OPINI
Rocky Gerung Meraung, Penguasa Limbung
Oleh: Yusuf Blegur Rocky Gerung dalam persoalan dengan PT Sentul City Tbk. Secara substansi menghadapi cara-cara yang bukan saja jauh dari akal sehat. Penuh kebencian, dendam dan kedzoliman kekuasaan yang tidak mampu menunjukkan sedikitpun sifat-sifat kepemimpinan yang humanis, adil dan beradab. Menggunakan aparat keamanan, sesama anak bangsa hingga korporasi dan pengusaha kakap. Selain faktor ekonomi tentunya, mereka terkadang ditempatkan untuk terus menciptakan dan memelihara konflik. Membuktikan hanya itu yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan setiap persoalan bangsa. Kritik yang harusnya dilihat sebagai upaya memperbaiki dan membangun pemerintahan yang bersih dan sehat. Dimata pemerintah selalu dilihat sebagai upaya mengganggu kepentingan dan menghancurkan kelanggengan kekuasaan. Sebagai seorang filsuf, tidak banyak yang mau keluar dari kedalaman ruang-ruang kontemplasi batin, psikologis dan pemikiran semata. Pengecualian salah satunya ada pada Rocky Gerung yang kuat dalam wilayah konseptual dan praksis. Tidak sekedar menguasai ilmu filsafat dan pendidikan, ia juga kritis dan konsen melakukan advokasi sosial. Selain mengambil sikap dan pemikirian yang oposisional terhadap rezim Jokowi. Rocky Gerung kerapkali menelanjangi distorsi pemerintahan, perilaku sakit dan menyimpang para pejabat. Seiring waktu Rocky Gerung berlimpah simpati dan empati dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Dilain sisi ia termasuk salah satu sosok yang paling dibenci oleh rezim Jokowi dan pasukan buzzernya di republik ini. Saking tidak bisa diatur dan ditaklukan oleh kekuasan seperti Imam Besar Habib Rizieq Syihab. Rocky Gerung kini mulai dijahili, target mulai ditetapkan dan dibidik oleh 'senjata' penguasa. Baik Habib Rizieq Syihab maupun Rocky Gerung, keduanya kini telah menjadi 'Enemy Of The State'. Tokoh-tokoh yang menjadi simbol perlawanan rakyat dan tentunya, menjadi korban represi dan kedzoliman penguasa seperti yang lainnya. Kasus kepemilikan dan penguasaan tanah bangunan antara Rocky Gerung dengan PT. Sentul City Tbk. Seperti menjadi triger bagi Rocky Gerung yang sering mengusik Jokowi dan pengekor kekuasaannya. Begitu juga bagi pemerintah, karena sudah dianggap mengusik, memprovokasi dan mengancam kepentingan kekuasaan. Maka perlu melakukan "shock therapy" untuk dosen UI yang narasinya sarat pencerahan. Penulis dalam hal ini tidak akan mengangkat persoalan teknis seputar masalah Rocky Gerung dan PT. Sentul City Tbk. Apalagi terkait kepemilikan dan penguasaan tanah bangunan, PT Sentul City Tbk. juga berhadapan dengan banyak warga sekitarnya. Hampir 6000 warga dari ratusan KK berhadapan dengan PT. Sentul City Tbk. terkait persoalan yang sama. Sebagai contoh empiris soal kasus tanah. Penulis pernah melakukan pendampingan dan advokasi upaya penggusuran oleh sebuah hotel ternama pada seorang warga yang telah menggarap tanah fasum-fasos milik Kementerian PUPR untuk usaha produktif yang secara turun-temurun digeluti oleh keluarganya dibilangan Kota Bekasi. Pengusaha itu mengincar lahan bukan miliknya yang ada didepan lahan yang akan dibangun hotel. Secara sewenang-wenang dan represif, Hotel besar itu mencoba mencaplok lahan garapan yang sama sekali bukan haknya. Bahkan pengusaha yang hotelnya ada di beberapa kota itu, melakukan kapitalisasi upaya penggusuran dengan melibatkan preman, satpol PP, dan aparat keamanan lainnya dengan dalih penataan lingkungan dan taman kota. Dari salah satu pendampingan dan advokasi penulis pada kasus itu. Serta banyak lagi pengalaman penulis pada kasus yang sama terkait penggusuran, perampasan, dan penggelapan tanah yang umumnya dilakukan oleh mafia tanah berkedok pengusaha. Penulis menyadari dan sampai pada satu konklusi, bahwasanya sering terjadi, rakyat kehilangan hak dan kedaulatan atas tanah dan bangunan miliknya. Banyak faktor yang memicunya. Antara lain keawaman masyarakat, faktor ekonomi, lemahnya perlindungan birokrasi dan regulasi terhadap kepemilikan aset baik tanah maupun rumah milik warga maupun pemerintah. Namun dari beberapa sebab, faktor dominan yang menyebabkan kehilangan hak tanah bangunan masyarakat itu adalah permainan mafia tanah di Indonesia. Mereka cenderung bersekongkol dan atau atas nama perusahaan, memanfaatkan preman dan korupnya oknum institusi pemerintahan. Sehingga masalah yang menimpa Rocky Gerung ini menjadi menarik, penting dan strategis bagi upaya pemenuhan hak dan kedaulatan rakyat atas tanah dan bangunannya secara umum. Harus kita akui dalam soal itu pemerintah tak tinggal diam. Program Proyek Nasional (Prona), yang di era Jokowi berganti menjadi Program Tanah Sistematika Langsung (PTSL). Merupakan upaya mereduksi eksistensi mafia tanah, penertiban sertifikasi dan upaya pemasukan kas negara via pajak tanah bangunan. Namun sejauh ini masih jauh dari maksimal. Selain lebih banyak dimanfaatkan oleh borjuasi korporasi besar untuk meluaskan aset dan usahanya seperti perkebunan dan tambang di daerah. Program PTSL hanya membesarkan pengusaha kelas kakap yang membayar murah sertifikat hamparan tanah luasnya. Pemerintah justru melegalisasi aset tanah pengusaha berbasis konglomerasi. Hanya tanah-tanah kecil dan sedikit yang sertifikatnya menyentuh masyarakat kecil. Mirisnya program PTSL yang dibranding pemerintah dengan pembagian sertifikat gratis itu. Faktanya, masyarakat di beberapa daerah tetap menerima program sertifikat tanah itu berbayar, terlepas ada oknum birokrasi yang bermain. Mendesak Revolusi Agraria Kembali ke soal Rocky