OPINI

Armando D'Akidi Tio

By M Rizal Fadillah KELUARGA Akidi Tio membuat heboh jagat bangsa yang sedang prihatin menghadapi pandemi covid 19 karena secara pribadi keluarga ini menyumbangkan 2 trilyun rupiah untuk mengatasi pandemi di Sumatera Selatan. Altruisme yang dipuji banyak pihak sebagai teladan. Ade Armando dosen UI yang sangat berprestasi dan membuat bangga UI dan dunia akademik "sejagat" ikut memuji keluarga Akidi Tio. "2 trilyun rupiah lho, bukan 2 milyar uang semua gak pake pasir" ujarnya. Sambil menegaskan bahwa Akidi Tio adalah pengusaha Tionghoa. Tidak lengkap jika puja-puji Ade ini tidak ditambah dengan nyinyir kepada umat Islam sebagaimana kebiasaannya. Ia menyebut "ini satu lagi tambahan contoh untuk menantang kelompok-kelompok muslim pribumi yang selalu menjelekkan Tionghoa. Saya mau bilang ini sumbangan pengusaha Tionghoa, mana sumbanganmu ?". Hebat dan mantap sekali si Ade ini bekoar. Akan tetapi tak lama setelahnya terungkap bahwa sumbangan 2 trilyun itu hanya prank saja. Anak Akidi Tio ditangkap dan harus berurusan dengan aparat Kepolisian. Nah kini jelaslah bagi Ade Armando bahwa pengusaha Tionghoa itu tukang tipu dan jika Ade tidak meralat omongannya maka di samping ia tertipu, juga sadar atau tidak ia menjadi bagian dari penipuan itu. Banyak uang negara ini telah dicuri oleh para pengusaha Tionghoa, De ! Coba cek data korupsi di negerimu siapa koruptor kakap perampok uang rakyat itu? Para pengusaha Tionghoa ! Ratusan trilyun duit semua, gak pake pasir. Baru nyumbang 2 trilyun sudah dipuja-puji pake nyinyir kepada muslim segala. Ternyata Ade Armando "cerdas" sekali dalam membuktikan bahwa ternyata 2 trilyun itu pasir semua gak pake duit. Ade ini selalu nyinyir kepada umat Islam, orang jadi bertanya Ade Armando ini agamanya apa, muslim bukan ? Baru-baru ini ia mencuit provokatif soal agama pemain bulu tangkis Anthoni Ginting pasca kekalahan di Olimpiade "Eh Ginting itu Islam atau Kristen ? Ya Kristen laah..ooh" Apa kaitan agama dengan menang atau kalah dalam bulu tangkis? Aneh benaknya selalu diisi dengan pikiran buruk soal agama. Moga bukan pasir dan duit isi otaknya. Kini Ade kena batunya, menikmati prank pengusaha Tionghoa. Semestinya ia malu dan meminta maaf. Tetapi jika rasa malu itu telah hilang dari pribadinya, maka semua nilai-nilai baik dalam beragama dan bernegara bisa dengan enteng diabaikan. Besok mungkin cuitan-cuitan nyinyir Ade akan kita jumpai lagi. Bravo Ade Armando D'Mukidi eh D'Akidi Tio. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Hijrah Bukan Lari, tapi Konsolidasi

By M Rizal Fadillah SEBENTAR lagi bulan Muharam sebagai tanda pergantian tahun dalam kalender Islam. Dasar penetapan tahun baru adalah hijrah Nabi, bukan kelahiran atau wafatnya. Hijrah adalah pilihan tepat karena dimensinya adalah perjuangan. Titik balik kegemilangan sejarah Islam di masa awal pergerakan keumatan. Banyak yang keliru dengan menyatakan bahwa hijrah adalah lari dari medan da'wah di Makkah. Anggapan ini hanya semata melihat pada kondisi ketidakberdayaan. Ternyata tidak, Rosulullah memerintahkan hijrah dengan didahului adanya Bai'atul Aqabah yakni kesiapan warga Madinah (Yastrib) yang bersumpah untuk menerima dan berjuang bersama. Hijrah adalah konsolidasi kekuatan. Lima hal yang menandai konsolidasi, yaitu : Pertama, berjuang dengan strategi. Sejak mendahulukan umat bergelombang untuk berangkat ke Madinah, siasat "deception" mengganti posisi diri oleh Ali bin Abi Thalib, bergerak ke selatan Gua Tsur mengecoh dugaan ke utara, hingga berjalan "zig-zag" di jalur menuju Madinah adalah contoh bahwa hijrah itu berstrategi. Kedua, membangun kekuatan atas dasar persaudaraan (fraternite, ukhuwah). Sejak di Jabal Tsur persaudaraan dengan Abu Bakar Shiddiq, lalu membangun "persaudaraan dua-dua" (akhowain fillah), hingga persaudaraan kolektif Muhajirin dengan Anshor adalah upaya untuk membangun kekuatan "ukhuwwah qiwwamul quwwah" (persaudaraan adalah tonggak kekuatan). Ketiga, membangun markas besar pengelolaan perjuangan yakni Masjid. Masjid Nabawi bukan hanya sebagai tempat ibadah terapi juga markas pengelolaan kemasyarakatan dan kenegaraan. Nabi menerima tamu kenegaraan dan mengomando pasukan dari Masjid. Masjid adalah pusat peribadahan dan kebudayaan. Keempat, hijrah mengokohkan kepemimpinan kenabian, mempersatukan seluruh elemen strategis, membangun komitmen konstitusional "Piagam Madinah", serta merencanakan "revolusi tanpa darah" Futuh Makkah. Membersihkan Makkah dari kekotoran dan kezaliman. Kelima, hijrah itu konsolidasi untuk mengobarkan semangat jihad menegakkan agama dalam membangun peradaban berbasis iman. Paket tak terpisahkan dalam memenangkan dan mensukseskan misi keagamaan adalah beriman, berhijrah, dan berjihad (QS Al Anfal 74). Jadi, hijrah bukan lari melainkan konsolidasi sebab lari dari medan juang itu terlarang dan termasuk salah satu dari dosa besar di samping syirik, dukun sihir, membunuh, makan riba, makan harta yatim, dan menuduh zina. Nabi dan para sahabat melakukan konsolidasi di Madinah untuk mengembangkan da'wah agar lebih efektif dan kualitatif. Tahun baru Islam yang dimulai beberapa hari ke depan bulan Muharam adalah momentum umat Islam untuk melakukan konsolidasi. Bersatu dan mengokohkan persaudaraan, menata kepemimpinan dan memperkuat strategi pemenangan. Hijrah adalah jalan untuk melawan kezaliman, menegakkan keadilan dan membersihkan kemunafikan. *) Pemerhati Politik dan Keagamaan

“Obat Cacing” Itu Obat Keras, Bukan Bansos!

