Guru Honorer dan Rapor Buruk Penegakan HAM
Oleh Tamsil Linrung
SEPERTI dua sisi mata uang, begitulah isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah mahkota demokrasi, dan demokrasi menjadi pupuk bagi mekarnya perlindungan HAM. Tak heran, penegakan demokrasi dan kebijakan negara seringkali di sorot dari perspektif HAM.
Pun demikian dengan permasalahan guru honorer. Kecendrungan negara mengabaikan guru honorer berindikasi pelanggaran HAM. Bila ditelisik, pengabaian ini telah berlangsung lama, bermula saat lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kelahiran UU ASN meminggirkan UU Kepegawaian UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagai acuan hukum.
Perbedaan mencolok di antara keduanya, UU Kepegawaian mengatur Pegawai Tidak Tetap (PTT), sedangkan UU ASN tidak. Meski tidak secara tersurat, guru honorer dan pegawai honorer lainnya dalam UU Kepegawaian tergolong dalam kategori PTT. Kedudukan mereka dipertegas oleh Peraturan Menteri No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) jo PP No. 43/2007 jo PP 56/2012.
Sedangkan UU ASN tidak mengenal istilah PTT atau tenaga honorer. UU ASN hanya mengenal PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang merupakan derivatif dari ASN. Di mana posisi guru honorer dalam UU ini? Tidak ada. Bahkan tidak disinggung dalam sepatah kata pun.
Artinya, selama ini guru honorer tidak memiliki payung hukum. Padahal, eksistensi mereka nyata, keberadaan mereka diakui institusi sekolah atau pemerintah daerah. Juga sering dibahas oleh Pemerintah sendiri. Sayangnya, pascakekosongan hukum tersebut, perekrutan guru honorer masih dilakukan sejumlah kepala sekolah. Kebijakan sekolah ini dilakukan demi menjaga efektivitas proses belajar mengajar karena suplai guru PNS dari pemerintah berjalan lamban.
Jadi, langsung atau tidak, ada peran pemerintah terhadap problem kuantitas guru honorer yang berefek domino kepada problem-problem lainnya. Langsung atau tidak, guru honorer menjadi solusi problem ketersediaan guru Indonesia. Namun, Pemerintah tidak menyiapkan regulasi lain sebagai payung hukum guru honorer. Ini di luar pakem bernegara.
Kekosongan hukum ini melahirkan setidaknya dua dugaan. Pertama, bertentangan dengan konstitusi. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menggaransi bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kedua, berpotensi melawan HAM. Ketiadaan payung hukum berarti ketiadaan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi guru honorer. Sebutlah jenjang karir, kesejahteraan, jaminan pekerjaan, dan seterusnya. Dari perspektif inilah dugaan pelanggaran HAM terjadi. Kita tahu, UU menjamin hak warga negara atas pekerjaan dan kehidupan yang layak, serta hak atas pendidikan.
Problem Hulu-Hilir
Bila di hulu saja sudah bermasalah, maka tentu perjalanan ke hilir akan mengundang banyak problematika lain. Sejak lahirnya UU ASN, sejak itu pula kita sering mendengar keresahan guru honorer, dari media sosial hingga kanal-kanal pemberitaan formal.
Tidak sedikit guru honorer yang merasa terdzolimi mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pengaduan ini datang berbagai wilayah, secara individu maupun organisasi. Dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD, Komnas HAM mengakui fakta itu. Karena sifatnya nasional, Komnas HAM lalu membentuk tim khusus untuk mendalami dan mendorong, agar penanganan dan penyelesaiannya tidak kasus per kasus.
Tim yang disahkan dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tersebut telah bekerja dan hasilnya sudah dilaporkan kepada presiden. Namun, hingga hari ini, Presiden Joko Widodo belum merespon laporan tersebut, baik secara terbuka atau pun melalui mekanisme antara lembaga.
Pansus Guru Honorer DPD berharap Presiden Jokowi segera merespon laporan Komnas HAM. Tak ada kata terlambat, terlebih untuk sesuatu yang baik. Bila perlu, Presiden segera membentuk tim pengelolaan guru nasional yang beranggotakan lintas kementerian dan lembaga, sehingga penyelesaian permasalahan guru dilakukan secara komprehensif, mendalam, dan berjangka panjang.
Bukan dalam permasalahan guru honorer saja keberpihakan Pemerintahan Jokowi pada penegakan HAM dipertanyakan. Dalam kasus Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, Komnas HAM telah melaporkan 11 dugaan pelanggaran HAM kepada Presiden, namun juga belum mendapat respon.
Desember tahun lalu, Setara Institut menyatakan kinerja HAM di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sepanjang 2020 menurun dibandingkan 2019. Sementara 2019 penegakan HAM dalam penilaian Kontras justru berjalan mundur.
Penegakan HAM akan selalu menjadi ukuran berjalannya demokrasi, karena indeks HAM terdiri atas sejumlah indikator yang mencerminkan cara dan kualitas negara melindungi hak dasar warga negaranya. Inidikator HAM setidaknya terbagi atas hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak sipil dan politik antara lain mencakup hak hidup, kebebasan beragama, serta kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Sedangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya mencakup hak atas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, hak tanah, serta hak atas budaya.
Dari indikator-indikator itu pula naluri kita terusik dilema kehidupan guru honorer. Selama ini Pemerintah menggadang-gadang program PPPK sebagai jalan keluar terbaik. Namun, program ini nyatanya memunculkan berbagai persoalan baru dan mendapat penolakan dari guru dan organisasi guru honorer.
Fakta itu mengindikasikan, agenda pemerintah mengangkat guru honorer menjadi ASN melalui jalur PPPK menghadapi tantangan yang tidak mudah. Penyelesaian masalah guru honorer agaknya masih akan berlarut. Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI pada saatnya nanti tentu akan memberikan rekomendasi.
Namun, sembari menyelesaikan seluruh problem guru honorer, ada baiknya pemerintah mengupayakan payung hukum bagi tenaga honorer, meski sifatnya sementara. Sebab, hanya dengan tangan hukumlah negara bisa melindungi hak-hak warga negaranya.
*) Penulis adalah Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer.