Menakar Mentalitas Bangsa di Era Pandemi

Oleh Fauzul Iman

GAGASAN revolusi mental yang dilontarkan Presiden Jokowi di awal pemerintahan dengan agenda sembilan prioritas yang dijanjikan lewat debat kampanye, boleh dikatakan merupakan gagasan paling top. Banyak pihak menyambut gagasan dan janji itu bersejalanan dengan harapan besar bangsa yang sangat menanti diselesaikannya akumulasi permasalahan yang kian mencekami rakyat.

Sembilan poin Nawacita itu terletak pada kualitas mental manusianya. Dengan demikian, tidak dipungkiri, gagasan revolusi mental oleh Jokowi sangat konektif dengan agenda sembilan prioritas Nawacita yang dicanangkannya. Pertanyaannya sejauhmana revolusi mental yang didengungkan itu menjadi pemantik Nawacita dalam tataran praktik di lapangan. Terutama bagi semua komponen bangsa di saat-saat rakyat mengalami penderitaan yang tak kunjung sirna di era bencana pandemi Covid19.

Jawaban atas pertanyaan ini, sepatutnya menengok peristiwa demi peristiwa disertai analisis terhadap ruang peristiwanya dengan membandingkan kualitas antar-komponen yang melakukannya. Selama ini pernyataan verbal dan kebijakan dari pemerintah di ruang spesifik telah menebarkan kebahagiaan yang menjanjikan. Program kartu sehat dan kartu pintar dalam kondisi tertentu berjalan menyenangkan sebagian rakyat kecil. Tetapi di ruang lain rakyat kerap tertimpa korban menohok atas kebijakan yang tidak berpihak kepada keadilan. Pedagang keciil dan kaum usaha menengah tidak berdaya mengakses keuangan negara dibanding para pengusaha oligarki yang menguasai 70 persen. Belum lagi para petani desa yang tergusur lahan pertaniannya krena serbuan sektor industri. Para petani menjerit dari hasil jerih payahnya menanam padi tidak laku setelah panen besar karena harga berasnya ditekuk oleh harga beras impor.

Ruang peristiwa ketidakadilan di atas merupakan satu sisi yang efeknya membangun kompensasi tinggi bagi lahirnya emosionalisme baru di ruang pandemi pada sisi lain. Kebijakan negara di ruang pandemi dalam dua gelombang yang diawali dengan PSBB dan dan diakhiri dengan PPKM menggambarkan keseriusan dan ketegasan negara dalam upaya percepatan mengakhiri bencana pendemi. Prokes berupa pemakaian masker, jaga jarak, larangan kerumunan diberlakukan secara ketat di semua lini aktivitas. Para aparat baik polri maupunTNI dan Satpol PP dikerahkan secara kompak dan terintegrasi untuk mengamankan dua gelombang kebijakan tersebut.

Dengan kebijakan bergelombang yang direncanakan begitu baik oleh negara tidak berarti berjalan tanpa masalah di tengah rakyat/masyarakat. Emosianalisme baru muncul berakumulasi dengan ketidakadilan sebelumnya. Di sinilah menakar mentalitas bangsa di era pandemi mulai dapat dilakukan di dua komponen bangsa.

Komponen negara lewat aparat keamanan di ruang-ruang komersial telah tegas bertindak menyita barang bagi para pedagang yang dipandang melanggar aturan. Namun teriakan keras para pedagang kecil sebagai komponen terlemah yang merasa tidak diberi keadilan dan kompensasi bantuan dibiarkan dengan kekecewaan dan kemarahan sejadi-jadinya. Sementara di ruang komersial elit tak terdengar pemaksaan oleh keamanan untuk ditutup aktifitasnya atau dirampas barang-barang dagangannya. Ketidakadilan makin terlihat mencolok saat pihak keamanan membiarkan para komponen elit berpesta ria menciptakan kerumunan. Belum lagi kerumunan yang berulang dilakukan Persiden Jokowi lewat kegiatannya membagi sembako di daerah dan di jalan raya.