Oleh : Mochamad Toha Ternyata yang mempromosikan penggunaan obat Ivermectin tidak hanya Menteri BUMN Erick Thohir saja. Ketum HKTI yang juga Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga turut “promo salah” obat cacing seperti Erick Thohir. Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, menyatakan, Ivermectin tak boleh didistribusikan langsung ke masyarakat. Obat ivermection itu adalah obat keras anti-parasit, belum ada bukti yang saintifik valid dapat membantu untuk atasi orang dengan Covid-19. “Hentikan promosi dan testimoni. Jangan mengobati sendiri,” tegasnya. Menurut Pandu, Ivermectin itu obat keras, bukan Bansos. Tak boleh didistribusikan langsung ke masyarakat. Perlu dilakukan sanksi pada Ketum HKTI dan PT Harsen Laboratories atas tindakan yang tak sesuai dengan regulasi obat di Indonesia. PT Harsen perlu disidak karena mendorong obat Ivermectin menjadi mudah didapat untuk terapi Covid-19, tidak sesuai ijin edar dan tidak patuh aturan sebagai obat keras. Bila BPOM RI melakukan pemeriksaan dan penindakan sesuai tupoksinya dan tak terkait dengan upaya penanganan pandemi. Pandu mengingatkan, Obat Keras tidak boleh dijual bebas. Perilaku Perusahaan Farmasi yang tak mematuhi aturan regulasi harus ditindak tegas, tanpa kecuali. Kita lihat obat keras mudah dibeli di semua toko obat. “Dalam situasi darurat, harus dilakukan pemeriksaan dan tindakan. Tegas dan jelas,” ujar Pandu. Ivermectin itu hanya boleh dipakai dalam uji klinik. Jangan dipromosikan, jangan diresepkan, jangan konsumsi obat yang belum terbukti bermanfaat dan aman. Jangan selebriti promosikan pengobatan sendiri dan klaim obat tersebut bermanfaat. Mari kita edukasi masyarakat. Tidak semua negara sampai harus membiayai riset uji klinik calon obat Covid-19 dengan biaya uang rakyat. Seharusnya produsen obat yang membiayai riset tersebut. Pandu menyebut, perlakuan khusus kepada Ivermectin memang luar biasa. Salah satu kejutan di era pandemi dan lonjakan kasus. Ada apa ya? Apalagi, ternyata BPOM terbitkan PPUK, persetujuan uji klinik Ivermectin berdasarkan protokol versi 0.1. Protokol masih bermutasi, kini ingin menguji pada semua kasus Covid-19 yang ringan, sedang, dan berat. “Upacara PPUK yang dihadiri oleh Erick Thohir dan digaungkan oleh semua BUMN, ya iklan obat. Anjuran WHO jelas dan tegas dalam tata-laksana terapi Covid-19. Regulator patut dipertanyakan bila mengizinkan penyimpangan. Seperti Ivermectin, obat anti-parasit, yang hanya diijinkan untuk uji-klinis. Mau diperluas aksesnya oleh BPOM untuk saving lives? Produsen obat akan senang. Anomali Protokol Uji Klinik ivermectin versi 2.0, ingin menguji orang dengan Covid-19 berspektrum ringan sampai berat. Artinya, agar bisa dipakai pada semua orang. Padahal tidak ada justifikasi ilmiah dibutuhkan obat tersebut. “Jelas tujuan komersialisasinya, bukan menyelamatkan kehidupan!” tegas Pandu. Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan pihaknya melakukan penindakan pada pabrik pembuat Ivecmertin PT Hansen karena adanya sejumlah pelanggaran yang ditemukan pihaknya. Menurut Penny, apa yang dilakukan BPOM tersebut untuk menegakkan aturan dalam melaksanakan tugas melindungi masyarakat. Pihaknya sudah melakukan pembinaan dan pengawasan pada pembuatan ivecmertin PT Garsen. “Tahap pembinaan, perbaikan hingga pemanggilan namun masih belum ada niat baik PT Harsen memperbaiki kekurangannya sehingga ada langkah tindak lanjut sanksi-sanksi yang diberikan,” kata Penny dalam jumpa pers Jumat, 2 Juni 2021. Ia mengungkap, sejumlah pelanggaran PT Harsen, yaitu mulai dari bahan baku Ivecmertin melewati jalur tak resmi, kemasan siap edar tidak sesuai aturan, penetapan kadaluarsa sesuai badan POM dicantumkan 18 bulan setelah tanggal produksi, tapi PT Harsen mencantumkan 2 tahun setelah produksi. Selain itu, distribusinya tidak melewati jalur resmi termasuk promosi obat keras tidak bisa langsung dilakukan kepada publik, tapi harus di tenaga kesehatan hanya ke dokter. “Harusnya mereka memahami regulasi yang ada,” ujar Penny. Direktur Marketing PT Harsen Laboratories, Riyo Kristian Utomo menyebut pemblokiran BPOM telah menggangu produksi. PT Hansen Laboratories mengklaim obat cacing produksi mereka dapat menyembuhkan pasien Covid-19. “BPOM harus berhenti mengintimidasi, kami menyediakan senjata Ivermectin melawan Covid. Jangan ada upaya sengaja agar kita kalah. Kita harus menang melawan Covid. Jangan ada yang menghalangi,” tegas putra politisi PDIP Ribka Tjiptaning Proletariyati ini. Tampaknya pernyataan Riyo Kristian Utomo itulah yang membuat keder Penny, sehingga akhirnya membuat BPOM menerbitkan PPUK, persetujuan uji klinik ivermectin berdasarkan protokol versi 0.1. Upacara PPUK yang dihadiri oleh Menteri Erick Thohir. Anjuran WHO yang sudah jelas dan tegas dalam tata-laksana terapi Covid-19 tak digubris. Di sinilah BPOM sebagai regulator patut dipertanyakan bila mengizinkan penyimpangan. Belakangan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap dugaan keterkaitan anggota parpol, pejabat publik, dan pebisnis dalam penggunaan obat Ivermectin untuk menanggulangi Covid-19. Polemik Ivermectin menunjukkan krisis saat pandemi ini dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk mendapat keuntungan. Peneliti ICW Egi Primayogha mengungkapkan, polemik Ivermectin dimulai sejak Oktober 2020 ketika dokter dari Departemen Penelitian dan Pengembangan PT Harsen Laboratories, Herman Sunaryo, menyebut Ivermectin bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19. “Polemik lalu berlanjut pada awal Juni 2021, saat PT Harsen Laboratories, mengumumkan telah memproduksi Ivermectin, obat yang diklaim sebagai alternatif terapi Covid-19,” lanjut Egi dalam keterangannya, Kamis (22/7/2021). Selang beberapa waktu kemudian, Menteri BUMN mengirimkan surat ke BPOM dengan nomor S-330/MBU/05/2021 yang berisi pengajuan permohonan penerbitan Emergency Use Authorization untuk Ivermectin. Setelah mendapat peringatan dari BPOM, Erick Thohir menyatakan akan memproduksi Ivermectin sebanyak 4,5 juta dosis yang akan diedarkan oleh PT Indofarma. Egi juga menyampaikan, distribusi Ivermectin menambah daftar panjang obat-obat yang ditawarkan oleh pemerintah meskipun belum dilakukan uji klinis yang tepat. Selama 18 bulan pandemi, pemerintah telah mengedarkan obat seperti Chloroquine, Avigan, wacana Vaksin Nusantara, hingga Ivermectin. Menurutnya, terdapat potensi rentseeking dari produksi dan distribusi Ivermectin. Praktik itu diduga dilakukan oleh sejumlah pihak untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan krisis kesehatan. “ICW ikut menemukan indikasi keterlibatan anggota partai politik dan pejabat publik dalam distribusi Ivermectin,” ungkap Egi. Berdasarkan penelusuran ICW, Ivermectin akan diproduksi oleh PT Harsen Laboratories, perusahaan yang bergerak di bidang farmasi, dengan merek Ivermax 12. Diduga, perusahaan tersebut dimiliki oleh pasangan suami-istri Haryoseno dan Runi Adianti. “Kedua nama itu tercatat dalam dokumen Panama Papers dan diketahui terafiliasi dengan perusahaan cangkang bernama Unix Capital Ltd yang berbasis di British Virgin Island,” lanjut