OPINI

Soal HAM, Ketua MPR Bamsoet Tidak Paham Konstitusi

by Marthen Goo Jakapura FNN - Dalam konflik kombatan antara TPN-OPM dan TNI-Polri, tepat pada hari minggu 25 april 2021, kita dengar bahwa Kepala BIN daerah ditembak mati TNP-OPM seperti dirilis oleh berbagai media. Tentu dalam prinsip konflik kombatan, menjadi wajar karena dalam tembak-menembak, pasti satu dari antara pihak kombatan yang bergururan. Begitu juga hukum humaniter. Dalam merespon kasus tersebut, kita dikagetkan dengan pernyataan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang mengatakan, "saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) kita bicarakan kemudian". (CNN – Indonesia, senin, 26/4/2021). Ini pernyataan yang sangat keliru. Mungkin Ketua MPR tidak mengerti perbedaan HAM dan konflik kombatan. Barang kali ketua MPR juga tidak mengerti apa itu semangat Konstitusi dalam bernegara. Kalau ketua MPR saja berpandangan seperti begini, dan tidak menunjukan layaknya ketua MPR sebagai pembentuk konstitusi, akan turut merusak dan mencederai kemanusiaan dalam bernegara. Semangat reformasi dan perubahan UUD’45 adalah untuk membangun negara berdasarkan HAM. Karenanya roh dari UUD’45 adalah HAM. Sebab HAM di dalam UUD’45 ditempatkan di tempat yang tinggi. Karena selain merupakan nilai dasar yang dirumuskan dalam pancasila, juga merupakan tujuan utama dalam berbangsa dan bernegara. Soal HAM itu merupakan prinsip yang utama dalam bernegara. Ko bisa-bisanya seorang ketua MPR mengabaikan prinsip HAM dalam UUD’45? Barangkali Ketua MPR harus rubah UUD’45 lagi. Kemudian rubah juga negara republik jadi negara Tirani. Supaya kekuasaan bisa dipakai untuk mengabaikan HAM. Batasan HAM & Konflik Kombatan HAM dan konflik kombatan, itu dua hal yang berbeda jauh. HAM di Indonesia dirumuskan dengan jelas pada UU No. 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Prinsip HAM juga dikenal sebagai nilai luhur dalam Pancasila. Kemudian diturunkan dalam tujuan bernegara dan konstitusi. Sementara konflik kombatan itu masuk dalam hukum humaniter. Kejahatan HAM dalam perspektif HAM adalah kejahatan yang dilakukan oleh State-Actor kepada warga sipil. Sehingga, jika itu masuk dalam terstruktur, sistematis dan masif, maka termasuk dalam kejahatan HAM berat. Prinsipnya adalah aktor negara sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi jika konlik itu diantara warga sipil, maka itu kemudian disebut “kriminal”. Jika itu konflik kombatan, maka itu tidak masuk rana HAM. Konflik kombatan itu masuk rana hukum humaniter atau yang berlaku adalah hukum humaniter. Jadi, jika TPN-OPM dan TNI-Polri saling tembak-menembak sampai habis, maka itu hal biasa dan wajar dalam dunia hukum humaniter atau dunia hukum perang. Tidak ada aspek HAM dalam konflik kombatan. Berbeda jika masuk rana sipil. Sayangnya, pernyataan Ketua MPR memiliki tendensius yang sangat buruk, seakan memiliki niat dan melegalkan kejahatan HAM dalam wilayah sipil di Papua. Itu bertentangan dengan hukum humaniter dan hukum HAM. Bahkan juga bertentangan dalam sistim hukum di Indonesia. Apalagi bicara soal UUD’45 dan negera republik ini. Kita harus lihat secara dalam batasan dan perbedaannya. Lemahnya wawasan para pemimpin bangsa, bisa berdampak pada korbannya rakyat sipil dan hancurnya sebuah negara. Yang disampaikan ketua MPR adalah tontonan pada seluruh rakyat di Indonesia, itu sangat buruk. Juga menggambarkan bahwa Ketua MPR belum punya kemampuan untuk membedakan apa itu rana HAM dan apa itu rana konflik kombatan. Soal HAM dan konflik kombatan itu mempunya rana yang berbeda. Kita seakan berada di bawah abad-18, abad dimana kejahatan mengesampingkan aspek HAM. Padahal menurut Usman Hamid, “kami sangat menyayangkan pernyataan Ketua MPR RI yang mengesampingkan HAM. Pernyataan itu berpotensi mendorong eskalasi kekerasan di Papua dan Papua Barat. Mengesampingkan HAM, bukan hanya melawan hukum internasional, tetapi juga tindakan yang inkonstitusional. Negara harus menegakkan prinsip negara hukum dan HAM dengan menemukan dan mengadili pelaku penembakan Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny. Insiden itu harus menjadi yang terakhir dan tak boleh dijadikan pembenaran memperluas pendekatan keamanan yang selama ini terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan masalah Papua.HAM itu bicara keselamatan semua. (CNN, 26/04/2021) Menurut Andi Muhammad, Devisi Humas KontraS, pernyataan Ketua MPR tentang penyelesaian konflik di Papua tidak mencerminkan kepribadian dan etika yang baik sebagai pimpinan MPR. Semestinya setiap anggota MPR bekerja dengan menjunjung tinggi HAM. Padahal secara etik berdasarkan Keputusan MPR Nomor 2 Tahun 2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, setiap anggota dituntut untuk menjunjung HAM (Kompas, 29/4/2021). Dari pernyataan yang disampaikan oleh Usman (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia) dan Andi Muhhamad, sesungguhnya pernyataan ketua MPR sangat bertentangan dengan konstitusi. Tidak paham konstitusi. Melegalkan kekerasan dan kejahatan HAM di Papua, bahkan melanggar kode etik MPR No. 2 Thn 2010, dimana setiap anggota MPR dituntut menjunjung HAM. Ketua MPR merespon sikap koalisi yang meminta Ketua MPR menarik pernyataannya dengan menyatakan pada pers, “tak akan menarik pernyataannya. Penembakan dan pembunuhan terhadap Kabinda Papua, sejumlah prajurit TNI-Polri, pembunuhan warga sipil hingga pembakaran sekolah, rumah, dan properti lain milik masyarakat Papua tak boleh terjadi lagi”. “Saya tidak akan menarik pernyataan saya. Tugas saya memberi semangat. Bukan menjadi pengkhianat. Negara tidak boleh tunduk” (Tempo/29/4/2021). Pernyataan tanggal 29 april 2021 dengan menyebut pembakaran sekolah, rumah dan properti lain milik masyarakat, siapa yang melakukan pembakaran? Apakah ketua MPR sudah melakukan investigasi dan menyimpulkan pelaku? Atau hanya beretorika secara politik? Penembakan terhadap Kabinda dan anggota militer adalah konflik kombatan. Konflik kombatan berbeda dengan rana HAM. Pengertian negara tidak boleh tunduk, harus dilihat pada konteks konflik kombatan. Bukan tidak boleh tunduk dengan melakukan kejahatan HAM. Bukankah negara dirikan atas semangat penghormatan pada HAM? Atau HAM yang dimaksud dalam pancasila, UUD’45 dan turunannya itu, di luar dari orang Papua? Kenapa ketua MPR tidak bersuara ketika tiga warga sipil (kakak-beradik) dibunuh oleh aparat negara di dalalam rumah sakit di Intan Jaya. Saat kedua adiknya mengantar kakak mereka yang ditembak dan ditusuk pakai sangkur oleh aparat, untuk berobat di rumah sakit ? Kenapa ketua MPR tidak bersuara terhadap perlindungan masyarakat sipil Papua yang mengungsi agar nyawa mereka tidak lenyap? Kekerasan negara sudah terjadi sejak tahun 1962, dimulai dari Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno 19 desember 1961. Kemudian dilakukan berbagai operasi, adanya kejahatan Pepera. Berbagai operasi militer dan kekerasan itu berlangsung sampai saat ini. Kenapa Ketua MPR tidak pernah bersuara dari aspek kemanusiaan? Apakah ada tendensi rasialisme? Apa sesungguhnya yang terjadi terhadap Papua ? Apakah hak asasi rakyat Papua tidak penting dalam NKRI? Menurut Yones Douw, aktivis HAM, “Jakarta tidak punya komitmen menyelesaikan masalah HAM dan status Politik Tanah Papua. Dalam operasi militer di Nduga dan Intan jaya, TNI-Polri menembak mati masyarakat sipil. Korban dari masyarakat sipil meningkat banyak. Mereka yang mengungsi meningkat, hingga kehilangan pencaharian, dan kematian. Disitulah terjadi genosida” (Tabloid Jubi/30/4/2021). Dari pernyataan aktivis Hak Asasi Manisia tersebut, apakah pernyataan ketua MPR hanya sebagai upaya untuk menutupi berbagai kasus kejahatan pelanggaran HAM terhadap orang Papua di Papua yang sudah terjadi begitu lama? Apa masih ada keseriusan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Pentingkah orang Papua berada di Indonesia dalam perspektif HAM? Barangkali, yang disampaikan Ketua MPR itu memberikan gambaran pada publik, khususnya di Papua bahwa belum ada tokoh nasional yang memiliki wawasan kebangsaan. Satu-satunya tokoh nasional yang hebat sepanjang masa adalah Gus Dur. Gus Dur menempatkan HAM orang Papua sama dengan warga negara lainnya. Sekarang beberapa yang bermunculan, dan itu bisa dihitung. Tokoh-tokoh nasional adalah mereka yang selalu berpihak pada rakyat. Menyuarakan suara ratapan dan tangisan rakyat. Seperti Rocky Gerung, Natalius Pigai, Usman Hamid, dan Haris Hazar. Ukuran tokoh nasional harus jelas dan ketat. Mereka harus berjiwa nasionalis. Jiwa jiwa yang pro rakyat. Semengatnya Pancasilais dan taat konstitusional. Itu yang menyebabkan lahirnya istilah republik. Seluruh anak bangsa harus belajar menjadi tokoh nasional yang bisa mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan rakyat sebagi bentuk perwujudan cita-cita dan nasionalis dalam bangsa. Rakyat bukan untuk dibantai dan dibunuh, apalagi melegalkan kejahatan HAM dalam prinsip bernegara. “Lebih baik kehilangan satu pulau daripada satu rakyat dikorbankan. Nasionalisme mengajarkan untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Bukan mengorbankan nyawa rakyat tak berdoa”. Ke depan ,Ketua MPR, DPR bahkan Presiden dan para menteri baiknya harus dari anak bangsa yang taat HAM dan Konstitusi Ini pembelajaran yang sangat kurang baik, kurang etis, kurang manusiawi, dan melanggar etika kebangsaan dalam semangat Pancasilais, konstitusionalis dan humanis. Dalam sila kedua Pancasila, sangat jelas menegaskan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengabaikan HAM sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Ketua MPR atau pejabat negara lain di Jakarta harus bisa membedakan antara konflik kombatan dan HAM. Harus punya wawasan kebangsaan yang cukup. Punya jiwa nasionalisme yang menyelamatkan rakyat. Memiliki pemahaman yang bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Bisa menjaga warga negara. Tujuan bernegara adalah melindungi warga negara. Bukan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga negara. Seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri soal pemahaman kebangsaan yang sebenarnya dan seutuhnya. Mengelolah negara yang multi kultur, butuh wawasan kebangsaan yang sempurna. Gus Dur harus bisa jadi contoh sebagai Bapak Bangsa yang memper-erat persaudaraan dan pembersatukan perbedaan. Yones Douw memberikan jalan yang soluktif yakni “meminta pemerintah Indonesia berunding dengan rakyat Papua untuk mencari solusi konflik Papua secara Damai. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru menyebabkan masalah baru. Kekerasan di masa lampau menimbulkan trauma kolektif dan upaya balas dendam dari kedua belah pihak”. Karenanya, seorang pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu mencari solusi damai untuk selesaikan masalah bangsa dan masalah negaranya. Bukan memakai kekerasan apalagi mengabaikan HAM. Cara-cara manusiawi dan bermartabat bisa dilakukan dan ditempuh. Alangkah Indahnya jika cara menyelesaikan masalah di Papua melalui Perundingan antara Jakarta (Istana) dan Papua (ULMWP) seperti perundingan di Aceh. Ini yang harus disuarakan oleh pejabat publik. Presiden harus bisa buka diri untuk kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Menggugat Penjajahan Negara & TKA China di Industri Nikel (Bag-2)

