Rocky Gerung Meraung, Penguasa Limbung

Oleh: Yusuf Blegur

Rocky Gerung dalam persoalan dengan PT Sentul City Tbk. Secara substansi menghadapi cara-cara yang bukan saja jauh dari akal sehat. Penuh kebencian, dendam dan kedzoliman kekuasaan yang tidak mampu menunjukkan sedikitpun sifat-sifat kepemimpinan yang humanis, adil dan beradab. Menggunakan aparat keamanan, sesama anak bangsa hingga korporasi dan pengusaha kakap. Selain faktor ekonomi tentunya, mereka terkadang ditempatkan untuk terus menciptakan dan memelihara konflik. Membuktikan hanya itu yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan setiap persoalan bangsa. Kritik yang harusnya dilihat sebagai upaya memperbaiki dan membangun pemerintahan yang bersih dan sehat. Dimata pemerintah selalu dilihat sebagai upaya mengganggu kepentingan dan menghancurkan kelanggengan kekuasaan.

Sebagai seorang filsuf, tidak banyak yang mau keluar dari kedalaman ruang-ruang kontemplasi batin, psikologis dan pemikiran semata. Pengecualian salah satunya ada pada Rocky Gerung yang kuat dalam wilayah konseptual dan praksis. Tidak sekedar menguasai ilmu filsafat dan pendidikan, ia juga kritis dan konsen melakukan advokasi sosial.

Selain mengambil sikap dan pemikirian yang oposisional terhadap rezim Jokowi. Rocky Gerung kerapkali menelanjangi distorsi pemerintahan, perilaku sakit dan menyimpang para pejabat. Seiring waktu Rocky Gerung berlimpah simpati dan empati dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Dilain sisi ia termasuk salah satu sosok yang paling dibenci oleh rezim Jokowi dan pasukan buzzernya di republik ini. Saking tidak bisa diatur dan ditaklukan oleh kekuasan seperti Imam Besar Habib Rizieq Syihab. Rocky Gerung kini mulai dijahili, target mulai ditetapkan dan dibidik oleh 'senjata' penguasa. Baik Habib Rizieq Syihab maupun Rocky Gerung, keduanya kini telah menjadi 'Enemy Of The State'. Tokoh-tokoh yang menjadi simbol perlawanan rakyat dan tentunya, menjadi korban represi dan kedzoliman penguasa seperti yang lainnya.

Kasus kepemilikan dan penguasaan tanah bangunan antara Rocky Gerung dengan PT. Sentul City Tbk. Seperti menjadi triger bagi Rocky Gerung yang sering mengusik Jokowi dan pengekor kekuasaannya. Begitu juga bagi pemerintah, karena sudah dianggap mengusik, memprovokasi dan mengancam kepentingan kekuasaan. Maka perlu melakukan "shock therapy" untuk dosen UI yang narasinya sarat pencerahan.

Penulis dalam hal ini tidak akan mengangkat persoalan teknis seputar masalah Rocky Gerung dan PT. Sentul City Tbk. Apalagi terkait kepemilikan dan penguasaan tanah bangunan, PT Sentul City Tbk. juga berhadapan dengan banyak warga sekitarnya. Hampir 6000 warga dari ratusan KK berhadapan dengan PT. Sentul City Tbk. terkait persoalan yang sama.

Sebagai contoh empiris soal kasus tanah. Penulis pernah melakukan pendampingan dan advokasi upaya penggusuran oleh sebuah hotel ternama pada seorang warga yang telah menggarap tanah fasum-fasos milik Kementerian PUPR untuk usaha produktif yang secara turun-temurun digeluti oleh keluarganya dibilangan Kota Bekasi. Pengusaha itu mengincar lahan bukan miliknya yang ada didepan lahan yang akan dibangun hotel. Secara sewenang-wenang dan represif, Hotel besar itu mencoba mencaplok lahan garapan yang sama sekali bukan haknya. Bahkan pengusaha yang hotelnya ada di beberapa kota itu, melakukan kapitalisasi upaya penggusuran dengan melibatkan preman, satpol PP, dan aparat keamanan lainnya dengan dalih penataan lingkungan dan taman kota.

