OPINI

Muslim Palsu

By M Rizal Fadillah MUSLIM palsu adalah yang mengaku muslim tetapi tidak berjender Islam. Manusia yang tak jelas celupan warnanya. Dia laki-laki tetapi berlenggak lenggok perempuan atau perempuan berotot dan melotot seperti laki-laki. Muslim palsu bukan yang dikehendaki Allah dan Rosul-Nya. Ambivalen karakternya. Muslim yang tidak meyakini syari'at Islam. Benar penilaian hakiki ada pada Allah SWT akan tetapi sesama insan tentu dapat menilai juga berdasarkan kriteria yang ada dalam Al Qur'an atau Sunnah. Tipe apakah sebenarnya dia. Ketika Al Qur'an sebagai 'furqon' membagi kelompok manusia kepada mu'min, kafir, dan munafik, maka parameter untuk menentukan kategori insan tersebut menjadi sangat jelas. Ayat menerangkan ciri untuk masing-masingnya. Mu'min adalah mereka yang berkeyakinan dan menjalankan penuh keutuhan ajaran baik akidah, sya'riah, maupun akhlakul karimah. Kafir, di samping jelas di luar beragama Islam, juga muslim yang menentang akidah, syari'ah dan akhlak nubuwah. Munafik adalah beragama Islam formal, mengklaim beriman, akan tetapi ragu terhadap kebenaran Islam. Menginterpretasi Islam sesuai dengan hawa nafsu dan fikiran sendiri. Tanpa basis dalil atau ketentuan. Sholat dan puasa adalah syari'at, begitu juga dengan zakat dan haji. Cara nikah, membagi waris, atau berwakaf dan berekonomi tanpa bunga adalah syari'at pula. Lebih jauh syari'at mengatur soal larangan LGBT, makan babi, serta aturan pidana baik yang "qath'i" (pasti) maupun "maqasid as syari'ah" (maknawi). Syari'at memiliki keluasan penerapan. Tidak menjalankan apalagi meragukan syari'at sebagai hukum Allah dapat dikualifikasikan sebagai kafir atau zalim (Al Maidah 44-45). Deklarasi Ade Armando cukup menarik. Dengan alasan kebebasan berpendapat ia menyatakan mengaku muslim tetapi tidak yakin syari'at itu wajib bagi muslim. Syari'at dalam Al Qur'an hanya berlaku untuk waktu lalu. Soal kebebasan berpendapat ya oke oke saja, cuma menyatakan syari'at tidak wajib bagi muslim adalah keliru dan dapat menyinggung keyakinan. Di sisi lain keyakinan Ade tentu membuka peluang pada orang lain juga untuk boleh dan bebas menilai Ade Armando. Boleh juga berpendapat atau bertanya Ade Armando itu muslim bukan ? Atau boleh juga jika orang berpendapat dan menyatakan bahwa Ade Armando adalah muslim palsu. Jika tak suka pada pandangan atau penilaian demikian, cepat luruskan pemahaman syari'at untuk keyakinannya itu. Syari'at itu wajib bagi muslim, bahwa implementasi beragam itu persoalan lain. Jika tak yakin bahwa syari'at itu wajib, lalu buat apa Ade Armando sholat? Atau mungkin benar apa yang disebut Nabi dengan "alladziina yusholuuna walaa yusholuun" Mereka yang sholat tetapi sebenarnya tidak sholat. Atau memang Ade juga ragu bahwa sholat itu adalah syari'at dan hanya berlaku dahulu di zaman Nabi saja? Jika Ade Armando paham akan tata hukum Indonesia, syari'at Islam itu sebenarnya sebagian sudah menjadi hukum positif, karenanya sebagai akademisi ia tak patut mempermasalahkan syari'at Islam dalam konteks keyakinan umat Islam. Penegakan syari'ah bukan hal tabu atau terlarang sepanjang pertanggungjawaban akademik, filosofis dan sosiologis dapat diterima. Nah Ade Armando yang selalu nyinyir kepada umat Islam perlu diingatkan bahwa muslim itu tidak cukup hanya percaya pada Allah dan Rosul-Nya, tetapi harus menjalankan apa yang disyari'atkan oleh Allah dan Rosul-Nya itu. Bagi muslim yang menolak syari'at hanya dua kemungkinan yaitu kafir atau munafik. Mengerikan dan menyedihkan. Selain itu yang biasa jadi corong Ade Armando adalah Cokro TV yang kerjanya lebih banyak memojokkan Islam dan umat Islam, karenanya wajar jika umat Islam beranggapan bahwa Cokro TV itu sama saja dengan kerja Cokrobirowo. Pasukan Cakra. *) Analis Politik dan Keagamaan.

Jika Sudah Vaksin, Seharusnya Tes PCR Tidak Perlu Lagi!

