OPINI

Umat Memberi Umat Dikhianati

By M Rizal Fadillah PADA18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Alotnya perumusan Pancasila sejak 29 Mei 1945 akhirnya berhasil dituntaskan pada tanggal 18 Agustus 1945 ini. Fase terberat adalah mengubah rumusan Pancasila yang ditetapkan Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945 menjadi rumusan Pancasila sebagaimana saat ini. Fokus perdebatan pada sila pertama. Dengan sebutan populer pencoretan tujuh kata "kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka selesailah rumusan Pancasila. Tak bisa dipungkiri kesepakatan ini adalah pemberian umat Islam. Menteri Agama dahulu Alamsyah Ratu Perwiranegara menyebut Pancasila sebagai hadiah umat Islam. Adalah kubu Islam baik di BPUPKI maupun PPKI berjuang keras untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara (BPUPKI) yang akhirnya memberi atau menghadiahkan rumusan akhir berupa Pancasila Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Kesepakatan ini diotak atik kembali bahkan dengan "teror" Indonesia Timur segala, akhirnya kubu perjuangan umat Islam pada sidang PPKI menyetujui rumusan Pancasila minus tujuh kata pada sila pertama tersebut. Inilah pemberian penting untuk kedua kalinya. Sayangnya pemberian umat Islam ini kemudian dikhianati dengan sekurangnya dua peristiwa besar. Pertama, eskalasi kekuatan PKI yang masuk ke ruang istana, sehingga Presiden memanjakan PKI dan melumpuhkan kekuatan Islam melalui Nasakom, pembubaran Masyumi, hingga penangkapan tokoh Islam seperti Buya Hamka dan lainnya. Kudeta gagal 1965 adalah puncak pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila. Kedua, di masa rezim Jokowi saat agenda RUU Haluan Ideologi Pancasila di DPR RI. Sebagaimana DN Aidit yang berlindung pada Pancasila, maka RUU HIP pun seolah melakukan pembelaan pada Pancasila. Faktanya justru merongrong Pancasila. Pancasila rumusan 1 Juni 1945 disosialisasikan dan diperjuangkan untuk menjadi jiwa dan makna Pancasila. Untunglah kekuatan umat Islam telah berhasil melawan pengkhianatan ini. Rezim Jokowi tidak bersahabat dengan umat, tokoh tokoh perjuangan umat Islam pun ditangkap dan diadili dengan berbagai alasan dan kasus. Penampilan kenegaraan yang berkostum adat seolah mengangkat adat tetapi dinilai sebagai kamuflase untuk menutupi kedekatan dengan asing dan menyingkirkan kekuatan agama. Teori Snouck Hurgronye nampaknya dijalankan yakni membunuh nasionalisme menumbuhkan etnosentrisme. Memperalat Adat. Gejala politik yang terjadi jelas tidak sehat. Peran umat Islam dalam memerdekakan negara ini sangat besar. Demikian juga dengan memberi kontribusi bagi perumusan dasar negara dan mengisinya. Siapapun yang memimpin negara ini harus belajar sejarah dan tidak boleh melupakan apalagi mengkhianati peristiwa bersejarah. 18 Agustus 1945 adalah hari lahirnya Pancasila dan UUD 1945. Pemberian umat Islam bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Jangan mencoba untuk mengkhianati. Umat Islam akan melawan kembali. *) Penulis Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Negara Harus Bebaskan Korban Rasisme Viktor Yeimo

by Marthen Goo Jayapura FNN - Dengan menangkap korban rasialisme dan kemudian mencari delik untuk memaksakan korban tetap ditangkap tersebut hanya sebagai upaya meredam dan membelokan kasus rasisme seakan kasus kriminal, tentu secara subtansial juga adalah kejahatan rasisme. Yang semakin berbahaya adalah ketika kejahatan rasisme dipakai melalui alat paksa yakni hukum untuk memukul mundur korban rasisme mencari kebenaran dan keadilan. Natalius Pigai, Tokoh Nasional asal Papua, men-tweet, “otak-otak penggerak demo anti rasisme Jawa sudah diadili di pengadilan. Viktor Yeimo hanya orasi saat demo. Sedari awal aparat telah mempertontonkan pernyataan kebencian pada pribadi viktor. Para pembela HAM nasional & internasional sedang pantau”. Tentu akan sangat berbahaya jika penegakan hukum lebih pada menyasar individu orang karena rasa tidak suka atau karena kebencian. Mestinya aspek hukum harus menjadi dasar, karena hukum selalu bebas dari kepentingan dan kebencian apapun. Hukum selalu soal keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Korban rasisme harus diberikan ruang untuk mencari keadilan, bukan dicari-cari delik untuk dikriminalisasi (tontonan buruk). Tidak boleh juga memiliki niat, tahan dulu, soal nanti cari keadilan biar pengadilan yang putuskan. Itu sudah ada Menstrea. Cara pandang begitu adalah cara pandang yang buruk, karena hukum itu harus jelas, terukur dan professional. Apalagi korban selama dalam tahanan hak-haknya tidak dipenuhi. Membedah Secara Singkat Jika merujuk pada AntaraNews.Com, terbitan 9 Mei 2021, pasal-pasal yang dipakai untuk menangkap Viktor adalah pasal 106 Jo Pasal 87; Pasal 110 KUHP; pasal 14 ayat (1), (2) dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana; pasal 66 UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta lagu kebangsaan; pasal 160 KUHP; pasal 187 KUHP; pasal 365 KUHP; 170 KUHP ayat (1); pasal 2 UU Darurat No 12 Tahun 1951 Jo pasal 64 KUHP. Jika kita membedah pasal-pasal di atas yang dikenakan kepada VY, sangat tidak relevan. Ketidak relevannya adalah jika merujuk pada SuaraPapua.com terbitan 23 Mei 2021, VY hanya ikut dan turut melakukan aksi pada 19 Agustus 2019 di halaman kantor Gubernur Papua, dan tidak pernah terlibat dalam aksi lanjutan 29 Agustus 2019. Sementara yang disangkakan adalah 29 Agustus 2019. Atau, kita bisa mengambil salah satu contoh pasal dari sekian banyak pasal, yakni yang menyangkut pada pasal makar. Pasal makar seperti pada pasal yang dimaksud baik pada pasal 106 Jo pasal 87 ataupun pasal 110 secara subtansial memiliki batasan yang ketat bahwa makar itu harus bersifat melawan negara dengan kekerasan atau dengan kekuatan bersenjata. Sementara pasal 87 yang diarahkan pada pasal 53 soal percobaan, percobaan dalam pengertian makar harus dilihat apakah memiliki kekuatan senjata atau tidak. Faktanya tidak ada. Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”. Sehingga, subjek hukum yang dapat atau berpotensi melakukan perbuatan makar adalah subjek hukum yang memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap makar yang dikenakan sesungguhnya tidak tepat. Ini salah satu contoh pasal yang secara subtansial tidak sangat relevan dengan keberadaan VY sebagai massa aksi tapi juga sebagai orator saat itu, karena orasi tidak bisa disebutkan sebagai perbuatan makar. Berikut, pasal 14 dan 15 UU No. 1 Thn 1946, secara subtansial menjelaskan tentang menyiarkan berita atau menyampaikan berita bohong dan lainnya yang dapat menimbulkan keonaran, itu pasal yang sangat tidak relevan dikarenakan aksi lawan rasisme itu aksi semua orang Papua. ini menyangkut martabat manusia kulit hitam di dunia. Berita bohong harus dilihat adalah antara kenyataan dan yang disampaikan berbeda. Menurut Gustav Kawer, pengacara senior asal Papua, “VY disangka dengan tuduhan berlapis sekitar 12 Pasal yang ancaman hukumannya ada yang berkisar seumur hidup dan paling lama 20 Tahun, untuk peristiwa rasis 16 Agustus 2019 yang pelakunya hanya di vonis 7 bulan penjara dan pelaku lainnya bebas tanpa proses hukum dari negara”. Ko korban rasis disangkakan sampai begitu sementara pelakus rasis hanya divonis 7 bulan, bahkan yang lain bebas tanpa proses hukum? Gustav menambahkan, “VY di proses hukum di polisi memakan waktu yang cukup lama, 3 bulan lebih untuk sebuah kasus yang katanya oleh, "penyidik', yang bersangkutan buron untuk kasus 2019, jika Buron dan kasus lama seharus proses hukum kini sudah sampai di Pengadilan karena buktinya cukup”. Dua hal yang penting dikritisi adalah (1) buronan tapi proses hukum belum ke pengadilan dan (2) sekitar 12 pasal berlapis terkesan seakan dalam satu peristiwa terjadi banyak kasus pidana. Terhadap pasal-pasal yang dikenakan di atas, harus bisa dijelaskan pada publik relevansinya. Jika relevansinya tidak dijelaskan pada publik, sementara prosesnya sudah makan waktu lebih dari 3 bulan, sesungguhnya memberikan pertanyaan kritis, ada apa? Bukannya buronan seperti yang dimaksud itu didasari pada dua alat bukti ? kenapa proses begitu lama ? Publik butuh kejelasan. Profesionalisme harus ditunjukan. Dibebaskan Demi Hukum Hukum pidana bicara soal perbuatan individu orang, maka, VY tidak terlihat memiliki perbuatan melawan hukum, tidak memilik perbuatan pidana dalam mengekspresikan perlawanan rasisme. VY adalah korban rasisme. Bahkan dalam aksi yang dilakukan, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan. VY tidak melakukan kekerasan, tidak mengibarkan bendera dll, tidak melakukan penghasutan dan lainnya (aksi 19/8/2019). Artinya bahwa, dari tuduhan yang dibebankan pada VY tanpa ia melakukan hal-hal yang dituduhkan, tentu dalam perspektif hukum sangat berbahaya, penegak hukum diberikan kewenangan untuk professional dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jika merujuk pada kronologis kasus, menjadi pertanyaan serius soal relevansinya pada setiap pasal adalah (apa ?), apalagi banyak pasal yang bisa dikritisi. Secara subtansial, VY sudah membantu kepolisian dan negara untuk melawan rasisme. Mestinya VY diberikan penghargaan dan diberikan gelar sebagai pahlawan pelawan rasisme. Karena Pidana selalu bicara pada ruang “Tempus Delicti dan Locus Delicti” yaitu pada tanggal 19 Agustus 2019 dan VY tidak melakukan pidana, tapi melakukan kerja kepahlawanan dalam berantas rasisme, disaksikan oleh seluruh rakyat Papua. Atas prinsip kesamaan di depan hukum dan kepastian hukum dari perspektif pidana, maka, negara melalui kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung diharapkan untuk segera memerintahkan Kapolda Papua dan Kejati Papua untuk segera bebaskan Viktor Yeimo. Dan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh soal penegakan hukum di Papua. Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua

Spirit Bushido di Olympiade Jepang

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Olympiade Jepang 2020 (yang tertunda) yang penuh kontroversi, ancaman dan kecemasan berhasil dilaksanakan dengan baik. Dibuka 23 Juli dan ditutup 8 Agustus 2021 di Tokyo, Jepang. Tanpa ada kekacauan. Tanpa insiden ada yang fatal. Meskipun diganggu beberapa pengunjuk rasa, penutupan berjalan dengan lancar. Sukses ini membuktikan Perdana Menteri Yoshida Suga PM yang baru dilantik, berhasil mengonsolidasikan kekuatan lahir dan batin seluruh rakyatnya. Mereka, rakyat Jepang berhasil melewati kerikil tajam. Sukses menancapkan tekad, “Olympiade adalah kehormatan dan harga diri bangsa Jepang”. Apapun yang terjadi, harus terlaksana dengan segala konsekwensi. Meskipun ditentang dan didemo oleh masyarakat tertentu, yang ditengarai menyimpan aroma politik praktis, di Tokyo, namun Olympiade yang bergengsi itu tetap jalan terus. Bangsa Jepang begitu perkasa. Begitu tegar. Begitu kokoh merealisasi dengan tekad, “Olympiade harga mati”. Sahabat lama saya, seorang jurnalis Jepang puluhan tahun yang lalu pernah menyebutkan bahwa, adalah karena bangsa Jepang itu memiliki “warisan” kekuatan batin yang bernama “Bushido”. Akar budaya dan jatidiri bangsa Jepang tersebut adalah sebuah "tatacara ksatria". Sebuah kode etik tentang kesatriaan golongan Samurai dalam feodalisme Jepang. Bushido berasal dari nilai-nilai moral golongan Samurai. Menekankan pada kombinasi sikap utama, “kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati”. Asal usul Bushido, lahir dari Neo-Konfusianisme selama masa damai Shogun Tokugawa ((1603 – 1868), dan mengikuti teks Konfusianisme. Juga dipengaruhi oleh Shinto dan Buddhisme Zen, yang memungkinkan adanya kekerasan dari Samurai. Ditempa dengan kebijaksanaan dan ketenangan. Samurai sendiri adalah sebuah strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodalisme Jepang. Secara resmi, Bushido dikumandangkan dalam bentuk etika sejak zaman Shogun Tokugawa. Lalu terintegrasi ke dalam semangat modernis yang lahir bersamaan dengan Restorasi Meiji (1868). Biasanya para Samurai dan Shogun rela mempartaruhkan nyawa demi itu. Jika gagal, ia akan melakukan Seppuku (tradisi bunuh diri membelah perut dengan Samurai) atau dikenal dengan istilah Harakiri. Jalan kebudayaan Bushido sangat menonjol pada saat Perang Dunia II. Penopang terbentuknya jiwa prajurit berani mati. Diantara tujuh prinsip dasar Bushido yang menjadi pegangan kehormatan bangsa Jepang, salah satunya berbunyi begini, “Ketika prajurit mengatakan bahwa mereka akan melakukan sesuatu, maka mereka akan melakukannya. Tidak ada yang menghentikan mereka untuk menyelesaikan apa yang mereka katakan. Mereka tidak harus “berjanji”: Bagi mereka berbicara dan menyelesaikannya adalah tindakan yang sama”. Prinsip ini dikenal dengan sebutan Makoto atau Kehormatan. Sejarah mencatat Jepang mengalami kekalahan besar akibat terpaan bom atom sekutu pada Perang Dunai II tahun 1945. Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur dihajar pesawat Bomber 29 milik sekutu. Terjadi perang batin antara petinggi militer Jepang dan elite kekaisaran menghadapi paksaan sekutu menyerah tanpa sayarat sesuai bunyi “Deklarasi Postdam”. Petinggi milter dan elite kekaisaran Jepang terpecah menjadi dua kubu: “Yang setuju” dan “Yang menolak”. Menurut catatan sejarah, pada Juni 1945, Kaisar Hirohito (1901-1989) pada waktu itu yang berkuasa, sudah kehilangan kepercayaan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina dan pasukan yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang, setelah menerima laporan Pangeran Higashikuni. Menurut Kaisar, “Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang”. Hirohito adalah kaisar ke-124 yang berkuasa terlama sepanjang sejarah Jepang. Merupakan salah satu tokoh penting pada masa Perang Dunia II dan pembangunan kembali Jepang. Diantara “yang menolak” tersebutlah nama Laksamana Kantaro Suzuki (1867 - 1948)). Perdana Menteri Jepang ke 42. Menjabat dari tanggal 7 April 1945 sampai dengan 17 Agustus 1945. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (1925 - 1929). Dalam usaha mengatasi kerancuan persepsi publik, PM Suzuki yang menanggapi Deklarasi Postdam mengatakan kepada pers, “Saya menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai yang penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali menanggungnya hingga akhir untuk mendatangkan akhir perang yang sukses”. Staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk diikuti selanjutnya dalam melaksanakan perang" yang menyatakan “rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah”. Reputasi Jepang yang hancur dalam Perang Dunia II akhir 1945, ternyata tidak mematikan semangat Bushido. Seiring perjalanan sejarah, Jepang mulai bangkit kembali ketika memutuskan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olympiade 1964. Twitter resmi Olympiade menerangkan, cincin Olympiade yang digunakan pada Olympiade 2020 berasal dari pohon yang ditanam dari biji yang dibawa atlet internasional saat Tokyo menjadi tuan rumah Olympiade pada 57 tahun silam. Di dunia perfilmanpun, Jepang menggegerkan sines-sineas kenamaaan dari Barat. Aroma magis Bushido memukau dalam karya-karya Akira Kurosawa sutradara Jepang yang kesohor sejagat. Film “The Seven Samurai” (1954), karya Kurosawa mengangkat epik yang magis, menginspirasi sutradara berkebangsaan Amerika, John Sturges (1910–1992) dengan membuat film yang sama yang populer tetapi lebih rendah kualitas berjudul “The Magnificent Seven” (1960). Dibintangi antara lain Yul Brynner, Eli Wallach, James Coburn, Steve McQueen dan Charles Bronson. Sebelumnya film “Rashomon” (1950) besutan Kurosawa telah lebih dulu membuat sineas film dari Barat tidak dapat menyembunyikan rasa kagum pada saat berlangsungnya Festival Venesia tahun 1951. Temanya tentang teki teki kasus pembunuhan yang dijelaskan oleh empat saksi dengan versi yang berbeda – beda. Demikian pula film “Throne Of Blood” (Tahta Berdarah) yang dibuat Kurosawa di tahun 1957. Mendapat tanggapan serius dari banyak pengamat film dunia. Terutama karena temanya adalah adaptasi naskah drama Macbeth karya sastrawan Inggeris kelas dunia William Shakespeare. Ketiga film masterpiece Kurosawa itu bintang utamanya kesemuanya dipercayakan kepada aktor berkarakter khas Jepang, Toshiro Mifune. Dan Kurosawa sendiri telah membuat kurang lebih 31 film. Kesemuanya, adalah dia sendiri yang menulis cerita, menyutradarai dan sekaligus juga adalah produsernya. Ketika mengikuti Festival Film Asia Pacifik (1985) di Tokyo, saya termasuk rombongan delegasi film dari Indonesia wakil kelompok kritikus film dari unsur PWI. Sempat berbincang-bincang dan foto bersama Akira Kurosawa tokoh besar dunia perfilman yang low profile. Sementara, ketika itu aktor El Manik mendapat penghargaan gelar Best Supporting Actor lewat film “Jejak Pengantin” karya Sutradara MT Risyaf, produksi 1983. Lantas, bagaimana dengan upacara penutupan pesta olah raga Olympiade Tokyo 2020? Seluruh lampu stadion dimatikan, tersisa hanya pada cahaya telepon genggam atlet di tengah lapangan. Bergerak berbentuk tiga dimensi dan bergelombang hingga akhirnya menjadi lambang “lima cincin” logo khas Olympiade. Atlet dibebaskan membaur dan memilih tempat di lapangan. Menegaskan motto “Unity in Diversity”. Acara penutupan selesai tanpa kehilangan kemeriahan. Khusyuk. Olympic Stadium, Tokyo, pusat acara malam itu semarak tanpa penonton. Kemeriahan lampu-lampu handphone yang super gemerlap mengesankan para kontingen hingga volunteers seakan-akan memenuhi seisi stadion. Bagaikan, dibalik itu diam-diam tapi pasti, sukma Bushido memberinya perkuatan. Mengiring doa kolektif rakyat Jepang yang mempertaruhkan harga dirinya ketika memutuskan: Olympiade jalan terus. Penutupan Olympiade Tokyo 2020 ditandai sebuah pertunjukan drama musikal dari beberapa anak dan seorang ibu. Sebanyak 205 negara peserta mengelilingi panggung tengah. Dipimpin oleh bendera Jepang selaku tuan rumah dan Yunani selaku negara pendiri Olympiade. Perhelatan akbar berkelas dunia yang bernama Olympiade telah berakhir di tengah lika liku hambatan akibat serangan Pandemi Covid 19 yang menerpa seluruh bangsa di dunia. Jepang mampu menjawab kecemasan dan keraguan dunia akan terlaksananya gawe olah raga multibangsa itu. Di tengah prahara korona yang berkecamuk di multinegara. Saya tercenung di depan televisi. Terpukau dalam pesona menyaksikan acara penutupan. Ternyata seberat apapun tantangan, akan dapat diatasi. Ketika tekad bulat diiiringi kerja keras menyatu padu dalam tekad sebuah bangsa. Jepang membuktikan. Berlandaskan konsitensi atas komitmen pada prinsip Bushido, Jepang mampu menjinakkan kelemahan sebesar apapun. Sanggup menembus kesulitan sesuram apapun. Isi WhatsApp teman lama saya kembali mucul dengan pesan pendek, “Kebahagiaan tidak terdapat pada tujuan, tapi pada langkah-langkah menuju tujuan”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Mosial Budaya.