Gerung dan PT. Sentul City Tbk. yang didalamnya duduk pejabat pemerintahan atau mantan aparat birokrasi. Setidaknya duduk di komisaris atau direksi. Hal yang sama yang bisa ditemui bukan saja pada BUMN namun juga ada banyak korporasi swasta bonafid yang kapitalistik dan berpengaruh pada ekonomi masyarakat. Dalam hal ini ada Basaria Panjaitan sosok perempuan mantan petinggi KPK dan Polri menjabat komisaris di PT. Sentul Tbk. Masalah Rocky Gerung bukan sekedar masalah tanah bangunan miliknya. Lebih dari itu, ia menjadi persoalan politik dan keadilan hukum baik bagi pribadi dan rakyat pada umumnya. Konflik Rocky Gerung dan PT. Sentul City merupakan polarisasi dari sikap rezim Jokowi yang anti kritik. Kekuasaan gagal menyalurkan ekspresi dan kontemplasi yang sehat dari dinamika demokrasi. Publik kebangetan sering melihat pembungkaman suara dan aspirasi yang dilakukan rezim. Bahkan Jokowi yang manis kata-katanya dan lembut bersahaja sikapnya. Tak mampu menyembunyikan tindakan politik yang dinilai khalayak kotor dan keji dari pemerintahannya. Sebagai pemimpin yang dianggap berpihak pada rakyat kecil, Jokowi malah terus membiarkan sindikasi birokrasi, politisi dan pengusaha hitam, membersihkan dan melenyapkan tuntas, hak dan suara rakyat. Pada akhirnya, publik hanya bisa melihat bahwasanya Masalah Rocky Gerung dengan PT. Sentul City merupakan bagian dari tradisi keangkuhan dan penindasan para pemilik modal yang bersekongkol dengan penguasa. Rakyat hanya bisa diam dan parah menerima, meski dengan perlawanan yang terhenti. Bagi rakyat hanya ada luka dalam dada. Amarah yang tersekat dan tangis yang tersembunyi. Untuk Rocky Gerung, tetaplah menjadi manusia yang manusiawi. Tetap bersuara tanpa atap, tetap kritis tanpa dinding pelindung. Berdiri tegak di atas tanah tanpa bangunan. Mengadu dan berdoa menembus langit berdialog dengan Tuhan. Sang pemilik sejati tanah, bumi dan langit dunia. Saatnya menanam benih-benih revolusi agraria. Menunggu menuai Kedaulatan rakyat atas tanah. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.
BIN Menyusup Ke Taliban, Hacker China Menyusup Ke BIN
By Asyari Usman MENDENGAR berita server Badan Intelijen Negara (BIN) diretas oleh “hacker” China dari Mustang Panda Group, langsung teringat cerita tentang BIN menyusup ke Taliban. Apa iya bisa diretas? Bukankah BIN yang sebetulnya sangat lihai “meretas” sampai ke Taliban dan berbagai kelompok perlawanan di negara-negara lain? Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto awal bulan ini (1/9/2021) mengatakan bahwa penyusupan ke Taliban itu berhasil mencegah perang Afghanistan meluas ke Indonesia. Tentu saja ini merupakan kerja dan kinerja BIN yang sangat luar biasa. Sebab, tidak mudah menyusupi Taliban. Dinas-dinas rahasia negara besar tidak ada yang bisa bertahan di lingkungan Taliban. Rusia, hengkang. Amerika Serikat (AS), angkat kaki. Inggris dan Prancis, tak pernah bisa. Hanya BIN yang mampu melancarkan misi berat menginfiltrasi (“meretas”) Taliban. Pantas mendapatkan apresisasi. Sayangnya, legenda penyusupan ke Taliban itu sekarang ternoda akibat pembobolan server BIN oleh “hacker” China. Kok bisa? Bagaimana mungkin BIN yang terkenal piawai menyusup ke banyak kelompok perlawanan, diretas oleh hacker China? Sangat tak masuk akal. Dan, barangkali, karena tak masuk akal itulah kemudian Pak Wawan membantah server BIN diretas. Kelihatannya beliau tak ikhlas kalau disebut ada hacker China yang menyusup ke BIN. “Hingga saat ini, server BIN masih dalam kondisi aman terkendali dan tidak terjadi ‘hack’ sebagaimana isu yang beredar bahwa server BIN diretas hacker asal China,” ujar Wawan seperti ditulis oleh sejumlah media online. Deputi VII ini ingin meyakinkan publik bahwa infrastruktur digital BIN sangat tangguh. Jadi, kalau tempo hari Anda mendengar berita tentang server Departemen Pertahanan AS, Departemen Luar Negeri AS, Departemen Keuangan AS, Departemen Perdagangan AS, dll, diretas oleh para hacker asing, berarti ketahanan siber di Amerika sangat lemah. Kalah kuat dengan server BIN yang tetap aman terkendali seperti kata Pak Wawan Purwanto. Bantahan Pak Wawan tentang hacker China membobol server BIN, patut dipercayai sebagai upaya normatif untuk menjaga gengsi. Namun, yang dipahami publik hari ini adalah “BIN menyusup ke Taliban, hacker China Menyusup ke BIN”.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Dalam Kasus Sentul City VS Rocky Gerung: Mafia Tanah dan Hukum Akan Bermain
Oleh Tjahja Gunawan KASUS sengketa tanah antara PT Sentul City Tbk dengan Rocky Gerung ibarat fenomena gunung es. Di tempat lain, sudah banyak terjadi sengketa antara pengembang dengan rakyat biasa. Dalam setiap kasus tersebut, rakyat selalu dikalahkan pihak korporasi karena perusahaan mampu menyelesaikan setiap sengketa tanah dengan kekuatan uang yang dimilikimya. Dalam menyelesaikan setiap kasus sengketa lahan, sejumlah perusahaan pengembang besar, bahkan bisa "membeli" oknum pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian menyogok oknum aparat di kepolisian, kejaksaan hingga oknum pejabat di pemda dan pejabat desa. "Kerja mereka sudah sistematis. Pembagian 'kue' nya sudah dipersiapkan dengan rapih hingga kasusnya tuntas. Sehingga kalau ada pejabat yang berusaha idealis menegakan aturan di bidang pertanahan kerap dianggap sebagai ganjalan yang harus disingkirkan," kata seorang pejabat senior di BPN Pusat dalam perbincangan dengan penulis akhir pekan lalu. Menurut pejabat tersebut, kasus yang dialami Rocky Gerung dengan PT Sentul City juga banyak terjadi di tempat lain yang