Oleh: Mochamad Toha Sesuai arahan Presiden Joko Widodo sebelumnya, Pemerintah menurunkan harga tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Apakah ini modus hanya untuk menghabiskan stok alat PCR? Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan, tarif tertinggi tes PCR di Jawa-Bali kini menjadi Rp 275 ribu. Di luar Jawa-Bali, harga tertinggi tes PCR Rp 300 ribu. Abdul Kadir menambahkan hasil swab test PCR Covid-19 ini harus keluar dalam 1x24 jam. “Hasil RT PCR dengan tarif tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1x24 jam dari pemeriksaan swab RT PCR,” ujarnya. Dalam konferensi pers secara daring yang disiarkan YouTube Kemenkes, Rabu (27/10/2021), Abdul Kadir menyatakan, tarif tersebut, diputuskan setelah melakukan evaluasi atas komponen-kompenen tes PCR. Seperti layanan, harga reagen, biaya administrasi overhead dan komponen biaya lainnya yang disesuikan pada kondisi saat ini. Tes PCR ini diterapkan untuk seluruh moda transportasi, bukan hanya udara saja. Kewajiban menggunakan PCR untuk naik pesawat itu diatur dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 yang dikeluarkan Satgas Covid-19. Kebijakan tersebut menuai polemik di masyarakat di tengah kasus Covid-19 di Indonesia yang mulai menurun. Apalagi, harga PCR tidak semurah antigen yang sebelumnya boleh digunakan sebagai syarat terbang. Salah satu penyebab mahalnya alat tes swab PCR adalah 100 persen masih dipasok melalui jalur impor. Pemasok alat tes tersebut di antaranya adalah China dan Malaysia. BPS menyebut, nilai impor PCR selama Januari-Juni 2021 mencapai USD 362,02 juta atau senilai Rp 5,1 triliun (kurs Rp 14.100). Impor alat tes PCR tersebut dilakukan dari beberapa negara tetangga. Di antaranya, Singapura yakni mencapai USD 11 juta atau Rp 154,5 miliar. Indonesia juga mengimpor PCR dari Malaysia senilai USD 155.922 (sekitar Rp 2,1 miliar). Kemudian dari Filipina USD 1.544 atau sekitar Rp 21,6 juta, dan Vietnam USD 72.256 atau sekitar Rp 1,01 miliar. Selain dari beberapa negara tetangga ini, PCR juga diimpor dari Guatemala senilai USD 327 atau sekitar Rp 4,57 juta. Selain itu, Indonesia juga doyan impor alat PCR dari India. Sepanjang semester I sebesar USD 257.357 atau sekitar Rp 3,6 miliar. Tapi, yang paling banyak, alat PCR diimpor dari Korea Selatan dan China. BPS mencatat selama periode tersebut total impor PCR dari Negeri Ginseng nilainya mencapai USD 144,2 juta. Sementara impor PCR dari China yang nilainya USD 99 juta. Selama periode Januari-Agustus 2021, BPS mencatat impor instrumen tes PCR mencapai 203.236 kg atau setara 203,2 ton, dengan nilai USD 31,99 juta atau setara Rp 452,98 miliar (kurs Rp14.156). Data tersebut belum termasuk impor reagent untuk analisis PCR. Reagent adalah pereaksi kimia berbentuk cairan yang digunakan untuk tes PCR. Menurut data BPS, impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai USD 516,09 juta atau setara Rp 7,3 triliun. Berdasarkan data BPS, impor instrumen PCR (kode HS 90278030) tertinggi berasal dari China. Berikut daftar negara importir instrumen PCR terbesar: China 66.609 kg, senilai USD 9.226.860; 2. Amerika Serikat 24.515 kg, senilai USD 5.198.481; 3. Jepang 18.509 kg, senilai USD 1.957.504; 4. Jerman 8.467 kg, senilai USD 1.239.612; Korea 16.712 kg, senilai USD 5.169.928; 6. Taiwan 48.708 kg, senilai USD 5.071.544; 7. Singapura 3.553 kg, senilai USD 1.790.964; 8. Swiss 2.983 kg, senilai USD 633.280; Hong Kong 1.570 kg, senilai USD 300.281; 10. Swedia 1.159kg, senilai USD 211.438; 11. India 1.159 kg, senilai USD 154.171. Tak hanya itu, China juga menjadi pengekspor reagent (kode HS 38220090) terbesar ke Indonesia. Berikut ini daftar 10 negara eksportir reagent PCR terbesar: China 1.616.780 kg, senilai USD 169.862.517; 2. Korea 760.631 kg, senilai USD 181.297.615; 3. Singapura 724.205 kg, senilai USD 15.324.331; 4. Amerika 315.787 kg, senilai USD 40.079.512; Jerman 255.198 kg, senilai USD 33.801.228; 6. Jepang 202.584 kg, senilai USD 5.256.722; 7. Prancis 90.754 kg, senilai USD 14.201.329; 8. Swedia 81.252 kg, senilai USD 11.784.296; Irlandia 42.106 kg, senilai USD 4.566.838; 10. Italia 42.513 kg, senilai USD 3.373.563. Nilai impor alat tes PCR Indonesia mencapai Rp 2,27 triliun per 23 Oktober 2021. Direktorat Bea dan Cukai mencatat lonjakan impor alat tes PCR terjadi pada bulan Juni lalu, di mana terjadi lonjakan kasus Covid-19. Di bulan Juni saja, nilai impor tercatat mencapai Rp 523 miliar. Berdasarkan data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen. Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf, mengkritik keras rencana untuk memberlakukan syarat wajib tes PCR bagi semua moda transportasi jelang libur natal dan tahun baru. Bukhori juga mempertanyakan sikap Presiden Jokowi dalam merespons tuntutan publik. Alih-alih mendengar aspirasi rakyat untuk menghapus syarat wajib tes PCR, presiden justru memberi arahan untuk menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp 300.000. “Jika pertimbangan pemerintah murni demi kesehatan dan mitigasi risiko gelombang ketiga, maka tentunya bukan tes usap PCR yang menjadi syarat mutlak untuk perjalanan, melainkan cukup rapid test antigen,” ujarnya. Sebab, lanjutnya, tujuan dari tes PCR adalah untuk tes konfirmasi Covid-19, sedangkan rapid test antigen adalah untuk screening,” tutur Bukhori di Jakarta, Rabu (27/10/2924). Ia juga mengendus ada indikasi persaingan bisnis di balik kebijakan syarat wajib tes PCR bagi pelaku perjalanan. Penyedia layanan tes PCR menjamur di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis. Kabar24.bisnis.com (15/08/2021) menulis, produk impor alat kesehatan itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai US$ 541,3 juta atau 49,61% dari keseluruhan negara penjual. Importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan tes Antigen didominasi oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-pemerintah. Mereka memegang 77,16% aktivitas impor alat kesehatan untuk penanganan Pandemi Corona di Tanah Air. Pemerintah hanya memegang 16,67% dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18%, pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit. Korporasi non-pemerintah itu tidak sepenuhnya memiliki latar belakang bisnis yang konsen pada urusan kesehatan masyarakat. Dalam dokumen importasi itu menunjukkan ada perusahaan bidang kecantikan, tekstil, hingga ketel uap. Alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan tes Antigen diimpor dengan nilai USD 530,6 juta atau menyentuh di angka 52,2% dari keseluruhan pengadaan alat kesehatan yang didatangkan dari sejumlah negara pemasok. Perinciannya, impor PCRmenembus di angka USD 340,5 juta (31,20%) dari keseluruhan alat kesehatan yang dibeli dari luar negeri. Ihwal rapid test, importir dalam negeri membeli dengan nilai USD 190,1 juta atau 17,42%. Produk impor alkes itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai USD 541,3 juta atau 49,61% dari keseluruhan negara penjual. Diikuti Korsel dengan nilai transaksi USD 150,5 juta atau 13,5% dari keseluruhan negara mitra. Di luar negeri, ternyata tes PCR sudah tidak diperlukan lagi. Seorang WNI yang baru pulang dari Turki bercerita, ketika ia datang di negara itu, tidak ada pemeriksaan PCR maupun karantina. Tapi, ketika ia pulang ke Indonesia, masih wajib karantina beberapa hari di hotel atau tempat yang disediakan pemerintah. Di luar negeri, kalau sudah divaksin, sudah cukup, tidak perlu tes PCR lagi. Sogrok Hidung Pernahkah Anda membayangkan risiko tes swab hidung yang ternyata bisa menyebabkan cedera? Selama ini kita tidak pernah berpikir akan risikonya bila petugas yang melakukan tes swab dengan pelatihan minimal. Meski secara umum masih dianggap aman, usap hidung dan nasopharing bukan tanpa risiko. Individu yang melakukannya dengan pelatihan minimal punya risiko cedera yang jauh lebih tinggi daripada nakes terlatih. “Beberapa kasus menunjukkan kemungkinan cedera intrakranial ketika tes tidak dilakukan dengan tekkik dan prosedur yang benar,” ungkap Dr. dr. Hisnindarsyah, SE, MKes, MH, CFEM, dokter di salah satu rumah sakit di Tanjung Pinang. Komplikasi yang timbul, mulai dari patahnya tangkai usap jika dilakukan oleh orang yang tidak profesional, terjadinya mimisan atau perdarahan hidung karena cara yang tidak benar atau gangguan menelan. Bahkan juga bisa beresiko terjadinya kebocoran cairan serebrospinal (CSF), ensefalokel, dan meningitis. Meski sangat jarang terjadi, karena posisinya yang jauh dari tempat pengambilan usap, tapi kemungkinan itu tetap ada. Penulis Wartawan FNN.co.id