Egi. Sebelum pandemi Covid-19, PT Harsen pernah menjalin hubungan kerjasama dengan PT Indofarma dalam pendistribusian obat. Berdasarkan laporan konsolidasian, PT Indofarma pada 2020, tercatat punya utang ke PT Harsen sebesar Rp 8.579.991.938 per 30 Juni 2020. “Jumlah ini meningkat dari 31 Maret 2019 yang berjumlah Rp 3.238.035.238,” beber Egi. Salah satu nama yang terafiliasi dengan PT Harsen adalah Sofia Koswara. Sofia adalah Wakil Presiden PT Harsen dan mantan CEO dari B-Channel. Ia juga menjabat sebagai Chairwoman Front Line Covid-19 Critical Care (FLCCC) di Indonesia. Adapun warga Indonesia lainnya yang berada di FLCCC adalah Budhi Antariksa, bagian dari Tim Dokter Presiden, serta dokter paru-paru di Rumah Sakit Umum Persahabatan dan pengajar plumnologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Budhi juga merupakan ketua tim uji klinis Ivermectin di Indonesia,” ungkap Egi. Keterlibatan pejabat publik diindikasikan melalui kedekatan antara Sofia Koswara dan Haryoseno dengan Moeldoko, Kepala Staf Presiden sekaligus Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Sejak 2019, PT Noorpay Nusantara Perkasa, perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara menjalin hubungan kerjasama dengan HKTI terkait program pelatihan petani di Thailand. Pada awal Juni lalu, Ivermectin didistribusikan ke Kabupaten Kudus melalui HKTI. Selain itu, anak Moeldoko yang bernama Joanina Rachman, merupakan pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa. Selain Sofia, Egi menyebut anggota direksi lain di PT Harsen adalah Riyo Kristian Utomo yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran. Riyo adalah anggota PDIP dan menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Komunikasi dan Budaya di DPC PDIP Tangerang Selatan. Menurut Egi, Riyo adalah anak kandung anggota fraksi PDIP Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ribka adalah anggota Komisi Energi, Riset dan Teknologi. Sebelumnya Ribka adalah anggota Komisi Kesehatan, namun dipindah akibat menyatakan menolak vaksin Covid-19 dalam sidang rapat kerja Komisi Kesehatan. Ia menjabat sebagai Ketua Bidang Penanggulangan Bencana (Baguna) PDIP. Pada April 2020, ditemukan video amatir yang menunjukkan Baguna tengah membagi-bagi sembako dan masker yang disediakan oleh PT Harsen dan diterima Ribka selaku Ketua Baguna PDIP. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Nawa Cita dan Penghancuran PLN

Oleh Ahmad Daryoko (Koordinator INVEST) DARI siaran pers SP PLN-PP IP- SP PJB , Selasa 27 Juli 2021 lewat zoom, dapat disimpulkan bahwa pemerintah akan "menghabisi" instalasi PLN pembangkitan Jawa -Bali dari sisa 10% yang masih ada sejak 2020. Ini sesuai hasil Seminar pada 22 Juli PP IP dan SP PJB). Sehingga di masa yang akan datang, paling lama tahun depan, PLN hanya menguasai transmisi dan distribusi alias "jaga tower" listrik. Sejak saat itu kawasan Jawa-Bali sudah secara total dikuasai Huadian, GE, Shenhua serta BUMN non-PLN yang otomatis akan berlangsung kompetisi penuh kelistrikan atau apa yang disebut sebagai MBMS (Multi Buyer and Multi Seller) System. Atau mengikuti kemauan pihak penyandang dana seperti WB,ADB, IMF (group IFIs) dan Bank of China dalam konsep yg dinamakan "The Power Sector Restructuring Program" (PSRP). Dengan demikian hilanglah kedaulatan kelistrikan NKRI. Perlu dijelaskan bahwa di kawasan Jawa-Bali yang rata-rata perhari butuh daya 30.000 MW, PLN masih sharing sekitar 3000 MW (atau sekitar 10%) perhari yang berasal dari PLTA dan PLTGU. Sedang sekitar 17.000 MW pembangkit PLN lainnya "mangkrak" karena instruksi Menteri BUMN (Tempo 14 Des 2019, Jawa Pos 16 Mei 2020). Kebijakan lanjut agar PLN tidak memiliki pembangkit di Jawa-Bali maka rencananya, pertama geothermal akan diserahkan ke Pertamina. Kedua, PLTU-PLTU akan dibikin BUMN terpisah dan dilakukan IPO dengan strategic sales. Perlu juga diperhatikan bahwa pertama PLTA akan diserahkan ke perusahaan BUMN Jasa Tirta (PJT) seperti Jatiluhur dan lainnya. Kedua, PLTGU (Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap) akan di relokasi ke luar Jawa-Bali sebagai persiapan "unbundling horisontal" Jawa Bali - Luar Jawa Bali sesuai konsep PSRP. Ketiga, PLN Pusat Pengatur Beban (P2B) di Cinere akan dijadikan lembaga independen yang berfungsi sebagai pengatur sistem dan pengatur pasar kelistrikan. Keempat, akan dibentuk Badan Pengawas Pasar Ketenagalistrikan (BAPETAL). Poin ketiga dan keempat merupakan bagian dari konsep PSRP. Dengan demikian tidak ada lagi pembangkit PLN di Jawa-Bali. PLN selanjutnya hanya sebagai "penjaga tower" dan P2B juga lepas dari PLN menjadi Lembaga Independen. Sehingga Jawa-Bali sudah sepenuhnya "unbundling vertikal". Semua ini melawan putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dan putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 ! Dengan fakta-fakta ini maka bisa disimpulkan bahwa Nawa Cita hanya berhenti sebagai "jargon kosong" alias "bullshit". Ini terjadi karena ideologi ethatisme (yang ada di Pancasila dan UUD 1945) sebagai implementasi kehadiran negara di tengah rakyat "diplintir" menjadi "bancakan PLN" di tengah rakyat yang disponsori Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan, Erick Tohir, dan Dahlan Iskan. Ideologi "Ethatisme" sebagai ruh Pancasila dan UUD 1945, berubah menjadi ideologi liberal dengan jargon "siapa kuat dia yang menang " Rakyat cukup nonton, "mlongo" dan harap-harap cemas menunggu kenaikan listrik berlipat. Bagi yang tidak kuat bayar listrik silahkan siap-siap pakai lilin, teplok, oncor, upet dan sejenisnya. Karena negara hanya tinggal nama tanpa makna.

Menguji Ketangguhan Pemimpin di Era Pandemi

Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) PANDEMI Itu nyata. Mengenai hal ini, sudahlah gak usah berdebat. Soal ada oknum pejabat yang bancaan (korupsi) bansos, rebutan bisnis vaksin, dan sejumlah orang yang "aji mumpung" menjadikan pandemi sebagai lahan "cuan" itu soal lain. Itu urusan negara yang harus menertibkan. Aksi para oknum ini tidak akan merubah data dan fakta covid yang telah membunuh 50 ribu lebih penduduk Indonesia. Tingginya angka penyebaran telah membuat pemerintah kewalahan. Sejumlah upaya telah dilakukan, dari PSBB hingga relaksasi, dari PPKM Darurat hingga PPKM ber-level. Hasilnya belum maksimal. Fakta ini menuntut evaluasi semua pihak, terutama stakeholders. Dalam hal ini adalah pemerintah. Pandemi yang telah menelan nyawa dan memporakporandakan ekonomi negara akan menjadi ujian bagi seorang pemimpin. Baik presiden maupun kepala daerah. Saat pandemi, setiap pemimpin akan dihadapkan pada dilema, antara nyawa rakyat dengan ekonomi. Di sini akan dilihat apakah pemimpin itu bisa mengambil keputusan yang tepat dan akurat di tengah dilema yang sedang dihadapi. Ketangguhan seorang pemimpin dalam menghadapi covid ini akan dilihat dari pertama, kemampuannya memahami persoalan covid ini. Pemimpin dituntut untuk memiliki pandangan yang akurat, sehingga mampu melakukan antisipasi. Ibarat musuh, virus harus benar-benar dikenali. Tentang tabiatnya, penyebarannya dan bagaimana cara virus itu menyerang mangsanya. Sebab, jika salah