melibatkan rakyat biasa. Namun jarang terekspose media dan rakyat yang bersengketa dengan pengembang besar itu selalu dikalahkan. Lalu pejabat senior BPN ini memberi contoh kasus gurunya yang berperkara dengan pengembang besar yang membangun kawasan perumahan menengah atas di daerah perbatasan Jakarta dengan Kota Tangerang Selatan. Ujung sengketa tersebut, guru tersebut kalah dan harus rela kehilangan tanahnya seluas 6.000 M2. Jika oknum pejabat dan aparat yang terkait dengan masalah pertanahan sudah bisa dikuasai, pengembang besar seperti Sentul City bisa melakukan langkah apapun untuk menguasai lahan yang dikehendakinya termasuk menggusur lahan yang telah dikuasai penduduk di daerah Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun demikian, meskipun saat ini alat berat becho sudah nongkrong tidak jauh dari kediaman Rocky Gerung, tapi pihak Sentul City belum berani menggusur rumah milik tokoh oposisi ini. Padahal, dalam surat somasi kedua yang dilayangkan awal Agustus 2021, pihak Sentul City telah memberi batas waktu 7X24 jam kepada Rocky Gerung untuk mengosongkan dan membongkar sendiri rumahmya. "Kami sudah memberi jawaban atas surat somasi yang dilayangkan PT Sentul City, " kata Haris Azhar, pengacara Rocky Gerung dalam dialog yang ditayangkan Channel YouTube Refly Harun. Walaupun surat tanah yang dimiliki Rocky Gerung baru berupa akte jual beli dengan penduduk penggarap, Haris Azhar menegaskan tidak berarti dasar hukumnya lemah. Rocky Gerung sudah melalukan transaksi jual beli secara sah dan menguasai secara fisik tanahnya seluas 800 M² sejak tahun 2009. Tidak hanya itu, Rocky Gerung juga telah menjaga keseimbangan lingkungan di lahan yang dikuasainya itu. Dia sengaja menanam berbagai jenis pohon dari semula tingginya 20 senti sekarang sudah 20 meter. Rocky juga telah membangun rumahnya dengan tetap menjaga kontur tanah. Walaupun misalnya nanti kasus sengketa tanah di Sentul City ini dibawa ke pengadilan, tidak menjamin warga yang telah lama tinggal dan menggarap lahan di sana bisa memenangkan perkara tersebut. Sebab mafia tanah dan mafia hukum, dipastikan akan ikut bermain dan berkolusi dengan Sentul City sebagai pemilik modal. Yang bersengketa dengan Sentul City, ternyata tidak hanya Rocky Gerung. Tapi juga ada sebanyak 90 keluarga atau 6.000 orang lainnya. Penduduk di Desa Bojong Koneng tersebut diancam digusur Sentul City. Jika tanah yang sekarang ditempati Rocky Gerung dan penduduk lainnya digusur semuanya, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum pertanahan di negeri ini. Bukan mustahil pula kasus ini bisa memantik terjadinya revolusi sosial di Indonesia. Kita lihat saja nanti. *** Penilis wartawan senior FNN.
Istiqlal Destinasi Wisata Baru
By M Rizal Fadillah MASJID itu tempat sujud, beribadah khusyu untuk menikmati dzikrullah. Suasana yang diciptakan harus menunjang kekhusyuan shalat dan dzikrullah tersebut. Masjid besar atau kecil berorientasi pada fungsi utama sebagai tempat ibadah. Kegiatan lain yang dilakukan tidak boleh keluar dari makna ibadah tersebut. Masjid Istiqlal yang berada di ibukota negara dan menjadi masjid terbesar kebanggaan umat Islam tidak terkecuali. Asesori lingkungan harus mendukung kekhusyuan bukan semata bagus atau artistik. Perbaikan perbaikan merupakan hal yang wajar. Demi memaksimalkan fungsi peribadahan tersebut. Ada hal menarik kini pada Masjid Istiqlal ini yaitu pertama dibuat lorong yang menyambungkan jalan ke Gereja Katedral. Disebut lorong silaturahmi. Kedua, lampu interior unik menyerupai hall pertemuan atau diskotik. Konon pencahayaan dengan sistem aplikasi. Canggih dan dapat diunggulkan. Dipasangi 300 titik lampu utama dan 3300 titik lampu ambiens. Lampu menggunakan LED red green blue amber white (RGBAW). Ribuan lampu diberikan IP address yang masing masing mengendalikan 20 lampu. Settingan diatur melalui aplikasi Pharos dari smartphone yang dipegang oleh pengelola Masjid. Keunikan tidak boleh membuat siapapun termasuk jama'ah datang ke Masjid untuk berwisata. Bukan menikmati ibadah di Rumah Allah. Hanya heritage atau monumen nasional yang kebetulan berfungsi sebagai tempat ibadah. Apalagi hanya mengagumi kedap kedip lampu warna warni. Apa kurang besar dan megahnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ? Akan tetapi orang datang ke sana untuk beribadah merebut jaminan Allah, bahwa beribadah di Masjid Nabawi seribu kali nilainya dibanding Masjid selainnya. Demikian juga dengan Masjid Al Haram yang diganjar pahala seratus ribu kali. Artinya, jama'ah datang untuk mendapat pahala besar dari Allah. Bukan berwisata dan sekedar untuk mengagumi kemegahan ekterior dan interior Masjid. Lorong silaturahmi tidak memiliki guna signifikan terkait fungsi Masjid (maupun Gereja) karenanya sebenarnya tidak dibutuhkan. Begitu juga dengan sistem pencahayaan Masjid yang seperti hall pertemuan atau ruang diskotik. Keduanya hanya akan membawa Masjid Istiqlal sebagai destinasi wisata. Bukan tempat ibadah utama. Ada benarnya bahwa Masjid bukan semata pusat ibadah tetapi juga pusat kebudayaan, akan tetapi kebudayaan disini tidak harus dengan memaksakan diri untuk beradaptasi pada nilai kemodernan hingga perlu kelap-kelip lampu. Kembalikan pada fungsi pemakmuran Masjid sebagaimana aturan Al Qur'an yaitu untuk meningkatkan keimanan kepada Allah dan hari akhir, shalat dan berzakat, serta berani dalam menegakkan kebenaran ilahi, hanya takut kepada Allah. Bukan moderasi atau Wasathiyah dalam makna plintat-plintut khas Munafiqun. Bila Masjid Istiqlal dimaksudkan untuk semata kemegahan atau kebanggaan dunia, maka esok mungkin ada pihak yang akan memfatwakan haram untuk sholat di Masjid Istiqlal. Meski tentu fatwa ini tidak berpengaruh besar, akan tetapi adanya hal demikian telah membuat cacat keberadaan Masjid yang direnovasi dengan biaya mahal tersebut. Semoga Masjid Istiqlal itu adalah tempat untuk beribadah bukan untuk berwisata sekalian berjalan-jalan ke Gereja. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Usut Tuntas Penyebar Berita Bohong Revisi Permen ESDM No.49/2018