Fit & Proper Test Calon Panglima TNI, Gimmik Politik Yang Perlu Diakhiri

Oleh Brigjen TNI (Purn) Drs. Aziz Ahmadi, M. Sc. HARI-HARI ini, DPR cengklungen (dalam ketidakpastian). Begitu pula, rakyat yang diwakilinya. Layaknya, ngenteni thukule jamur ing mongso ketigo (menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau). Menunggu Surat Presiden (Surpres), terkait pengajuan nama calon Panglima TNI, menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Patut dan Layak Setiap pergantian Panglima TNI, selalu menarik perhatian khalayak. Faktor daya tariknya bervariasi. Ada yang karena siapa, dan kenapanya. Tapi, ada juga karena prosedur dan mekanismenya. Merujuk UU No. 34/2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tertuang pada Pasal 13, yang seluruhnya terdiri dari 10 ayat. Di sini diatur ritual atau prosedur pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi : Panglima diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Terhadap ayat (2) ini, diberi penjelasan sebagai berikut : Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak. Namun kenyataanya, berbeda. Antara kehendak pada penjelasan dengan praktiknya, tidak sejalan. DPR, tidak menjalankan apa yang tertuang dalam penjelasan ayat (2) tersebut. Sebaliknya, DPR justru terjebak dalam mal praktek sendiri. Sejauh ini, DPR melampaui dan menyimpang dari spirit dan substansi penjelasan ayat (2) dimaksud. DPR, dengan sengaja, "keliru berkreasi." Melakukan gimmik politik, dengan apa yang disebut, "uji kepatutan dan kelayakan" (fit & proper test), terhadap calon Panglima TNI. Di bawah rezim UU No. 34/2004, sudah 6 (enam) dan akan 7 (tujuh) - calon Panglima TNI yang menjadi korban salah tafsir, terhadap ayat (2), pasal 13, beserta penjelasannya, itu. Korban pertama, adalah, Marsekal TNI Djoko Suyanto. Acting Kepala Staf TNI AU (KSAU) saat itu. Alhamdulillah, Marsekal Djoko Suyanto dinyatakan lolos oleh Komisi I/DPR RI, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Panglima TNI ke 16, terhitung mulai tanggal, 13 Februari 2006 s/d 28 Desember 2007. Prerogratif Presiden Kini tiba saatnya, mengakhiri ayat (2), pasal 13, UU No. 34/2004, tersebut. Artinya, Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI, tidak perlu meminta persetujuan DPR lagi. Sekaligus "mengakhiri" mekanisme uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Panglima TNI. Pointnya, prosedur pergantian Panglima TNI, kembalikan dan percayakan sepenuhnya kepada hak prerogratif Presiden", selaku pemegang kekuasaan tertinggi (PKT) atas TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Kenapa perlu diakhiri? Pertama, mekanisme fit & proper test (terhadap calon Panglima TNI), tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas. Kedua, bersifat paradoks dengan spirit dan substansi penjelasan Ayat (2), pasal 13, UU No. 34/2004, itu sendiri. Ketiga, uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon Panglima TNI, hanyalah kreasi atau gimmik politik, yang kurang substantif. Keempat, - ini yang terpenting - mengandung *berbagai resiko dan implikasi, yang amat merugikan TNI. Resiko & Implikasi Adapun risiko & implikasi negatif, yang harus dihindari, adalah sebagai berikut : Pertama, Membelah Kesatuan Komando & Loyalitas Tegak Lurus TNI. Itulah, ruh dan sendi utama organisasi militer. Namun, dengan dilibatkannya DPR cawe-cawe menentukan calon Panglima TNI, berarti membelah kesatuan komando dan loyalitas tegak lurus TNI. Patut diduga, bakal terjadi loyalitas ganda, dari TNI. Tidak hanya tegak lurus kepada Presiden, tapi terbagi dan bercabang kepada DPR. Dari sini bisa timbul kerancuan komando dan kontestasi kepentingan secara terselubung, yang sama sekali tidak menguntungkan TNI. Kedua, Terjadi Kembali Politisasi Terhadap TNI. Persetujuan DPR, melalui mekanisme fit & proper test adalah proses politik. Nuansa dan aroma politiknya, begitu kental dan kentara. Tentunya, amat paradoks dengan semangat reformasi TNI. Disadari atau tidak, semestinya TNI steril dari hiruk-pikuk politik - langsung atau tidak langsung keseret-seret kembali ke wilayah politik praktis. Ini berarti, "menggaruk di atas luka yang kemudian bisa menggoda sisa-sisa birahi politik militer, bangkit kembali. Ketiga, Menghambat Proses Institusinalisasi TNI. Semua itu secara signifikan, akan berpengaruh negatif terhadap proses institusonalisasi TNI. Bahkan bisa menghambat dan menggagalkannya. Cita-cita membangun budaya TNI, yang profesional, disiplin, militan, dedikatif dan modern, akan terkendala. TNI kehilangan fokus, dan hanya menjadi komoditas yang layak untuk diperebutkan, sesuai kepentingan politik tertentu. Keempat, Menyemai Korupsi Politik Dalam Tubuh TNI. Persetujuan DPR melalui mekanisme fit & proper test, membuka peluang yang amat lebar bagi calon Panglima TNI, berkompetisi secara tidak fair. "Calon Panglima TNI, adalah juga manusia". Dalam kondisi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kompetisi dan kontestasi yang tidak sehat, dari sesama calon Panglima TNI. Apakah sekadar kontestasi elektabilitas, agar memenuhi kriteria untuk dicalonkan oleh Presiden. Atau sebuah kompetisi keras dengan mengerahkan segala modalitas yang ada. Itu semua bisa mengarah pada korupsi politik dalam beragam bentuknya. Bisa berupa kebijakan, janji, posisi tawar, bahkan uang, dan lain-lain, untuk mendapat atau tidak mendapat persetujuan dari DPR. Catatan Akhir UU No. 34/2004 tentang TNI, sudah saatnya direvisi/ditinjau kembali. Ada sejumlah pasal atau ayat yang idol atau tidak dapat dilaksanakan secara semestinya. Tentunya termasuk pengakhiran & penghapusan Pasal 13 ayat (2) tentang persetujuan DPR terhadap calon Panglima TNI, yang diajukan oleh Presiden. Tapi, jika memang masih dirasa perlu diteruskan, harus ada mekanisme dan pengaturan yang clear, clean dan legal. Bukan seperti saat ini. Sekadar gimmik politik, sebagai ajang gagah-gagahan semata. (sws)

Masih Membual Pindah Ibu Kota?

By M Rizal Fadillah Di tengah bobroknya pemerintahan dengan BUMN yang banyak merugi, demokrasi terseok-seok, proyek ambisius seperti bandara dan kereta cepat yang tidak bergerak, mangkrak dan membengkak, Jokowi tetap 'keukeuh' untuk merealisasikan proyek pemindahan Ibukota ke Kalimantan. Tidak bisa mengukur diri kesannya. Suara rakyat diabaikan, "anjing menggonggong kafilah berlalu". Sepertinya dalam benak hanya ada proyek dan proyek. Proyek jalan tol, pelabuhan, bandara, LRT, kereta cepat, termasuk proyek pemindahan ibukota (IKN). Pengalaman mencatat kegagalan demi kegagalan. IKN akan dibayang-bayangi pula oleh kegagalan. Biaya mahal menjadi paket proyek membual. Ibu Kota Negara (IKN) berpotensi gagal disebabkan : Pertama, ini proyek yang tidak difahami dan diterima rakyat, bukan kehendak rakyat tetapi keinginan pemerintah bahkan mungkin Presiden dengan oligarkhinya saja. Proyek proyek yang tidak berbasis kepentingan dan dukungan rakyat selalu berantakan. Ironinya bangunan yang pertama akan didirikan adalah Istana Presiden. Weleh. Kedua, biaya besar sekitar 500 Trilyun tidak jelas sumber pendanaannya. Baru dalam RUU IKN disebutkan sumbernya adalah APBN, aset BUMN, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni. Betapa berat untuk menyedot dana APBN dan aset BUMN yang kondisinya kini semakin morat-marit. Status ekonomi Indonesia sudah turun kasta setingkat Timor Leste dan Samoa. Ketiga, anggaran biaya yang berpotensi membengkak dua atau tiga kali lipat dari prediksi. Sebagaimana juga proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang awal hanya beranggaran 60 Trilyun, sekarang sudah 114 Trilyun. Diragukan IKN "hanya" 500 Trilyun. Artinya APBN bakal babak belur lagi. Debt trap menjadi konsekuensi dan niscaya. Keempat, memindahkan ibukota dengan membangun dari nol bukan hal yang mudah. Yang realistis adalah pindah ke lokasi yang awalnya sudah menjadi Kota dengan potensi pengembangan. Lagi pula ke Penajam Kaltim berjarak sangat jauh dari Jakarta. Berimplikasi luas, termasuk perpindahan sumber daya manusia yang cukup rumit. Kelima, ada kondisi psiko-politis yang dapat menghambat agenda, yaitu kekhawatiran daerah pemukiman baru di ibukota akan diisi oleh orang-orang yang dikategorikan "mampu membeli" dan dominan untuk itu bukanlah orang pribumi. Ibukota baru menjadi tempat migrasi baru untuk penguasaan area. New Singapore. Keenam, dari sisi pertahanan dan keamanan Ibukota relatif lebih rawan. Berada di ruang yang kosong, bukan padat penduduk. Untuk sistem Pertahanan Rakyat Semesta sangatlah sulit diterapkan dan ancaman bahaya lebih besar mengingat jumlah TNI aktif yang dimiliki hanya 434 ribu. Berbeda dengan di Jawa, khususnya Jakarta dimana pengerahan kekuatan rakyat jauh lebih mudah dan murah. Ketujuh, terhadap Ibukota lama yang ditinggalkan ternyata rencananya akan dilakukan jual-jual aset Pemerintah. Lalu siapa pembeli dari kekayaan negara ini ? Apakah rakyat dari bangsa Indonesia yang disebut pribumi kah ? Dipastikan tidak. Pemindahan Ibukota diragukan urgensi dan ketepatan lokasi pilihannya. Meski partai-partai politik di parlemen telah dikuasai dan RUU IKN akan mudah disetujui oleh DPR RI, akan tetapi perlu direnungkan mendalam akan ketepatan putusannya. Situasi pandemi dan keuangan yang berat serta hutang luar negeri yang besar, sulit untuk difahami dan diterima proyek ambisius ini. Ini adalah proyek Jokowi dan oligarkhi serta pemburu rente. Bukan proyek rakyat atau kepentingan bangsa dan negara. Rakyat merasa lebih butuh pada program nyata kerakyatan ketimbang Ibukota baru. Proyek Ibukota baru adalah penciptaan kesengsaraan baru. Batalkan saja. *) Analis Politik dan Kebijakan Publik

Laboratorium Blok Masela di Unpatti Melanggar Kebebasan Akademik?

by Ahmad Lohy Ambon FNN - Kasak-kusuk nama proyek Pembangunan Laboratorium Terpadu Penyangga Blok Masela yang ditempatkan di Universitas Pattimura (Unpatti) terdengar jadi perbincangan. Proyek ini mulai diperbincangkan di kampus Unpatti, khususnya para mahasiswa. Sekilas proyek ini terdengar sepertinya membanggakan bagi mahasiswa Unpatti, khususnya untuk mahasiswa Fakultas Teknik. Namun proyek pembangunan laboratorium penyangga gas abadi Blok Masela bakal bakal menuai polemik. Sebab proyek tersebut merupakan hasil kerjasama perusahaan dengan pemerintah terkait pengelolaan minyak dan gas Blok Masela. Pastinya proyek tersebut berorientasi kepada profit. Realitas ini tentu akan menghadapkan Unpatti pada satu keadaan yang disebut dengan conflict of value. Dimana perusahaan atau korporasi bakal selalu memprioritaskan kebutuhannya ketimbang kebutuhan-kebutuhan pendidikan di kampus Unpatti. Hal ini patut dikhwatirkan akan menjadi tragedi buruk untuk dunia pendidikan. Bukan tidak mungkin, ke depan Fakultas Teknik Unpatti akan menghadapi potensi dominasinya korporasi terkait pembangunan proyek tersebut. Mengingat proyek nasional yang diadakan melalui Kementerian Pendidikan dan Perguruan Tinggi (Kemendikti), yang notabene menangani bidang pendidikan dan perguruan tinggi ini tiba-tiba meluncurkan proyek Laboratorium Terpadu Penyangga Blok Masela. Kemungkinan bakal menimbulkan polemik dan perdebatan. Upaya apa dibalik diksi yang di gunakan? Mengapa tidak dinamakan Proyek Pembangunan Laboratorium Fakultas Teknik Unpatti saja? Mengapa harus bernama Laboratorium Terpadu Penyangga Blok Masela? Apakah penamaan ini berhubungan dengan perjanjian kerja sama antara Unpatti dengan PT. Inpex? Jika Unpatti adalah Perguruan Tinggi Nasional yang dimiliki pemerintah, mengapa pihak universitas harus melakukan MoU dengan PT. Inpex? Padahal, yang kita ketahui bersama bahwa laboratorium yang dibangun tersebut untuk kepentingan penelitian akademis di fakultas teknik yang terdiri dari berbagai jurusan, yaitu; Teknik Perminyakan, Teknik Geologi, Teknik Kimia dan Program Studi Geofisika. Apakah hal ini yang disebut kapitalisasi Pendidikan dengan modus penamaan? Tidak hanya sampai di situ. Seperti dikutip dari kabarnews.com, terkait pernyataan Wakil Rektor Bidang Perencanaan Kerjasama dan Sistem Informasi Dr. Muspida, bahwa penelitian sampel-sampel di laboratoriun nantinya menjadi pemasukan untuk universitas. "Misalnya, sampel-sampel geologi, kimia atau yang lain itu kan tidak gratis diperiksakan di lab sini, jadi pendapatan universitas-lah," ujar Muspida. Masyarakat bisa menduga-duga Unpatti mau disandra untuk kepentinan perusahaan. Proyek ini sebagai indikasi bahwa tujuan dan target yang dibangun para pejabat tinggi Unpatti ke depan, sarat dengan kepntingan kapitalisasi dunia akademik untuk kepentingan mendapatkan keuntungan uang. Target komersial seperti ini yang harus dihindari dunia perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus tetap steril dari semuan kepentingan dan kebutuhan komersial. Sebab bukan untuk itu perguruan tingga diadakan. Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi bagian kedua paragraf satu terkait Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik dan Otonomi Keilmuan, pada pasal 8 ayat (1) menyatakan , "dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan". Seterusnya dibahas dan dipertegas dalam pasal 9 ayat (1) bahwa "kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan civitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma". Dengan demikian, sumbangsih pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat berupa ilmu pengetahuan dan teknologi harusnya menjadi semangat untuk menghasilkan suatu karya yang original. Perguruan Tinggi harus melahirkan karya yang mendorong serta membentuk sesuatu yangg bermanfaat dalam lingkungan masyarakat. Bukan untuk mendapatkan keuntungan komersial semata. Sebagai kelompok civitas akademika, yang cenderung kepada tradisi ilmiah dengan mengembangkan budaya akademik sebagaimana dijelaskan dalam UU Perguruan Tinggi. Kini tradisi ilmiah tersebut secara tidak langsung mulai terkooptasi dan berafiliasi dengan kepentingan kapital. Jika benar, maka sungguh ironis dunia pendidikan kita. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Yaqut Bukan Yakult