mengenalinya, keputusan menjadi tidak tepat, dan nyawa rakyat jadi bulan-bulanan. Seorang pemimpin itu pemegang tongkat perintah. Otoritas ada di tangannya. Di sini, Pemimpin ambil tanggung jawab. Jika salah membuat keputusan, negara dan rakyat jadi taruhan. Dan keputusan hanya akan tepat jika pemimpin berhasil mengidentifikasi persoalan secara akurat. Kedua, lihat bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan. Mengalahkan covid, atau dihancurkan oleh covid. Dari sini kita akan mengukur data secara obyektif. Hebatnya seorang pemimpin bukan dilihat dari lihainya berkampanye, tapi diukur dari kemampuannya membuat perubahan dan menyelesaikan masalah. Ketika pandemi menjadi persoalan serius seperti saat ini, maka lebih mudah untuk mengukur kapasitas dan kompetensi seorang pemimpin. Ketiga, konsistensi kebijakan. Jika pemahaman berubah-berubah, dan kebijakan sering sekali gonta ganti, ini menunjukkan dilema belum bisa diatasi. Jika ini terjadi, kecil kemungkinan setiap keputusan yang diambil akan efektif. Ketangguhan seorang pemimpin justru terukur ketika ia mampu keluar dari situasi dilematis. Dan ini butuh konsistensi. Boomberg merilis daftar ketahanan Covid-19, dari yang terbaik sampai yang terburuk di dunia. Yang terbaik itu Norwegia, Swiss, lalu disusul Selandia Baru. Yang terburuk? Indonesia. Ini tamparan buat kita bersama. Beberapa pekan ini, ada rata-rata 1.300 kematian setiap hari. Sementara vaksinasi baru 11,9 persen. Apakah ini karena faktor anggaran untuk Covid-19 yang minim yaitu 5,41 persen dari PDB? Bukankah anggaran covid di 2021 sudah ditambah? Dari 699,43 T menjadi 477,75 T. Meski anggaran covid sudah ditambah, tapi pandemi belum nampak turun secara signifikan. Indonesia diprediksi akan menjadi negara terakhir yang keluar dari pandemi. Mungkin mengecualikan Jakarta. Vaksinasi di Jakarta sudah lebih dari target. Harusnya Agustus mencapai angka 7,5 juta. Angka itu sudah dicapai di bulan Juli. Jumlah terinveksi di Jakarta sudah sangat melandai. Dari 113 ribu menjadi 19 ribu. Hanya butuh waktu dua pekan. DKI Jakarta memang terlihat paling konsen sejak informasi covid menyebar ke sejumlah negara. Sebelum covid masuk ke Indonesia, Jakarta sudah membuat tim kajian dan penanganan virus. Ini langkah antisipatif yang saat itu sangat diperlukan. Bahkan di awal covid masuk Indonesia, Jakarta mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk lockdown. Hanya saja, saat itu banyak pihak yang belum menganggap covid ini masalah serius, sehingga usulan DKI ditolak. Sudah hampir 1,5 tahun, covid menyebar di Indonesia dan memakan banyak korban nyawa. Nasi sudah jadi bubur. Covid telah merajalela menemukan mangsanya. Satu persatu rakyat mati. Sejumlah tokoh dan agamawan mati. Lebih dari 400 dokter dan nakes mati. Covid tak juga berhenti memburu mangsanya. Ini menjadi tantangan dan ujian tersendiri, khususnya bagi setiap pemimpin untuk menunjukkan ketangguhannya di hadapan rakyat. Faktor kenapa Indonesia dianggap paling buruk dalam penanganan covid, ini bukan semata-semata karena soal anggaran. Penyebab utamanya ada dua. Pertama, karena tidak menjadikan data sebagai referensi dan pijakan serius dalam mengambil keputusan. Sehingga, sering telat mengantisipasi. Kedua, Indonesia tidak kunjung keluar dari dilema. Berada di antara nyawa dan ekonomi. Akhir-akhir ini, politik ikut menambah unsur dilema itu. Peralihan PPKM Darurat ke PPKM Level, lebih karena faktor politik. Saat PPKM Darurat, gejolak sosial terjadi di berbagai wilayah. Penyebab utamanya karena rakyat lapar. Diubahlah PPKM Darurat ke PPKM Level. Padahal, penyebaran covid masih sangat tinggi. Disinilah tampak pemerintah merubah kebijakan PPKM demi ketahanan politik. Saatnya keluar dari jebakan dilema. Gimana caranya? Prioritaskan kesehatan. Utamakan keselamatan nyawa rakyat. Ambil risiko ekonomi untuk sementara waktu. Tentu melalui perhitungan yang matang. "Uang bisa dicari, tapi nyawa tak bisa dibeli". Rakyat secara umum tidak keberatan PSBB atau PPKM. Mau apa aja istilahnya, rakyat setuju. Tapi, mereka harus tetap hidup. Satu-satunya jalan, kasih makan. 300 ribu sebulan, gak bakal cukup. Rakyat pasti berontak. Akibatnya, PSBB dan PPKM tidak optimal. Negara gak boleh pelit kalau itu untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Toh, kalau nyawa selamat, ekonomi juga akan aman. Semua ini bergantung pada pemimpinnya.

Cina Gerah, Istana Gelisah

By M Rizal Fadillah LATIHAN Bersama "Garuda Shield"' adalah latihan rutin tahunan antara US Army dengan TNI AD bahkan tahun ini adalah Latihan Bersama ke lima belas. Adanya ketegangan Laut China Selatan sebagai wujud perlawanan negara kawasan atas klaim kepemilikan China membuat Latihan Bersama ini menjadi istimewa. Meski secara resmi bisa dibantah akan tetapi realitas politik berbicara sendiri bahwa Latihan Bersama yang melibatkan 2.282 personil AS ini adalah tekanan kepada negara China dan sahabatnya. Indonesia sendiri yang sedang berakrab-akrab dengan RRC akan terdampak oleh agresivitas Amerika Serikat. Sederhananya China gerah Istana gelisah. GERAH Pada saat Menlu AS Mike Pompeo datang ke Indonesia Oktober 2020 lalu, Duta Besar China untuk Indonesia Ciao Qian "ngamuk" mengecam kedatangan Pompeo dengan menyatakan "Pompeo melakukan serangan dan provokasi hubungan Tiongkok-Indonesia serta telah mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan. Tiongkok menentang keras hal ini". Lebih lanjut Qian menegaskan "AS adalah provokator 'Perang Dingin Baru' yang meningkatkan 'revolusi berwarna' di berbagai belahan dunia. AS juga secara brutal mengintervensi urusan negara lain, bahkan tidak segan menggunakan perang dan mendatangkan malapetaka dunia". Demikian gerahnya China atas kedatangan Menlu AS. Kini bukan lagi seorang Menlu yang datang, tetapi dua ribu lebih pasukan Angkatan Darat Amerika yang datang untuk latihan perang bersama AS-Indonesia. Terbesar dalam sejarah dan berlokasi di tiga pulau yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ditambah dengan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin yang berkeliling ke negara Filipina, Vietnam, dan Thailand serta armada laut Inggris, Jepang, dan Australia yang telah bergerak di Laut Cina Selatan, maka semua itu membuat China semakin gerah lagi. GELISAH Istana diduga kuat gelisah atas Latihan Bersama "Garuda Shield" 2021 ini. Lho bukankah perhatian AS yang besar hingga mengirim pasukan terbesar dalam sejarah ini membanggakan TNI AD dan Pemerintah Indonesia ? Iya untuk TNI AD tidak untuk Pemerintah. Masalahnya adalah Istana Jokowi sudah "diduduki" oleh China dengan persahabatan yang luar biasa erat. Bahkan Luhut Panjaitan "sang penentu" telah diangkat China sebagai Koordinator China-Indonesia. Ketum PDIP juga secara khusus mengucapkan selamat ulang tahun kepada Partai Komunis China (PKC). Garuda Shield sangat mengganggu kenyamanan Istana. Jokowi akan kena damprat China atas ketidakmampuan mengendalikan Angkatan Darat. Indonesia dianggap bermain dua kaki. Walaupun sebenarnya Jokowi memang tidak punya kaki. Tidak berwibawa dan tidak mendapat dukungan rakyat secara signifikan. Oligarkhi nya diisi oleh orang