Dudung Merundung

Oleh Ady Amar *)

PEKAN ini adalah pekannya Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman. Apa yang disampaikannya dalam kunjungan kerja di Batalyon Zoni Tempur 9 Lang-Lang Bhuana Kostrad, di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, (Senin, 13 September), itu menimbulkan kontroversi. Mengalahkan berita-berita lain yang muncul sepekan ini. Geger beritanya bahkan mengalahkan berita pesawat Rimbun Air, yang jatuh di Intan Jaya.

Kontroversi ucapannya, "Semua agama benar di mata Tuhan," menimbulkan tanggapan bertubi di tengah masyarakat, terutama tanggapan dari kalangan ulama. Beberapa pengurus teras MUI pun mengomentari pernyataan Letjen Dudung itu.

KH Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI merespons dengan nasihat, agar Letjen Dudung Abdurachman minta maaf atas pernyataannya yang menyebut semua agama itu benar di mata Tuhan. Jelasnya, "Pernyataan semua agama itu benar, itu sesat dan menyesatkan", Rabu (15/9).

Bukannya mendengar nasihat itu, justru sehari kemudian Letjen Dudung perlu membuat klarifikasi atas pernyataannya yang sampai menimbulkan geger itu. Motifnya tentu membela diri, meyakini bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Katanya, "Pernyataannya bahwa semua agama adalah benar di mata Tuhan, karena dia sebagai Pangkostrad perlu menyatakan semua agama benar saat berbicara di hadapan prajuritnya. Sebab, prajuritnya berasal dari berbagai pemeluk agama."

"Saya ini Panglima Kostrad, bukan ulama. Jika ulama mengatakan bahwa semua agama itu benar, berarti dia ulama yang salah," ujarnya penuh yakin dalam keterangan persnya, Kamis (16/9).

Dudung jelas mengatakan, bahwa sebagai petinggi militer dia berhak bicara pada prajuritnya, bahwa semua agama benar di mata Tuhan, itu karena dia bukan ulama. Tanpa sadar sebenarnya ia menjelaskan, entah disadarinya atau tidak, bahwa ia penganut relativisme kognitif, dimana tidak ada kebenaran mutlak dan universal dalam pandangan manusia, dan itu tentang apa saja.

Ia seolah menolak absolutisme, lawan dari relativisme, yang meyakini bahwa harus ada kebenaran dan kebaikan tunggal dan objektif. Pilihannya hanya dua: benar mutlak atau salah mutlak. Dalam absolutisme, tidak boleh ada yang setengah-setengah, setengah benar atau setengah salah.

Meyakini agamanya paling benar, itu absolutisme. Tentu itu bukan bentuk intoleran. Karenanya, bukan pula hanya monopoli ulama, semua insan harus meyakini bahwa agamanya itu benar absolut. Meski tidak patut diteriakkan pada pemeluk agama lain dengan pongah. Pun non-Islam juga meyakini, bahwa agama yang dipeluknya yang paling benar.

Sikap yang ingin dibangun Letjen Dudung di hadapan prajuritnya, hingga keluar ungkapan "semua agama itu benar di mata Tuhan", dimaksudkan bagian dari toleransi. Padahal toleransi tidak keluar dari batasnya, yaitu (hanya) saling menghargai, bukan menggugurkan keyakinan absolut yang mesti dipunyai pemeluk agama.

Letjen Dudung memang bukan ulama, itu pasti. Tapi tidak harus jadi ulama seorang (muslim) memahami batasan toleransi itu. Menyenangkan prajurit yang beragam agama/keyakinan, itu tidak harus sampai menggerus keyakinan, bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang paling benar. Keyakinan (akidah), pastilah bukan monopoli ulama.

Pluralisme Merundung

Ucapan Letjen Dudung sungguh merundung, dalam makna mengganggu. Ucapan kontroversialnya itu mengganggu, dan jika disadarinya, itu menelisihi agama yang dipeluknya. Bagaimana bisa dikatakan agama yang dipeluknya sama dengan agama lainnya, dan itu hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam dalam beragama.

Pernyataan Letjen Dudung diawali dengan pesannya, "Agar prajurit TNI menghindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama..." Lalu dilanjut, karena semua agama itu benar di mata Tuhan."

Fanatik terhadap agama itu justru anjuran. Tentu bukan fanatik buta. Jika tidak fanatik, apa beragama harus kurang lebih, begitu... Atau jika fanatik pada agamanya, apa itu bisa menciptakan kekerasan, lalu hilang sikap toleran pada agama lain. Tentu tidak demikian. Justru sebaliknya yang didapat. Fanatik janganlah dimaknai sempit, lalu jadi negatif. Ini yang menjadikan merundung.

Letjen Dudung dengan pernyataannya, itu jelas pluralisme agama, sebuah paham yang mengatakan bahwa semua agama itu benar di mata Tuhan. Pluralisme menjelma menjadi agama baru, agama gado-gado sesembahan liberalis.

Karenanya, Islam menolak pluralisme itu. Tidak Islam saja yang menolaknya, bahkan Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk , jelas menolak dengan keras pluralisme agama itu. Mestinya semua agama menolaknya.

Mana mungkin atas nama toleransi, satu agama mengakui agama lainnya hanya karena toleransi. Ini bisa merundung, dalam konteks Letjen Dudung Abdurachman, akan menghancurkan bangunan agama yang sudah kokoh hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam agamanya. (*)

*) Kolumnis

453

Related Post