Oleh: Yusuf Blegur Bahkan, Yakult yang cuma berupa minuman kesehatan dengan rasa yogurt itu, begitu bermanfaat bagi yang mengonsumsinya. Selain enak rasanya, minuman yang sudah terkenal seantero Indonesia itu bisa didapat masyarakat dengan mudah dan dengan harga yang relatif murah. Setidaknya, meski cuma minuman kemasan sederhana, Yakult telah memberikan kontribusi bagi dunia kesehatan di Indonesia. Berbeda dengan Yaqut. Seorang Menteri Agama RI yang memiliki nama lengkap Yaqut Cholil Qoumas, mantan Ketua Umum Banser itu, sejak menjadi menteri agama RI kerapkali membuat pernyataan kontroversi. Bukan hanya menimbulkan keresahan. Yaqut juga menuai kecaman dan gugatan dari publik. Terutama dari kalangan umat, tokoh dan pemimpin-pemimpin Islam. Lontarannya dianggap sering merendahkan umat dan agama Islam. Sebagai seorang menteri agama di negara yang mayoritasnya beragama Islam. Yaqut yang muslim sudah seharusnya mengayomi kehidupan umat beragama, terlebih kepada umat Islam. Ia sudah sepantasnya bisa membangun keselarasan dan keharmonisan antar umat beragama serta keleluasaan umat menjalani kehidupan keagamaannya masing-masing. Namun Yaqut selama menjadi menteri agama. Lebih dikenal sebagai pejabat yang suka mengumbar sikap yang terkesan antipati terhadap agama Islam. Tak cuma diskriminasi dan politisasi, ia gencar mereduksi Islam. Sebagian besar masyarakat mengecap Yaqut cenderung anti Islam. Berikut beberapa kebijakan dan sikapnya Yaqut yang tidak mencerminkan kelayakan seorang pemimpin agama dan umat. Yaqut mungkin satu-satunya menteri agama yang pernah ada menghabiskan dana fantastis sebesar 21 miliar hanya untuk sekedar mengumumkan pembatalan pemberangkatan jamaah haji Indonesia. Yaqut pun menjadi menteri agama pertama yang merubah jadwal libur Peringatan Hari Besar Islam hingga dua kali. Yaqut juga ikut membenarkan bahwa semua agama sama di hadapan Tuhan. Yaqut juga pernah secara terbuka menyampaikan ia tidak menginginkan populisme Islam berkembang luas. Yaqut jugalah salah satu pejabat yang kekayaannya bertambah saat kehidupan rakyat tercekik karena pandemi. Yaqut yang kader Nahdatul Ulama (NU), belakangan ini juga menuai reaksi keras dan luas dari rakyat. Akibat celotehannya soal kementerian agama merupakan hadiah buat NU, bukan untuk agama Islam. Sebuah narasi yang sangat berbahaya. Beresiko pada perpecahan dan potensi konflik antar agama dan sesama pemeluk agama. Serbuan Sekulerisasi dan Liberalisasi Islam Perilaku Yaqut yang konyol dan asal. Boleh jadi merupakan polarisasi dari NU yang terlhat semakin sekuler dan liberal. Meski tidak mewakili NU secara utuh. Para petinggi dan Kyai NU yang kultural dan struktural. Terasa nyaman dan menikmati dalam arus besar NU, saat ormas Islam itu mengusung dan menopang kekuasaan pemerintah. Wajah kekuasan yang menampilkan dua muka. Satunya kental kapitalistik, satunya lagi sarat anasir komunisme. Sepertinya NU dan pemerintah merupakan pasangan sejoli yang sedang memadu kasih. Yaqut seperti menjadi representasi dari NU sekaligus pemerintah yang kian hari semakin gandrung membatasi Islam dalam konteks keagamaan maupun eksistensi politik. Yaqut tak ubahnya menjadi anggota paduan suara dari grup kekuasaan yang menggeliat dan bersikeras membuat Deislamisasi. Bersama vokalis lainnya seperti ulama tak berjalan lurus, Ade Armando dan geng buzzerRpnya, para artis beriman kritis, serta para politisi haus duniawi. Islam di Indonesia mengalami musim-musim penistaan. Islam dirundung liberalisasi dan sekulerisasi. Pecat Yaqut Secepatnya Sebelum Yaqut melenceng lebih jauh dan perangainya berkembang menimbulkan masalah yang lebih serius. Ada baiknya pemerintah belajar dari kasus Ahok yang melecehkan surat Al-Maidah. Jangan sampai menimbulkan gejolak yang jauh lebih besar. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah yang tepat dan tegas. Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Tidak ada pilhan yang lebih baik selain mencopot jabatan Yaqut Cholil Qoumas sebagai menteri agama. Secepatnya dan sesegera mungkin. Ia terlanjur memiliki resistensi yang terlalu besar dan berpotensi memicu konflik keagamaan. Yaqut bisa menjadi triger dari perpecahan bangsa. Ia dapat merusak persatuan dan kesatuan nasional. Begitulah langkah bijak yang bisa diambil pemerintah. Terlebih jika pemerintah tidak mau disebut sebagai dalang dari semua politisasi dan kriminalisasi ulama dan umat Islam. Framing Islam yang stereotif berupa Islam intoleran, radikal dan fundamental. Bisa saja diarahkan ke pemerintah jika terus membiarkan orang semodel Yaqut masih memimpin kementerian agama. Semua sikap skeptis dan apriori umat Islam mungkin bisa terobati sedikit dengan tindakan tegas terhadap Yaqut. Kalau perlu tindakan hukum seperti yang banyak disuarakan tokoh dan pemimpin Islam. Pada akhirnya Rakyat khususnya umat Islam bisa menilai. Tampaknya bagaimanapun juga Yakult menjadi lebih baik dari seorang Yaqut. Bahwasanya, meski cuma minuman kesehatan. Yakult tidak diharamkan dan tidak merusak agidah umat Islam. Tidak seperti Yaqut. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Berhala Soekarno