Peristiwa di atas menggambarkan rendahnya mentalitas komponen bangsa di ruang pandemi. Dalam hal ini tidak sepenuhnya dipersalahkan apabila rakyat mempertontonkan mentalitas yang tidak disiplin dalam mematuhi prokes seperti kerap tidak memakai masker dan atau mengabaikan jaga jarak. Ketidakpatuhan rakyat ini terjadi karena dari pihak elit pimpinan sendiri nyaris sangat minus dalam membangun keteladanan di tengah publik. Rakyat ditekan untuk mematuhi aturan prokes dan dikenakan sangsi bagi yang melakukan pelanggaran.

Sementara bagi kalangan komponen elitis yang melakukan pelanggaran prokes tidak pernah terdengar dilakukan tindakan hukum atau paling minimal sekedar teguranpun tidak pernah dilakukannya.

Ketidakadilan yang paling menohok dirasakan rakyat di ruang pandemi adalah diizinkannya kedatangan TKA tanpa mempedulikan resiko atau dampak dari kerumunan terhadap penyebaran virus. Pemerintah sampai hari ini belum dengan tegas dan terbuka menjelaskan masuknya rombongan besar TKA ke Indonesia baik dari sisi inteligen keamanan maupun dari sisi kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja yang konon akan dipekerjakan di perusahaan tambang nikel. Isu yang tidak mengenakan justru diantara para pekerja asing itu terdapat tenaga yang kualifikasinya untuk pekerjaan-pekerjaan kasar.

Baru-baru ini publik dikagetkan juga dengan berita ketidakadilan pendapatan di masa pandemi antara rakyat lemah dengan kaum elite kekuasaan. Pendapatan rakyat makin berkurang karena faktor aktifitas usaha yang tidak berjalan kondusif. Para pekerja buruh tidak sedikit yang di-PHK. Para petani tergusur lahan pencaharian hidupnya oleh kebijakan diskriminatif seperti masih diberlakukannya impor garam dan beras. Termasuk kebijakan pemerintah yang mengutamakan sektor industri telah menggerus lahan pertanian.

Pembaharuan undang-undang agraria/land reform hingga kini masih sebatas janji dan verba karena di lapangan sering terjadi penyerobotan tanah milik rakyat oleh oknum pengusaha kuat. Sebaliknya, sungguh ironis maraknya korupsi di kalangan elite kekuasaan di era pandemi ini makin tak terbendung. Rekening para menteri berkali lipat bertambah di saat pandemi. Semua itu sangat memukul perasaan rakyat yang kerap menjadi korban ketidakadilan.

Dari uraian di atas ini kita bisa menakar bahwa ketidaksiplinan mental di era pandemi sebenarnya terjadi di elite kekuasaan sendiri yang tidak fight menjadii teladan utama. Mereka yang telah diberi kecukupan lebih tidak bersungguh-sunggguh steril dalam menjaga diri dari prilaku cela dan serakah. Adapun rakyat yang tidak disiplin adalah faktor keridakberdayaan ekonomi yang jauh dari kemewahan apalagi keserakahan. Kepatuhan rakyat yang terjadi terkadang terpaksa oleh karena faktor represivisme dan hegemoni kekuasaan yang tak berdaya dihindari. Meminjam bahasa Antonio Gramsci dalam bukunya The Revolutuon Against Capital , rakyat tak berdaya lagi karena sdang dihegemoni olek kekuasan negara kapitalisme .

Gagasan revolusi mental Jokowi yang sangat sejalan dengan agenda Nawacitanya merupakan konsep yang sangat mewah dan tepat untuk mengangkat derajat mentalitas bangsa menuju pembangunan Indonesia yang bersih, berkualitas, sejahtera dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu di era pandemi yang sudah mulai landai dari serangan virus, agar konsep revolusi mental dan sembilan agenda Nawacita berjalan utuh, tak ada jalan lain kecuali tekad pemerintah menjalanknnya bersama rakyat dengan penuh konsisten dan semangat berketeladanan. Pelanggaran tekad dari semua ini hanya akan membawa pandemi yang kian melandai akan menaik kembali dan membawa bangsa makin terperosok ke tubir kehancuran. Nauzubillah !

*) Guru Besar dan Rektor UIN Banten ( 2017-2021)

270

Related Post