yang hanya gemar memburu rente dan penjilat murahan. Pengaju proposal untuk proyek berkelas receh. Istana gelisah karena dihimpit multi masalah. Dikejar-kejar bayar hutang tiap kuartal, ekonomi macet total, penanganan pandemi yang serba salah, pelanggaran HAM yang terus menuntut penuntasan, perlawanan kekuatan umat Islam yang merasa terzalimi, serta kini kekuatan global yang tidak memihak pada Jokowi dan oligarkhinya. China dipastikan akan mengecam dan mengancam karena merasa terkhianati. Terbayang marahnya China kepada janji dan jaminan sukses kerjasama. Investasi sudah besar, hutang sudah banyak, agenda OBOR menjanjikan, apalagi pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan yang dapat menjadi proyek besar China. Praktis "kerjasama super erat" untuk membangun blok atau poros menjadi berantakan. Kehadiran Amerika Serikat yang diterima dan menguat tentu akan sangat mengganggu dan bisa saja mengacaukan. China tersakiti. China akan mempersulit dan mungkin dengan bengis menagih. Investor kabur atau ditarik kembali. Sembilan naga disuruh menyemburkan api dari mulutnya untuk memperkeruh ekonomi. Ujungnya kepercayaan kepada Jokowi rontok karena merasa dikibuli. Jokowi hilang kekuatan, sempoyongan, dan jatuh. Di tengah maraknya seruan agar Jokowi mengundurkan diri, memang mempertimbangkan adalah langkah bijaksana. Meskipun masih akan meninggalkan masalah yang berat akan tetapi mundur adalah lebih baik daripada maju tak gentar menabrak etika, norma dan realita. Istana bertumpuk dosa. Selamat berlatih "Garuda Shield-2021". Biarlah jika China gerah atau Istana gelisah. Yang penting Garuda harus terlindungi dan dapat tetap tegak berdiri, lalu terbang bebas merdeka di udara dengan mengepakkan sayapnya. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Menata Ulang Indonesia

Oleh Dr Masri Sitanggang SULIT untuk mengatakan bahwa Indonesia dalam keadaan baik-baik saja. Indonesia, dari segi mana pun dalam Ipoleksosbudhankam, sedang digerogoti penyakit yang mendorong negeri ini pada situasi sangat mengkhawatirkan. Mudah-mudahan saja imaginasi Peter W Singer, di novel Ghost Fleet (2015), tidak terjadi. Khalayan Singer yang sempat menjadi trending topic di awal-awal 2018 itu, semoga tetap sebuah khayalan : Indonesia tidak akan bubar di tahun 2030, bahkan tidak untuk selamanya. Tapi memang, bila berkaca pada Pembukaan UUD 1945, keadaan sekarang ini sebagai pepatah “jauh panggang dari api”. Atau, ibarat sebuah tulisan dengan judul bombastis tapi isinya kosong : tidak ada apa-apanya. Seperti “koran Kuning” pada masa sebelum era digital. Kita pun malu menenteng koran itu, karena ia menggambarkan kelas sosial rendahan. Kelas masyarakat pemimpi yang rindu untuk menikmati hiburan pelepas penat setelah kerja seharian. Bayangkan, Pembukaan UUD 1945 menggambarkan satu bangsa yang gagah dengan tekad kuat membangun bangsanya untuk berdiri tegak, tampil di tengah gelanggang dunia untuk memainkan peran menghapus penjajahan di atas dunia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tetapi kenyataannya, sudah 76 tahun merdeka, jangankan tampil di pentas dunia, tegak berdiri di kaki sendiri pun sempoyongan. Para penyusun Pembukaan UUD 1945 tidaklah salah. Semangat perlawanalan –sebagai akibat sakitnya sekian lama menjadi bangsa terjajah dan kemenangan dalam perjuangan, memberi keyakinan kuat bahwa mereka bisa. Bangsa ini harus bangkit, kuat dan dapat berdiri dengan kepala tegak di hadapan bangsa-bangsa lain. Sampai di situ tugas mereka, menghantar bangsa memasuki gerbang kemerdekaan, harus diakui berhasil gemilang. Lalu, dari mana datangnya musibah ini? Tentu dari pelanjut, pewaris negeri, terutama mereka yang diberi amanah mengelola. Para pengelola kurang menghayati arti perjuangan kemerdekaan dan cita-cita Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 oleh the founding fathers. Malah, perlahan, mereka menjelma menjadi penguasa yang merasa mewarisi segalanya tentang negeri ini : tanahnya, airnya dan apa saja yang ada di dalam isi perut buminya. Bahkan juga menguasai rakyat yang mendiami negeri ini. Mereka bermetamorfosa menjadi penjajah baru, atau mewakili negeri penjajah baru, untuk (membantu) mengeksploitasi sumber daya alam dan menindas anak negeri. Bukan sebagai nahkoda yang membawa kapal dan penumpangnya menuju labuhan hati sesuai navigasi Pembukaan UUD 1945. Mungkin ungkapan di atas terlalu menyakitkan gendang telinga. Tapi, memang sulit mencari frasa yang enak didengar –tetapi juga tidak menjadi obat penenang tidur, untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini. Barangkali saja lebih baik kita mengambil ilustrasi dari cerita kanak-kanak tentang kepemimpinan kodok serta semut dan bagaimana kemudian nasib negari masing-masing yang dipimpinnya. Diceritakan, ada sekumpulan kodok yang hidup di sebuah kolam terpencil. Rajanya adalah kodok yang badannya paling besar, paling gembrot. Semua kodok, apalagi yang kurus kerempeng (meski dapat melompat jauh dan tinggi ke atas pohon), tunduk pada si Gembrot yang kerjanya cuma menghabisi makanan. Si Gembrot pun puas dengan potensi dirinya yang besar dan dapat mengembang lebih besar lagi. Dengan ini, dia yakin takkan ada yang bisa menggantikannya. Satu Ketika si Gembrot, yang tahu dunia ini hanya selebar kolam itu, mendengar dari anak-anaknya yang baru saja melakukan perjalanan ke luar “negeri” kolam. Di ceritakan, anak-anak itu bertemu seekor kerbau yang tubuhnya sangat besar. Si Gembrot lalu mengembangkan tubuhnya seraya bertanya : “Apakah dia sebesar ini ?” “Tidak ayah”, lebih besar lagi”, jawab anak-anaknya “Sebesar ini ?”, tanya si Gembrot setelah memperbesar lagi tubuhnya. “Tidak ayah, lebih besar lagi”, jawab mereka lagi. “Sebesar ini?”, tanya si Gembrot lagi setelah berupaya lebih membesarkan tubuhnya dengan menyerap udara lebih banyak lagi. “Lebih besar lagi, ayah”, jawab anak-anaknya lebih keras. Begitulah terus. Kodok-kodok yang kerempeng dan yang kurus kurang gizi (karena hanya makan dari apa yang disisakan si Gembrot), yang berkerumun menyaksikan itu, mulai khawatir. Mata si Gembrot sudah nampak melotot seperti hendak keluar menahan tekanan udara di perutnya. Garis-garis pada perutnya pun sudah membayang. Lalu seekor kodok kerempeng menasehati: “Sudahlah Tuan Gembrot, tak perlu melakukan itu. Setiap makhluk punya ukurannya sendiri-sendiri dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jangan kau paksakan dirimu.” Nasehat si Kerempeng diamini oleh kodok-kodok lain. “Ya, menghirup dan menahan udara di laur batas kemampuan kita akan berbahaya, “ sambung si Cungkring pula. Tapi nasehat-nasehat itu dirasakan si Gembrot sebagai penghinaan dan ancaman terhadap kekuasaannya. Dia pikir, kalau mereka percaya ada makhluk lain yang lebih besar, maka dia tidak akan menjadi penguasa lagi di kolam itu. Karena itu, dengan nada sangat marah dan berat menahan tekanan udara, ia masih paksakan lagi menambah udara ke perutnya. Sampai akhirnya : dooaar…! Perut si Gembrot meledak menyemburkan isinya. Tidak diceritakan apakah negara kodok itu kemudian bubar menyusul si Gembrot meledak. Atau malah lebih damai karena, mungkin, digantikan