Oleh Marwan Batubara Indonesian Resources Studies (IRESS) dengan ini meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas penyebar berita bohong tentang telah ditetapkannya hasil revisi Permen ESDM No.49/2018 seperti dimuat sejumlah media pada 13 September 2021. Padahal sesuai Perpres No.68/2021, draft revisi Permen ESDM tersebut masih dalam tahap harmonisasi dan proses pembahasan di Kantor Sekretariat Negara/Kabinet guna memperoleh persetujuan dari Presiden Jokowi/Pemerintah RI. "Berita bohong" tentang telah revisi Permen No.49/2018 antara lain menyebutkan permen baru sebagai hasil revisi adalah Permen ESDM No.26/2021. Selain itu tercantum pula bahwa Permen No.26/221 *ditetapkan/ditandangani* Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 13 Agustus 2021 dan *diundangkan* pada 20 Agustus 2021. Hal yang sangat prinsip dan akan merugikan negara, BUMN dan rakyat konsumen listrik dalam “Permen ESDM No.26/2021 adalah berubahnya tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100% seharga Rp 1.440 per kWh. Seperti diketahui, pada 13 September 2021, penetapan hasil revisi Permen ESDM No.49/2018 menjadi “Permen ESDM No.26/2021” telah diberitakan oleh sejumlah media on-line seperti “ruangenergi.com”, “kontan.co.id”, dan “dunia-energi.com”. Namun ketiga media tersebut tidak mencantumkan atau mengindikasikan sumber informasi yang jelas tentang penetapan Permen ESDM yang baru tersebut, sehingga publik bisa saja meragukan kebenarannya. Selama ini pemerintah dan kementrian/lembaga terkait selalu menerbitkan rilis dan memuatnya dalam situs masing-masing lembaga jika telah menetapkan suatu kebijakan, UU dan peraturan baru, termasuk revisi peraturan seperti permen. Prosedur sepeti ini sesuai perintah UU No.30/2014 tentang Administrasi Negara. Namun, khusus tentang hasil revisi Permen ESDM No.49/2021 menjadi “Permen ESDM No.26/2021”, publik dan awak media tidak menemukan adanya rilis/informasi resmi yang diterbitkan oleh KESDM dan/atau Sekretariat Negara/Kabinet. Terlepas bahwa “Permen ESDM No.26/2021” telah ditetapkan atau masih dalam proses pembahasan di Kantor Presiden, jelas ada oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku yang berperan menjadi sumber berita tersebut. Oknum-oknum ini bisa saja sangat berkepentingan untuk membuat agar revisi Permen ESDM No.49/2018 segera terlaksana, tidak peduli jika cara yang ditempuh melanggar kaidah-kaidah moral dan asas tata kelola pemerintahan yang baik. Isi berita ketiga media bisa benar atau bisa pula salah. Jika akhirnya Presiden setuju dengan usul perubahan permen sesuai permintaan KESDM pada Juli/Agustus 2021, maka hal-hal yang termuat dalam “Permen ESDM No.26/2021” memang benar adanya. Jika isinya berbeda, maka dapat pula dinilai bahwa minimal oknum-oknum pelaku telah menunjukkan upaya maksimal kepada “promotor”, namun gagal mencapai target yang diinginkan. Penilaian di atas menunjukkan berita tentang terbitnya “Permen ESDM No.26/2021” telah menimbulkan spekulasi tentang kebenaran isi berita. Spekulasi lain bisa pula muncul terkait motif di balik beredarnya penetapan revisi permen. Misalnya, informasi disebar guna fait accomply keputusan terhadap Kepala Negara, to test the water, menggiring opini, atau bisa pula dianggap sebagai sandiwara untuk mendapat dukungan publik. Berbagai spekulasi di atas tentu tidak sesuai dengan asas dan tujuan berbangsa dan bernegara. Spekulasi di atas dapat pula membuat pemerintah mengambil keputusan yang salah, sekaligus merugikan negara, BUMN dan publik. Sehingga berita tersebut perlu diklarifikasi dan pelakunya harus diberi sanksi sesuai hukum berlaku. Dalam hal ini pemerintah perlu memberi sanksi tegas jika ada oknum pemerintah yang terlibat rekayasa yang merugikan ini. Aparat penegak hukum, termasuk KPK pun harus segera memulai pengusutan. Seperti diketahui, Kementrian ESDM (KESDM) telah menggagas revisi Permen No.49/2018 sejak awal tahun 2021. Guna memperoleh persetujuan Presiden Jokowi dan sejalan dengan perintah Perpres No.68/2021, KESDM telah mengirim naskah revisi Permen kepada Kementrian Hukum dan Ham (Kemenkumham) pada Juli/Agustus 2021 untuk proses harmonisasi. Sebaliknya cukup banyak kalangan, termasuk IRESS, keberatan atas usul revisi tersebut. Kami menilai pembahasan revisi Permen belum melibatkan seluruh stake holders terkait. Kementerian ESDM cenderung hanya mengakomodasi kepentingan kalangan tertentu. Sehingga, Kementrian ESDM gagal memenuhi syarat pembentukan peraturan sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh sebab itu naskah revisi belum layak untuk ditetapkan sebagai peraturan, terutama terkait perubahan tarif ekspor-impor listrik antara pelanggan PLTS Atap dengan PLN dari 65% menjadi 100%. Tanggapan serta keberatan berbagai kalangan dan pakar telah diungkap kepada publik dan media, termasuk dalam bentuk surat terbuka dan tertutup kepada Presiden Jokowi yang dikirim antara akhir Agustus hingga awal September 2021. Pada prinsipnya tanggapan dan keberatan mendukung perluasan penggunaan EBT dan PLTS Atap, namun keberatan dengan perubahan