Niat Pak Jokowi Sih Baik...

Oleh Ady Amar *)

ADA saja ulah Presiden Jokowi yang tampak salah di mata mereka yang kerap mengkritisinya. Semua yang dilakukan dikesankan salah. Begini salah, begitu salah... segalanya lalu tampak salah. Apa memang benar-benar salah yang dilakukannya, atau itu cuma nyinyiran kaum yang memilih tempat tidak sejajar dengannya.

Pak Jokowi masuk kampung ke luar kampung pun dikomentari, itu sih blusukan style yang dipilihnya, memastikan jalannya pelaksanaan vaksin di sebuah Kelurahan di Jakarta, eh kok malah dikatakan, itu sih kerjaan mantri kesehatan. Juga saat ninjau peternakan bebek di Kalimantan Tengah eh dikatakan, itu cara ia menghindar dari istana yang tengah dikepung para demonstran UU Cipta Kerja.

Pokoknya Pak Jokowi terkesan salah terus, dan jadi bahan candaan. Mungkin tak ada presiden sebelum-sebelumnya yang dijadikan candaan melebihi Pak Jokowi. Tapi ya biasa sajalah wong namanya publik figur sekelas presiden, maka wajar jika sering ditiup angin kencang. Makin tinggi jabatan seseorang, maka goyangan angin akan semakin keras.

Kebiasaan Pak Jokowi ini sepertinya memang suka mancing-mancing agar ada komen tidak sedap yang didapat. Mungkin harapnya, makin banyak yang nyinyir komen tidak wajar tentangnya, itu bisa meluruhkan dosa-dosanya.

Makanya ia tampak mengulang hal yang sama dilakukan, yang lalu mengundang cibiran nyinyir banyak pihak, dan sepertinya itu nyinyiran para pihak yang bukan sembarang nyinyir. Itu bentuk protes yang sepantasnya.

Mengulang hal yang sama pada waktu dan cara tidak tepat memang acap dilakukan Presiden Jokowi. Dan itu tampak kontradiktif. Tampaknya hal itu yang mengundang komen tidak sedap atasnya.

Beberapa hari sebelumnya, Presiden Jokowi mengumumkan lanjutan PPKM, artinya pelarangan terhadap keramaian yang menciptakan kerumunan, tapi justru ia lagi-lagi yang menciptakan kerumunan. Saat kunjungan ke Cirebon Selasa (31 Agustus), Jokowi membagi-bagikan sembako, yang mengundang kerumunan massa saling dorong.

Kesan yang ditampakkan Pak Jokowi itu memang bukan kesan yang baik, dan jika muncul komen nyinyir menyikapinya, itu konsekuensi atas sikapnya yang kontradiktif. Bagaimana mungkin bisa berkumpul sikap melarang dan melanggar sekaligus pada diri seseorang, dan itu dilakukan seorang Presiden.

Melihat dari Teori Millon

Niat Presiden Jokowi itu sih sebenarnya baik, tapi dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Dan bahkan masuk kategori salah. Kebiasaan mendatangi rakyat langsung dengan membagi-bagi sembako dan apalagi melempar-lempar bingkisan pada kerumunan, pada masa pandemi lagi, itu tentu bukan hal tepat bahkan masuk kategori pelanggaran.

Keheranan kelompok yang biasa mengkritisinya, tampak wajar. Sikap Presiden Jokowi, yang di satu saat melarang kerumunan, tapi tetap berharap punya keistimewaan boleh melanggar larangan yang dibuatnya, itu hal aneh. Sepertinya, keinginan untuk melanggar itu bukan hal yang diniatkan, tapi jadi kebiasaan dan keasyikan tersendiri. Senang melihat orang berebutan, memang pada orang-orang tertentu jadi keasyikan tersendiri.

Tidak salah jika lalu orang menyebut ada sikap yang salah yang dipunyai Presiden Jokowi dengan melempar-lemparkan bingkisan, itu seperti menghina akal sehat saja. Bukankah itu laku merendahkan dan bahkan bisa disebut penghinaan, meski tidak dimaksudkan demikian.