Fenomena Satire Mural, Ketika Akhirnya Tembok Dilarang "Bersuara"

Oleh: Mochamad Toha UPAYA membungkam suara rakyat tidak hanya memanfaatkan pandemi COVID-19 dengan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pembatasan Pergerakan Kegiatan Masyarakat) Darurat hingga Level-Levelan. Dengan dalih untuk memutus mata rantai penyebaran Virus Corona, Pemerintah melarang rakyat berkerumun dan harus tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Bersamaan dengan itu, Pemerintah mewajibkan rakyat divaksinasi. Padahal, banyak kasus yang menimpa tenaga kesehatan, setelah divaksin justru kena Covid-19 dan meninggal. Begitu pula yang terjadi di kalangan rakyat. Dalih yang dipakai, meninggalnya itu tidak ada kaitannya dengan vaksinasi. Bahasa medisnya, bukan meninggal akibat KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Namun, karena ada comorbit pada diri pasien. Meski sudah menelan korban, vaksin tetap dibela sebagai bukan penyebab kematian. Vaksin itu bukan obat. Vaksinasi sudah menjadi kewajiban. Di DKI Jakarta, rakyat yang belum divaksin diburu sampai ke rumah-rumah. Kalau tetap tidak mau divaksin, rumahnya ditempeli stiker yang menandakan penghuni rumah itu masih belum divaksin. Tidak ada hak warga untuk menolak vaksin. Padahal, WHO sendiri sudah memberi sinyal, tidak boleh ada pemaksaan pada rakyat yang menolak vaksin. Rakyat pun akhirnya curiga, pemaksaan vaksin ini karena ada kaitannya dengan bisnis. Dalam kebijakan PPKM Level-Levelan yang sudah diperpanjang lagi hingga 23 Agustus 2021 itu, pergerakan rakyat dibatasi. Alasan tetap sama: pengendalian Covid-19 dan untuk memutus mata rantai penyebarannya. Itukah alasannya? Namanya juga “pembatasan pergerakan kegiatan masyarakat”, sehingga kegiatan apa saja yang berpotensi menimbulkan kerumunan ya dibatasi. Jum’atan ke masjid diatur. Bahkan, disuruh tunjukin “kartu vaksin”. Begitu pula ke mal-mal. Padahal, efikasi vaksin yang ada selama ini terhadap varian Delta bervariasi. Untuk vaksin AstraZeneca 1x suntik: 30,7%; 2x suntik: 67,0%. Vaksin Pfizer 1x suntik: 30,7%; 2x suntik: 88,0%. Sedangkan Sinovac hingga kini belum jelas berapa. Yang pasti, dengan adanya pembatasan tersebut, kegiatan yang berpotensi mengumpulkan orang banyak seperti unjuk rasa dan demo, dipastikan tidak akan pernah bisa terjadi. Inilah sebenarnya maksud di balik PPKM Level-Levelan tersebut. Jika ada yang protes atas berbagai kebijakan Pemerintah, dapat dipastikan akan berakhir di balik jeruji tahanan atau penjara. Jangankan unjuk rasa, mengadakan Maulid Nabi saja bisa berakhir di penjara, seperti yang dialami Habib Rizieq Shihab. Padahal, dalam ceramah Maulid Nabi tersebut tidak ada materi yang mengkritik Pemerintah. Tapi, tetap saja ada upaya untuk bungkam suara rakyat. Hingga gambar dan tulisan yang ada di tembok/dinding pun dibungkam aparat Pemerintah: Mural! Mural bertuliskan “Tuhan, Aku Lapar” yang pernah terpampang di Jalan Arya Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, akhirnya dihapus oleh aparat. Si pembuat mural, Deka Sike, sempat didatangi aparat dari Polres Kota Tangerang. Deka mengaku trauma dan tertekan setelah polisi mendatangi rumahnya. “Cukup tertekan, kami tidak menyangka efeknya polisi akan seperti itu,” ujarnya kepada Tempo, Minggu 15 Agustus 2021. Menurut Deka, ada sekitar 15 orang pemural yang ikut menuliskan kalimat Tuhan Aku Lapar sepanjang 12 meter itu dalam waktu empat jam. Apa yang mereka buat itu merupakan sebuah ekspresi dan karya seni sehingga tidak ada aturan hukum yang mereka langgar. “Ini adalah cara kami mengekspresikan sesuatu yang kami rasakan, Tuhan Aku Lapar adalah aduan dan keluhan kami kepada Tuhan sang Pencipta,” ujarnya. Tapi, setelah rumah mereka didatangi polisi pasca viralnya mural itu membuat mereka tertekan. “Mereka (polisi) memang bilang tidak mau membatasi, tapi dengan cara mereka mendatangi rumah kami itu sudah memberikan penekanan pada kami dan keluarga,” kata Deka. Sehingga pasca kejadian itu mereka mulai ragu dan merasa tidak bebas untuk berkarya lagi. Sebuah mural bertuliskan Tuhan Aku Lapar viral di media sosial pada 24 Juli 2021. Kalimat dengan huruf kapital berwarna putih mengkilat berukuran jumbo itu sempat terpampang jelas dan diabadikan sejumlah pengguna jalan. Setelah viral di medsos, aparat Satpol PP Kecamatan Tigaraksa langsung menghapus tulisan tersebut. Keesokannya aparat kepolisian dari Polres Kota Tangerang mendatangi rumah dua pembuat mural itu. Menurut Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoto, upaya pembuatan mural itu tak ada kaitan dengan aksi nasional menolak perpanjangan PPKM yang tengah ramai di medsos. Sehingga, pihaknya tidak memproses hukum para pelaku pembuatan mural tersebut. Pasca viral mural “Tuhan Aku Lapar”, mural “#Jokowi404NotFound “ telah menjadi trending topik dalam Twitter, Sabtu (14/8/2021). Mengutip Kompas.com, Sabtu (14/08/2021, 18:20 WIB), tercatat lebih dari 14.000 warganet men-tweet-kan kalimat itu. Tagar itu berasal dari gambar mural yang belakangan telah dihapus petugas karena dinilai melecehkan lambang negara. Wajah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengernyitkan dahi digambar di sebuah tembok di Batuceper Kota Tangerang. Mural berwarna abu-abu kombinasi hitam itu pada bagian mata ditutup tulisan berhuruf putih “404: Not Found” dengan layar belakang merah itu kini sudah dihapus aparat. Menurut Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota Komisaris Abdul Rachim, mural tersebut berindikasi pelecehan dan penghinaan simbol negara dan sudah dihapus. “Presiden itu simbol negara, ini tidak hanya mengganggu sekadar ketertiban ada hukum berlaku,” katanya. “Tetap diselidiki itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun itu kan lambang negara, harus dihormati,” lanjut Abdul Rachim, saat dihubungi wartawan, Jumat (13/8/2021). Peristiwa serupa juga terjadi di sebuah pertigaan jalan raya di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Diberitakan Kompas.com, Kamis (13/8/2021), mural yang tergambar di dinding salah satu rumah dihapus pemerintah setempat. Sejumlah akun media sosial mengunggah foto yang memperlihatkan dinding berisi mural dan kondisi setelah dihapus. Pada mural itu terlihat gambar dua karakter dengan tulisan, “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengatakan, penghapusan mural itu sesuai dengan Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat. Dalam Pasal 19 Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tersebut tercantum larangan mencoret dinding atau tembok sarana umum. “Yang pasti kalau di perda kita, Perda Nomor 2 Tahun 2017, memang ada mengatur tentang tertib lingkungan, setiap orang dilarang mencorat-coret yang mengarah pada sarana umum,” kata Bakti melalui sambungan telpon, Jumat (13/8/2021). Ia mengatakan, dinding rumah yang menjadi tempat mural itu merupakan sarana umum karena berada di pinggir jalan raya utama. Adapun mural itu terletak di rumah kosong yang belum diketahui pemiliknya. Rumah itu tepat berada di pojok jalan raya. Bakti juga menilai, mural itu bernada provokatif. Alasan ini pula yang membuat pihaknya memutuskan untuk menghapus mural tersebut. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Mengibarkan Optimisme Kebangsaan

