Tak Tumbang Disurvei: Kasus Pilgub DKI 2017 Mengajarkan
Oleh Ady Amar *)
JIKA mencermati Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, sengaja dipilih Pilgub DKI di mana Anies Baswedan ikut berkompetisi, maka bolehlah jika ada yang menyebut bahwa lembaga survei politik kala itu seolah dibuat sesuai dengan pesanan si pemesan. Si pemesan itu bisa kandidat bersangkutan, atau pesanan dari partai politik pengusung kandidat.
Hasil survei dibuat dengan metode selayaknya, namun hasil survei yang sebenarnya hanya diberikan pada pemesan. Sedang yang di- publish biasanya hasil yang tidak sebenarnya. Hasil sebenarnya yang diinginkan, dipakai pemesan untuk mengejar ketertinggalan, sedang hasil yang tidak sebenarnya tentu untuk menjatuhkan kandidat lain di mana hasil survei dibuat angka persentase dengan tidak sebenarnya.
Maka, pemesan mendapat sekaligus dua keuntungan yang diharap. Pertama, ia tahu persis kekuatan kandidat/pesaingnya. Kedua, berharap bisa mempengaruhi publik dengan mem-framing hasil survei. Tujuan utama dari semuanya adalah untuk mempengaruhi calon pemilih bahwa kandidat yang "digarap" memang diinginkan publik.
Maka bukan rahasia umum, jika lembaga survei itu melakukan framing pada hasil surveinya. Mengecil dan besarkan hasil survei sesuai keinginan. Itulah lembaga survei, yang bekerja tanpa nurani demi siapa yang membayarnya. Tidak semua lembaga survei merilis hasil surveinya dengan hasil tidak sebenarnya. Tentu ada juga lembaga survei idealis, tetap profesional meski berorientasi bisnis.
Melihat fenomena yang ada, tidak perlulah sampai mesti terkaget-kaget, jika pada saat yang sama ada lembaga survei yang merilis hasil surveinya berbeda ekstrem dengan hasil rilis lembaga survei lainnya. Itu bisa dimungkinkan oleh sebab lembaga survei yang satu dan lainnya bekerja untuk kandidat yang berbeda. Maka hasil surveinya pun berbeda, sesuai pihak yang memesannya.
Jika kandidat bersangkutan, dan atau partai politik pengusungnya, itu kuat dalam pendanaan. Artinya, mampu "bekerja sama" pada banyak lembaga survei ternama, maka kandidat itu pastilah elektabilitasnya tinggi, ia dimanjakan dengan hasil rilis berbagai lembaga survei . Sembari hasil rilis berbagai lembaga survei, itu "mengecilkan" persentase kandidat lainnya, yang sebenarnya punya elektabilitas keterpilihan tinggi.
Hasil Survei Pilgub DKI Jakarta 2017
Pilgub DKI Jakarta 2017, bisa jadi model untuk melihat hasil lembaga survei yang tidak sesuai dengan hasil Pilgub itu sendiri. Di mana kandidat yang tidak diunggulkan keluar sebagai pemenang dengan suara terbanyak. Dan, itu keterpilihan Anies Rasyid Baswedan, di mana hasil rilis surveinya rendah, tapi justru mengantarkannya terpilih sebagai Gubernur.
Pilgub DKI Jakarta terdiri dari 3 kandidat, sesuai nomor urut: Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno.
Petahana Ahok-Djarot dielu-elukan berbagai lembaga survei akan keluar sebagai pemenang Pilgub. Bahkan lembaga survei Litbang Kompas merilis hasil surveinya, dimana AHY elektabilitasnya di atas Anies-Sandi. Ternyata hasil rilisnya meleset jauh.
Mestinya Pilgub DKI Jakarta itu bisa jadi pegangan pemilih, khususnya pemilih pemula, bagaimana hasil rilis lembaga survei yang meleset jauh dari hasil rilisnya. Karenanya, pemilih harus cermat melihat kecenderungan sebuah lembaga survei mengarahkan calon pemilih untuk memilih kandidat tertentu.
Mari kita lihat hasil survei Litbang Kompas (21/12/2016) pada Pilgub DKI Jakarta, yang diikuti 3 pasangan, sesuai dengan nomor urut. Dimana pasangan nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, mendapat 37, 1 persen suara. Angka tertinggi dibanding 2 peserta lainnya. Sedang nomor urut 2 adalah petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat 33,0 persen. Dan nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno mendapat angka buncit, 19,5 persen suara.
Hasil survei Litbang Kompas itu ternyata tidak sesuai alias jauh panggang dari api. Agus-Sylvi justru terpental, tidak masuk putaran kedua. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi yang lanjut ke putaran kedua. Hasil putaran pertama Pilgub DKI, sesuai nomor urut: 1). 19,06 persen, 2). 42,99 persen, 3). 39,95 persen. Dua kandidat teratas yang maju pada putaran 2.
Begitu pula lembaga survei lainnya pun sama mengunggulkan petahana dibanding dua kandidat lainnya, bahkan dengan perolehan suara yang terpaut jauh.
Pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta pun, hampir semua lembaga survei merilis hasil surveinya dari bulan ke bulan. Kita lihat saja rilis lembaga survei Charta Politika, yang digawangi Yunarto Wijaya, yang tampak juga sebagai konsultan politik Ahok-Djarot. Hasil dari rilisnya, bahwa pasangan Ahok-Djarot mengungguli Anies-Sandi.
Rilis hasil surveinya yang terakhir, pada tanggal 15 April 2017, artinya 4 hari menjelang putaran ke-2, yang jatuh pada tanggal 19 April 2017. Di mana Ahok-Djarot memperoleh 47,3 persen. Sedang Anies-Sandi memperoleh 44,8 persen suara.
Ternyata real count KPU, hasilnya berkebalikan, Ahok-Djarot memperoleh 42,05 persen, sedang Anies-Sandi memperoleh 57,95 persen suara. Tidak cuma Charta Politika, tapi SMRC dan lembaga survei lainnya pun menjagokan Ahok-Djarot sebagai pemenang.
Dan pekan kemarin (18/10/2021), lagi-lagi Litbang Kompas, meski Pemilihan Presiden (Pilpres) masih jauh, sudah merilis hasil elektabilitas beberapa kandidat untuk Pilpres 2024. Hasilnya, pada urutan 1 dan 2 adalah 13,9 persen, yaitu Prabowo Subianto (Menhan) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah). Subhanallah angkanya bisa sama, tampak ajaib. Sedang di peringkat 3 adalah Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) memperoleh 9,6 persen.
Jika menilik hasil survei Pilgub DKI Jakarta (2017) yang hasil surveinya jauh meleset, tidak sesuai dengan real count KPU, maka sepantasnya publik tidak harus mempercayai lembaga survei yang punya track record buruk. Tidak salah jika publik menyebut survei abal-abal.
Publik harus terus diberi penyadaran, bahwa ada upaya sistemik untuk mengatrol nama kandidat tertentu, yang dipesan untuk dikerek setinggi-tingginya. Sembari menenggelamkan kandidat potensial dengan menggerus suaranya terus-menerus, agar kandidat itu tidak dilirik partai politik untuk mengusungnya. Segala cara menuju 2024 akan dilakukan, tidak mustahil dengan cara-cara tidak demokratis. (*)
*) Kolumnis