Dari salah satu pendampingan dan advokasi penulis pada kasus itu. Serta banyak lagi pengalaman penulis pada kasus yang sama terkait penggusuran, perampasan, dan penggelapan tanah yang umumnya dilakukan oleh mafia tanah berkedok pengusaha. Penulis menyadari dan sampai pada satu konklusi, bahwasanya sering terjadi, rakyat kehilangan hak dan kedaulatan atas tanah dan bangunan miliknya. Banyak faktor yang memicunya. Antara lain keawaman masyarakat, faktor ekonomi, lemahnya perlindungan birokrasi dan regulasi terhadap kepemilikan aset baik tanah maupun rumah milik warga maupun pemerintah. Namun dari beberapa sebab, faktor dominan yang menyebabkan kehilangan hak tanah bangunan masyarakat itu adalah permainan mafia tanah di Indonesia. Mereka cenderung bersekongkol dan atau atas nama perusahaan, memanfaatkan preman dan korupnya oknum institusi pemerintahan.

Sehingga masalah yang menimpa Rocky Gerung ini menjadi menarik, penting dan strategis bagi upaya pemenuhan hak dan kedaulatan rakyat atas tanah dan bangunannya secara umum. Harus kita akui dalam soal itu pemerintah tak tinggal diam. Program Proyek Nasional (Prona), yang di era Jokowi berganti menjadi Program Tanah Sistematika Langsung (PTSL). Merupakan upaya mereduksi eksistensi mafia tanah, penertiban sertifikasi dan upaya pemasukan kas negara via pajak tanah bangunan.

Namun sejauh ini masih jauh dari maksimal. Selain lebih banyak dimanfaatkan oleh borjuasi korporasi besar untuk meluaskan aset dan usahanya seperti perkebunan dan tambang di daerah. Program PTSL hanya membesarkan pengusaha kelas kakap yang membayar murah sertifikat hamparan tanah luasnya. Pemerintah justru melegalisasi aset tanah pengusaha berbasis konglomerasi. Hanya tanah-tanah kecil dan sedikit yang sertifikatnya menyentuh masyarakat kecil. Mirisnya program PTSL yang dibranding pemerintah dengan pembagian sertifikat gratis itu. Faktanya, masyarakat di beberapa daerah tetap menerima program sertifikat tanah itu berbayar, terlepas ada oknum birokrasi yang bermain.

Mendesak Revolusi Agraria

Kembali ke soal Rocky Gerung dan PT. Sentul City Tbk. yang didalamnya duduk pejabat pemerintahan atau mantan aparat birokrasi. Setidaknya duduk di komisaris atau direksi. Hal yang sama yang bisa ditemui bukan saja pada BUMN namun juga ada banyak korporasi swasta bonafid yang kapitalistik dan berpengaruh pada ekonomi masyarakat. Dalam hal ini ada Basaria Panjaitan sosok perempuan mantan petinggi KPK dan Polri menjabat komisaris di PT. Sentul Tbk.

Masalah Rocky Gerung bukan sekedar masalah tanah bangunan miliknya. Lebih dari itu, ia menjadi persoalan politik dan keadilan hukum baik bagi pribadi dan rakyat pada umumnya. Konflik Rocky Gerung dan PT. Sentul City merupakan polarisasi dari sikap rezim Jokowi yang anti kritik. Kekuasaan gagal menyalurkan ekspresi dan kontemplasi yang sehat dari dinamika demokrasi. Publik kebangetan sering melihat pembungkaman suara dan aspirasi yang dilakukan rezim. Bahkan Jokowi yang manis kata-katanya dan lembut bersahaja sikapnya. Tak mampu menyembunyikan tindakan politik yang dinilai khalayak kotor dan keji dari pemerintahannya. Sebagai pemimpin yang dianggap berpihak pada rakyat kecil, Jokowi malah terus membiarkan sindikasi birokrasi, politisi dan pengusaha hitam, membersihkan dan melenyapkan tuntas, hak dan suara rakyat.

Pada akhirnya, publik hanya bisa melihat bahwasanya Masalah Rocky Gerung dengan PT. Sentul City merupakan bagian dari tradisi keangkuhan dan penindasan para pemilik modal yang bersekongkol dengan penguasa. Rakyat hanya bisa diam dan parah menerima, meski dengan perlawanan yang terhenti. Bagi rakyat hanya ada luka dalam dada. Amarah yang tersekat dan tangis yang tersembunyi.

Untuk Rocky Gerung, tetaplah menjadi manusia yang manusiawi. Tetap bersuara tanpa atap, tetap kritis tanpa dinding pelindung. Berdiri tegak di atas tanah tanpa bangunan. Mengadu dan berdoa menembus langit berdialog dengan Tuhan. Sang pemilik sejati tanah, bumi dan langit dunia.

Saatnya menanam benih-benih revolusi agraria. Menunggu menuai Kedaulatan rakyat atas tanah.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.

341

Related Post