah dikuasai. Koalisi obesitas itu lebih pada bagi-bagi kue kekuasaan eksekutif pada legislatif, yang itu diwakili oleh partai politik yang tergabung dalam koalisi. Maka partai politik jadi rebutan, didekati atau bahkan mendekati penguasa yang sedang berkuasa (eksekutif). Semacam simbiosis mutualisme dimana kepentingan antara partai politik dan penguasa tidak dapat dihindari. Suara rakyat hanya diperebutkan saat pemilihan legislatif (Pileg) lima tahunan. Rakyat memilih figur tertentu, dan hanya sampai disitu. Setelah itu figur-figur yang terpilih diikat oleh partai politik. Maka suara pemilih di-take over oleh kebijakan partai politik, menjadi kepentingan partai politik, yang seolah bekerja untuk kepentingan rakyat, yang itu hal mustahil bisa diwujudkan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat, tapi setelah itu bekerja untuk partai politik. Kekuatan partai politik seolah lebih besar dibanding suara rakyat yang memilihnya. Sebuah paradoks eksistensial ditampakkan. Memuluskan Amandemen Demokrasi itu suara rakyat, bukan suara partai politik. Tapi saat ini menjadi sebaliknya, seolah suara rakyat itu diwakili partai politik, yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Kepentingan partai politik tidak identik dengan apa yang dikehendaki rakyat, tapi lebih pada kepentingan elit partai politik yang melebur menjadi bagian dari partai penguasa. Maka kepentingan penguasa untuk menguasai parlemen itu diikhtiarkan dengan koalisi obesitas. Makin gemuk makin seksi buat penguasa guna mewujudkan kepentingannya. Tidak dicukupkan 50 % plus 1, itu mayoritas. Koalisi yang dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mutlak menguasi parlemen. Sudah 427 kursi dikuasai, dan itu sama dengan 74% suara parlemen. Koalisi penguasa yang terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP. Apakah dicukupkan 74 % itu saja penguasaan rezim atas parlemen. Rasanya tidak, justru ingin dibuat koalisi lebih obesitas, makin gemuk makin seksi, jika ingin sekaligus menguasai mayoritas suara MPR yang 2/3 itu. Maka diundanglah partai lain, yang bisa mencapai ukuran ideal, dan itu terbaca, yang tidak lain guna tujuan amandemen UUD 1945. Maka pendatang baru yang dipinang masuk dalam barisan koalisi adalah PAN. Dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan ketua umum dan Sekjen partai koalisi, PAN diundang. Tampak dengan suka cita PAN menyambutnya. Sebentar lagi dimungkinkan ada reshufle kabinet, itu agar PAN dapat juga kecipratan kuenya. Apakah dengan bergabungnya PAN itu angka 2/3 suara mayoritas MPR itu sudah tercapai. Ternyata belum cukup, kurang 3 kursi lagi. Dan itu bisa diambilkan dari suara DPD, dan itu perkara mudah. Maka dengan 2/3 suara partai penguasa, maka amandemen UUD 1945 pastilah akan mulus tanpa hambatan. Pasal-pasal yang dikehendaki untuk adanya perubahan akan dengan mudah dicapai. Jabatan Presiden bisa dibuat 3 (tiga) periode, atau setidaknya lama jabatan Presiden akan ditambah beberapa tahun, dan itu karena kerja Presiden tidak efektif disebabkan pandemi Covid-19. Koalisi obesitas ini pantas diibaratkan dengan tubuh seseorang yang mengalami obesitas. Sama-sama buruk, bahkan dampak dari koalisi obesitas, itu lebih buruk dari seluruh negeri yang warganya mengalami obesitas. Inilah demokrasi semu menuju rezim totaliter, yang bekerja tidak untuk kepentingan rakyat... Wallahu a'lam. *) Kolumnis