By M Rizal Fadillah INSTRUKSI Megawati kepada kadernya agar di setiap daerah dibuat patung Soekarno bukan hal yang bagus, bahkan kontroversial dan bakal banyak penentangan. Dinilai berlebihan dan keluar dari proporsi sebuah penghormatan. Kultus individu merupakan esensi dari keberhalaan. Berhala baru itu bernama Soekarno. Alih-alih bangsa akan menghormati sesuatu yang berlebihan bahkan bisa sebaliknya yaitu menghinakan. Jika ada dimana-mana artinya barang obralan, murahan. Sadarkah Megawati akan aspek psikologis seperti ini ? Jika dibuat di kantor PDIP mungkin masih wajar, tetapi jika membuat banyak di luar area internal kepartaian maka menjadi tidak wajar. Menghargai Soekarno sebagai Proklamator bukan dengan membuat patung tetapi memaknai spirit perjuangannya yang hebat dan berkobar-kobar. Kekeliruan pandangan dan instruksi dari Ketum PDIP Megawati untuk membuat patung Soekarno dimana-mana itu adalah : Pertama, Proklamator itu bukan hanya Soekarno sendirian tetapi dengan Moh Hatta. Jika alasan sebagaimana dikemukakan Mega untuk menghormati dan mengenal Proklamator, maka patung itu semestinya adalah Soekarno bersama Moh Hatta. Tentu Mega atau kader akan berkeberatan karena yang dikehendaki adalah tampilan Soekarno seorang. Kedua, sebagaimana singgungan Megawati soal umat Islam, meski dengan tendensius menyebut umat Islam garis keras, masih banyak di kalangan umat yang memahami bahwa pembudayaan patung adalah di luar ajaran Islam. Bisa mengganggu keimanan dan pencitraan relijiusitas bangsa. Tak ada hubungan dengan keras atau lunak karena banyak dalil untuk itu. Ketiga, Soekarno bukan lah tokoh sempurna, sehingga jika dikultuskan, maka kelak mungkin akan ada buka-bukaan atas cacat-cacat Soekarno, baik soal perempuan, diktatorial, kedekatan dengan PKI, permusuhan dengan ulama, atau lainnya. Artinya menjadi boomerang. Keempat, mengingatkan kedekatan Soekarno dengan komunis akan menimbulkan sikap antipati dan perlawanan dari umat Islam dan TNI. Ada luka dan kejengkelan sejarah yang dibangkitkan kembali melalui patung Soekarno yang ada dimana-mana tersebut. Kelima, persoalan politik itu fluktuatif. Kini PDIP adalah pemenang lalu Megawati bisa berbuat leluasa untuk menyosialisasikan dan menampilkan figur Soekarno dalam bentuk patung. Namun jika nyatanya PDIP kalah dan tidak berkuasa, dimungkinkan terjadinya penghancuran patung Soekarno dimana-mana. Dan hal ini dapat membuat dada menjadi sesak. Jadi instruksi Megawati mesti dievaluasi realisasinya karena dapat menjadi kontra-produktif. Penghormatan lebih efektif dilakukan melalui pemberian pelajaran sejarah pada generasi muda dengan baik dan konstruktif, jujur dan tidak manipulatif. Benar bahwa Soekarno adalah Proklamator akan tetapi juga seorang Diktator. *) Analis Politik dan Kebangsaan