si Krempeng atau si Cungkring yang bijak. Pak Suparjo, guru SD-ku dulu, yang menuturkan cerita ini, cuma bilang : “Begitulah kalau pemimpin sombong, tidak pernah melihat dunia luar dan tidak pula mau mendengar nasehat; itulah makna ungkapan ‘bagai katak di bawah tempurung’”, katanya. Kalau Bahasa sekarang : tidak punya wawasan luas, atau, kurang rekreasi. Tapi yang pasti, rakyat kodok di kolam itu lega karena tidak ada lagi yang memonopoli makanan. Berbeda dengan kepemimpinan semut. Pak Suparjo, guru SD-ku dulu itu (semoga pahala ilmu yang diajarkan kepadaku terus mengalir kepada Almarhum), menceritakan bahwa raja semut mampu membagi tugas kepada rakyatnya sesuai keahlian masing-masing (istilah zaman now: right man on the right place. Raja semut membangun suasana kekeluargaan di antara rakyatnya, sehingga meski tugas mereka berbeda-beda tetapi terjalin kerjasama yang sangat harmonis. Tidak pernah ada kegaduhan sesama rakyat, meski pun penampilan fisik dan status sosial mereka berlainan. Semut hanya akan berkelahi dengan semut lain yang datang dari kerajaan lain. Meraka tidak membiarkan orang asing masuk ke wilayahnya. “Jadi, nasionalisme semut sangat luar biasa”, tegas pak Parjo –begitu kami akrab memanggilnya. (Guru SD-ku ini, selain suka berkisah tentang binatang, juga mengajar sejarah. Beliau senantiasa menanamkan semangat nasionalisme “bangga jadi Indonesia”. Pesan beliau, kita harus tetap pegang teguh semangat Sumpah Pemuda.) Satu kerajaan semut tidak pernah menggantungkan makanannya kepada kerajaan semut lain (Bahasa manusia, “gak mengandalkan import”). Mereka membangun lumbung makanan di sarang kerajaan masing-masing dengan usaha sendiri, dengan kekuatan modal dan tenaga rakyat sendiri. Dengan begitu, di musim paceklik (mungkin seperti musim ekonomi pandemi sekarang), mereka tidak kekurangan pangan. “Jadi, semut benar-benar berdaulat secara politik, wilayah, ekonomi dan pangan”, tutur Pak Parjo. Satu ketika, raja semut mendapat berita bahwa segerombolan gajah akan masuk wilayahnya untuk melahap tanaman di sekitarnya. Tentu ini mengancam sarang-sarang semut. Maka, raja semut segera mengumpulkan rakyatnya. Dia memerintahkan untuk menyongsong gerombolan gajah itu di jalan mana gajah akan datang. “Jangan sampai gerombolan gajah mencapai wilayah kita”, tegas sang raja. “Bagaimana kita bisa melawan gajah yang tubuhnya begitu besar dan kulitnya begitu tebal ?” Seekor semut, yang ternyata mewakili suara kebanyakan semut lainnya, bertanya lantang pada sang raja. “Kita memang ditakdirkan bertubuh mungil. Tetapi bukan berarti kita tidak punya kelebihan dan kemampuan. Apa yang selama ini kita lakukan dalam membangun kerajaan, adalah menunjukkan kelebihan dan kemampuan kita yang harus terus kita lakukan dalam situasi apa pun.” Kata sang raja dengan keras. Para semut faham apa yang dimaksud rajanya, yakni : kerja ulet tanpa pamrih, kerja sama harmonis antar warga kerajaan dan semangat nasionalisme membela kerajaan. “Gajah memang ditakdirkan bertubuh besar dan berkulit tebal. Tetapi bukan berarti gajah tidak punya kekurangan dan kelemahan.” Suara raja terdengar lantang. “Kelemahan gajah adalah lobang telinganya besar, belalainya panjang dengan liang yang besar pula, matanya lebar dan lembut serta jangan lupa liang duburnya pun besar. Fokuslah menyerang titik-titik lemah itu, masuklah ke dalamnya. Jadikanlah tubuh mungil kalian menjadi kekuatan sekaligus kelebihan kalian. Tak perlu menggigit kulit tebalnya.” Sang raja memberi arahan tegas. Setelah itu semut pun menyongsong gerombolan gajah. Pendek cerita, terjadilah pertempuran dan gajah pun kalah telak. Kerajaan semut aman. Begitulah arti kepemimpinan bagi kehidupan negara dan rakyat. Entahlah, pola mana yang sedang berlaku di negeri jamrud khatulistiwa ini. Yang jelas, Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti negara kodok ? Wallahu a’lam. Tapi, bila kepemimpinan negeri ini hanya mengandalkan dukungan potensi fisik alamiah, seperti si Gembrot, kejadian itu bukan sesuatu yang mustahil. Potensi fisik alamiah si Gembrot adalah tubuh yang besar bisa mengembang. Dalam kehidupan nyata bernegara, potensi fisik alamiahnya adalah sumber daya alam dan kekayaan negara. Bukan potensi pribadi. Belum terdapat tanda-tanda adanya pemimpin negara mengorbankan milik (pribadi)nya demi mengurus negara dan rakyatnya kecuali Khulafaur Rasyadin dan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. jadi, yang dipertaruhkan penguasa (model si Gembrot) adalah sumber daya alam dan kekayaan negara. Jika yang di masukkan oleh si kodok ke tubuhnya adalah udara –untuk mengembang, di dunia nyata adalah investasi berupa hutang. Sebagaimana udara yang dihirup si Gembrot, hutang tidak boleh melampaui pendapatan negara; dan harus dibayar tepat pada waktunya. Kalau tidak, maka kekayaan negeri ini bisa tergadai semua dan berujung pada “doaarrr…!, meledak. Bedanya dengan si Gembrot, yang hancur adalah negara : bangkrut, perang saudara, pecah atau kembali terjajah. Penguasanya bisa tidak tergores sedikit pun karena menyelamatkan diri ke negeri tuan ! Agar republik ini tidak sampai “dooaar” meledak, perlu segera ditata ulang. Tentulah banyak agenda yang harus dilakukan. Tetapi yang pasti, yang jadi perioritas, adalah menyingkirkan pola kepemimpinan kodok dan menggantikannya dengan pola kepemimpinan semut –bila mengambil ilustrasi dunia hewan. Tanpa adanya pergantian pola kepemimpinan, kisah negeri ini akan tetap diwarnai kepedihan. Bila ingin mengambil pelajaran dari dunia nyata, maka contoh yang tepat adalah kepemimpinan Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Mereka adalah orang-orang sholeh, yang seluruh aktivitasnya ditujukan untuk mengabdi kepada Allah. Bukan untuk memenuhi ambisi nafsu syahwatnya. Terbukti, dengan karakter seperti itu, mereka mampu membangun lembah tandus yang awalnya tidak ada kehidupan menjadi sebuah negeri terhebat di dunia (lebih lanjut simak MENGAPA HANYA ORANG SHOLEH YANG LAYAK PIMPIN NEGARA di https://www.youtube.com/watch?v=8EjOmOUnC0Y ). Ada jaminan keamanan, makmur dengan segala sandang pangannya, 24 jam tidak pernah sepi, orang-orang di seluruh dunia pun rindu untuk mengunjunginya. Itulah Mekkah yang diberkahi Allah. Jadi negeri ini haus dikelola orang-orang shaleh. Tidak boleh dikelola orang berwatak pendusta atau pembuat berita bohong. Jangan pula dikelola para pembajak –baik pembajak ide atau gagasan, karya seni atau karya ilmiah, atau pembajak kerja dan rencana orang lain. Pembajak itu pada hakekatnya adalah perampok : mengambil paksa karya orang lain demi syahwatnya. Hanya orang sholehlah yang dapat menghantarkan Indonesia ke cita-citanya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Wakil Ketua Umum PDRI

Meneropong Hubungan Masa Depan China-Australia