Oleh : Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A PERINGATAN hari kemerdekaan RI pada tahun ini masih sama seperti peringatan pada tahun sebelumnya, yakni dalam suasana pandemi COVID-19. Suasana seperti ini bukanlah kondisi yang kita harapkan karena pandemi COVID-19 menghadirkan berbagai limitasi tersendiri. Limitasi-limitasi tersebut mewujud dalam bentuk larangan untuk melakukan parade atau pawai, larangan untuk tidak menyelenggarakan berbagai perlombaan yang berpotensi menimbulkan kerumunan, dan masih banyak lagi. Namun demikian, ada juga yang berbeda dari tahun sebelumnya. Meskipun masih dibekap oleh pandemi, perlahan tapi pasti, bangsa Indonesia mulai bangkit optimismenya untuk bergerak maju sebagai bangsa dan negara yang mampu lepas dari situasi krisis. Tidak dimungkiri bahwa pandemi COVID-19 telah meluluhlantakkan berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perekonomian nasional yang sempat jatuh ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut, masyarakat yang mengalami gegar budaya karena harus beradaptasi dengan kebiasaan baru, densitas demografi yang menyusut karena banyaknya penduduk yang meninggal dunia, tensi politik yang naik turun karena dialektika domestik dalam mitigasi dan penanganan pandemi, adalah bentuk-bentuk ekses negatif yang lahir di masa pandemi. Untuk merespons ekses-ekses negatif tersebut, optimisme menjadi kata kunci. Optimisme kebangsaan adalah senjata utama untuk keluar dari situasi krisis secara cepat dan saksama. Buah optimisme Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia 76 tahun silam adalah buah optimisme para pejuang kemerdekaan di masa lampau. Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak diraih secara instan, tapi ditempuh melalui jalan panjang nan berliku yang berlumur keringat dan darah perjuangan para pahlawan. Proklamasi kemerdekaan merupakan titik sejarah yang bisa diukir setelah optimisme kemerdekaan berhasil diaktualisasikan para pejuang dalam babakan yang sistematis, yakni perubahan metode perjuangan dari sporadis menjadi terorganisir melalui pembentukan Boedi Oetomo pada 1908, deklarasi sumpah pemuda 1928 yang mengatasi fragmentasi perjuangan, hingga berujung pada pekik kemerdekaan 1945. Optimisme kemerdekaan pada masa revolusi fisik bukanlah spirit atau elan yang hadir secara ujug-ujug. Optimisme untuk merdeka pada masa itu hadir dan meletup sebagai wujud refleksi, pembelajaran, serta keinginan yang kuat untuk hidup sebagai bangsa yang bebas, terlepas dari penindasan secara fisik dan psikis oleh kekuatan kolonial. Optimisme tersebut pada akhirnya dibalut oleh perasaan senasib dan sepenanggungan, serta keinginan seluruh bangsa untuk hidup bersama dalam sebuah entitas politik dan sosial budaya yang merdeka dan berdaulat, yakni Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta merupakan aktualisasi konkret dari optimisme kemerdekaan yang senantiasa dijaga dan dipelihara nyalanya oleh para pejuang pada masa itu. Cara Pandang Sirkumstansi (keadaaan) yang melatarbelakangi kemerdekaan sejatinya tidak jauh berbeda dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini, yakni sama-sama dalam situasi genting dan krisis. Bedanya, yang kita hadapi pada masa lalu adalah kekuatan kolonial kongsi dagang VOC dan Jepang, sedangkan saat ini yang kita hadapi adalah makhluk organik dengan ukuran mini tapi sangat mematikan bernama COVID-19. Meskipun subjek penyebab krisis berbeda, akan tetapi mekanisme yang ditempuh pada masa merebut kemerdekaan tetap relevan untuk dihidupkan kembali di era saat ini, yakni optimisme kebangsaan untuk keluar dari situasi krisis. Optimisme ini dapat hidup apabila ada kesamaan cara pandang dan komitmen segenap bangsa untuk maju dan bergerak bersama dalam merumuskan langkah-langkah sistematis ke depan, agar roda kehidupan berbangsa dan bernegara tetap berputar dalam mencapai tujuan nasional. Dalam mewujudkan optimisme tersebut, cara pandang memegang peranan utama. Pandemi COVID-19 tidak harus selalu dilihat dari perspektif ancaman, tapi juga perlu ditilik dari perspektif peluang. Selalu ada pembelajaran dan blessing in disguise (berkah terselubung) dalam setiap fenomena. Kolonialisme yang membebat Indonesia pada masa lalu ternyata menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka. Begitu juga dengan pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 perlu dimaknai sebagai alat pemersatu bangsa karena ia merupakan musuh bersama yang harus ditanggulangi secara bersama-sama. Kehadiran pandemi COVID-19, apabila kita kaji secara mendalam, sejatinya merupakan pemantik bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan praktik-praktik kebangsaan dan kenegaraan yang lebih inovatif dan berdaya tahan (resilient) dalam situasi krisis, utamanya praktik perekonomian karena menyangkut kebutuhan dasar manusia akan sandang, pangan, dan papan. Kehadiran pandemi COVID-19 seakan hendak mengoreksi praktik-praktik yang selama ini kita anggap benar. Pada perspektif lainnya, eksistensi pandemi boleh jadi hendak menyadarkan kita semua bahwa praktik-praktik yang selama ini kita jalankan mungkin kurang sesuai dengan amanat Pancasila dan konstitusi. Praktik ekonomi liberal yang terlalu bertumpu pada pertimbangan cost (biaya) dan benefit (untung) misalnya, akan berujung pada PHK dan bertambahnya jumlah pengangguran tatkala para pelaku ekonomi melihat biaya yang harus mereka keluarkan