Kata-kata (Menakutkan) yang Mampu Menggerakkan

Oleh Ady Amar *)

Di belahan dunia mana pun kata-kata atau kalimat dianggap mampu menggerakkan. Menjadi momok menakutkan bagi penguasa yang mengendalikan pemerintahannya dengan otoriter.

Ketakutan pada bait-bait puisi ataupun lirik kata dalam lagu dengan kalimat menghujam yang mampu menggerakkan kesadaran hak-hak rakyat yang dirampas semena-mena.

Amer Ayad, jurnalis televisi ditangkap rezim otoriter Tunisia. Dan stasiun televisi di mana ia bekerja, Zitouna TV, ditutup dengan alasan tidak mengantongi izin beroperasi. Aneh memang. Padahal stasiun televisi itu hadir sejak 2012, bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Zine El Abidin Ben Ali.

Semua menyebut itu cuma alasan rezim Presiden Kais Saied saja untuk membungkam media yang berani mengungkap langkahnya dalam membekukan parlemen, dan juga kerap mengkritik kebijakan pemerintahannya. Sebelumnya Zitouna TV memang menayangkan acara bincang-bincang dengan seorang nara sumber, dan tentu isinya mengkritik kebijakan rezim. Selepas acara itu, sepasukan tentara menyerbu stasiun televisi itu dan menangkapnya.

Ada yang dianggap "memberatkan" Amer Ayad saat itu, ia nekat membacakan "The Ruller", puisi karya penyair Iraq, Ahmed Matar. Bait-bait puisi yang dibacakannya itu dianggap menganalogikan dengan rezim otoriter Tunisia saat ini, yang menjalankan kebijakan dengan semaunya.

Bait-bait puisi yang dibacakan itu ditakutkan akan menggerakkan rakyat untuk melawan otoriterian rezim Kais Saied, dan itu jadi ketakutan tersendiri. Maka membungkam suara rakyat jadi keharusan dan itu dianggap langkah efektif.

Sikap paranoid muncul seiring rezim menjalankan pemerintahan dengan membekukan institusi negara yang mempunyai fungsi kontrol atas jalannya pemerintahan. Bersikap keras menyingkirkan siapa saja yang dianggap membahayakan kelangsungan rezim.

Arab Spring dan Redemption Song

Kalimat dengan huruf besar-besar terpampang di beberapa negara Arab, yang dibawa para demonstran. Itu mengawali revolusi, yang dikenal dengan Arab Spring. Dimulai dari Tunisia, awal tahun 2010. Dan menggelinding ke beberapa negara Arab lainnya. Bunyi kalimat itu, Ash-Sha'b Yurid Isqat an-Nizami (Rakyat Ingin Menjatuhkan Rezim).

Dipicu dari peristiwa Muhamed Bouazizi (26 tahun), seorang penjual buah yang dagangannya dirampas oleh semacam petugas ketertiban, kepalanya dipukul dengan pentungan, dan motor untuk lapaknya dirusak.

Melihat itu Bouazizi, yang menghidupi 8 orang keluarganya dengan penghasilan sebulan tidak lebih dari Rp 2 juta, itu menangis-frustrasi. Tanpa berpikir panjang ia menyiram tubuhnya dengan bensin dan membakarnya. Peristiwa itu tersebar dengan cepat ke seantero negeri Tunisia dan belahan dunia Arab lainnya. Bouazizi sehari kemudian meninggal dengan 90 persen tubuh nyaris terbakar.

Arab spring bermula dari seorang Bouazizi, yang meski jasadnya sudah terkubur 12 bulan, ia tetap diingat dan tidak terlupakan. Dan memunculkan kalimat "Rakyat Ingin Menjatuhkan Rezim" menginspirasi tumbangnya empat presiden negara Arab lainnya. Dimulai dari tumbangnya rezim Zine El Abidin Ben Ali, rezim otoriter dan korup yang berkuasa puluhan tahun di Tunisia. Menyusul kemudian, Muammar Gaddafi (Libya), Husni Mubarak (Mesir), dan Ali Abdullah Saleh (Yaman).

Begitulah kata-kata atau kalimat mampu menggerakkan, dan itu tentu dimulai dari satu peristiwa sebagai pemantiknya. Dan Tunisia saat-saat ini, mulai gencar adakan penangkapan-penangkapan. Tampaknya ingin mengulang munculnya Arab Spring jilid 2, yang dipicu penangkapan jurnalis televisi yang membacakan puisi, yang dianggap sebagai ancaman. Karenanya, ia harus ditangkap-dipenjarakan.

Tidak saja kata-kata dari puisi yang dianggap dapat menggerakkan, tapi kata-kata dari lirik lagu pun acap jadi momok rezim otoriter. Iwan Fals beberapa lirik lagunya kerap dianggap mengkritik rezim Orde Baru. Sayang lirik lagu kritiknya hanya hadir dicukupkan pada rezim Soeharto. Pilihan dan kata-kata kritik dalam lagunya memang tidak setajam semacam Bob Marley, bapak musik reggae asal Jamaika, yang lirik lagunya melampaui batas teritorial, dan tak lekang oleh zaman.

Adalah Marcus Garvey, dikenal sebagai Bapak perubahan Afrika. Kata-kata atau kalimat yang keluar dari mulutnya dianggap mampu menggerakkan. Ia menjadi inspirasi gerakan pembebasan Afrika dari penjajahan.

Pidato-pidatonya membakar kesadaran masyarakat Afrika untuk merdeka, dan terbebas dari rasisme. Pidato-pidato Garvey adalah ajakan kesadaran dan perlawanan merebut hak-hak warga Afrika.

Garvey lah dianggap salah seorang yang "mewarnai" lagu-lagu pemberontakan Bob Marley, dimana lirik lagu ciptaannya banyak terinspirasi pidato Garvey. Bahkan pada satu karya lagunya, ia mengutip pidato Garvey jadi syairnya. "Redemption Song", judulnya.

Pidato Garvey berupa seruan untuk rakyat Afrika, agar terbebas dari belenggu perbudakan. Bukan sekadar penjajahan fisik, tapi juga mental.

"Emancipate yourselves from mental slavery/None but ourselves can free over minds."

Lagu itu dirilis 1980, yang setahun kemudian Bob Marley meninggal dunia. Lagu Redemption Song dianggap salah satu karya besar Marley. Tentu banyak lagi karya lagu Marley yang menginspirasi, "Get Up Stand Up", bisa disebut salah satu karya lagu lainnya, yang itu tidak saja untuk bangsa Afrika yang menderita, tapi pada semua kelompok di belahan dunia mana pun yang (merasa) termarjinalkan. Get Up Stand Up dinyanyikan di mana-mana hingga sekarang, itu jika berkenaan dengan ketidakadilan.

Kata-kata atau kalimat memang mampu menggerakkan, dan bahkan kata-kata menohok rezim yang ditulis di tembok-tembok (mural) belakangan ini pun sepertinya jadi momok menakutkan. Sehingga kehadirannya cepat-cepat dimusnahkan dengan menghapusnya. Adakah kita tengah memasuki era otoriterian, sehingga kata-kata pun oleh rezim diyakini mampu menggerakkan... Wallahu a'lam. (*)

*) Kolumnis

410

Related Post