tarif ekspor listrik PLTS Atap menjadi 100%. Perubahan tersebut dinilai tidak adil, merugikan negara/BUMN, memberatkan APBN dan menambah beban pelanggan listrik. Lebih lanjut, guna menanggapi Siaran Pers KESDM No.303.Pers/04/SJI/2021 pada 2 September 2021, secara khusus IRESS menerbitkan Siaran Pers tertanggal 9 September 2021. Dalam hal ini IRESS mengungkap KESDM cenderung tendensius, menyembunyikan fakta, menggiring opini bahwa PLN, APBN dan pelanggan tidak dirugikan. Padahal perhitungan pakar-pakar energi menunjukkan: • PLN dirugikan Rp 2,15 triliun setiap 1 GW pasokan PLTS Atap dan menjadi Rp 7,74 triliun jika pasokan naik menjadi 3,6 GW. KESDM menyebut penjualan PLN hanya turun 0,1%; • KESDM menyebut penghematan bahan bakar cukup besar Rp 7,74 triliun. Sedang hitungan pakar hanya Rp 1,92 triliun. Dalam hal ini KESDM sengaja berasumsi bahan bakar yang digunakan gas, padahal menurut PLN, bahan bakar yang dipakai mayoritas batubara; • Menurut KESDM BPP hanya naik Rp 1,14/kWh. Sedang menurut pakar naik Rp 5,10/kWh. Perbedaan terjadi sebab KESDM “luput” menghitung biaya operasi pembangkit yang harus tetap stand-by dan adanya sarana yang harus disiapkan PLN mengatasi intermitten; • KESDM menyatakan biaya subsidi dan kompensasi naik Rp 0,319 triliun. Padahal menurut pakar subsidi naik Rp 1,08 triliun/tahun. Hal ini menjadi tambahan beban biaya bagi pelanggan non PLTS Atap, namun menjadi keuntungan bagi pengguna PLTS Atap. Sebelum memutuskan revisi Permen ESDM No.49/2018, seluruh stake holders kelistrikan nasional, terutama para pakar energi dan PLN sebagai BUMN listrik nasional sesuai Pasal 33 UUD 1954 harus dilibatkan. IRESS menilai hal ini telah gagal dilaksanakan oleh KESDM, yang tampak cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan. Karena itu, IRESS kembali meminta agar Presiden Jokowi menolak usulan revisi Permen No.49/2018 dari KESDM. Selain itu, IRESS menuntut agar aparat penegak hukum, termasuk KPK, segera mengusut oknum-oknum pelaku sumber berita bohong tentang “Permen ESDM No.26/2021”. Presiden Jokowi harus segera mengusut dan menjatuhkan sanksi hukum jika ada pejabat negara yang terlibat. *) Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, IRESS.
Memiliki Kehilangan dan Ketiadaan
Oleh Yusuf Blegur Sebagian besar orang lebih sering menempatkan standar kemanusiaannya pada apa dan berapa banyak yang dimiliki. Umumnya kepemilikan terhadap kekayaan, jabatan dan pengaruh kekuasaan menjadi tolok ukur yang paling utama. Menggenggam harta berlimpah dan kebijakan menentukan kepentingan publik, memang menempatkan seseorang pada drajat kehidupan yang paling tinggi dalam strata sosial kehidupan masyarakat dan negara. Menjadi terkenal, dihormati dan dihargai serta tidak jarang dipuja dan dielu-elukan khalayak. MESKIPUN masih banyak peran dan status sosial dalam kehidupan manusia yang tidak kalah bermakna dan jauh lebih penting. Namun harta, kekuasaan dan popularitas mengalahkan hal-hal yang justru lebih substantif dan esensial. Sebut saja para tenaga kerja pendidikan dan kesehatan yang tersebar di pelosok-pelosok dan perbatasan negara. Mereka tulus bekerja walau hanya dengan honor seadanya. Dalam medan kerja yang berat, keterbatasan sarana dan prasarana, upah kerja yang jauh dari kelayakan bahkan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tetap berjuang dan berkorban dalam keterbatasan demi kemanusiaan. Ada juga para voluntir yang mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti kerja-kerja sosial. Meningkatkan kualitas hidup, membangun teknologi kreatif dan inovatif serta membuka akses fasilitas dan program pemerintah dalam perkampungan-perkampungan kumuh, daerah terisolir dan masyarakat lainnya yang terpinggirkan dari pembangunan. Mereka semua merupakan pejuang kemanusiaan yang tenggelam dari sorotan media dan publisitas kehidupan politik kekuasaan. Negara acapkali mengabaikan keberadaan mereka. Pengabdian para pahlawan pembangunan yang sesungguhnya itu, sudah sepantasnya mendapat penghargaan dan penghormatan yang semestinya. Meskipun bagi kekuasaan, membahas nasib mereka bukanlah hal yang menarik dan dianggap tidak penting. Materialisme Sebagai Tuntunan Hidup Kehidupan masyarakat perkotaan termasuk Jakarta sebagai ibukota negara dan jantungnya penyelenggaran negara. Tidak hanya menegaskan masih adanya dikotomi pembangunan jika melihat realitas pedesaan. Bahkan dalam pusat kegiatan ekonomi bisnis dan politik itu, di sana-sini masih banyak menyisakan masyarakat marginal. Ketertinggalan dalam banyak hal seperti pengelolaan sumber daya manusia menjadi hal paling kentara. Negara pada akhirnya menjadi representasi, betapa modernitas hanya dimiliki segelintir orang. Penumpukan kekayaan dan aset ekonomi didominasi orang perorang dan kelompok tertentu. Begitu juga dengan akses politik dan pelayanan hukum hanya bisa dikuasai kalangan terbatas. Pemilik modal dan pembuat regulasi telah membajak negara dari keharusan melayani rakyat. Dalam balutan birokrasi, politisi dan korporasi. Mereka telah bermutasi menjadi wajah baru penjajah lokal. Menjadi sub-koordinat neo kolonialisne dan imperialisme di tengah globalisasi. Menjelma menjadi persekongkolan jahat dan hawa nafsu sistem yang korup dan represif. Lihat saja seketika banyak rakyat kecil menjadi korban dan hidup menderita. Petani tertindas tak mampu menjual produknya dengan harga layak karena kran impor yang mengalir deras. Nelayan juga terpuruk karena dominannya penangkapan ikan oleh kapal modern asing yang terkesan dibiarkan dan dilindungi. Demikian juga para buruh yang