di masa pandemi lebih tinggi dari keuntungan yang akan mereka dapatkan. Situasi seperti ini, mau tidak mau, suka tidak suka, akan memaksa kita untuk menengok kembali konsepsi ekonomi Pancasila yang digariskan oleh para pendiri bangsa. Berbagai dampak negatif di sisi ekonomi, seperti fenomena PHK, pengangguran, dan penurunan daya beli masyarakat, tidak akan menjadi fakta dominan di era krisis apabila kita selama ini berkhidmat pada ekonomi Pancasila yang berbasis kemandirian (self-help). Di sinilah entry point (titik mula) munculnya optimisme bangsa Indonesia, bahwa kita pada hakikatnya sudah memiliki mekanisme untuk keluar dari situasi krisis. Komitmen dan Soliditas Pemerintah Indonesia sendiri, meskipun belum bisa dikatakan maksimal, telah melakukan kerja keras dan upaya-upaya berkesinambungan untuk meredam ekses negatif pandemi. Secara ekonomi, negara hadir di tengah masyarakat dalam bentuk beragam bantuan sosial yang digulirkan kepada mereka yang terdampak, serta pemberian insentif kepada para pelaku usaha agar perekonomian tetap bergeliat. Untuk memproteksi masyarakat dari COVID-19 yang kian mengganas, pemerintah memberlakukan protokol kesehatan dan pembatasan kegiatan masyarakat secara ketat. Meskipun kebijakan pembatasan kegiatan ini banyak dikritik karena mengalami perubahan nomenklatur berkali-kali dan dianggap seperti sebuah dilema kebijakan (baca: pendekatan ekonomi vs kesehatan), akan tetapi adanya PSBB, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro, hingga PPKM Darurat, merupakan wujud kehadiran negara dalam menjamin human security (keamanan warga) seluruh warga negara sesuai amanat UUD NRI 1945. Upaya-upaya tersebut harus kita apresiasi dan didukung secara penuh, termasuk upaya pemerintah untuk menciptakan kekebalan komunitas melalui program vaksinasi yang semakin digalakkan ke masyarakat saat ini. Dengan menengok kembali kapasitas kita sebagai sebuah bangsa yang dibekali dengan pedoman dan panduan kebangsaan yang kuat dalam bentuk Pancasila, serta komitmen kuat dan upaya-upaya komprehensif yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani pandemi, sudah sepatutnya kita semua optimis bahwa kita, bangsa Indonesia, akan segera keluar dari situasi krisis. Pandemi COVID-19 tidak harus selalu dilihat sebagai ancaman, tapi perlu juga dilihat sebagai peluang. Pandemi COVID-19 akan menjadi pemantik bagi kita semua untuk bersatu dalam penanganan, terlepas dari semua perbedaan yang ada. Yang perlu kita yakini adalah bangsa yang mampu keluar dari situasi krisis seperti saat ini akan menjadi bangsa yang lebih kuat dan tangguh di masa yang akan datang. Peringatan hari kemerdekaan RI 17 Agustus 2021 ini selaiknya menjadi momentum untuk menebalkan kembali optimisme kebangsaan kita. Selamat hari kemerdekaan 17 Agustus 2021, Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh. Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

Pakaian dan Kotak Pandora

By M Rizal Fadillah PIDATO Presiden di depan Sidang Paripurna MPR juga di depan Sidang Paripurna DPR menjadi menarik bukan karena konten pidatonya saja tetapi juga kostum atau pakaian yang dikenakan Presiden Jokowi. Pidato kenegaraan ketika pimpinan MPR, DPR, dan anggota serta undangan memakai Pakaian Sipil Lengkap, Jokowi memakai pakaian adat suku Baduy. Bukan soal baju adat Baduy pula yang unik melainkan ganjil pemakaiannya. Jika acara bukan resmi tentu bagus-bagus saja mengenakan baju adat. Tetapi dalam acara kenegaraan 16 Agustus seperti ini menjadi aneh. Ada yang mengkritisi akan akal sehatnya. Siapa sutradaranya. Sementara Masyarakat adat ada yang protes mengecam penggunaan atribut yang tidak sejalan dengan perhatian sebenarnya Jokowi pada hak-hak masyarakat adat. Lagi pula memilih salah satu pakaian saja menimbulkan rasa ketidakadilan perhatian pada adat lain. Soal "tidak nempat" dalam berpakaian mungkin hanya menimbulkan gumaman dan kecaman. Namun yang menarik justru pengantar Ketua MPR saat menyatakan agenda MPR untuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) semacam GBHN dahulu. Ketua MPR menyebut amandemen ini terbatas dan tidak meluas. Jika meluas akan menjadi bahaya. Ia menyebut seperti membuka kotak Pandora. Mungkin yang dimaksud dengan kotak Pandora itu termasuk soal perpanjangan masa jabatan untuk tiga periode. Memang jika hal ini dibahas dan ditetapkan bakal menimbulkan kegoncangan politik. Bukan berarti tidak bisa untuk mendapat dukungan partai politik tetapi publik akan bereaksi sangat keras. Amandemen perpanjangan periodisasi adalah putusan tidak rasional, memaksakan, dan tidak demokratis. Sebenarnya PPHN pun bisa menjadi kotak pandora jika tidak dijalankan dengan konsekuen. Berbeda dengan GBHN dalam UUD 1945 asli dimana Presiden adalah mandataris MPR (untergeordnet). Kini Jokowi bukan lagi mandataris. Kedudukan MPR dengan Presiden saat ini ternyata sejajar (neben). Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan memakai baju adat suku Baduy dengan menyelempangkan tas. Mungkin ada yang nyeletuk bahwa tas Jokowi tersebut berisi uang 11 Trilyun sebagaimana yang pernah dipidatokannya. Atau Presiden sedang membawa tas kotak Pandora yang ketika tas itu dibuka akan membumihanguskan bangsa dan negara? Kalau begitu keadaannya, sungguh berbahaya sekali Pak Jokowi. Karenanya menjadi suatu keniscayaan bahwa harus cepat diganti. Merdeka ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