Pemuda Sebagai Energi Perubahan

Oleh: Yusuf Blegur Begitu banyak refleksi terhadap kejadian masa lalu yang bisa diambil sebagai pelajaran dan bekal membangun bangsa ke depan. Hamparan peristiwa tentang negara dari sejak cikal bakal, tumbuh dan menjadi. Betapa leluasa menceritakan kisah-kisah tentang masa-masa kegelapan, gerakan kesadaran, proses perjuangan dan pengorbanan yang penuh gejolak. Dalam rangkaian peristiwa panjang itu menyeruak catatan tentang kepemimpinan, kepahlawanan, juga pemberontakan dan pengkhianatan, sebagai bagian dari dinamika sejarah. Kelahiran Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Menjadi salah satu momen penting dan strategis dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada saat masa pergerakan kemerdekaan. Dalam masa kolonial, Sumpah Pemuda merupakan kesinambungan dari gerakan kesadaran kebangsaan sebelumnya. Seperti Budi Utomo pada 1908 dan pelbagai organisasi keagamaan dan kepemudaan lainnya yang masih bersifat sporadis dan parsial (kedaerahan dan menganut suku, ras dan agama). Konsensus Sumpah Pemuda yang lahir dari kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II itu. Menegaskan keinginan pemuda terhadap upaya integrasi nasional sekaligus gerakan pembebasan dari kolonialisme dan imperialisme lama . Setelah 93 tahun peristiwa Sumpah Pemuda berlalu. Apa dan bagaimana relevansinya dengan keadaan Indonesia sekarang?. Jika merasakan Indonesia seperti saat ini, maka peringatan hari Sumpah Pemuda dapat dimaknai sebagai sebuah reinkarnasi kesadaran kritis terhadap situasi kebangsaan. Suasana penjajahan yang dialami rakyat pada masa itu. Kemudian adanya kesadaran pemuda yang ingin bebas dari kebodohan dan kemiskinan. Mendambakan persatuan dan kesatuan. Serta menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia yang dapat mewujudkan kehidupan adil makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka peringatan Sumpah Pemuda saat ini, dapat menjadi momentum sekaligus titik balik dari kesadaran kritis dan kesadaran makna gerakan kebangsaan rakyat Indonesia. Bahwa apa yang menjadi semangat dan tujuan dari hari Sumpah Pemuda. Mengalami siklus sejarah yang berulang. Kekinian menjadi semangat dan tujuan pemuda dan seluruh elemen bangsa untuk bangkit dari keterpurukan akibat kolonialisme dan imperialisme modern. Termasuk yang dilakukan oleh segelintir bangsanya sendiri. Bahkan, meskipun setelah rakyat Indonesia menghirup udara dan menikmati alam kemerdekan selama lebih dari 76 tahun. Pemuda, Pelopor Gerakan Perlawanan Bukan hanya pada masa kerajaan-kerajaan nusantara dan perjuangan pergerakan kemerdekaan. Indonesia setelah bebas dari belenggu penjajahan. Selalu menampilkan peran pemuda yang spartan, patriotik dan heroik. Prahara dan angkara murka segala bentuk penjajahan yang ada di persada Indonesia, selalu menemukan tembok besar perlawanan para pemuda. Pemuda seakan dihadirkan Tuhan sebagai wakilNya melawan kedzoliman dan ketidakadilan di muka bumi. Sebelum kemerdekaan, bangsa Indonesia punya para the founding fathers' dan tokoh-tokoh pergerakan yang notabene representasi para pemuda. Begitupun pasca kemerdekaan, saat negara diliputi pelbagai konflik dan suasana genting. Pemuda selalu terdepan mengambil peran inisiasi, kreasi dan solusi terhadap problematika negara dan bangsa. Manifestasi eksistensi pemuda akan mencari saluran perjuangannya dalam banyak cara. Baik secara konstitusional maupun ekstra parlementer. Melalui kanal demokrasi ataupun aksi demonstrasi. Dengan edukasi dan diskusi hingga akselerasinya sampai memicu reformasi atau revolusi. Perjalanan pemerintahan dari rezim ke rezim tidak bisa menghilangkan fenomena dan peran historis pemuda. Sejarah mencatat penculikan Soekarno-Hatta dari Jakarta ke Karawang, oleh pemuda saat tuntutan percepatan proklamasi kemerdekaan RI. Rakyat dan negara Indonesia dapat bercermin dari kiprah KAMI/KAPPI usai tragedi 1965 yang mendorong perubahan kepemimpinan orde lama ke orde baru. Juga Peristiwa Malari (15 Januari) 1974. Termasuk gerakan mahasiswa 1998 yang melahirkan era reformasi. Semua kontribusi pemuda dan mahasiswa itu merupakan bentuk kesadaran kritis sekaligus perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan penyimpangan kekuasaan. Ia tidak sekedar perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Ia sejatinya menjadi pengemban amanat penderitaan rakyat. Ketika demokrasi tak berfungsi dan kekuasaan menjadi tirani. Pemuda tampil menjadi pendobrak dan pelopor gerakan perubahan. Pemuda seakan tak bisa menghindari dari takdir dan panggilan sejarah. Sebuah generasi dan entitas politik dari produk siklus sejarah. Pemuda tak ubahnya seperti kekayaan alam yang berlimpah. Energi terbarukan dan dapat diperbaharui untuk kelangsungan kehidupan masa depan rakyat Indonesia. Pemuda yang menjadi tulang punggung negara. Energi potensial yang menggantikan fosil Panca Sila dan UUD 1945. Kita hanya tinggal menunggu waktu, kapan tepatnya siklus sejarah berulang?. Jika kedzoliman kekuasaan itu mendera, rakyat Indonesia pasti punya obat walau harus menelan pil pahit. Tentunya dengan resep pemuda dan mahasiswa untuk mengobati sakit kronisnya pemerintahan. Kalau ada aksi demonstrasi pemuda dan mahasiswa dalam spirit Sumpah Pemuda. Selamat bergabung bagi seluruh komponen bangsa. Mengikuti aksi yang menjadi imunisasi vaksin massal yang sesungguhnya. Demi kesehatan dan keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Mampukah Sumpah Pemuda masa lalu menjadi sumpah kebaikan bagi Indonesia kekinian?. Semoga. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktufis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Garuda Yang Malang

By M Rizal Fadillah *) BUKAN hanya sedih tetapi perih mendengar berita Maskapai Garuda sedang menjerit berguling guling menjelang ajal. Sampai segininya Pemerintahan Jokowi mengalami kegagalan. Maskapai penerbangan negara tidak bisa ditolong. Sense of crisis rendah dan nyaris punah. Dasar tukang dagang yang menganggap bahwa rugi itu biasa. Tak ada rasa nasionalisme yang terguncang padahal Garuda yang tidak terbang sama saja dengan "nyungsep"-nya Indonesia. Ada suara kegelisahan dari seorang ibu, istri pilot Garuda yang baru dipensiunkan, memiliki anak yang menjadi pilot Garuda dan satunya menjadi pramugari pesawat Garuda pula. Keluhan atas penggajian yang sudah byar pet, satu bulan on dan sebulan kemudian off. Siaran resmi Garuda menyatakan pendapatan pegawai dipotong 30 hingga 50 persen. "GA dikelola secara ugal-ugalan sejak awal, tidak masuk akal hutang hingga 70 Trilyun", keluhnya. Masalah utama Garuda adalah salah urus (mismanagement), kemandirian yang terganggu, serta menjadi perusahaan perahan dari banyak kepentingan. Sebagaimana BUMN lain, Garuda pun menjadi perusahaan yang tak luput dari budaya bagi-bagi kue politik. Komisaris dan Direksi yang terkendali dan profesionalisme yang terkendala. Pemerintah harus terbuka bagi pembenahan mendasar. DPR dituntut lantang dan cermat dalam pengawasan dan penyelamatan. Tidak terjebak oleh budaya bagi-bagi kue yang dapat menyebabkan anggota menjadi kelu untuk bersuara. Bungkam seribu bahasa. Dahulu Mantan Menko dan pakar ekonomi Rizal Ramli pernah menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan dan kini terberitakan siap untuk membantu kembali dengan imbalan bukan jabatan atau uang tetapi perubahan politik dalam sistem pemilihan Presiden. Presidential Treshold 0 % yang patut untuk didalami dan didiskusikan dengan para pengambil keputusan politik di negeri yang terasa semakin awut-awutan ini. Situasi gawat Garuda dan tentu juga 11 maskapai yang telah tewas mendahuluinya haruslah menjadi perhatian utama. Bukan saja memilukan dan memalukan tetapi juga membahayakan kelangsungan perjalanan bangsa. Presiden mesti bertanggungjawab penuh. Bila pilot pesawat terpaksa harus "grounded" akibat kegawatan ini, maka demi solidaritas sang pilot Indonesia juga harus ikut "grounded". Garuda yang dahulu mantap menjadi pilihan spesial penumpang untuk malang melintang terbang ke berbagai belahan dunia maupun domestik, kini terancam kehilangan melintangnya dengan meninggalkan sisa malangnya. Garuda yang malang. *) Analis Politik dan Kebangsaan

