Keterlaluan, Bully dan Pelecehan Seksual di KPI

By Asyari Usman

SUNGGUH tak disangka, tak diduga. Kalau itu benar terjadi. Di satu lembaga bergengsi yang menggunakan intelektualitas sebagai ujung tombak tugasnya, diduga telah terjadi perbuatan yang sangat memalukan.

Lembaga itu adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Perbuatan tercela yang diduga berlangsung bertahun-tahun di situ adalah perundungan (bullying), pelecehan seksual, penganiayaan dan penghinaan. Korbannya adalah seorang laki-laki yang berinisial MS.

Kemarin, 1 September 2021, MS akhirnya melepaskan semua yang dipendamnya selama tujuh tahun. Dia membuat rilis media yang mirip surat terbuka. Ditujukannya rilis media itu kepada Presiden Jokowi dengan harapan bisa menolong agar dia mendapatkan keadilan.

Benar-benar mencengangkan isi “curhat” MS itu. Dia dikeroyok oleh delapan orang staf KPI lainnya yang diduga melakukan perundungan, pelecehan, dan penganiayaan serta penghinaan terhadap dirinya.

Menurut pengakuan MS, dia sangat terpukul. Diikuti oleh stress berat. Itu semua karena dia merasa tak berdaya untuk melawan keroyokan 8 (delapan) orang staf KPI itu.

Wakil Ketua KPI, Mulyo Hadi Purnomo, menegaskan pimpinan KPI tidak akan mentoleransi perbuatan yang dialami MS. Korban akan diberi perlindungan hukum. Dan dia meminta agar penegak hukum menindaklanjuti klaim MS.

Sikap awal KPI ini sangat tepat. Apalagi, MS harus mendekam dalam penderitaan selama tujuh tahun di tempat kerjanya sendiri.

KPI adalah salah satu lembaga terhormat dengan tugas yang sangat terhormat pula. KPI bertugas memantau konten siaran televisi. Untuk mengawal agar tayangan televisi Indonesia tidak tercemar oleh pornografi, adegan kekerasan ekstrem, adegan-adegan SARA, dan konten-konten yang dapat merusak moral bangsa. Misi KPI adalah membangun watak dan jatidiri bangsa yang beriman dan bertakwa.

Pastilah orang-orang yang bekerja di situ memiliki mentalitas yang terbaik. Mulai dari komisioner sampai ke jenjang terbawah sekali pun. Pastilah semua orang di KPI masuk dengan berbekal akal sehat dan pendidikan formal plus pendidikan moral.

Sangatlah mengejutkan ketika ada seorang staf yang dirundung dan dilecehkan secara terus-menerus selama bertahun-tahun. Dan tanpa ada tindakan apa pun dari struktur organisasi KPI.

MS pernah melaporkan penderitaannya itu ke kepolisian. Namun, petugas kepolisian di Jakarta Pusat cenderung anggap enteng. Korban malah disarankan melapor ke atasannya. Padahal, tidak ada keharusan suatu dugaan tindak pidana harus dilaporkan ke atasan lebih dulu. Polisi menolak, kata MS.

MS menuruti saran Pak Polisi. Dia menceritakan penderitaannya kepada atasan di KPI. Tapi, atasan hanya memindahkan MS ke ruangan kerja lain yang diasumsikan dihuni oleh orang-orang baik.

Sangat mengherankan mengapa si atasan tidak mengambil tindakan yang lebih serius untuk melindungi MS. Padahal, korban menceritakan semuanya kepada Pak Atasan. Termasuk menyebutkan nama-nama delapan (8) staf yang membully, melecehkan dan menganiaya.

Kali kedua, pada 2020, MS mengadu lagi ke kepolisian. Tetapi, kata dia, petugas malah meminta nomor-nomor telefon pelaku agar Pak Petugas bisa menelefon langsung para terduga pelaku perbuatan tak bermoral itu.

MS harus bisa mendapatkan keadilan dari penderitaannya itu. Sebaliknya, para terduga pelaku harus dihukum pidana sesuai dengan dugaan kejahatan yang mereka lakukan. Di atas itu semua, orang-orang seperti ini tidak layak melanjutkan pekerjaan mereka di KPI.

KPI adalah lembaga yang mengemban tugas untuk menjaga moralitas bangsa. Kedelapan orang yang mengeroyok MS akan menjadi beban KPI jika mereka terus diberikan keistimewaan.

Jika penyelidikan penegak hukum membuktikan kesalahan delapan orang itu, mereka tidak lagi layak menyandang atribut KPI. Mereka tidak punya tempat lagi di lembaga yang terhormat ini.[]

2 September 2021

(Penulis wartawan senior)

394

Related Post