In-memoriam Bang ADS, Selamat Jalan Abangku

Oleh M. Nigara "GUA INI APALAH, hidup gak lama Nigara," itu kata-kata terakhir sebelum Andi Darussalam Tabusala meninggalkan Jakarta, sekitar dua atau tiga bulan silam. Lalu, ia menambahkan. "Kita ini manusia, tempatnya salah. Makanya, gak adalah gua simpan kemarahan kepada siapa pun. Tapi, kalau di permukaan gua masih suka meledak, lu tahu gua kan?" Pagi ini, persis di hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76, ya Selasa (17/8/2021) Bang ADS, begitu saya dan teman-teman wartawan peliput sepakbola 1985-2010, menyapanya, beliau berpulang ke Pangkuan Illahi Robby. Inna lillaahi wa inna ilaihi rojiun. Semoga Allah ampuni khilafnya, Allah limpahkan rahmatNYA yang maha luas, Allah bukakan pintu surga untuk Bang ADS, aamiin. Caprina vs MU Saya bergaul sangat erat dengan Bang ADS selepas pertarungan Caprina vs Makassar Utama di Bali. Ia melontarkan ada upaya penyuapan ke klubnya. Saya lupa persisnya, kapan. Karena lontaran itu, ADS dipanggil oleh Mayjen TNI (purn) Acub Zainal, administrator Galatama. Setelah pertemuan, ADS langsung 'disergap' wartawan. Ada Salamun Nurdin (Pelita), ada Bang Mardi, Mas Budiman (Merdeka), ada Riang Panjaitan (Sinar Pagi), ada Isyanto (Pos Kota) datang terlambat, dan ada beberapa lainnya. "Sebelum gue mulai, mana yang namanya Nigara?" tanyanya. "Saya bang," jawab saya. "Habis ini kita ngomong berdua ya," katanya lagi. "Ini off the record ya," tukas Bang ADS. Lalu ia menceritakan seluruh proses dugaan terjadi upaya suap. Berulang-ulang ADS, menyebut nama si pending Emas, Herlina Kassim. "Ini masih pendalaman, jadi jangan sebut nama siapa pun, " tegasnya. Tak lama Isyanto merapat. Tak ada hal istimewa lain hari itu, kecuali itu kali awal saya dekat beliau. Saat berdua, kami saling membuka data dan pengetahuan. Saya, saat itu, menjadi satu-satunya wartawan yang bisa tembus ke pusat suap. Di antar Usman (kiper Cahaya Kita) dan ditemani sahabat saya Hermanto (Analisa, Medan), saya bertemu Lo Bie Tek, orang selama ini diisukan sebagai bandar dan penyuap. Tapi, setelah LBT, begitu saya menyapanya, berkisah, saya yakin dia bukanlah tokoh utama. Bahkan, dia bukan penyuap. "Saya ini dipercaya oleh mereka (para penjudi bola) untuk menampung dan membayar hasil taruhan," begitu kata saya Bang ADS menirukan kisah LBT. "Kenapa bisa begitu? Karena mereka saling tidak percaya," lanjut LBT. Di samping itu, LBT juga ditugaskan untuk membayar pemain-pemain tertentu oleh para bandar itu. Saya juga gak mau tanya kenapa para pemain harus dikasih duit. Pokoknya saya laksanakan saja," tutur LBT. Nah karena dia juga dealer dan distributor mobil, Agung Motor, makanya ia menganjurkan pada para pemain itu menerima mobil saja. " Duit-duit itu jadi DP dan cicilan." Lebih Dalam Sehari setelah press-konference di Liga Galatama, dunia sepakbola meledak. Pos Kota menurunkan headline Si-Pending Emas Berusaha Menyuap. Kardono, Ketum PSSI marah, Jendral Acub juga marah, ADS, kelabakan. Singkatnya Bu Herlina menuntut keduanya. Dan setelah sidang berakhir, Bu Herlina yang dinyatakan menang meminta ganti rugi, jika tidak keliru Rp 175 rupiah. Sejak kasus itu, ADS mulai dihitung orang. Bahkan karena kepiawaiannya, ia bisa masuk jauh lebih dalam. Luar biasa, ia tahu siapa saja tokoh yang terlibat suap. Ia bahkan pernah menantang praktisi sepakbola untuk buka-bukaan. Sejak itu pula, saya, Riang, kemudian datang Eddy Lahengko, menjadi trio yang selalu bersama ADS. Kemana saja, di mana saja, kami selalu bersama. Belakangan bergabung Isyanto, Barce (Wawasan), Suryo Pratomo (Kompas) dan lain-lain. ADS juga unik, ia sangat ringan tangan, suka sekali membantu. Rasanya, tak ada seorang wartawan pun yang tidak dibantunya. Meski begitu sumbunya terlalu pendek, apa-apa yang tak sejalan, langsung dibom-bardir. Banyak pos di PSSI yang ia duduki. Semua diawali saat ditunjuk sebagai Sekertaris Liga-Galatama, era Pak Acub. Lalu di komisi disiplin dan terakhir sebagai manajer tim nasional. Sekali lagi, sebagai pribadi, Bang ADS sangat baik. Perhatiannya pada teman seolah melebihi keluarga. ADS juga tak segan menjadi benteng bagi sahabat-sahabat untuk persoalan apa saja. "Gua, kalo orang baik ke gua, mati aja gua mau buat dia!" itu berulang kali ia tegaskan. Saat ini, ADS sudah berpulang. Semoga seluruh kebaikannya bisa ia petik di akhirat dan semoga seluruh kekhilafannya, diampuni Allah. Selamat jalan Abangku...... Penulis Wartawan Sepakbola Senior Mantan wa-Sekjen PWI

Habib Rizieq Wajib Bebas, Harapan Selayaknya

Oleh Ady Amar ALASAN apa menahan tahanan yang sudah habis masa tahanannya. Ini masuk pelanggaran HAM. Dan ini dikenakan pada Habib Rizieq Shihab, yang mestinya tanggal 8 Agustus 2021 adalah akhir masa tahanannya. Seharusnya keesokan harinya, ia sudah bisa menghirup udara bebas. Tapi ternyata masa tahanannya ditambah sebulan ke depan, dengan alasan karena ada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, berkenaan dengan banding terdakwa pada kasus RS Ummi, yang belum diputus. Dengan belum diputusnya kasus itu, maka penahanannya ditambah sebulan ke depan. Apakah jika sebulan ke depan PT Jakarta belum juga memutus kasus bandingnya, maka penahanannya juga akan ditambah lagi sebulan, dan seterusnya demikian. Sebenarnya pada dua kasus banding lainnya, kasus Kerumunan Petamburan dan kasus Kerumunan Megamendung, tidak ada hubungan dengan kasus RS Ummi. Masing-masing kasus berdiri sendiri. Pada dua kasus Petamburan dan kasus Megamendung, ia sudah menjalani hukumannya yang berakhir pada tanggal 8 Agustus, dan mestinya pada tanggal 9 Agustus ia sudah bebas. Menjadi aneh jika dua kasus itu ditautkan dengan kasus yang belum diputus PT Jakarta (kasus RS Ummi), dan karenanya penahanannya mesti ditambah sebulan. Alasan yang diberikan, agar yang bersangkutan tidak menghilangkan barang bukti dan tidak melarikan diri. Tampak alasan dibuat-buat meski harus melanggar asas keadilan. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur pada kasus Tes Swab RS Ummi, itu Habib Rizieq diganjar 4 tahun penjara. Pasal pemberatnya adalah bahwa yang dilakukan Habib Rizieq itu menimbulkan keonaran. Meski tuduhan keonaran itu tidak dapat dibuktikan, keonaran apa yang ditimbulkan Habib Rizieq itu. Akal sehat publik seolah ingin dibutakan oleh tuntutan jaksa penuntut umum (6 tahun), dan lalu Majelis Hakim memutus 4 tahun. Tuntutan tanpa bukti itu dibuat agar manusia satu ini bisa dihukum seberat-beratnya, meski apa yang diperbuat adalah hal sepele yang tidak harus diseret ke pengadilan, apalagi sampai dikenakan pasal-pasal pemberat agar tuntutan bisa maksimal. Kasus Habib Rizieq ini bukan semata kasus hukum, tapi lebih bermuatan politik. Hukum yang diseret pada politik, dan itu kekuasaan, pastilah menimbulkan ketidakadilan. Hukum bisa dibuat berat jika diinginkan untuk dibuat menjadi berat, atau sebaliknya. Hukum seperti dibuat suka-sukanya. Intervensi kekuasaan pada kasus Habib Rizieq Shihab ini tampak terang benderang. Kasus kerumunan, jika kasus Habib Rizieq itu dianggap sebuah kesalahan, itu bukan cuma dilakukan ia seorang. Banyak pihak melakukan hal sama, yang menimbulkan kerumunan massa, termasuk kasus Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat di NTT yang lalu. Dan yang terbaru, kasus pembagian sembako di Grogol, Jakarta Barat, yang menimbulkan kerumunan massa, dan itu dianggap biasa-biasa saja. Menyikapi hal itu, pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, dalam Twitter-nya, sampai patut menduga apa yang dilakukan Presiden Jokowi itu “bentuk sabotase”, agar kasus Covid-19 di Jakarta yang sudah melandai turun akan kembali menaik. Bebaskan Habib Rizieq Membebaskan Habib Rizieq itu bukan belas kasihan, tapi itu memang haknya untuk bebas. Dengan menahannya, itu pelanggaran atas asas keadilan dan bahkan pelanggaran HAM. Maka, jika muncul suara publik mempertanyakan hak keadilan pada Habib Rizieq, itu semata suara moral. Mestinya suara moral publik itu dilihat sebagai bentuk protes, bahwa ada yang salah dan tidak beres dalam masalah penegakan hukum dan keadilan, dan itu dalam kasus Habib Rizieq Shihab. Jika suara moral itu tidak didengar, maka tidak mustahil publik akan mencari jalannya sendiri dengan bentuk protes yang lebih keras, yang diluar apa yang bisa dipikirkan. Jangan menunggu publik mencari jalannya sendiri. Peristiwa umat Islam mencari keadilan atas penodaan agama (kasus Ahok) dengan berbondong-bondong ke Jakarta (2016), yang dikenal sebagai Aksi 411 dan 212, itu bukan hal yang mustahil bisa dilakukan kembali. Tentu ini bukan hal yang diinginkan. Jika bisa ditempuh dengan cara sewajarnya, mengapa cara itu tidak dipilih saja dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Persoalan besar bisa tampak kecil, jika pendekatan yang diberikan mengedepankan sikap bijak. Negeri ini menghadapi banyak persoalan; masalah kesulitan ekonomi, pandemi Covid-19 dan masalah lainnya, menjadi berat jika harus ditambah dengan persoalan lain. Menyelesaikan persoalan itu langkah bijak, bukan malah mengekalkan persoalan yang tidak semestinya. Membebaskan Habib Rizieq Shihab, harusnya jadi prioritas, tentu bukan mengistimewakan, tapi mengembalikan hak semestinya yang terampas. (kempalan.com) Penulis adalah kolumnis