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Ironi dan nestapa seputar industri nikel nasional terlalu banyak untuk ditulis. Umumnya membuat perut mual. Ada eksploitasi cadangan tanpa kontrol, larangan ekspor mineral mentah yang pro asing, kebijakan harga patokan mineral (HPM) pro smelter China, manipulasi pajak, dan manipulasi tenaga kerja asing (TKA) China. Jika anda mual, jangan diam. Mari kita advokasi bersama-sama. Kali ini IRESS menulis seputar TKA China yang sangat banyak melanggar hukum. Merugikan negara dan merampas hak rakyat untuk bekerja. Meski sudah banyak digugat berbagai lembaga atau perorangan, termasuk Ombudsman, anggota DPR, serikat-serikat Pekerja, pakar-pakar, serta pimpinan partai dan ormas, masalah TKA China tetap saja berjalan lancar tanpa perbaikan atau tersentuh hukum. Mengapa demikian? Karena ada oligarki penguasa yang melindungi dan ikut investasi dengan para konglomerat dan investor China. Mereka mendapat berbagai pengecualian dengan dalih sebagai penarik investasi/PMA, penggerak ekonomi nasional dan daerah, serta status sebagai proyek strategis nasional (PSN). Namun di sisi lain, dengan berbagai perlindungan dan status tersebut, investasi oligarki dan China ini seolah berjalan di bebas hambatan. Bebas dari rambu-rambu hukum, bahkan kebal hukum. Mari kita cermati lebih seksama. Jumlah TKA China yang masuk Indonesia, terutama pada industri nikel dan bauksit (menghasilkan alumina) telah mencapai ratusan ribu orang. Wilayah yang menjadi tujuan minimal Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Riau. Untuk kasus TKA China ini, perhatikan bebagai pelanggaran yang terjadi sejak 2019 hingga sekarang. Pertama, mereka bebas masuk saat larangan kedatangan orang asing berlaku selama pandemi Covid-19. Ada 10.482 TKA yang masuk selama pandemi-19. Padahal Menaker telah mengeluarkan Surat Edaran M.1.HK.04/II/2020 pelarangan sementara penggunaan TKA asal China akibat wabah Covid-19 sejak Februari 2020. Antara Januari-Februari 2021, ada 1.460 TKA China yang masuk. Ini jelas bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi sendiri yang melarang masuknya warga asing mulai Januari 2021. Presiden hanya basa-basi? Kedua, sebagian besar mereka masuk Indonesia menggunakan visa 211 dan 212, yaitu visa kunjungan yang tidak bersifat komersial. Bukan visa untuk bekerja. Masa berlaku Visa 211 dan 212 maksimum 60 hari. Visa kunjungan tersebut telah disalahgunakan untuk berkeja berbulan-bulan atau tahunan, dan jumlah penggunanya bisa sampai puluhan ribuan TKA China. Ketiga, TKA China yang akan bekerja di Indonesia perlu mendapat visa 311 dan 312. Namun hal ini sengaja dihindari karena perlu memenuhi berbagai syarat seperti skill, waktu dan biaya pengurusan, serta pengenaan pajak. Ternyata para pemberi kerja, pemerintah dan para TKA sengaja menghindari penggunaan visa 311 dan 312. Rekayasa dan konspirasi ini jelas pelanggaran hukum yang serius. Keempat, mayoritas TKA China yang dipekerjakan hanyalah lulusan SD, SMP dan SMA, serta bukan tenaga terampil sesuai aturan pemerintah.T tetapi pekerja kasar. Ini jelas-jelas melanggar aturan dan merampok hak tenaga kerja pribumi mendapat pekerjaan. Padahal Permenaker No.10/2018 antara lain mengatur syarat TKA. 1). Memiliki pendidikan sesuai kualifikasi. 2). Memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja 5 tahun. 3). Mengalihkan keahlian kepada Tenaga Kerja Pendamping. 4). Memiliki NPWP bagi TKA. 5). memiliki ITAS (Izin Tinggal Terbatas) untuk bekerja, diterbitkan instansi berwenang. 6). Memiliki kontrak kerja untuk waktu tertentu dan jabatan tertentu. Pada smelter milik PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dipekerjakan TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Lulusan D3/S1 hanya 2% dan berlisensi khusus 7%. Kondisi lebih parah terjadi pada perusahaan smelter milik PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang mempekerjakan TKA lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%. Lulusan D3/S1 17% dan TKA berlisensi khusus 4%. Para TKA China di VDNI dan OSS, Morosi Sulawesi Tengah ini, sejak awal tidak jelas tentang jenis visa yang digunakan, fungsi dan jabatan pemegang visa. Hal ini melanggar Pasal 38 UU No.6/2011 tentang Keimigrasian. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pernah berdalih TKA China perlu didatangkan karena tenaga kerja lokal tidak memenuhi syarat. Kata LBP lebih lanjut, "kita lihat banyak daerah-daerah (penghasil) mineral kita pendidikannya tidak ada yang bagus. Jadi kalau ada banyak yang berteriak tidak pakai (tenaga kerja) kita, lah penduduk lokalnya saja pendidikannya enggak ada yang bagus. Misalnya saja matematika rendah" Selasa (15/9/2020). Dalih LBP yang membela perusahaan China yang didukung oligarki di atas sangat sumir, manipulatif sekaligus menyakitkan. Tenaga lokal lulusan SMA, D3 dan S1 tersedia melimpah di Sulawesi dan Jawa. Apalagi sekedar lulusan SD, SMP dan SMA. Padahal faktanya VDNI mempekerjakan TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Sedang di OSS, TKA lulusan SD mencapai 23% dan SMP 31%. Inilah salah satu bentuk perlindungan pejabat negara kepada perusahaan asing China, sekaligus fakta perendahan martabat dan kemampuan bangsa sendiri. Kelima, meskipun bekerja di Indonesia, gaji TKA China lebih besar signifikan dibanding gaji pekerja pribumi. Hal ini mengusik rasa keadilan, sekaligus penghinaan terhadap rakyat sendiri. Pada smelter VDNI, persebaran gaji bulanan sekitar 27% TKA menerima Rp 15 juta - Rp 20 juta; 47% menerima Rp 21 juta - Rp 25 juta; 16% menerima Rp 26 juta - Rp 30 juta; 5% menerima Rp 31 juta - Rp 35 juta, dan 4% menerima 36 juta-Rp 40 juta. Hal hampir sama terjadi pada smelter OSS. Mayoritas TKA lulusan SD, SMP dan SMA. Namun memperoleh gaji BESAR dengan sebaran antara Rp 15 juta hingga Rp 35 juta. Untuk jenis pekerjaan yang sama, gaji TKA China ini jauh di atas gaji pekerja pribumi lulusan SD-SMA, yang hanya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 15 juta. Jumlha tersebut sudah termasuk lembur. Nasib pekerja lokal dan nasional di smelter-smelter milik China dan sahabatnya konglomerat oligarkis Indoneia memang tragis. Sudahlah kesempatan kerjanya dibatasi atau dirampok TKA China, gaji pun umumnya super rendah dibanding gaji TKA China. Kita terjajah di negeri sendiri. Keenam, pembayaran gaji para TKA China dilakukan oleh sebagian investor di China daratan. Uang dari gaji tersebut tidak beredar di Indonesia. Tidak ada uang masuk ke Indonesia. Hal ini jelas merugikan ekonomi nasional dan daerah yang mengharapkan adanya perputaran ekonomi, peningkatan PDRB dan nilai tambah dari kegiatan industri nikel nasional ini. Mengharap nilai tambah apa, jika kesempatan kerja kasar bagi lulusan SD-SMA pribumi saja dirampok TKA China? Ketujuh, dengan pembayaran sebagian gaji TKA dilakukan di China, maka negara potensial kehilangan penerimaan pajak. Tidak ada jaminan VDNI, OSS dan sejumlah perusahaan smelter China lain di Indonesia, khususnya pada industri nikel dan bauksit membayar pajak. Negara berpotensi kehilangan pendapatan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) yang harus dibayar investor kepada pemerintah, yang akan tercatat sebagai PNBP. Apakah pemerintah dan lembaga terkait memahami potensi manipulasi dan kejahatan sistemik ini. Apakah pemerinrtah berani bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku? Jika masalah visa, pajak, DKPTKA dan tak jelasnya kontribusi bagi daerah penghasil ini terus berlangsung dan mendapat perlindungan pemerintah atas nama investasi (FDI), pertumbuhan ekonomi dan proyek strategis nasional, lalu negara dapat apa? Rakyat sendiri dipajaki, sementara sebagian perusahaan China dan konglomerat oligarkis bebas bayar pajak dan mendapat pula berbagai fasilitas yang melanggar aturan. Kapan ketidakadilan ini diakhiri? Di tengah terjadinya banyak PHK dan bertambahnya pengangguran yang memiskinkan puluhan juta rakyat Indoensia akibat pandemi, ratusan atau mungkin ribuan TKA China terus masuk setiap bulan. Terlepas dari berbagai pelanggaran yang terjadi pada industri tambang mineral, khusus isu TKA China, minimal kita menemukan tujuh masalah yang melanggar aturan, merampok hak pribumi dan merugikan keuangan negara seperti diurai di atas. Pelanggaran tersebut bukan saja direkayasa dan disengaja. Tetapi juga berjalan dengan sangat aman. Terkesan mendapat dukungan atau minimal perlindungan pemerintah. Karena itu, wajar jika rakyat menuntut agar perusahaan PMA seperti VDNI dan OSS diproses secara hukum dan siberi sanksi atas semua pelanggaran dan manipulasi yang dilakukan. Hal ini juga sekaligus untuk membuktikan pemerintah mampu bersikap adil, serta tidak pro investor China dan konglomerat oligarkis. Berbagai pelanggaran di atas berdampak pada hilangnya kesempatan bagi sebagian rakyat untuk bekerja di negara sendiri. Bahkan negara kehilangan kesempatan memperoleh penerimaan pajak dan PNBP triliunan rupiah. Kondisi ini merupakan hal yang harus dibuka terang-benderang dan diselesaikan sesuai hukum secara transparan, bermartabat dan berdaulat. Jika pelanggaran ini terus berlangsung, berhentilah meneriakkan kata “MERDEKA”. Karena faktanya NKRI sedang dijajah di negeri sendiri oleh China Bejing dan anteknya di Indonesia. Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.