Tak Tumbang Disurvei: Kasus Pilgub DKI 2017 Mengajarkan

Oleh Ady Amar *) JIKA mencermati Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, sengaja dipilih Pilgub DKI di mana Anies Baswedan ikut berkompetisi, maka bolehlah jika ada yang menyebut bahwa lembaga survei politik kala itu seolah dibuat sesuai dengan pesanan si pemesan. Si pemesan itu bisa kandidat bersangkutan, atau pesanan dari partai politik pengusung kandidat. Hasil survei dibuat dengan metode selayaknya, namun hasil survei yang sebenarnya hanya diberikan pada pemesan. Sedang yang di- publish biasanya hasil yang tidak sebenarnya. Hasil sebenarnya yang diinginkan, dipakai pemesan untuk mengejar ketertinggalan, sedang hasil yang tidak sebenarnya tentu untuk menjatuhkan kandidat lain di mana hasil survei dibuat angka persentase dengan tidak sebenarnya. Maka, pemesan mendapat sekaligus dua keuntungan yang diharap. Pertama, ia tahu persis kekuatan kandidat/pesaingnya. Kedua, berharap bisa mempengaruhi publik dengan mem-framing hasil survei. Tujuan utama dari semuanya adalah untuk mempengaruhi calon pemilih bahwa kandidat yang "digarap" memang diinginkan publik. Maka bukan rahasia umum, jika lembaga survei itu melakukan framing pada hasil surveinya. Mengecil dan besarkan hasil survei sesuai keinginan. Itulah lembaga survei, yang bekerja tanpa nurani demi siapa yang membayarnya. Tidak semua lembaga survei merilis hasil surveinya dengan hasil tidak sebenarnya. Tentu ada juga lembaga survei idealis, tetap profesional meski berorientasi bisnis. Melihat fenomena yang ada, tidak perlulah sampai mesti terkaget-kaget, jika pada saat yang sama ada lembaga survei yang merilis hasil surveinya berbeda ekstrem dengan hasil rilis lembaga survei lainnya. Itu bisa dimungkinkan oleh sebab lembaga survei yang satu dan lainnya bekerja untuk kandidat yang berbeda. Maka hasil surveinya pun berbeda, sesuai pihak yang memesannya. Jika kandidat bersangkutan, dan atau partai politik pengusungnya, itu kuat dalam pendanaan. Artinya, mampu "bekerja sama" pada banyak lembaga survei ternama, maka kandidat itu pastilah elektabilitasnya tinggi, ia dimanjakan dengan hasil rilis berbagai lembaga survei . Sembari hasil rilis berbagai lembaga survei, itu "mengecilkan" persentase kandidat lainnya, yang sebenarnya punya elektabilitas keterpilihan tinggi. Hasil Survei Pilgub DKI Jakarta 2017 Pilgub DKI Jakarta 2017, bisa jadi model untuk melihat hasil lembaga survei yang tidak sesuai dengan hasil Pilgub itu sendiri. Di mana kandidat yang tidak diunggulkan keluar sebagai pemenang dengan suara terbanyak. Dan, itu keterpilihan Anies Rasyid Baswedan, di mana hasil rilis surveinya rendah, tapi justru mengantarkannya terpilih sebagai Gubernur. Pilgub DKI Jakarta terdiri dari 3 kandidat, sesuai nomor urut: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno. Petahana Ahok-Djarot dielu-elukan berbagai lembaga survei akan keluar sebagai pemenang Pilgub. Bahkan lembaga survei Litbang Kompas merilis hasil surveinya, dimana AHY elektabilitasnya di atas Anies-Sandi. Ternyata hasil rilisnya meleset jauh. Mestinya Pilgub DKI Jakarta itu bisa jadi pegangan pemilih, khususnya pemilih pemula, bagaimana hasil rilis lembaga survei yang meleset jauh dari hasil rilisnya. Karenanya, pemilih harus cermat melihat kecenderungan sebuah lembaga survei mengarahkan calon pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Mari kita lihat hasil survei Litbang Kompas (21/12/2016) pada Pilgub DKI Jakarta, yang diikuti 3 pasangan, sesuai dengan nomor urut. Dimana pasangan nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, mendapat 37, 1 persen suara. Angka tertinggi dibanding 2 peserta lainnya. Sedang nomor urut 2 adalah petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat 33,0 persen. Dan nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno mendapat angka buncit, 19,5 persen suara. Hasil survei Litbang Kompas itu ternyata tidak sesuai alias jauh panggang dari api. Agus-Sylvi justru terpental, tidak masuk putaran kedua. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi yang lanjut ke putaran kedua. Hasil putaran pertama Pilgub DKI, sesuai nomor urut: 1). 19,06 persen, 2). 42,99 persen, 3). 39,95 persen. Dua kandidat teratas yang maju pada putaran 2. Begitu pula lembaga survei lainnya pun sama mengunggulkan petahana dibanding dua kandidat lainnya, bahkan dengan perolehan suara yang terpaut jauh. Pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta pun, hampir semua lembaga survei merilis hasil surveinya dari bulan ke bulan. Kita lihat saja rilis lembaga survei Charta Politika, yang digawangi Yunarto Wijaya, yang tampak juga sebagai konsultan politik Ahok-Djarot. Hasil dari rilisnya, bahwa pasangan Ahok-Djarot mengungguli Anies-Sandi. Rilis hasil surveinya yang terakhir, pada tanggal 15 April 2017, artinya 4 hari menjelang putaran ke-2, yang jatuh pada tanggal 19 April 2017. Di mana Ahok-Djarot memperoleh 47,3 persen. Sedang Anies-Sandi memperoleh 44,8 persen suara. Ternyata real count KPU, hasilnya berkebalikan, Ahok-Djarot memperoleh 42,05 persen, sedang Anies-Sandi memperoleh 57,95 persen suara. Tidak cuma Charta Politika, tapi SMRC dan lembaga survei lainnya pun menjagokan Ahok-Djarot sebagai pemenang. Dan pekan kemarin (18/10/2021), lagi-lagi Litbang Kompas, meski Pemilihan Presiden (Pilpres) masih jauh, sudah merilis hasil elektabilitas beberapa kandidat untuk Pilpres 2024. Hasilnya, pada urutan 1 dan 2 adalah 13,9 persen, yaitu Prabowo Subianto (Menhan) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah). Subhanallah angkanya bisa sama, tampak ajaib. Sedang di peringkat 3 adalah Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) memperoleh 9,6 persen. Jika menilik hasil survei Pilgub DKI Jakarta (2017) yang hasil surveinya jauh meleset, tidak sesuai dengan real count KPU, maka sepantasnya publik tidak harus mempercayai lembaga survei yang punya track record buruk. Tidak salah jika publik menyebut survei abal-abal. Publik harus terus diberi penyadaran, bahwa ada upaya sistemik untuk mengatrol nama kandidat tertentu, yang dipesan untuk dikerek setinggi-tingginya. Sembari menenggelamkan kandidat potensial dengan menggerus suaranya terus-menerus, agar kandidat itu tidak dilirik partai politik untuk mengusungnya. Segala cara menuju 2024 akan dilakukan, tidak mustahil dengan cara-cara tidak demokratis. (*) *) Kolumnis