Menyoal Rencana Perubahn Permen ESDM PLTS Atap

Oleh Marwan Batubara, IRESS DALAM waktu dekat Kementrian ESDM akan menerbitkan aturan baru terkait pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap, sebagai revisi atas Permen ESDM No.49/2018. Menurut Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana revisi dilakukan antara lain untuk menarik investasi PLTS, menggalakkan PLTS sebagai energi bersih yang semakin murah, menghemat tagihan listrik, dan mengejar target bauran EBT 23% pada 2025. Dikatakan, revisi Permen akan memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang besar, termasuk penyediaan lapangan kerja. Sejak kebijakan PLTS Atap diterbitkan pemerintah pada 2018 ada 350 pelanggan PLN yang mengoperasikan PLTS Atap di rumah dan kantor-kantor. Saat ini jumlah pelanggan PLTS atap telah mencapai 4.000 atau melonjak lebih dari 1.000% dibanding awal 2018, dengan total kapasitas sekitar 40 MW. Dari total potensi energi surya Indonesia sekitar 208 GW, menurut Dadan, potensi PLTS Atap mencapai 32 GW. Karena itu diharapkan kapasitas PLTS Atap dapat meningkat menjadi 2-3 GW dalam 3 tahun mendatang. Pemerintah menyatakan akan merevisi beberapa ketentuan Permen No.49/2018. Misalnya mengubah tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan dari tiga bulan menjadi enam bulan, mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, memperluas perizinan pemasangan PLTS Atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, perizinan lebih singkat, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS Atap. IRESS mengapresiasi upaya pemerintah merevisi Permen No.49/2018 guna mencapai berbagai tujuan ideal energi nasional. Dengan demikian, masyarakat luas akan tertarik memasang PLTS Atap di rumah atau kantor masing-masing secara massif dan gotong-royong. Namun, berbagai target ideal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional. Jika berbagai aspek strategis di atas belum terpenuhi secara harmonis dan seimbang, maka revisi Permen harus ditunda. Sejauh ini IRESS menilai rencana revisi Permen ESDM No.49/2018 lebih fokus pada pertimbangan aspek ekonomi dan bisnis. Ditengarai motif investasi, bisnis dan perburuan rente lebih mengemuka dibanding kepentingan keadilan, kebersamaan dan keberlanjutan pelayanan BUMN. Hal ini sangat jelas terlihat dari upaya Kementrian ESDM yang memaksakan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1. Berbagai masukan dari PLN maupun sejumlah akademisi dan pakar sejauh ini cenderung tidak dipertimbangan pemerintah. Saat ini, ketentuan tarif net-metering dalam Permen ESDM No.49/2018 adalah 1:0,65. Artinya, jika saat konsumen mengkonsumsi atau mengimpor listrik dari PLN adalah X per kWh, maka pada saat konsumen mengekpor listrik dari storage di rumah ke jaringan PLN tarifnya adalah 0,65X. Tarif ekspor listrik konsumen ke PLN memang lebih rendah dibanding tarif impor konsumen dari PLN, karena PLN harus menyediaan berbagai sarana pelayanan. Sebenarnya tarif ekspor-impor 0,65:1 sesuai Permen No.49/2018 sudah cukup memadai dan menguntungkan konsumen, terutama life style sebagai pengguna energi bersih dapat diraih bersamaan dengan tagihan listrik yang lebih murah. Bahkan, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1. Karena telah terlanjur membuat aturan tarif ekspor-impor 0,65:1, maka cukup layak jika pemerintah mempertahankan dan konsumen pun memaklumi. Pemerintah dan para promotor revisi Permen mengatakan jika tarif ekspor-impor menjadi 1:1, maka terjadi peningkatan keekonomian PLTS Atap dan waktu pengembalian investasi menjadi lebih singkat (dari 10 menjadi 8 tahun), sehingga penggunaan PLTS Atap akan tumbuh pesat dan target bauran EBT 23% dapat dicapai. Namun di sisi lain, perubahan tarif ekspor-impor dari 0,65:1 menjadi 1:1 akan merugikan konsumen dan BUMN seperti diuraikan berikut. Pertama, tarif ekspor-impor listrik yang berlaku saat ini dan belakangan dihitung ulang pakar-pakar energi, ditinjau dari berbagai aspek terkait, telah cukup layak dan adil. Untuk pelayanan listrik hingga sampai ke konsumen, PLN perlu membangun berbagai fasilitas, minimal berupa jaringan transmisi, distribusi, gardu dan storage. Jika tarif ekspor-impor dirubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN. Dalam hal ini pemilik PLTS Atap sangat diuntungkan dan PLN sebagai pihak yang dirugikan. Kedua, karena memiliki dana berinvestasi di PLTS Atap, para konsumen berkategori mampu dipersilakan untuk memanfaatkan sarana milik negara/BUMN “for free”, tidak peduli bahwa sarana tersebut yang harus dibangun menggunakan uang negara, subsidi energi dan pembayaran tagihan listrik oleh konsumen non PLTS Atap, terutama yang tidak mampu. Secara sangat mendasar, terjadi ketidakadilan sistemik, di mana konsumen tak mampu justru “dipaksa” mensubsidi konsumen “mampu” berdasar aturan legal yang diterbitkan negara. Ketiga, menerapkan tarif ekspot-impor 1:1 dapat dinilai sebagai upaya menggalakkan penggunaan EBT lebih dominan untuk tujuan bisnis dan investasi, dibanding untuk tujuan pencapaian energi bersih, penghematan atau life style. Mengingat PLTS Atap adalah produk mahal yang hanya mampu dibeli pelanggan kapasitas besar yang berpunya, maka skema tarif 1:1 akan membuat indeks Gini meningkat, yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin. Keempat, tarif 1:1 akan mendorong masyarakat berpunya untuk berbisnis listrik dengan PLN. Hal ini memicu menjamurnya independent power producer (IPP) mikro yang berbisnis tanpa kaidah dan “term and condition” yang adil dan layak seperti berlaku untuk listrik IPP. Hal ini akan mengancam kelangsungan pelayanan listrik PLN yang berkelanjutan. Kelima, kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS yang nilainya sekitar Rp 1400/kWh dangan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp 900/kWh. Hal ini jelas semakin memberatkan APBN. Meskipun disebut dana kompensasi, namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi. Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para “the haves” yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23%! Keenam, tarif liberal 1:1 seolah ingin segera diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi supply-demand listrik PLN yang saat ini sangat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah beban keuangan PLN yang sangat dirugikan oleh skema take or pay (TOP) listrik swasta/IPP dan oleh kesalahan pemerintah merencanakan proyek listrik 35.000 MW. Akibat asumsi pertumbuhan ekonomi (dan kebutuhan listrik) yang berlebihan, pembangkit-pembangkit yang dibangun IPP dapat di-rescheduled atau diundur. Namun sebagian besar sarana transmisi, distribusi dan gardu sebagai pendukung pembangkit IPP tersebut telah terlanjur dibangun PLN, yang menyebabkan naiknya beban biaya. Jika konsep ekspor-impor liberal 1:1 tetap dipaksakan, maka beban keuangan PLN semakin berat. Ketujuh, sejalan dengan butir keenam di atas, saat ini reserve margin atau cadangan pembangkitan daya listrik Jawa-Bali telah mencapai 60%-an, dan Sumatera mencapai 50%-an. Padahal reserve margin ideal yang efektif dan efisien berkisar 20%-30%. Dengan reserve margin yang sangat tinggi tersebut, maka beban biaya operasi PLN akan naik dan sudah sangat tidak efisien. Apalagi jika PLN harus menyerap “pasokan atau ekpor” listrik swasta yang ingin digalakkan melalui tarif liberal 1:1. Beban biaya yang naik berarti BPP/tarif listrik juga naik. Kedelapan, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40%. Sisanya komponen impor, terutama dari China. Jika penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar (photo voltaic, PV) domestik sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang atau justru dihambat berkembang, maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri. Selain itu, impor solar PV yang tinggi akan meningkatkan defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (CAD) yang biasanya terjadi saat harga minyak dunia tinggi. Biasanya defisit tinggi karena impor bbm, minyak mentah dan LPG, tetapi akan diperparah oleh penghasil energi jenis lain: solar PV. Kesembilan, saat ini industri solar PV global sedang mengalami over supply, termasuk akibat pandemi Covid-19. Kita tidak ingin Indonesia menjadi tempat sampah kelebihan produk asing yang saat ini diobral, terutama melalui aturan tarif liberal 1:1, tanpa memperhatikan TKDN, pengembangan industri solar PV nasional, keberlanjutan pelayanan PLN dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tulisan ini tidak menolak seluruh ketentuan penting dalam rencana perubahan Permen ESDM No.49/2018. Cukup banyak hal baik yang memang mendesak untuk dirubah. Namun, khusus tarif ekspor-impor 1:1, dengan tegas IRESS menyatakan penolakan. IRESS juga mengajak publik menolak rencana perubahan tarif liberal pro industri asing dan pro pengusaha PLTS domestik, atas nama energi bersih, mitigasi perubahan iklim dan bauran EBT 23%. Pemerintah dapat mempertahankan tarif ekspor-impor yang berlaku saat ini, yakni 0.65:1. Perubahan Permen No.49/2018 dapat pula memuat ketentuan pembatasan kapasitas terpasang dan yang harus dibeli PLN adalah sesuai dengan kebutuhan sistem. Dalam kondisi reserve margin yang saat ini sangat berlebihan, pemerintah pun harus menunda terbit atau berlakunya regulasi baru. Ketentuan dan waktu terbit regulasi baru perlu pula diselaraskan dengan peta jalan industri PLTS domestik guna meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi, sekaligus untuk menjamin pemanfaatan APBN berputar optimal di dalam negeri.[] Penulis Direktur Eksekutif IRESS