terus dieksploitasi namun tetap jauh dari kesejahteraan. Semuanya merupakan dampak dari perilaku kekuasan dan konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Bandingkan dengan kehidupan para jamaah oligarki dan aliran borjuasi korporasi sesat. Mereka berlimpah dengan kekayaan yang tidak semuanya diperoleh dengan cara yang bersih dan terhormat. Pengusaha didukung birokrasi dan politisi, terkadang dengan arogannya merampok kekayaan negara. Bersekongkol memanipulasi dan menggelapkan harta yang bukan miliknya. Merampas tanah dan bangunan milik rakyat. Menggunakan uang dan kekuasaannya menghukum dan menindas rakyat. Bukah hanya dengan menggunakan preman, jika diperlukan terkadang menggunakan aparatur negara. Rakyat dan Kedaulatan Semu Panca Sila, UUD 1945 dan hukum moral lainnya, tak ubahnya seperti barang antik bersejarah yang tersimpan di museum Indonesia. Kekuasaan dan pada akhirnya diikuti rakyat. Lebih memiliih dan menyukai praktek-praktek kapitalistik dan liberalistik. Meskipun dalam pusaran itu banyak konflik dan ketidakpuasan, memakan korban jiwa, merusak tatanan ideologi bangsa dan bahkan agama. Bangsa Indonesia telah kehilangan jiwanya. Tidak adalagi roh patriotisme dan nasionalisme. Semua kekacauan dan kehancuran mental dan karakter yang ujung-ujungnya menjadi penderitaan yang paling dirasakan rakyat. Indonesia merana kehilangan spritualitasnya sebagai bangsa religi. Bangsa Indonesia sejatinya telah lama kehilangan Panca SIla dan UUD 1945. Kekayaan tak ternilai dan menjadi warisan abadi bagi rakyat dan negara. Sayangnya anugerah terbesar dari Tuhan Yang Maha Esa itu, yang dimiliki bangsa ini, tak mampu dihargai dan dihormati oleh pemimpin dan rakyatnya sendiri. Sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia telah membuang value dan kebijaksanaan, lebih mengejar materi dan kebendaan lainnya. Nilai-nilai adiluhung itu tercampakkan oleh keinginan hidup hedon dan gemerlap kenikmatan dunia. Gotong-royong dan persaudaraan hanya sekedar cerita lama. Indonesia beserta rakyatnya seperti hidup sebagai bangsa kaya tapi dalam kemiskinan. Memiliki sejarah patriotik yang besar namun menjadi pecundang dan terjajah. Budaya yang dikenal dengan fatsun politik yang santun tapi kekinian tanpa etika, barbar dan biadab. Indonesia Seperti bernegara tanpa negara atau mungkin juga negara dalam negara. Negara tanpa pemerintahan dan nyaris menjadi negara gagal. Semua hanya bisa pasrah tak berdaya sambil mengelus dada. Menggerutu dan menyesalinya dalam hati. Rakyat dengan segala semboyan dan jargon yang besar Keindonesiaannya. Kini menyadari bahwasanya telah memiliki kehilangan dan ketiadaan. Semoga datang perubahan yang lebih baik. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.
Bermain-main dengan Rocky Gerung
By M Rizal Fadillah *) RAMAI berita Rocky Gerung disomasi PT. Sentul City Tbk yang ber-bongkar balik bahwa pemilik PT. Sentul City Kwee Cahyadi Kumala adalah terpidana korupsi kasus suap tukar guling kawasan hutan. Meski ada pengamat yang teriak somasi ini merupakan murni hukum, namun publik lebih yakin bahwa tekanan ini adalah murni politik. Soal tanah dan rumah hanya celah yang dicari-cari. Persis sama dengan kasus HRS tanah Mega Mendung. Sangat politis. Rocky dipastikan dapat membuktikan bahwa ia membeli tanah di Blok 026 Kampung Gunung Batu RT 02 RW 11 Kel. Bojong Koneng Kec. Babakan Madang Kab. Bogor tersebut dengan benar dan absah. Menurut hukum "pembeli yang beritikad baik dilindungi oleh undang-undang". PT Sentul City Tbk jika ingin membuktikan kepemilikannya maka harus melakukan gugatan perdata. Tidak bisa membongkar begitu saja. Pembongkaran sepihak adalah melawan hukum dan justru dapat dipidana. Ternyata bukan Rocky sendiri yang menempati lokasi yang dianggap sengketa tetapi ada 90 KK dan 6000 orang lainnya. Perlu diselesaikan dahulu mengenai status hukum masing-masingnya. Jangan-jangan justru status PT. Sentul City Tbk yang bermasalah secara hukum. Ini perlu diusut ke belakang. Sengketa kepemilikan adalah proses perdata, karenanya sangat salah jika ada pandangan bahwa Rocky terancam pidana penjara hingga 7 tahun. Memang belajar hukum mesti khatam. Nah jika telah mendapat kepastian hukum tentang status kepemilikan lahan, sedang pihak lain kemudian melakukan "penyerobotan", barulah terbuka aspek pidananya. Sengketa Rocky Gerung dan warga 90 KK dengan PT Sentul City Tbk adalah perkara perdata. Walaupun rakyat sudah sangat faham kasus ini berbasis politik. Perlawanan hukum sudah pasti, tetapi perlawanan politik harus dan juga pasti dilakukan. Aseng penikmat fasilitas negara yang telah merampok tanah rakyat tidak bisa dibiarkan. PT Sentul City bisa jadi pintu pembuka perlawanan rakyat atas jutaan hektar tanah rakyat dan bangsa Indonesia yang dikuasai aseng dan asing. Rocky Gerung diyakini publik tidak peduli soal kalah menang atas tanah yang dibelinya, tetapi perlawanan terhadap arogansi, keserakahan, dan penjajahan asing dan aseng yang dilindungi oleh penguasa bangsa sendiri harus dilakukan. Sangat disadari semakin habis tanah rakyat dan negara Indonesia yang telah dikuasai asing dan aseng penjajah negeri. Rakyat harus berbuat untuk memerdekakan bangsanya. PT Sentul City Tbk yang boss nya adalah koruptor penyuap, tengah mengajak bermain kepada Rocky Gerung dengan permainan bodoh yang mungkin akan memercik muka sendiri. Sentul bisa memantul, Rocky Gerung bisa bergaung. Kita lihat siapa yang akan menang dalam bertarung. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Thoghou Fil Bilaad