Polisi Semakin Arogan, Sudah Waktunya Direstrukturisasi (Bagian-1)

Reformasi dan demokrasi, yang menjadi faktor kunci perubahan fundamental eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam tatanan ketatanegaraan kita, ternyata jauh dari cita-cita dan tujuan berbangsa Indonesia. Kepolisian justru semakin tampil mencekik reformasi dan demokrasi itu sendiri. Kepolisian benar-benar gagal mengenal, memahami dan mengaktualisasikan dirinya dalam nilai-nilai reformasi dan demokrasi yang memisahkannya dari TNI. by Luqman Ibrahim Soemay Gorontalo FNN - Kepolisin sekarang semakin memantapkan diri untuk menjadi lawan dan musuh utama dari reformasi dan demokrasi. Citra buruk TNI selama 32 tahun sebagai penopang utama kekuasaan rezim Orde Baru sekarang diambil-alih dengan sempurna Kepolisin. Prilaku buruk yang sudah ditinggalkan oleh TNI dengan senang hati (legowo). TNI sadar betul kalau menjadi musuh reformasi dan demokrasi, maka akan selalu dikenang sebagai catatan buruk perjalanan negeri ini. Dari waktu ke waktu, hari ke hari disepanjang rute reformasi dan demokrasi gelombang kedua (1998-hinga sekarang) setelah gelombang pertama 1950-1959, Kepolisian terlihat semakin menakutkan dan menyeramkan untuk rakyat negeri ini. Arogansinya Kepolisian tak kunjung menemui titik akhir. Arogansi mereka terhadap Buya Hamka dulu, terus saja terlihat dalam berbagai bentuk dan sifat, yang pada sejumlah aspek memiliki kemiripan. Buya Hamka dituduh (dengan direkayasa) Kepolisian kalau Buya Hamka terlibat dalam rapat gelap untuk menggulingkan Bung Karno. Rapat itu, begitu yang dikarang para polisi dari Departemen Kepolisian (Depak), berlangsung disebuah rumah di daerah Tengerang. Tidak itu saja, Buya Hamka juga dituduh (dengan rekayasa) Polisi tergabung dalam Gerakan Anti Soekarno ( GAS). Bejat betul polisi-polisi ketika itu, yang mungkin saja telah almarhum, semoga Allaah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa mereka. Mereka polisi-polisi bejat tersebut tahu betul bahwa kasus yang dikenakan kepada Buya Hamka itu full dengan rekayasa. Tetapi polisi-polisi itu malah dengan gagah dan membanggakan berani menyuruh Buya Hakmka untuk berbicara dengan jujur. Kurangajar dan tak punya hati memang. Sudah merekayasa kasus, tetapi meminta untuk Buya Hamka jujur. Pembaca FNN yang budiman. Untuk mengetahui selengkap-lengkapnya kasus rekayasa Polisi-polisi bejat itu terhadap Buya Hamka, kami persilahkan untuk baca sampai tamat buku dengan judul “Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi”. Penulisnya adalah Haidar Mustafa. Penyunting adalah Farid Wijan. Penerbitnya adalah Imania. Cetatakan pertama tahun 2018. Sekali lagi bacalah baik-baik buku ini, karena kami percaya, dari sana pembaca FNN yang budiman memproleh hikmah apa yang terjadi dengan Kepolisian kita hari ini. Dengan demikian, pembaca FNN akan terbentuk perspektif yang masuk akal tentang bagaimana cara yang tepat dalam mengontrol dan mengendalikan arogansi Kepolisian ke depan. Oke, pembaca FNN yang budiman. Boleh saja ada yang mengatakan kalau arogansi Kepolisian terhadap Buya Hamka itu bisa terjadi oleh satu sebab yang mendasar. Sebab itu adalah mungkin saja kala itu belum ada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur cara-cara kerja polisi yang bermartabat, berdasarkan hukum dan berkemanusiaan. Kala itu hukum acara masih didasarkan pada HIR peninggalan penjajah Belanda. Okelah kalau begitu. Tetapi apakah arogansi Kepolisian itu berhenti setelah KUHAP terbentuk pada tahun 1981 lalu? Masih ingatkah pembaca FNN kasus Karta dan Singkong? Setelah dua anak manusia ini dipenjara bertahun-tahun, muncul fakta baru yang menyangkal keduanya sebagai pembunuh korban. Masih ingatkah kasus Udin, jurnalis di Jogyakarta yang hilang, entah kemana? Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 20 Tahun V, tangga 13 Januari 1997 menulis kasus ini dengan sangat menarik. Dwi Sumadji, tersangka pembunuh wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudin dibebaskan dari tahanan. Polisi dianjurkan mencari terasangka lain. Lebih lanjut Majalah FORUM Keadilan menulis, penahanan terhadap Dwi Sumadji alias Iwik, tersangka kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudfin, sudah ditangguhkan. Tidak urung, penangguhan tersebut mengesankan kalau polisi akhirnya kebingungan sendiri. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa Iwik hanya korban dari rekayasa penyelidikan dan penyidikan Polisi bejat ketika itu. Untuk mengukap kasus ini, banyak pihak ketika itu yang menyarankan agar polisi mulai menyidik tersangka alternatif. Oke itu urusan rekayasa kasus. Sekarang mari melihat penambahan jumlah Polda yang terjadi pada tahun 1996. Polda yang semala jumlahnya hanya 17, sejak tahun 1976 itu dimekarkan. Begitu istilahnya sesuai dengan jumlah provinsi. Praktis setiap provinsi ada Polda. Ini diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1996. Lagi-lagi Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 14 Tahun V, tanggal 21 Oktober 1996 mempertanyakan efekfitas kehadiran Polda-Polda baru tersebut. Pertanyaan Majalah FORUM Keadilan itu berbunyi begini, “apakah penambahan Polda-Polda baru akan menjamin kinerja Polisi semakin baik dalam menangani kriminalitas? Majalah FORUM Keadilan tidak memiliki jawaban yang kongklusif. Majalah FORUM Keadilan hanya menyatakan masih harus menunggu kenyataan. Disisi lain Kapolri Jendral Polisi Drs. Dibyo Widodo menyatakan tujuannya adalah untuk memang meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Empat tahun setelah itu, gagasan pemekaran Polda-Polda tersebut direalisasikan. Namun tragisnya, publik Indonesia digemparkan dengan perilaku buruk seorang Wakapolres. Publik terhentak dengan pemberitaan Majalah FORUM Keadilan esisi nomor 39, tanggal 29 Oktober 2000 menurunkan berita dengan judul “Polisi Beking Itu Babak Belur”. Wakapolres Sinjai, Senior Inspektur Sapewali dan ajudannya Kopral Ahmad Patudani, keduanya diamuk masa masyarakat di daerah tersebut. Dua gigi sang Wakapolres sampai copot dibuatnya. Lalu, apa penyebabnya? Warga menduga Wakapolres Supewali adalah beking dari perjudian, pencurian ternak dan penjualan ballo (tuak) di Kabupaten Sinjai. Menggunakan judul “Pak Polisi”, Pemimpin Redaksi Karni Ilyas dalam catatan hukuk Majalah FORUM Keadilan edisi nomor 16, tanggal 25 Juli 1998 menulis begini, “penegakan hukum di hiruk-pikuk reformasi ini bukan semakin baik, malah membingungkan. Berbagai aparat hukum lebih terkesan meriah, tetapi tidak memberikan kepastian hukum apa-apa”. Karni Ilyas selanjutnya menulis, “ketika masyakarat mengharapkan Polisi melakukan tindakan-tindakan untuk memberi rasa aman, Polisi justru melakukan tindakan sepele yang mengundang perdebatan luas. Misalnya, pekan-pekan ini, tiba-tiba saja polisi memperkarakan media cetak yang menyiarkan tulisan dan gambar-gambar yang dianggap porno”. (bersambung). Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Wuiiish Munarman Ditangkap, Kriminalisasi?