Presiden Jokowi seolah ingin mengatakan, ini cara saya menghibur rakyat yang saya temui di jalan. Memangnya tidak ada cara lain bisa dilakukan, dengan tidak harus melempar-lempar bingkisan, yang bisa menyenangkan rakyat. Memang rakyat yang tengah terpuruk dan butuh sembako tidak akan pernah merasa risih diperlakukan demikian. Tapi akal sehat pastilah menolaknya.

Melihat cara Presiden Jokowi mendekati rakyat, dengan memilih model yang menimbulkan kerumunan, dengan melempar-lempar bingkisan, itu sebenarnya bukan cuma membuat setidaknya orang yang menerima senang, tapi terutama justru membuat dirinya senang. Melihat tangkapan orang yang menerima lemparan bingkisan sambil berebutan, itu akan menyenangkan buatnya. Apalagi sampai adegan nyosop segala.

Saya jadi teringat pada masa kanak-kanak dulu, dimana kawan sepermainan yang tergolong kaya dibanding yang lainnya, suka "menggarap" kawan lainnya dengan kelakuan tidak wajar. Tentu yang disasarnya kawan yang memang dari keluarga yang secara ekonomi benar-benar sulit...

Ditraktir oleh kawan keluarga kaya tadi, tapi dengan tantangan makan rujak dengan lombok 25 biji. Kawan yang berharap bisa makan rujak tadi mengiyakan tantangan tadi. Dimakannya dengan lahap rujak itu dengan mulut yang menahan pedas dan dahi berpeluh, sampai habis sepiring beserta bumbu-bumbunya. Itu sesuai kesepakatan bahwa piring harus bersih mengkilap.

Kawan yang mentraktir tadi senang melihat adegan itu, sambil tertawa-tawa lepas tanda puas. Seorang kawan bijak yang dalam segi usia lebih tua menasihati, mengapa mentraktir harus dengan cara tidak baik. Nasihat itu diabaikan, baik kawan yang mentraktir maupun yang ditraktir dengan memilih tidak menanggapinya. Bukannya lakunya itu berhenti, justru jumlah lomboknya ditingkatkan menjadi 30 biji dan seterusnya... tampaknya "menyiksa" itu jadi keasyikan tersendiri buatnya.

Itu masa kanak-kanak, tentu kepribadian belum terbentuk sempurna, dan nilai-nilai agama belum tertanam dengan baik. Maka, kelakuan pada masa kanak-kanak itu bisa dimengerti, meski berharap saat ini tidak ada bullying anak-anak jadi model kenakalan dengan "menyiksa" pihak kawan lainnya.

Teori Millon (Theodore Millon), salah satu di antara beberapa teori dalam ilmu kepribadian yang terkenal. Teori ini melihat kepribadian seseorang yang tidak wajar, dan menyimpulkan 14 macam kepribadian, yang itu bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar. Meski demikian, terjadi juga percampuran kepribadian pada seseorang, yang memiliki beberapa ragam kepribadian berbeda, dan itu tentu makin tidak wajar.

Tiga kelompok besar, itu dikategorikan dalam kelompok A, B dan C. Kelompok A, disebut kelompok dengan kepribadian unik. Kelompok B, biasa disebut dengan kelompok berisik. Sedang kelompok C, disebut kelompok pendiam dan cenderung berada dalam kecemasan.

Dari ke-14 jenis kepribadian, itu di antaranya adalah depresive, narsistik, antisocial, sadistic, negativistic, paranoid, schizoid, avodant, depressive, dependent, histrionik, compulsive, masochistik, dan schizotipal.

Tidak tahu persis, saya dan Anda ada dikategori mana dalam teori Millon, dan tentu kepribadian Pak Jokowi juga ada di kelompok mana, itu bisa dilihat dari kepribadian tidak wajar yang cenderung dilakukan terus-menerus.

Tapi tentu tidak boleh gegabah membuat kesimpulan, bahwa seseorang memiliki kepribadian tidak wajar, hanya melihat luarnya saja. Dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif, tentu itu tidak bisa dipukul rata.

Tulisan ini tidak dimaksudkan menilai kepribadian seseorang, apalagi kepribadian seorang Presiden Jokowi, tapi lebih pada menjelaskan, bahwa niat baik saja untuk membantu, itu tidak cukup... apalagi dengan cara lempar-lempar bingkisan. Tentu itu tak elok dipandang mata... (*)

*) Kolumnis

378

Related Post