Oleh: Achmad Nur Hidayat Hubungan diplomatik China-Australia mengalami kemunduran dari waktu ke waktu. Hal tersebut seiring juga memburuknya hubungan China-Amerika Serikat. Australia adalah sekutu AS paling penting di Asia Pasifik. Kedekatan China-Australia di satu sisi memengaruhi kebijakan Washington, namun disisi lain sejak kepemimpinan Donald Trump, Australia terkesan ditinggal sendirian. Namun, situasi sekarang beda, sejak penasehat Joe Bidden untuk kebijakan Asia, Kurt Campbell mengatakan pada Maret 2021 bahwa "AS tidak siap untuk meningkatkan hubungan bilateral dan terpisah pada saat yang sama sekutu dekatnya sedang mengalami paksaan ekonomi dari rivalnya". Kurt Campbel menyatakan AS tidak akan meninggalkan Australia sendirian. Perselisihan antara Australia dan China telah terjadi selama bertahun-tahun. Seperti AS dan negara-negara demokrasi lainnya, Australia menjalin hubungan dengan China, dan ekonomi keduanya tersebut menjadi terjalin dalam hubungan ekonomi yang sangat menguntungkan. Harta karun kekayaan alam Australia menjadi sangat diperlukan bagi mesin industri China yang berkembang pesat. Australia-China bahkan menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada tahun 2015. Namun seiring berjalannya waktu, kemesraan hubungan ekonomi tersebut berlahan mulai pudar. Canberra mulai gelisah tentang kebijakan luar negeri Xi Jinping yang suka berkonflik khususnya terkait laut China Selatan, jalur perdagangan Australia ke negara Asia lainnya. Malcolm Turnbull, Perdana Menteri Australian 2015-2018 beberapa waktu lalu menulis buku berjudul "A Bigger Picture" (2020) dengan mengatakan bahwa China menjadi lebih tegas, lebih percaya diri dan lebih siap tidak hanya untuk menjangkau dunia namun menjadi aktor internasional yang menuntut kepatuhan. Australia sangat terbuka mengkritik kebijakan China di Laut China Selatan. Mungkin Australia bisa menjadi partner bersama Indonesia dalam mengurangi hegemoni China di perairan laut internasional. Patut dingat bahwa China membangun instalasi militer di pulau buatan Laut China Selatan untuk memperkuat klaimnya di seluruh jalur air perdagangan tersebut. China aktif sekali dalam melakukan distribusi uang di sekitar kalangan politisi negara dagangnya. Begitu juga yang China lakukan di Australia. Turnbull mengingatkan, politik bagi-bagi uang tersebut dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah yang menguntungkan China. Sangat berbahaya. Australia berusaha mengurangi derasnya suap kepada politisi melalui Undang-undang baru yang dirancang untuk mengurangi pengaruh asing dalam pengambilan kebijakan publik. Tahun 2018, hubungan China-Australia memburuk. Pemerintahan Australia dipimpin Malcolm Turnbull melarang raksasa telekomunikasi China, Huawei, memasok peralatan untuk jaringan 5G Australia, dengan mempertimbangkan risiko keamanan yang terlalu besar terhadap infrastruktur penting. Hubungan semakin memburuk pada April 2020, ketika pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison saat ini menyerukan penyelidikan independen terhadap asal usul wabah virus corona yang diduga berasal dari Laboratium Wuhan di mana tuduhan semacam itu dinilai sebagai upaya manuver politik untuk menodai China. China berusaha meminta Canberra untuk mundur dari tuntutan investigasi tersebut. Sejumlah upaya dilakukan pemerintahan China terutama dalam tekanan ekonomi. China menangguhkan izin ekspor produsen daging sapi utama Australia; China mengenaian tarif hukuman "cukai" pada biji Barley dan minuman anggur; dan China menginstruksikan beberapa pembangkit listrik dan pabrik baja untuk berhenti membeli batubara dari Australia. Menurut lembaga thinktank Australia, diperkirakan bahwa Australia kehilangan $7,3 miliar dalam ekspor selama periode 12 bulan. Termasuk beberapa industri utama sangat terpukul seperti Industri seafood lobster, yang hampir sepenuhnya bergantung pada pembeli China, hancur setelah Beijing secara efektif melarang penjualannya. Kelihatannya Australia tidak mau mengalah pada tekanan ekonomi China. Australia merasa hubungan diplomatik cerdas harus dilakukan namun tidak boleh berkompromi pada nilai inti dan kepentingan nasional Australia. Beijing dinilai belum mampu menimbulkan rasa sakit ekonomi yang cukup untuk menekan Canberra agar menyerah. Kemungkinan China tidak dapat melakukan tersebut karena bala bantuan AS melalui Joe Bidden datang membawa insentif ekonomi ke berbagai partnernya termasuk Australia. Secara hitungan ekonomi, Jumlah Ekspor Australia yang terganggu dari sejumlah rintangan dagang China tersebut hanya 0,5 persen dari PDB-nya. Bahkan Australia mencari diversifikasi basis konsumennya seperti sebagian batubara yang diblokir China dialihkan ke India. Kelihatannya Beijing belum mampu menekan sempurna Canberra karena disisi lain Beijing sangat membutuhkan Biji Besi dan Lithium Australia untuk menopang kendaraan listrik China dan Industri Konstruksi China. Beijing menyalahkan Canberra. Dalam narasi Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan akhir tahun 2020 lalu bahwa “akar penyebab” perselisihan adalah “serangkaian langkah politik Australia yang salah” Tak lama setelah itu, China membagikan daftar 14 keluhan terhadap Canberra kepada pers lokal, yang mencakup tindakan seperti memblokir investasi China secara tidak adil dan mempelopori “perang dagang” China-Australia atas tindakan represif Beijing di Hong Kong dan provinsi Xinjiang barat jauh China. Bahkan hal yang sama dilakukan seorang diplomat top China kepada Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman yaitu memberikan dua daftar keluhan yang harus diperbaiki Washington untuk meningkatkan hubungan selama pembicaraan di kota pelabuhan Tianjin. Masa depan China-Australia kelihatannya masih mengalami kebuntuan mengingat keduanya terus saling menjatuhkan. Pada bulan April 2021, menteri luar negeri Australia membatalkan dua perjanjian yang ditandatangani oleh pemerintah negara bagian Victoria sebagai bagian dari proyek pembangunan infrastruktur prioritas Xi Jinping yaitu Inisiatif OBOR. China mengklaim pembatalan kesepakatan itu “merugikan hubungan luar negeri.” Lesson Learned China mempengaruhi kebijakan pada dunia luarnya dengan mengeksploitasi pengaruh pasarnya. Ekspor Australia ditekan demikan rupa melalui pelarangan dagang sejumlah komunitas unggulan Australia. Namun tekanan ekonomi terhadap Australia ternyata tidak melemahkan keputusan Canberra untuk mengkritik persoalan COVID-19. Hal tersebut karena kesatuan politik Australia dalam menghadapi China. Ingat UU baru disahkan untuk mengurangi pengaruh kekuatan "Uang" asing dikalangan politisi Aussie. Reposisi AS terhadap partner strategiknya juga menambah percaya diri Australia dalam menghadapi tekanan ekonomi China. Konsekuensi ketegangan China-Australia memiliki konsekuensi jangka panjang dalam hubungan ekonomi kedua negara. Bila Indonesia mampu seharusnya dapat mengambil keuntungan ekonomi dari ketegangan dagang kedua negara tersebut. China mungkin gagal mengubah sikap Australia, namun Australia juga tidak mengubah China apapun. Kontestansi keduanya akan berumur panjang selama AS ikut aktif dalam memperkuat partnernya. Frontline sebenarnya dari konflik ini adalah terkait hubungan China-AS bila semakin menegang, China bisa mengalami kesulitan lebih lanjut dengan Australia dan Negara lain di Asia Pasifik. Penulis adalah Pendiri Narasi Institute, Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Bukan Cuma Dahlan Iskan Yang Pusing!