By M Rizal Fadillah *) BAGI Susaningtyas Nefo yang mengklaim sebagai pengamat intelijen, mantan aktivis Partai Hanura dan PDIP, mungkin dengan judul di atas langsung mengidentifikasi pembuat artikel adalah teroris karena memenuhi ciri-ciri kriteria Nefo. Maklum itu bahasa Arab, terlebih ada dalam Al Qur'an. Mungkin anggapannya Al Qur'an itu kitab suci para teroris. Sama dengan Abu Janda yang menyebut agama teroris adalah Islam dan Denny Siregar yang menilai anak anak santri cilik di Tasikmalaya sebagai calon teroris. Komunitas Islamophobia gemar menyinggung dan menyerang umat Islam beserta keyakinannya. Thoghou fil bilaad artinya berbuat zalim atau sewenang-wenang di dalam negara. Mengabaikan aturan serta menganggap dirinya berkuasa dan dapat berbuat apa saja baik memaksa pentaatan maupun menghukum penentang. Dikelilingi oleh para pengabdi yang selalu siap untuk menjilat dan mengagung-agungkan. Predikat itu diberikan oleh Allah kepada Fir'aun "wa fir'auna dzil autaad, alladziina thoghou fil bilaad" (dan Fir'aun yang membangun infrastruktur, yang berbuat sewenang-wenang di dalam negara)--QS Al Fajr 10-11. Fir'aun dikelilingi Komandan Keamanan Hamman, Menteri Keuangan Qorun, dan Menteri Agama dan Spiritualitas Bal'am. Dukun dan tukang sihir ikut mengawal kebijakan. Dengan kombinasi antara otokrasi dan oligarkhi Fir'aun mempertuhankan dirinya. Menindas bangsanya. Thoghou fil bilaad dilanjutkan oleh para penerusnya dimana dan kapanpun yaitu pemegang kekuasaan yang korup. Tidak sama persis memang, akan tetapi karakter seperti ini selalu muncul sebagai efek dari kenikmatan berkuasa. Ada pengaruh ada pula modal kekayaan. Mampu pula menggerakkan alat pemaksa baik aparat maupun penegak hukum. Dalil spiritual menjadi bagian dari stempel kebijakan. Kita berharap bahwa Presiden Jokowi tidak berkarakter thoghou fil bilaad. Karena ia dipilih dari proses demokrasi melalui Pemilihan Umum. Meskipun sinyalemen curang melekat juga. Ia mesti menjaga amanah dan berlaku adil. Tidak boleh memperalat aparat ataupun hukum untuk kepentingan politik kekuasaan. Fenomena pembiaran lambatnya proses peradilan pembunuhan 6 anggota Laskar, pembungkaman HRS dengan menunggangi hukum, penahanan Munarman, pembubaran HTI dan FPI semaunya, memperalat pandemi, hingga pengancaman Hersubeno Arief dan Rocky Gerung dapat menjadi bagian dari thoghou fil bilaad. Sejuta alasan untuk seribu tangan dengan satu prinsip bahwa oposisi harus dihancurkan. Kekuasaan tidak bisa diganggu gugat dan mesti dilanggengkan. Periode demi periode. Thoghou fil bilaad merupakan perilaku yang dibenci Ilahi. Melalui tangan Musa, Fir'aun yang zalim dan bala tentaranya itu ditenggelamkan. Cemeti adzab dipukulkan. Kekuasaan pun hilang tak berbekas. Thoghou fil bilaad tak butuh wajah garang karena esensinya adalah memanipulasi kasus hingga hilang, memainkan tokoh politik sebagai wayang, serta menindas semua orang dan merampas semua barang. "fa aktsaruu fiihaal fasaad" --mereka melakukan banyak kerusakan--(QS Al Fajr 12). *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Mengadili Produk Jurnalistik Karya Hersubeno Arief
Oleh M. Fayyadh, SH. PEMBERITAAN pers yang dilakukan oleh jurnalis Hersubeno Arief dari FNN.co.id dalam unggahan video di kanal Youtube miliknya pada hari Kamis tanggal 9 September 2021 merupakan bentuk verifikasi jurnalistik, karena Hersubeno dalam menyampaikan beritanya mengutip dari beberapa media online yang memuat pernyataan-pernyataan dari para narasumber yang merupakan politikus partai PDIP yang juga sebagai Pengurus Pusat DPP PDIP, sehingga keterangan-keterangan yang disampaikan para narasumber tersebut dianggap valid. Oleh karena itu menurut saya pemberitaan pers yang disampaikan oleh Hersubeno tidak ditemukan adanya trial by the press atau pemberitaan yang terlalu menyudutkan pihak-pihak atau orang tertentu. Pemberitaan yang disampaikan oleh Hersubeno merupakan karya jurnalistik, sehingga jika pemberitaannya diduga memuat berita yang keliru atau dipersoalkan, maka harus diselesaikan dengan menggunakan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Ini adalah produk hukum adalah lex specialist (hukum yang berlaku khusus) terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, maka peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Undang-undang Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatan junalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal yaitu lex specialis derogate legi generali yaitu ketentuan yang khusus mengesampingkan Ketentuan kang umum. Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang diduga menyampaikan berita yang keliru atau merugikan orang/pihak lain, dijelaskan bahwa secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri dari 2 (dua) bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambil alih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers yang mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Adapun mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang diduga menyampaikan berita yang keliru atau merugikan orang/pihak lain adalah melalui Hak Jawab (Pasal 5 ayat [2] UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers) dan Hak Koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers). Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya. Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar. Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) sebagai kode etik wartawan yang baru. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers). Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers (Pasal 15 ayat 2 huruf C UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers). Aparat Penegak Hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) dalam penanganan atau pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers harus berpedoman atau merujuk kepada Surat Edaran Mahkamah Agung/ SEMA No.13 Tahun 2008 untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketenuan yang berhubungan dengan UU Pers. *) Advokat dan Konsultan Hukum