Surat Terbuka Buat Menteri Setneg

Oleh: Uchok Sky Khadafi Pak Pratikno berapa sih Ngecat pesawat kepresidenan, Rp 2.1 miliar atau Rp 45 miliar? Kami dari CBA (Center For Budget Analysis) ingin bertanya kepada Menteri Setneg Pratikno. Berapa sih nominal angka Anggaran ngecat Pesawat kepresidenan atau pemeliharaan pesawat VVIP Kepresidenan Dari penelusuran dokumen RUP (Rencana Umum Pengadaan) Kementerian Sekretariat Negara pada tahun 2020, ada dua proyek untuk pemeliharaan pesawat VVIP kepresidenan sebesar Rp 45.7 miliar. Satu proyek dengan kode RUP 22432000 mempunyai anggaran sebesar Rp 25.7 miliar. Sedangkan dengan kode RUP 22433549 yang mempunyai nilai sebesar Rp 20 miliar. Kemudian dari proyek sebesar Rp 45.7 miliar ini, banyak publik tidak tahu. Yang diiketahui publik adalah anggaran ngecat pesawat kepresidenan sebesar Rp 2,1 miliar. Sedangkan dua proyek pesawat kepresidenan sebesar Rp 45,7 miliar seperti disembunyikan dalam labirin kantor setneg sendiri. Maka untuk itu, pihak setneg sebaiknya memberikan penjelasan secara detail kepada publik, untuk biaya apa saja anggaran sebesar Rp 45,7 miliar dikeluarkan. Apakah anggaran sebesar Rp 45,7 miliar sudah termasuk untuk ngecat pesawat kepresidenan sebesar Rp 2,1 miliar. Karena alokasi anggaran Rp 2,1 miliar tidak ada dalam dokumen RUP (Rencana Umum Pengadaan). Tetapi yang penting, pihak setneg harus menjelaskan anggaran sebesar Rp 45,7 miliar dipakai untuk apa saja. Misalnya, kalau ada kabel pesawat yang rusak, maka harus dijelaskan kabel merek apa atau perkakas seperti apa yang diperbaiki sehingga negara harus mengeluarkan anggaran yang begitu tinggi, sampai sebesar Rp 45,7 miliar. Selanjutnya, selain anggaran diatas, pihak setneg juga mengeluarkan anggaran lain untuk program pesawat kepresidenan. Yaitu ada proyek pemeliharaan Hanggar untuk pesawat kepresiden sebesar Rp 2,1 miliar. Padahal pada tahun 2020 proyek pemeliharaan Hanggar kepresidenan hanya sebesar Rp 1.1 miliar. Jadi Anggaran untuk proyek pemeliharaan Hanggar kepresidenan dari tahun 2020 ke 2021 seperti disulap membengkak sebesar Rp 1 miliar. Selain itu, sekretariat Negara juga harus menguras APBN untuk proyek - proyek pesawat kepresiden seperti pada tahun 2021 ada proyek CCTV untuk hanggar pesawat kepresiden sebesar Rp 148 juta. Dan pada tahun 2020, ada juga proyek proyek yang boros, dan tidak masuk akal untuk pesawat kepresidenan seperti pemeliharaan kebersihan pesawat kepresiden sebesar Rp 2,1 miliar, kemudian proyek pemeliharaan mekanikal, Elektrikal hanggar pesawat kepresidenan sebesar Rp 519 juta. Sehigga Proyek proyek seperti pemeliharaan pesawat kepresidenan ini, jadi tempat yang "basah" bagi orang orang setneg. Bagimana tidak basah, dua proyek saja seperti pemeliharaan pesawat VVIP kepresidenan sebesar Rp 45,7 miliar, dengan memakai metode pengadaannya hanya penunjukan langsung. Jadi enak dong perusahaan yang ditunjuk jadi pemenang. Pantesan mereka kelihatan lebih enak dan nikmat mengurus proyek pesawat kepresidenan daripada urusin covid 19. Jakarta, 10 Agustus 2021. Penulis adalah Direktur CBA (Center For Budget Analysis)