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Penangkapan terhadap mantan Sekretaris Jendral dan Juru Bicara Frot Pembela Islam (FPI) Munarman yang dikaitkan dengan terorisme, dan itu terjadi tahun 2015, adalah aneh. Orang dengan mudah nyeletuk mestinya tangkap tahun itu kan ada bukti acara FPI Makassar dan lainnya. Munarman juga berulang melakukan klarifikasi soal acara tersebut. Persoalan sebenarnya adalah bahwa keperluan untuk melakukan penangkapan itu memang saat ini. Bukan tahun 2015 lalu itu. Apalagi di tengah kasus Habib Rizieq Sihab (HRS) yang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dimana Munarman menjadi salah satu pembelanya. HRS, FPI, dan Munarman adalah target politik perlu dilumpuhkan dengan perangkat hukum. Salah atau benar berdasarkan hukum, itu urusannya nanti. Pasalnya nanti bisa dicari-cari belakangan. Yang paling panting itu adalah tangkap, dan selanjutnya ditetapkan menjadi tersangka saja dulu. Sebab ini bukan ansih urusan hukum, yang dasar rujukannya adalah benar atau salah menurut. Ini berkaitan dengan urusan politik. Politik itu tidak menganal salah atau benar. Lumpuhkan dulu lawan politik. Begitu kekuasaan politik punya keinginan. Akibat dari kekuasaan yang salah dalam mengelola negara. Kewengan publik dikelola dengan cara-cara yang amtiran dan kampungan. Akibatnya kekuaaan yang kepusingan ketika berhadapan dengan sikap kritis dari orang-orang seperto HRS, Munarman, Syaganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, Gus Nur dan lain-lain. Penangkapan Munarman oleh Densus 88 menimbulkan pro dan kontra. Fadli Zon menyebut mengada-ada. Haris Rusly Moti, mantan Presiden PRD yang mengenal dengan Munarman mengatakan sangat berlebihan kalau dituduh teroris. Menyeret secara tidak berkemanusiaan dari rumah kediamannya dinilai melanggar Hak Asasi manusi (HAM) karena untuk memakai sandal saja tak diberi kesempatan. Sebagai advokat, tentu perlakuan polisi ketika menangkap seperti itu di luar batas kepatutan. Advokat yang semestinya diperlakukan dengan hormat. Melalui proses pemanggilan hukum tentu Munarman akan datang memenuhi. Sebagai mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Munarman bukan tipikil anak bangsa yang melanggar hukum. Kalau melawan kezoliman dan perlakuan tidak adil, otoriter punguasa, Munarman paling depan. Jika kriminalisasi menjadi target, makan apapun bisa dilakukan penguasa. Asas praduga tak bersalah sangat mudah diabaikan. Barang bukti dapat diolah, bubuk deterjen pembersih toilet di markas Petamburan bisa menjadi narkoba atau bahan peledak. Untuk meledakkan para cecunguk atau tikus. Buku do'a, kumpulan hadits dapat dituduh menjadi panduan untuk mati syahid. Dengan tuduhan terorisme maka semua prosedur hukum dapat dilewati. Sejak jaman Adnan Buyung Nasution dahulu Munarman sudah menjadi advokat di LBH. Munarman sangat gigih membela klien korban pelanggaran HAM. Pembelaan dalam kasus HRS menunjukkan kualitasnya yang faham hukum, cerdas, dan berani. Wajar jika Munarman selalu menjadi subyek dan obyek berita media massa maintsream, baik dalam maupun luar negeri. Ketika kini dikaitkan keterlibatan dengan terorisme yang jelas melanggar hukum, maka tentu jauh dari karakter dan kapasitas Munarman yang selama ini dikenal masyarakat. Publik dipastikan tidak akan percaya dengan tuduhan yang dialamatkan Densus 88 Polri kepada Munarman. Apalagi Munarman terkenal memiliki prinsip kehati-hatian hukum yang tinggi dalam rangka penegakkan hukum. Ya proses politik sedang berjalan HRS, FPI, dan Munarman memang menjadi target. Dari kacamata ini kita dapat melihatnya, sebab jika konteksnya penegakkan hukum dan keadilan, maka peristiwa HRS, FPI, dan Munarman tentu tidak akan terjadi. Menjadi pertanyaan umum di kalangan publik, kita ini sedang menjalankan prinsip negara hukum atau negara kekuasaan? Jika yang kedua, yaitu negara kekuasaan, maka kriminalisasi bisa saja menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja untuk rezim atau penguasa. Hanya masalahnya apakah masyarakat, rakyat, dan umat haruskah pasrah untuk berada dibawah bendera negara kekuasaan? Jangan menjaawabnya sekarang. Nanti saja. Simpan saja dulu jawabannya. Pertanyaan, sudah tidak ada lagikah pejuang kebenaran dari kalangan ulama, cendekiawan, politisi, pengacara, TNI-Polri, mahasiswa, buruh dan elemen strategis lainnya? Tentu masih banyak aktivis perjuangan yang memiliki kepedulian. Kasus Munarman yang juga diyakini bukanlah teroris, namun kepentingan politik begitu mudah mengaitkan dengan terorisme. Kasus Munarman ini perlu dikawal proses hukum yang dijalankan. Semoga asas praduga tak bersalah tidak disimpan Densus 88 Polri di tong sampah, sehingga tetap diberlakukan. Polisi hanya institusi penegak hukum. Bukan lembaga yang benar menurut hukum. Pengadilan saja masih diragukan putusannya kalau tunduk pada tekanan kekuasaan. Apalagi Cuma polisi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Penangkapan Munarman di Live Televisi, Mau Cuci Tangan KM 50?

by Tarmidzi Yusuf Bandaung FNN - Kemarin sore (27/4) Munarman, mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) ditangkap Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di rumahnya, Perumahan Modern Hills Pamulang Tangerang Selatan. Terlihat seperti mengerikan dan menakutkan. Munarman baru terduga. Belum pernah diperiksa. Apa alasan Polisi memperlakukan Munarman seperti itu? Tak berselang lama dari penangkapan Munarman. Markaz FPI di Petamburan Jakarta digeledah oleh Densus 88 Polri. Katanya ditemukan bahan peledak. Sudah diduga juga arahnya mau kemana. Lebih mengerikan lagi. Saat tiba di Polda Metro Jaya, tangan Munarman diborgol dan mata ditutup kain hitam. Seru seperti di film G 30 S/PKI. Jangankan teroris, penjahat aja bukan. Penangkapan Munarman disiarkan secara Live di sebuah stasiun televisi. Menjelang berbuka lagi. Biasanya banyak yang di depan televisi. Ini bentuk framing dan stigmatisasi dari penguasa. Tontonan di bulan Ramadhan yang sangat menyakiti ummat Islam. Ada apa dibalik ini? Bukankah ini hanya akal-akaln untuk pengalihan dari masalah yang sebenarnya? Apa itu masalahnya sebenarnya? Upaya “cuci tangan” pembantaian dan pembunuhan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) yang Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah diratakan dengan tanah itu? Terorisasi FPI dan Islam. Tujuannya adalah agar dugaan keterlibatan seorang jenderal dan kelompok sekuler kiri radikal dalam kejahatan di kilimeter 50 tol Japek tidak bisa dituntut dan diungkap? Apakah Munarman itu teroris? Apakah ada bukti? Atau hanya berdasarkan pengakuan dari seorang mantan anggota FPI yang sudah digarap, lalu dikait-kaitkan dengan bom Makassar Maret 2021 lalu? Katanya karena itu-ikutan baiat dengan ISIS. Padahal bukankah ISIS itu organisasi teror buatan MOSSAD, CIA dan SAVAK? Alasan yang kurang logis. Mengapa Densus 88 hanya bisanya menangkap Munarman doang yang dituduh sebagai teroris itu? Sementara OPM yang telah membunuh Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen IGP Danny, Densus 88 tidak turun tangan. Densus lagi dimana saja ya? Apakah ada bukti otentik kalau Munarman dan FPI pernah melakukan teror? Berapa orang yang mati terbunuh akibat tindakan teror yang dilakukan oleh Munarman dan FPI? Boleh dong publik ingin mengetahui. Asal datanya valid saja. Agar tidak ada dusta diatas dusta. Mengapa Densus 88 tidak turun tangan menghadapi OPM yang jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI? Bahkan Mabes Polri seperti dilansir CNN Indonesia (27/4), menolak menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST). Wajar bila ummat Islam curiga. Karena ada standar ganda? Keras terhadap ummat Islam. Lembek ke non Islam. Padahal, apakah itu OPM, KKB atau KST itu maunya merdeka lagi bro Densus 88 Polri. Omong kosong dengan NKRI harga mati yang disuarakan oleh agama tertentu dan etnis minoritas radikal. Apakah belum cukup bukti pembunuhan dan tindakan kekerasan yang dilakukan berulang kali oleh OPM, KKB dan KST? Kepala BIN Papua Brigjen IGP Danny tewas terbunuh oleh OPM. Kenapa yang ditangkap hanya Munarman? Bukan OPM, KKB KSN yang ditangkap Densus 88 Polri? Publik berhak mendapat penjelasan yang masuk akal. Bukan penjelasan pembenaran. Ada apa dengan Densus 88? Apakah betul Densus 88 dibentuk targetnya hanya Islam dan ummat Islam? Masih ingat terorisasi terhadap Ustadz Abu Bakar Ba'asyir beberapa tahun silam. Ummat Islam percaya? Tidak bro. Desas-desus siapa dibelakang Densus 88 ramai diperbincangkan di media sosial. Menyebut tokoh dari etnis minoritas tertentu dan kelompok sekuler kiri radikal. Ummat Islam patut saja curiga. Pasalnya, yang nyata-nyata gerakan separatis dan teroris seperti OPM/KKB Papua tidak diapa-apain. Apakah karena OPM, KKB dan KSN itu mayoritas beragama non muslim? Sehingga Densus 88 Polisi tidak bergerak kesana? Padahal sudah banyak yang dibunuh OMPM, KKB dan KSN itu. Misalnya membunuh anggota TNI, Polri dan warga masyarakat termasuk Brigjen IGK Danny. Pnulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

Munarman Teroris? Densus 88 Polri Gaweannya Lucu Amat Sih!

Sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an, Munarman sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI jika kekuasaan Soeharto berakhir kelak. Kini Munarman mau dituduh teroris? Ya pastinya mayoritas aktivis ‘98 yang mengenalnya puluhan tahun, tidak mau percaya degan geweannya Densus 88 Polri yang lucu-lucuan itu. Namun kalau Polisi menuduh Munarwan sukanya melawan kekuasaan yang zolim, tidak adil, semena-mena dan otoriter, korupsi dana bansos dan uangnya kaum difabel, antek aseng dan asing Bejing, itu mungkin ada benarnya. Karena itulah yang dikenal dari seorang pejuang demokrasi yang bernama Munarman. by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN – Ade pameo di polisi, kalau "teman satu angkatan atau teman seperjuangan saja bisa dikorbankan, apalagi orang lain". Pamoe ini sekarang terbukti pada diri Munarman, yang sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI. Namun sekarang Munarman ditahan Polisi dengan tuduhan yang dibuat-buat, karena kejadiannya sejak tahun 2015 lalu. Yang terjadi pada Munarman ini, bukan lagi seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Tetapi seperti kacang lupa sama tanah yang pernah menyuburkan dan membesarkan pohon kacang. Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga untuk para aktivis muda lainnya, agar belajar dari kasus Munarman. Jangan sampai menyesal di belakangan tidak ada gunanya. Masyarakat sama sekali tidak terkejut ketika Selasa sore (27/04/2021), menyaksikan dan membaca berita berbasis satelit, Munarman ditangkap oleh Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di kediamannya, Blog G Klaster Lembah Pinus, Perumahan Modern Hills, Pamulang, Tangerang Selatan. Perlakuan polisi terhadap Munarman ketika ditangkap juga sangat buruk dan tidak manusiawi. Tuduhan utama polisi terkait penangkapan mantan Sekretaris Jendral eks Front Pembela Islam (FPI), yang sekarang ini tengah mati-matian memperjuangkan kepentingan hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut, adalah terkait baiat di UIN Jakarta, Makassar dan Medan beberapa waktu lalu. Munarman yang nampak tidak takut itu, lalu dibawa masuk ke mobil putih dan meluncur ke Mapolda Metro Jaya. Tuduhan Munarman terkait teroris itu disampaikan oleh Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan. "Jadi (penangkapan) terkait dengan kasus baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan. Jadi ada tiga hal tersebut," kata Ramadhan pada wartawan. (Kompas.com, 27/4/2021). Yang paling nyata disini, ayah tiga putra kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 53 tahun silam, itu bukan sosok bajingan atau pengkhianat Merah Putih yang akan menjual NKRI ke negara lain. Dia bukan anak PKI, dan dia sendiri juga bukan penganut paham komunis. Bukan koruptor bansos dan difabel, Juwasraya, Asabri serta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan bandar atau penyebar narkoba. Bukan teroris. Munarman bukan pelaku yang menguras habis uang negara. Dia tidak turut campur dalam merancang UU Omnibus Law. Bukan pula perancang tergerusnya Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bukan perancang hilangnya pelajaran Agama Islam dan Bahasa Indonesia bagi anak didik sekolah. Munarman bukan sosok yang membuang pendiri NU, Hasyim Ashari, dari literasi sejarah. Yang kita kenal, Munarman adalah oposan negara yang setiap saat merobek robek ketidak adilan rezim Jokowi (panggilan Presiden Joko Widodo). Munarman sebagaimana rekan seperjuangannya, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang lebih dulu berurusan hukum, memperjuangkan ketidak adilan dibidang hukum, ekonomi, politik maupun ketimpangan rezim lainnya. Munarman bergerak dalam basis akidah Islam yang kental, kuat dan mendasar. Ibarat jet tempur F-16 Fighting Falcon, Munarman meluncur secara Fly by Wire dengan kendali Sang Khaliq di Singgasana Arasy. Karenanya, Munarman babar blas tidak ragu. Apalagi gentar tentang apa yang dia perjuangkan. Sebagai pejuang demokrasi dan kemanusiaan, Munarman tentu tidak gagal paham tentang resiko yang akan dialaminya. Secara fighter view, penjara akan diterjemahkan sebagai anugerah tanda jasa luar biasa. Atau ibarat sakera dari Madura. Penjara akan dipandang sebagai tempat mengasah celuritnya. Hingga semakin tajam dan mematikan musuh-musuhnya, kelak jika keluar penjara. Jangan mengaku pemain bola, jika belum punya bekas luka jatuh akibat tackling lawan. Atau jangan mengaku pengganti Valentino Rossi dan Dani Pedrosa di Motor GP, jika belum pernah patah tulang akibat tersungkur saat meluncur sentrifugal di lintasan kelok. Itu semua hal biasa saja untuk seorang Munarman, yang sudah pernah ditahan di Polda Metro Jaya. Itu sekedar contoh tentang nilai-nilai perjuangan Munarman. Perjuangan yang tidak mungkin dicapai hanya dengan melakukan korupsi. Atau menjual bangsa dan negara dengan memburu rente Vaksin Sinovac. Munarman tidak menjual bangsa dengan hanya dengan berpura-pura kerja sama investasi. Atau malah menuduh para pejuang kebenaran, sebagai biang keladi kerusuhan. Tidak seperti itu. Munarman menyuruh anak buahnya dari FPI berada di garda terdepan setiap kali bencana alam terjadi. Pada hari pertama ,ketika institusi negara belum hadir di setiap bencana alam, anak buah Munarman dari FPI sudah berada di lokasi benacana. Wajar saja kalau media internasional kelas Washinton Post, New York Times mengganjal FPI sebagai organisasi paling manusiawi dalam setiap bencana alam. Bicara penjara dan pejuang, maka hampir semua pahlawan nasional pejuang revolusi dan kemerdekaan NKRI pernah mengenyam indahnya jeruji besi. Keluar masuk penjara tak membuat mereka kapok untuk melawan penjajah dan kekuasaan yang zolim. Bahkan, mungkin malah dianggapnya keluar masuk rumah makan saja. Karena melawan kekuasaan yang zolim pasti mengantarkan mereka ke syurga. Itu pasti. Tidak ada keraguan. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno, Mohamad Hatta, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin, Sultan Nuku, Kapitan Pattimura, serta sejumlah pahlawan lainnya yang turut mendirikan negeri ini. Posisi mereka tak ubahnya Munarman, HRS, Sobri Lubis Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan para pejuang masa kini lainnya. Mereka pilih keluar dari zona-zona nyaman. Para pejuang dan pahlawan terdahulu musuh utamanya penjajah. Mereka bukan saja dipenjara, melainkan juga disiksa, bahkan dibuang ke pulau terpencil atau luar negeri. Harta-benda, bahkan nyawa mereka dipertaruhkan. Yang mereka tidak pertaruhkan hanyalah kebenaran dan akidah. Sekarang tugasnya berteriak melawan kekuasaan yang zolim dan tidak adil. Kekuaksaan yang semena-mena dan otoriter. Tak terperikan perjuangan mereka. Namun, Bung Karno masih mengakui kalau berat perjuangannya masih belum seberapa, jika dibandingkan perjuangan para pahlawan sesudahnya kelak. Kata Bung Karno, “perjuanganku tidak seberapa, sebab musuhku jelas Belanda. Sedangkan musuhmu nanti adalah bangsamu sendiri. Maksud Bung Karno kura kira "merepotkan". Dibilang musuh itu, kawan. Tetapi dibilang kawan, ternyata (mohon maaf, karena bulan puasa) bangsat. Ternyata benar apa yang "ramalkan" Bung Karno. Sekarang sudah terbukti. Munarman, HRS, Sobri Lubis, Syahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan sahabat senasib seperjuangannya, kini berhadapan dengan musuh yang tak lain adalah bangsanya sendiri. Munarman sejak menjadi aktivis akhir 1980-an, selalu bersikap melawan rezim zolim dan otoriter Soeharto. Rezim yang menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan untuk memenjarakan para aktivis demokrasi. Sikap Munarman itu tidak pernah bergeser sampai sekarang. Keputusannya menerima jabatan KetuaYayasan Lebaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Katua Kontras, dua LSM Menteng yang menjadi salah satu musuh utamnyanya kekuasaan Soeharto adalah pilihan melawan kekuasaan zalim, otoriter, dan tidak adil. Ketika Munarman bercita-cita untuk memishkan Polisi dari ABRI di tahun akhir tahun 1980-an dan saat menjabat Ketua YLBHI dan Ketua Kontras dulu, yang hari ini menjadi pemimpin Polisi belum menjadi anggota Polisi. Sebagian besar masih menjadi siswa taruna polisi di Magelang dan Akpol Semarang. Masih berjuang untuk menjadi anggota polisi. Namun Munarman sudah berjuang melawan kekuasaan yang menjadikan Polisi sebagai alat politik untuk memukul lawan-lawan politik Soeharto. Ingat itu petuah orang tua-tua kampong, "jangan seperti kacang yang lupa kulitnya". Selain sebagai Ketua YLBHI dan Ketua Kontras, Munarman juga mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PPI) dan Himpunan Mahasiswa islam (HMI). Para aktivis '98 yang kenal dengan Munarman sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an seperti Fadli Zon, Haris Rusli Moti, Agus Prijono Jabo, Yusuf Lakaseng, Ray Rangkuti, Fahri Hmazah, Muhammad Naufal Donggio, Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Adi Arief, Bursah Zarnubi, Rama Pratama, Iwan Somule, Adam Wahab, Ahmad Muzani, Adrianto, Ahmad Yani, pastinya tidak akan percaya kalau Munarman terpapar paham teroris. Begitu juga dengan almarhum Bang Buyung Nasution dan almarhum Bang Mulyana W. Kusumu, mungkin saja akan menjadi saksi di pengadilan akhirat kalau Munarman pasti tidak terpapar teroris. Karena yang menjagokan Munarman menjadi Ketua YLBHI adalah Bang Buyung Nasution dan Bang Mulyana W. Kusuma. Hampir dipastikan kali ini Densus 88 Polri keliru besar. Hanya karena khawatir kemungkinan Munarman yang menjadi Ketua Tim Pembela HRS, bakal menangkis semua alibi Polisi dan Jaksa di persidangan. Selain itu, hawatir juga Munarman bakal membongkar keterlibatan intitusi negara di luar Kepolisian yang diduga terlibat dalam pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Sebab kalau hanya soal dugaan keterlibatan teroris (baiat) yang terjadi tahun 2015 dulu, masa sih mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian PhD tidak tau? Ingat, Pak Tito itu orang hebat di Densus 88 lho, selain Pak Gories Mere. Apalagi Munarman sering berkomunikasi dengan Pak Tito, karena punya hubungan baik. Sama-sama Wong Kitogalo dan sekolah di SMA yang sama. Kalau Munarman itu terpapar paham teroris, tidak mungkin Pak Tito yang sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan menjadi salah satu kandidat potensial untuk Calon Presiden 2024 nanti itu tidak tau. Sebab bisa jadi dugaan tindak pidana yang kemukinan polisi lain tidak tau, Pak Tito pasti tau. Sedangkan yang Pak Tito tau, belum tentu polisi lain tau. Ingat, Pak Tito itu polisi hebat, polisi pintar, polisi cerdas. Polisi yang top markotp. Makanya Densus 88 Polri sebaiknya jangan sampai anggap reme Pak Tito, kalau sampai menuduh Munarman terpapar teroris. Itu kurang baik, bahkan kurang ajar. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Kasus KM 50, Diduga Institusi Kepolisian Yang Mau Dikorbankan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Hingga kini Kepolisian masih otak-atik untuk mengumumkan nama-nama tersangka pembunuhan enam anggota laskar mantan Front Pdembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Konon satu orang palakunya sudah meninggal dalam kecelakaan tunggal. Itu pun tak jelas peristiwanya. Dunia tentu mentertawakan kinerja dan pekerjaan yang sebenarnya sangat mudah, akan tetapi menjadi sulit seperti ini. Masalah sulitnya adalah karena berupaya untuk mempertimbangkan skenario dan menyembuyikan kebenaran. Bukan menguak fakta kebenaran atau keadilan. Lemparan awal yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dan logika. Akibatnya yang berikutnya bisa berubah ubah. Penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sarat dengan kritik keraguan publik juga menghadapi kemandegan tindak lanjut. Meski Komnas HAM telah diback-up habis Presiden Jokowi dan Menteri Kordintor Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) masih berjalan di tempat. Tidak melakukan penyelidikan lanjutan Komnas HAM seharusnya melakukan penyelidikan lanjutan yang bersifat pro justisia. Sebab penyelidikan pro justisia itu sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Tinggal menyampaikan pemberitahuan kepada Kejaksan Agung bahwa Komnas HAM sedang melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus kilometer 50 tol Japek. Pertanyaan paling mendasar adalah benarkah pembunuh enam anggota Laskar FPI itu adalah aparat Kepolisian atau instansi lain selain Kepolisian? Melihat penetapkan tersangka yang berbelit-belit, dan cenderung disembunyikan, maka wajar saja kalau publik meragukan intitusi kepolisian sebagai pelaku pembunuhan. Meskipun telah diakui oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imran. Yang diragukan dan dibicarakan publik bukan hanya soal dua korban "tembak-menembak" dan empat yang ditembak. Sebab keenam anggota laskar mantan FPI itu mengalami luka tembak mematikan yang sama, yaitu seluruhnya ditembak dari jarak dekat. Memilah-milah keduanya adalah keliru besar. Komnas HAM hanya menerima keterangan sepihak dan diduga kuat ikut menyembunyikan kebenaran. Jika Polisi sudah yakin bahwa pembunuh itu Elwira, Yusmin dan Fikri Ramdhani, maka segera umumkan saja, dan selesai. Selanutnya tangkap dan tahan mereka. Tinggal penyidikan lanjutan atas status tersangka mereka. Masalahnya adalah pelapor awal yang mentersangkakan "korban" pembunuhan adalah justru paket lain, yaitu Faisal, Fikri, dan Adi Ismanto. Pilihan paket ini juga menjadi menarik. Tampak kalau Bareskrim Polri masih ragu dengan skenario ini. Sebab bisa-bisa mengorbankan institusi Kepolisian yang mungkin saja bukan pelaku sebenarnya. Wajar kalau publik menduga, pelakunya anggota polisi yang diperbantukan ke institusi negara yang lain. Akibatnya adalah institusi Kepolisian akan dicatat oleh sejarah sebagai pelaku pembunuhan warga negara yang berada dalam penguasaan anggota polisi yang bertugas. Beredar viral tentang adanya tim penguntit dan pemburu Habib Rizieq (HRS) dan rombongan yang ternyata bukan semata-mata hanya dari elemen Kepolisian. Ada banyak personal dari Badan Intelijen negara (BIN). Diantaranya anggota BIN dari Daerah. Penguntitan yang dilakukan puluhan personal tentu saja didasarkan atas Surat Tugas dari atasan. Kalau dengan Surat Penugasan dari atasan, maka dengan demikian ada kegiatan yang dilakukan secara sistematik dan terencana. Sehingga menjadi unsur-unsur dari terjadinya pelanggaran HAM berat. Aneh saja kalau Komnas HAM tidak berani mendapatkan keterangan atau informasi dari personil yang bukan dari institusi Kepolisian seperti ini. Komnas HAM hanya fokus di Polri saja. Kalau benar terlibat, maka lambat atau cepat dugaan keterlibatan institusi lain di luar Kopolisian pasti akan terungkap. Itu berarti penyelidikan duagaan adanya pelanggaran HAM terkait pembunuhan enam anggota lankar mantan FPI di kilometer 50 tol Japek bakal dimulai dari awal lagi. Hasil kerja Komnas HAM yang sekarang bisa dikatagorikan sebagai penyelidikan yang abal-abal semata. Dugaan hubungan antar instansi sebagai bagian operasi sistematik ini tergambarkan melalui cepatnya konperensi pers Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman. Jika konteks pembunuhan adalah penegakkan hukum, maka cukuplah konperensi pers dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya. Tidak perlu Pangdam Jaya ikut-ikutan pekerjaan yang bukan tupoksinya. Kini pertanggungjawaban hukum tidak cukup selesai pada pelaku di lapangan. Akan tetapi kebijakan komando juga harus dibongkar. Komnas HAM diduga menutup voice note antar petugas dengan para komandan. Fadil Imran tidak bisa berleha-leha. Begitu juga dengan Dudung Andurahman. Kabareskrim belum tentu tak terlibat. Jadi kisah pelanggaran HAM berat Km 50 harus dibuka habis. Jika hanya pelaku lapangan yang terkena target, maka persoalan masih akan terus menggantung. Bisa ujung-ujungnya pertanggungjawabanpelanggaran HAM berat pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar mantan FPI adalah Presiden Jokowi. Harusnya negara hadir untuk melindungi anak bangsanya. Bukan sebaliknya, negara terlibat dalam pembunuhan rakyatnya. Peristiwa ini bukan semata kasus hukum. Peristiwa ini adalah kejahatan kemanusiaan yang berbentuk pembunuhan politik. Harus dipertanggungjawaban juga secara politik. Kilometer 50 tol Japek tak boleh diabaikan. Kilometer 50 tol Japek adalah crimes against humanity. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Eranya Jokowi, Indonesia Buruk Soal Pemberantasan Korupsi & Demokrasi

by Gde Siriana Jakarta FNN - Indeks Persepsi Korupsi-IPK (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan Berlin-based Transparency International sejak 1995, menunjukkan bahwa IPK Indonesia tahun 2020 melorot 3 poin dibanding tahun 2019, dan menempati ranking 101 dari 179 negara. Jika dilihat sejak 2015-2020, maka score-nya pun tidak berubah banyak. Tahun 2015 score-nya 36 dengan posisi di ranking 88. Meskipun 2020 score-nya naik menjadi 37, tetapi rankingnya melorot jauh ke posisi 101. Artinya banyak negara lain yang lebih baik dalam pemberantasan korupsinya, sehingga menyalip posisi Indonesia. Soal pemberantasan korupsi ini, peran dan efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Bahkan dari dua peristiwa terakhir di tahun 2021 yang melibatkan oknum KPK, yaitu penggelapan barang bukti dan suap kepada penyidik KPK menunjukkan bahwa KPK mengalami penurunan kualitas. Bahasa halusnya degradasi moral. Dua menteri yang dijadikan tersangka oleh KPK, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara sangat mungkin perisitiwa ini yang dapat menurunkan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya sangat mungkin ini semua menurunkan score dan posisi Indonesia dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021. Indeks Demokrasi Parah Menurunnya indeks persepsi korupsi ini juga seiring dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia. Indeks demokrasi yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari The Economist Group yang berbasis di Inggris, menempatkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 di ranking 64 dari 167 negara. Fakta global menunjukkan banyak negara mengalami penurunan score indeks demokrasi selama masa pandemi Covid19. Sangat mungkin selama pandemi, pemerintahan di banyak negara merespon pandemi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak melalui proses demokratis yang melibatkan peran serta publik, sehingga kebijakannya dianggap tidak sesuai harapan publik atau pro masyarakat banyak. Meskipun secara global banyak negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi, yang paling memprihatinkan di Indonesia adalah selama lima tahun terakhir, 2015-2020 telah terjadi trend penurunan indeks demokrasi. Jika tahun 2015 score-nya 7,03 dengan ranking 49, maka di 2020 turun drastis score-nya menjadi 6,30 di rangking 64. Sedangkan untuk masuk level negara full-democracy score-nya harus mencapai 8. Artinya selama lima tahun terakhir, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Timor Leste yang ranking nya relatif tetap di posisi 44, baik di tahun 2015 maupun tahun 2020. Meskipun terjadi perubahan kriteria penilaian indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penurunan ranking itu menunjukkan ada negara lain yang lebih baik kulitas demokrasinya sehingga menyalip posisi Indonesia. Melihat trend penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi di Indonesia selama lima tahun terakhir, menarik untuk munculnya suatu hipotesa bahwa ada korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya korupsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Meskipun hipotesa itu perlu dibuktikan dengan metodelogi kuantitatif, setidaknya secara kualitatif beberapa fakta dapat dijadikan dasar bagi hipotesa tersebut. Misalnya, tidak berfungsinya peran dan fungsi parlemen sebagai saluran demokrasi sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. Karena hampir semua Parpol Politik (fraksi) menjadi bagian dari koalisi kabinet Jokowi. Sangat wajar jika kemudian kebijakan yang dianggap publik sebagai kebijakan yang berpotensi rente atau dikorupsi tidak mendapatkan resistensi dan pengawasan yang proper dari parlemen. Kita bisa menyaksikan bagaimana resistensi publik pada kebijakan Kartu Pra Kerja di awal pandemi yang kemudian direvisi karena tekanan publik yang amat kuat. Juga resistensi publik pada UU Omnibus-Law Cipta Kerja yang dianggap lebih pro pengusaha. Tidak transparanan pembuat kebijakan patut untuk dianggap sebagai kebijakan rente atau kebijakan yang koruptif, karena adanya kolusi antara pembuat kebijakan dan pengusaha. Mekanisme threshold pada kontes politik yang menimbulkan mahar politik untuk elit-elit parpol. Mekanisme ini faktanya dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pencalonan kontestan politik sangat ditentukan oleh uang. Bukan karena partisipasi atau kehendak rakyat. Ujungnya, kontes politik berbiaya tinggi ini menjadi motif dari kasus korupsi kepala daerah terpilih di kemudian hari. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan awal, bahwa selama masih ada mahar politik akibat aturan threshold, maka kontes politik yang berbiaya tinggi pasti terjadi. Ujungnya adalah kasus korupsi dan kebijakan yang koruptif (rente) di Indonesia akan sulit diberantas. Penulis adalah Direktur Eksekutuif INFUSS.