Bersyukur Ada Refly
Oleh Ady Amar *) IA berdiri tegak bicara keadilan hukum. Sikapnya itu tegas dan bahkan tergolong berani. Tentu tidak asal berani, tapi berani yang punya dasar, punya pijakan yang jelas. Ia adalah Dr. Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara. Awalnya Refly masuk bagian dari rezim Jokowi. Saat itu orang menyebut pantas ia diganjar sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Jasa Marga. Meski demikian, Refly tetap dengan komentar kritis, jika masalah hukum tidak berdasar pada keadilan atau ada kebijakan yang tidak tepat. Karenanya, ia diberhentikan sebagai komut itu. Banyak pihak yang menertawakan pencopotannya, lalu ia diangkat lagi sebagai Komisaris Utama Pelindo I. Tetap saja ia sulit diam, tetap kritis, maka dicopotlah secopot-copotnya selamanya, dianggap ia bukan bagian dari rezim. Itulah pilihan Refly, memilih agar tidak terkotori oleh jabatan yang menempel di pundaknya. Ia tampak tidak silau pada jabatan yang mendatangkan nilai nominal tidak kecil, tapi justru silau jika lihat keadilan tidak ditegakkan selayaknya. Ia mengkritisi keras jika hukum diinjak oleh kepentingan politik kekuasaan. Dicopot dari komut, itu makin membuatnya bebas berselancar dengan mainan barunya di dunia YouTube. Subscribernya tidak kurang dari 1,5 juta, yang terus hadir memberi pencerahan publik pada masalah hukum dan politik sehari-hari yang muncul di masyarakat. Tampil selalu mencerahkan, mengajak publik melihat hukum dalam perspektif yang benar. Ia beri pemahaman yang jelas pada kasus yang muncul, dan menganalisanya dengan tajam dan kritis. Bicaranya runtut, enak didengar, dan kelebihannya lainnya kalimat yang digunakan bisa difahami followers- nya pada semua lapisan. Itu setidaknya kelebihan Refly. Ia mendidik publik tentang hukum, tapi tidak tampak menggurui, atau sok merasa paling pintar. Biasanya kasus-kasus hukum paling populer diambilnya dari media cetak atau online, lalu dikomentarinya dengan pijakan hukum yang benar. Bahasan yang dipilih, lebih pada kasus hukum yang ditelikung kepentingan kekuasaan, itu jadi konsen untuk dibahasnya. Publik diberi kesadaran, bahwa ada yang salah dalam penerapan hukum, dan selanjutnya penjelasan meluncur dari mulutnya. Sikapnya itu menjadikan publik menyambut kemunculan Refly penuh harap, dan tidaklah berlebihan jika lalu muncul pernyataan, "Untung Ada Refly". Itu pernyataan publik sejujurnya, melihat sulitnya mencari sosok semacamnya, yang berdiri kokoh menyuarakan suara hukum dan keadilan. Adakah sosok lain yang sekiranya lebih pintar darinya, yang menyamainya dalam perspektif hukum. Pastilah ada juga yang menyamainya, tapi yang memilih di barisan kritis pada penguasa yang sewenang-wenang menelikung hukum, rasanya belum tampak. Justru banyak koleganya lebih memilih berasyik masyuk bersama penguasa. Di samping Habib Rizieq Refly Harun hadir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, diminta oleh pengacara Habib Rizieq Shihab sebagai Saksi Ahli, itu dalam kasus swab RS UMMI. Dan Refly hadir memberi keterangan sesuai kepakarannya, dan disumpah untuk bicara yang sebenarnya. Refly bicara apa yang dipahaminya, seolah dengan jelas ia mengatakan, bahwa Habib Rizieq adalah pihak yang tidak pantas untuk dihukum. Bahkan pada kesempatan lain, ia berujar bahwa jangankan dihukum dihadirkan di pengadilan saja ia tidak pantas. Maka, Refly jadi sosok yang menyikapi ketidakadilan hukum yang dikenakan pada Habib Rizieq dengan lantang, dan dengan argumen bahwa hukum tidak tebang pilih, hukum mestilah rasional. Karenanya, hukum itu dikenakan pada semua pihak, bukan hanya pihak tertentu yang disasar dengan akrobat hukum, sehingga hukum menjadi tidak rasional. Maka perlakuan hukum yang diada-adakan dalam kasus hukum Habib Rizieq ditentangnya dengan argumen hukum yang sulit terbantahkan. Ia tanpa tedeng aling-aling menyatakan penerapan hukum itu salah, meski menyasar pada penguasa, yang tidak bersandar pada hukum. Pengadilan pada Habib Rizieq kasat mata memang untuk mengandangkan ulama satu ini, bahkan sampai pasca Pilpres 2024, itu yang juga kerap disampaikan Refly. Katanya, bagaimana mungkin orang menyatakan diri sehat, karena merasa diri sehat, itu mesti dihukum. Dan hukuman yang dikenakan pada Habib Rizieq, itu hukuman tidak main-main, 4 tahun penjara. Zalim. Sikap Refly Harun, dalam masalah hukum khususnya, tentulah bukan sikap berseberangan dengan penguasa. Mustahil ia mampu mengoreksi kebijakan hukum salah dari penguasa, itu jika tidak ditemukan kesalahan penerapan hukum. Kekritisannya adalah buah dari kesalahan penerapan hukum, dan atau hukum tidak lagi jadi panglima, atau hukum berada di ketiak penguasa, maka Refly hadir berdasar tidak saja kepakaran yang dipunya tapi juga moralnya, untuk mengoreksi itu semua. Refly Harun seolah tidak capai-capai mengingatkan, bahwa hukum itu untuk semua, dan karenanya ia distempel sebagai oposan. Itulah risiko yang diambilnya, langkah-langkah yang pastilah amat disadarinya. Itu pula konsekuensi atas sikap-sikapnya, yang terus menyuarakan keadilan hukum di tengah masyarakat. Sungguh patut bersyukur, negeri ini masih punya Refly Harun... (*) *) Kolumnis