Jurnalis Tabloid Jubi Papua Jadi Korban Aksi Teror

by Marthen Goo Jayapura FNN – Wartawan senior sekaligus Pemimpin Umum Tabloid Jubi yang berbasis di tanah Papua, Victor Mambor menjadi korban aksi teror. Mobil miliknya yang diparkir di tepi jalan dekat rumahnya, dirusak orang tak dikenal, pada rabu (21/4/2021) sekitar pukul 00.00- 02.00 WIT. Mobil Isuzu DMax (Double Cabin) milik Victor dirusak pada bagian kaca depan. Diduga pelaku menggunakan benda tumpul untuk merusak mobil hingga retak. Pada bagian belakang di sebelah kiri juga dipukul. Diduga memakai benda tajam, sehingga bagian ini hancur. Pintu depan dan belakang sebelah kiri dicoret-coret menggunakan cat piloks berwarna orange. Ketua Aliansi Jurnalis Jayapura (AJI), Lucky Ireeuw menduga aksi teror tersebut terjadi berkaitan dengan pemberitaan Tabloid Jubi yang tak disukai pihak tertentu. Tindakan teror dan intimidasi ini jelas bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Papua dan Indonesia pada umumnya. Menurut Adi Briantika yang dirilis di Tirto.id, teror ini diduga terkait dengan rangkaian teror sebelumnya. Misalnya, serangan digital, doxing, dan penyebaran selebaran di media sosial yang kontennya menyudutkan, mengadu domba, dan mengkriminalisasi Tabloid Jubi maupun Victor. Jubi merupakan salah satu media independen dan kredibel dengan fokus utama isu Papua dari sisi orang asli Papua. Menurut Advokad senior Yan Christian Warinusi, aksi nyata teror dan intimidasi yang ditujukan terhadap psikis saudara Mambor jelas sangat berkaitan erat dengan tugas jurnalisme yang dilakukannya. Apalagi beberapa pemberitaan Tabloid Jubi, media yang digawangi Mambor senantiasa menampilkan pemberitaan dari sudut pandang (angle) yang berbeda. Sesungguhnya semua sajian pemberitaan Tabloid Jubi sangat dilindungi oleh UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga, siapapun yang tidak puas dengan berita sajian Jubi, seyogyanya dapat menempuh prosedur melalui penggunaan hak jawab. Tidak dengan teror. Teror hanya pekerjaan orang-orang yang anti kebebasan berpendapat. Cara-cara yang primitif. Kebebasan Pers Sejak Abad-17 Soal kebebasan pers dan hak asasi manusia menjadi ganjalan utama 13 negara bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia 1787. Empat tahun kemudian, pada amandemen pertama UUD Amerika Serikat, 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 negara bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat. Isi amandemen itu bunyinya begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat rancangan undang undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. (dikutip dari editorial FNN.co.id) Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Kebebasan pers itu sudah dibutuhkan sejak abad ke-17 lalu. Dimana kebebasan pers itu jugalah yang menyatukan negara-negara bagian di Amerika Serikat hari ini. Makanya kebebasan pers di abad modern dan milenial seperti sekarang ini, justru terlihat jauh lebih maju dan lebih beradap. Kebebasan pers kemudian bukan hanya menjadi sarana, tetapi juga tujuan utama dalam bernegara dan membangun negara. Kebebasan pers menjadi salah satu alat kontrol terhadap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat. Kebebasan Pers di Papua? Ini sudah masuk di abad 21. Abad dimana dikenal dengan abad teknologi 4.0 (four foint zero), sehingga keberadaan pers mestinya berada di titik tertinggi dalam dunia teknologi yang modern ini. Sayangnya, kebebasan pers di Indonesia, khususnya untuk Papua menjadi masalah serius. Bahkna menjadi masalah berat. Sebab banyak wartawan di Papua yang diteror ketika mencoba memberikan pemberitaan yang berimbang. Dalam konteks Papua, media yang memberikan pemberitaan yang objektif sangat sulit ditemukan. Kebanyakan media hanya memberitakan infromasi versi kekuasaan, sehingga keberadaan media kerap kali turut memberikan legitimasi kekerasan di Papua. Media takk berani mengungkapkan fakta agar kekerasan di Papua bisa diubah menjadi Papua yang damai. Hanya ada beberapa media di Papua yang sangat objektif dan selalu memberitakan fakta-fakta peristiwa secara objektif , seperti Tabloid Jubi, dan Suara Papua. Mungkin ada media-media kecil lainnya seperti Jelata News Papua. Sementara untuk tingkat nasional, ada media FNN (Forum News Networ), yang selalu mengungkapkan kebenaran di luar kekuasaan. Selain itu ada juga Tirto dan CNN yang cukup objektif untuk mengungkapkan fakta. Terhadap terror yang dilakukan kepada Victor Mambor, pemimpin umum Tabloid Jubi adalah upaya untuk menutupi kebebasan pers di Papua. Tentu ini adalah tindakan tidak terpuji. Upaya seperti ini bisa kita hubungkan juga dengan upaya menutup media Suara Papua. Kemudian upaya memutus jaringan internet, bahkan menurut Ketua AJI Papua, bahwa itu erat kaitannya dengan pemberitaan Tablid Jubi. Peristiwa ini dapat diduga sebagai upaya besar untuk menutup kebebasan pers. Tindakan tersebut sudah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Indonesia jauh ketinggalan dengan Amerika soal kebebasan pers. Perilaku bandid dalam melakukan upaya menutupi kebebasan pers masih saja dilakukan di era globalisasi. Wajah Indonesia seakan masih di bawah abad ke-16. Dalam situasi perang yang sangat sengit saja pun, kebebasan pers masih tetap dipelihara dan dijaga. Indonesia, tidak ada perang sengit. Upaya pengungkapan kebenaran dan media yang menyampaikan informasi yang benar dan berimbang malah diteror secara tidak terpuji. Tujuannya untuk membungkam dan menutupi informasi sebenarnya. Sangat memalukan dalam kehidupan berbangsa. Polisi Harus Ungkap Pelaku. Kejahatan yang dilakukan terhadap Victor Mambor adalah menteeror wartawan. Sebagai upaya untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia. Bahkan tindakan ini menunjukan rendahnya martabat berbangsa. Indonesia harus belajar dari Amerika soal kebebasan pers. Setiap wartawan wajib hukumnya dilindungi oleh negara tanpa alasan apapun. Patut diduga bahwa kejahatan yang dilakukan adalah yang melibatkan kekuatan atau tangan-tangan lain. Semua itu memiliki keinginan yang sama, yaitu menutupi informasi yang objektif dengan cara menyerang pers yang objektif dan pers yang berintegritas di Papua. Ini bagian dari upaya mematikan media di Papua agar tidak pempublikasi informasi yang benar di Papua. Dengan prinsip perlindungan pers di Indonesia, polisi diharapkan mengungkap dan menangkap siapa pelaku dan dalang dibalik upaya-upaya memamatikan dan menutup akses media di Papua. Kapolri harus mendesak Kapolda Papua agar segera secara propesional mengungkap kejahatan yang dialami wartawan Tabloid Jubi. Sehingga dapat memberikan efek jerah pada mereka yang menghambat kebebasan pers di Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Please Pak Hakim, Bebaskan Dr. Syahganda Nainggolan

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN - Perkara Dr. Syahganda Naingolan telah memasuki babak akhir. Hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara ini segera menjatuhkan putusan. Akankah hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Dr. Syahganda dijatuhi hukuman penjara 6 (ernam) tahun, setengahnya atau dibebaskan? Tersediakah alasan yang bersumber dari fakta persidangan untuk hakim pijaki secara jujur sehinga dapat menyatakan hukum yang berberda dengan yang dituntut oleh JPU? Misalnya hakim menyatakan benar tuduhannya terbukti. Tetapi hal yang terbukti itu tidak beralasan hukum yang logis untuk dinyatakan sebagai perkara pidana, sehingga Syahganda diputus lepas dari segala tuntutan hukum, onslag van rechtvervolging? Persidangan perkara ini dilakukan secara terbuka. Fakta persidangan tersebar luas. Dapat diidentifikasi oleh berbagai pihak. Fakta ini memungkinkan siapapun menganalisisnya, dan membayangkan hukum yang akan ditetapkan hakim. Fakta yang tersebar itu telah cukup berbicara secara gamblang bahwa perkara, dengan semua argument hukum yan tersedia, tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana. Saya tidak akan menyajikan lagi argumen-argumen teknis hukum pada kesempatan ini. Sebab argumen-argumen itu telah saya sajikan pada artikel-artikel sebelumnya. Kali ini saya ingin menyajikan dimensi lain. Dimensi yang hendak saya sajikan adalah relasi antara peradilan dengan bobot rule of law. Bagi saya soal terpenting pada titik ini adalah apakah hakim memahami eksistensinya dalam spectrum rule of law? Sebab rule of law tidak meminta banyak dari hakim. Yang diminta rule of law kepada hakim hanyalah membebaskan diri dari lilitan penguasa. Itu saja. Tidak lebih dari itu. Independensi atau kemandirian hakim tidak ditentukan oleh pernyataan dalam huruf-huruf konstitusi. Sama sekali tidak. Eksistensi independensi, sepenuhnya merupakan cerminan sikap pribadi hakim. Praktis sikap pribadi hakimlah merupakan kunci independensi peradilan. Cara berpikir atau penalaran hakim tertuang dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Penalaran merupakan cerminan level mahkota hakim, sekaligus level mahkota independensi itu. Disebut mahkota hakim, karena penalaran hakim mencerminkan kadar dan level ilmunya. Level ilmu merupakan cerminan level kebijaksanaannya. Level kebijakan merupakan cerminan dari kombinasi manis antara pemahaman ilmu hukum, ilmu pengetahuan lainnya, termasuk keadaan faktual. Ilmu apa yang dapat digunakan secara logis untuk membuat kongklusi bahwa pengrusakan yang terjadi dalam satu demontrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja sebagai pidana? Ilmu hukum tidak menyediakan satu pun dimensinya untuk diambil dan digunakan sebagai pijakan membuat kongklusi demontrasi yang disertai pengrusakan itu bersifat pidana. Pengrusakan harus dikualifikasi sebagai tindak pidana. Tetapi bukan kegiatan demonstrasinya. Ilmu hukum dibangun dengan prinsip perbuatan para perusak itulah yang harus dipidana. Bukan kegiatan demontrasinya yang dinyatakan pidana. Itu sebabnya para perusak dalam demonstrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja saja yang ditangkap dan diproses hukum. Ini logis dan benar menurut hukum. Yang tidak benar adalah demonstrasi dikualifikasi sebagai pidana. Sekali lagi ini tidak benar. Sangat buruk dan primitif. Tidak benar, bukan disebabkan oleh demonstrasi itu merupakan tampilan ekspresif dari hak berbicara dan menyatakan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945. Sebabnya adalah sistem hukum memberi sifat hukum pada demonstrasi sebagai tindakan hukum yang sah dan legal adanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Tidak ada penalaran yang dapat digunakan untuk menyatakan hal hukum yang sah itu, berubah menjadi tidak sah hanya karena ada tindak pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang. Demonstrasi itu, untuk semua cakrawala ilmu hukum konstitusi diterima sebagai bentuk kongkrit dari ekspresi hak masyarakat menyatakan pendapat. Menuliskan pikiran atas suatu hal, untuk alasan ilmu hukum konstitusi merupakan cara hak menyatakan penapat yang diberi bentuk dan eksis. Pada titik ini hakim harus tahu bahwa konsep hak menyatakan pendapat tidak bersifat tunggal. Hak ini dalam ekspresinya bersifat jamak. Konsep ini luas. Boleh saja demokrasi diisolasi atau relasi fungsional antara demonstrasi dengan hak menyatakan pendapat. Masalahnya cara itu menyangkal hukum alam, yang menjadi basis alamiah lahirnya konsep hak menyatakan pendapat. Eksistensi alamiah orang diukur antara lain oleh apakah lingkungan tempat orang itu hidup memungkinkan dia menggunakan akal pikirannya atau tidak. ​Soal ini memiliki sifat alamiah, dengan derajat fundamental. Itu sebabnya ilmu konstitusi memberi sifat hak menggunakan akal pikiran itu sebagai hak yang bersifat negatif. Negatif karena hak itu melekat pada diri setiap orang, siapapun orangnya, karena mereka adalah manusia. Melekatnya hak itu pada setiap orang sama sekali tidak ditentukan oleh sebab dari luar orang itu. Ini disebut sebab yang artifisial. Sama sekali bukan begitu. Melekatnya hak itu pada setiap orang, karena mereka, sekali lagi adalah manusia yang sebenarnya. Praktis hak itu ada dan melekat pada setiap manusia bukan karena dinyatakan dalam UU, positum. Ini harus dimengerti betul oleh hakim. Analisis Syahganda atas berbagai persoalan, termasuk menyatakan dukungannya atas rencana para pekerja berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja, itu bukan perbuatan pidana, apapun alasannya. Sama sekali bukan. Demontran yang terus berdemonstrasi hinga batas waktu yang ditentukan, bukan pidana. Demontrasi yang melampaui waktu yang ditentukan, sekacau apapun, tidak dapat dikualifikasi sebagai onar menurut konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Apa argumennya? Demontrasi bukan onar menurut pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946. Demontrasi menolak RUU Cipta Kerja misalnya, jelas maksudnya. Maksudnya adalah menolak RUU itu. Hal yang sedari awal jelas maksudnya, untuk alasan apapun, termasuk analogi, tidak dapat diserupakan dengan onar. Itu karena konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, sedari awal tidak jelas maksudnya. Itu menimbulkan ketakutan atau kebingungan atau kegaduhan ditengah masyarakat. Itulah onar. Ini diistilahkan dalam ilmu interpretasi dengan objective teleologis. Objective teleologis adalah maksud obyektif dari pembuat UU. Bahaya yang ditimbulkan dari keonaran itu harus kongkrit atau nyata-nyata adanya. Bukan hayalan. Ini yang dalam ilmu hukum disebut present danger. Present dangger inilah pulalah yang menjadi objective teleologis pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Praktis sifat bahanya harus present. Bukan potential danger atau bahaya yang dibayangkan secara hipotetik. Konsep present danger ini, hemat saya mencerminkan secara nyata pemerintah kala itu mengerti sifat alamiah warga negara yang mengekpresikan hak menyatakan pendapatnya. Ekspresi hak itu harus jelas maksudnya. Itu sebabnya yang dilarang adalah ekspresi hak yang tidak jelas maksudnya. Itulah yang harus dikenali benar oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini. Konyol sekali kalau demonstrasi yang menimbulkan ekses dijadikan titik tolak menyatakan demonstrasi itu sebagai onar. Bila demonstrasi yang menimbulkan dikualifikasi sebagai onar, maka akibatnya jelas. Bangsa ini ditarik jauh kebelakang meliputi masa-masa zaman penjajahan dulu. Menarik bangsa ini ke masa-masa zaman penjajahan memang merupakan soal besar. Tidak lebih dari menjungkir-balikan sesuatu yang secara alamiah diterima sebagai postulat tentang eksistensi manusia merdeka. Disebut manusia merdeka, karena cara itu mengingkari apa yang secara alamiah menjadi parameter kemanusiaan manusia. Menghukum perbuatan analisis terhadap sesuatu yang dalam sistem hukum telah dikualifikasi buruk, misalnya “cukong” jelas konyol. Beda angka yang dikutip dari pernyataan orang, tak dapat diinterpretasi sebagai telah terjadi kebohongan. Selisih lebih atau selisih kurang dari angka yang dinyatakan orang dan dikutip oleh Syahganda, tidak dapat diinterpretasi sebagai menyebar kebohongan. Sebabnya sifat dasar kenyataan itu tidak berubah. Sifat dasarnya tetap buruk. Buruk memang dapat dibuat gradasinya. Tetapi apapun gradasinya, cukong itu tetap saja buruk dalam semua sifatnya menurut sistem hukum yang eksisting. Konsekuensi level gradasi tidak dapat dijadikan “denominator dominan” atau “determinative factor” untuk menyatakan perbedaan gradasi menjadi kunci adanya “berita bohong” yang disebarkan. Hakim, tidak dapat menggunakan perbedaan angka itu sebagai “denominator dominan” yang mempertalikan dan mengutuhkan dua kenyataan berbeda itu, lalu membuat kongklusi adanya kebohongan. Pembaca FNN yang budiman. Tak masuk akal mengesampingkan sifat alamiah berpikir dan menyatakan pikiran. Berpikir dan menyatakan hasil pikirnya itu, merupakan hal alamiah yang bersifat categorial imperative dalam spektrum Immanuel Kant, filosof Jerman ini. Menghukum pikiran, jelas mengingkari sifat alamiah, yang Immanuel Kant sebut cateogorial imperative itu. Benar-benar patut ditertawakan bila hal yang bersifat imperative itu secara alamiah disingkirkan. Harus ditertawakan, oleh karena hal itu mencerminkan orang kehilangan bawaan alamiahnya. Padahal justru untuk mengagungkan hal yang secara alamiah merupakan parameter kemanusiaan, dan itu bersifat kategorial, peradilan dan hakim dihadiahi atau diatributifkan dengan senjata yang bernama “independensi” peradilan. Demi hukum dan bawaan alamiah manusia, tidak hanya untuk Syahganda Nainggolan, tetapi untuk semua warga negara Indonesia, yang UUD atribusikan eksistensi mereka sebagai orang merdeka, maka Syahganda harus bebas. Sungguh tak tersedia alasan masuk akal untuk menghukumnya. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.