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Nama Akidi Tio mendadak menjadi trending topic. Menjadi pembicaraan hangat semua media mainstream, baik cetak, televisi, dan juga online. Apalagi media sosial (medsos). Meskipun sudah almarhum pada usia 89 tahun 2009, masih patuh menyumbang untuk kemanusiaan. Itu terlihat ketika wakil keluarganya memegang sebuah styrofoam ukuran sedang dengan tulisan huruf kapital kata-kata: “Sumbangan Untuk Penanggulangan Covid-19 dan Kesehatan di Palembang-Sumsel. Dari Bapak Akidi Tio Dan Keluarga Besar sebesar Rp. 2 Triliun”. Angkanya yang mencengangkan. Seperlima APBD 2021 Propinisi Sumatera Selatan yang jumlahnya Rp. 10.5 triliun. Apalagi dengan APBD 2021 Kota Palembang hanya hanya Rp. 4.3 triliun. Juga masih jauh lebih besar dibanding jumlah dana yang dikumpulkan oleh Media Group pimpinan Surya Paloh bersama Yayasan Sukma ketika terjadi Tsunami di Aceh akhir 2004 yang hanya berhasil mengumpulkan kurang lebih Rp. 138 miliar. Itupun sudah sempat heboh. Dalam pemberitaan KOMPAS.com, Senin (26/7/2021), tertulis begini: “Pemprov Sumatera Selatan (Sumsel) mendapat bantuan dana hibah sebesar Rp 2 triliun untuk penanggulangan Covid-19 dari pihak yang mengatasnamakan keluarga almarhum Akidi Tio. Hibah itu diserahkan melalui Polda Sumsel yang prosesinya pada Senin (26/7/2021). Ini terungkap melalui akun media sosial resmi Humas Polda Sumsel. “Kapolda Sumsel Irjen Pol. Prof. Dr. Eko Indra Heri S, MM., menerima hibah/CSR dari keluarga alm. Akidi, Senin (26/7) bertempat di ruang Rekonfu Mapolda Sumsel,” tulis akun facebook Humas Polda Sumsel dalam unggahannya. Penyerahan Hibah/CSR disaksikan Gubernur Propinsi Sumsel H. Herman Deru, Dandrem 004 Gapo Brigjen TNI Jauhari Agus Suraji S.I.P., S.sos., Kadinkes Lesty Nurainy Apt, M.Kes. Penyerahan Hibah dalam rangka penanganan Covid-19 di Propinsi Sumatera Selatan”. Dana hibah atau CSR? Bukankah CSR itu berarti tanggung jawab sosial perusahaan? Artinya, itu kewajiban yang diperlakukan menurut UU. Mengenai perusahaan membangun desa setempat, hal ini terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau Corporate Social Responsibility (TJSL). TJSL tidak hanya mengenai kegiatan yang dilakukan perusahaan, dimana perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat. Tetapi juga terkait kewajiban perusahaan dalam melestarikan lingkungan. TJSL itu terpatri dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012). Mungkin yang lupa dipertanyakan para awak media di Palembang kepada Gubernur, bahwa, jika sekiranya sumbangan itu adalah dana hibah dari CSR, maka bidang usaha yang mana milik almarhum yang terkena beban CSR itu? Tentu yang bisa menjelaskan hal ini adalah pakar keuangan dan perpajakan. Saya bukan ahlinya. Siapa Akidi Tio? Menjadi jelas, setidaknya bagi saya setelah membaca artikel di kanal Youtube pribadi “disway” asuhan DI (Dahlan Iskan) mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN). Judul tulisan “Bantuan 2 T”, disiarkan Rabu, 28 Juli 2021. Saya kutipkan disini potongan tulisan perintis kerajaan media “Jawa Pos Group” itu, tentang siapa almarhum Akidi Tio. Berikut ini petikan dialog DI dengan Prof. Dr. Hardi Darmawan, wakil dan sekaligus dokter keluarga almarhum. "Resminya bantuan itu nanti untuk kapolda, gubernur, atau Pemprov Sumsel?" tanya saya”. "Ke Kapolda Sumsel Pak Eko Indra Heri," ujar Prof Hardi. “Siapa yang menentukan bahwa bantuan itu untuk Kapolda Sumsel? Apakah atas arahan Prof Hardi?" tanya saya lagi. "Bukan arahan saya. Itu langsung keinginan keluarga. Untuk diberikan ke Kapolda," jawab Prof Hardi. "Bantuan itu nanti bentuknya uang kontan, cek, atau transfer? Atau berbentuk bantuan bahan makanan?". “Bentuknya uang. Akan ditransfer besok," jawab Prof Hardi kemarin sore. Berarti hari ini”. "Apakah boleh ditransfer ke rekening Polda? Juga apakah boleh dikirim ke rekening pribadi Kapolda?" tanya saya sambil mengingatkan aturan yang ada. “Masih diatur. Mungkin disiapkan rekening khusus”. Pengusaha yang menyumbang Rp 2 triliun itu, meninggal tahun 2009 lalu. Saat itu Tio berusia 89 tahun. Berarti 101 tahun hari ini. Beliau meninggal akibat serangan jantung. Makamnya juga di Palembang”, tulis DI. Tulisan itu diposting hari Rabu, 28 Juli 2021 jam 04.40. Setelah saya baca, karena penasaran, maka jam lima pagi lewat sepuluh menit, saya kirim pesan WhatsApp kepada bung DI. “Selamat pagi bung DI. Sebagai wartawan kawakan, mengapa anda tidak meminta dari Prof. Hardi Darmawan, identitas salah seorang atau semua tujuh orang anak almarhum Akidi Tio yang misterius itu? Between, tulisan anda "2 T" cukup menggoda. Menggoda untuk mengetahui: (1). Bagaimana reaksi Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK). Karena ada peraturan pembatasan transfer untuk uang kartal, hanya diperbolehkan 100 juta saja. (2). Bagaimana reaksi Menteri Keuangan yang lagi nafsu berburu sumber pajak/Wajib Pajak baru? Trims. Salam sehat selalu”. Saya menutup pesan itu. Terkait pertanyaan saya, mengapa DI tidak minta alamat dan nomer kontak seluruh tujuh anak almarhum Akidi Tio, akhirnya DI membalas WA saya pada sore hari jam 15.38 Wib dengan menulis: “tentu saja saya minta ke beliau ha ha”. Saya balas lagi : “tentu saja saya percaya anda melakukannya”. Akhirnya, Kamis 29/07/21) DI kembali menulis di kanal “disway” judulnya: “Pusing 2T”. Saya sarankan, lebih baik lagi jika pembaca yang budiman mau membaca sendiri tulisan itu secara lengkap di internet. Namun, saya kutipkan bahagian tengah tulisan itu. DI menulis, “sayangnya tidak ada penjelasan rinci dari ahli waris Akidi Tio. Pokoknya: menyumbang kapolda Rp 2 triliun. Saya tidak tahu apakah akan ada dokumen yang menyertai transfer dana itu. Yang jelas tidak ada dokumen apa pun yang ditandatangani Selasa lalu”. Lanjutan tulisan DI, “hari itu, Selasa siang lalu, dikira hanya ada acara rutin di ruang rapat lantai 3 Polda Sumsel. Wartawan tulis tidak boleh naik ke lantai 3. Hanya fotografer yang diizinkan. Wartawan menunggu di lantai bawah, menunggu para pejabat itu turun untuk diwawancarai secara door stop”. Pada bahagian akhir DI bertutur, “saya juga ingin menghubungi Prof Hardi sekali lagi kemarin sore. Saya ingin bertanya apakah dana itu jadi ditransfer kemarin. Telepon saya itu di-reject. WA saya juga tidak dibalas, meski ada tanda sudah dibaca. Tapi saya tetap hormat. Sehari sebelumnya beliau telah banyak menjawab pertanyaan saya. Saya pun menghubungi Ibnu Holdun, wartawan Sumatera Ekspres yang telah ke rumah Heryanti. (Ini nama anak perempuan Akidi yang tinggal di Palembang, yang menghadiri upacara itu di Polda. Nama dan no Hp-nya rupanya berhasil juga diperoleh lantaran kegigihan seorang DI). Rumah itu, kata Holdun, kosong. Pagarnya ditutup dan dikunci”. “Rumah itu lebih bagus dari tetangga sekitar. Tetapi tidak mencerminkan rumah orang kaya raya. Lihatlah sendiri foto rumah itu di bagian lain tulisan ini. Saya menyadari masih begitu banyak pertanyaan di seputar sumbangan Rp 2 triliun ini. Akidi telah menampar begitu banyak konglomerat negeri ini. Dan ia tidak peduli. Ia sudah 11 tahun mati. Akidi telah lama meninggal dunia. Tapi namanya hidup kembali. Akidi telah mengalahkan orang-orang yang masih hidup menjadi seolah-olah sudah lama mati”. Beginilah humor getir ala DI. Saya sudah bersahabat baik dengan DI sejak tahun 1975. Kami sama-sama memulai karier sebagai wartawan, pencari dan penulis berita yang diburu dari lapangan, sebelum akhirnya berubah menjadi pemimpin media milik sendiri. Dalam kenyataannya, DI jauh lebih sukses. Dalam tulisannya yang berjudul “Ai Lap Yu Pul” diunggah Selasa (27 Juli 2021) yang mencoba melacak jejak Akidi Tio, Ilham Bintang (IB) pendiri “kerajaan” rumah produksi “Cek & Ricek” juga menghubungi tokoh Palembang Anwar Fuadi. Ternyata Fuadi pun sebagai tokoh yang luas pergaulan, tidak tahu sama sekali siapa itu keluarga Akidi Tio, kata IB yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Maka, DI dan IB gagal menggeledah tokoh masyarakat Sumatera Selatan untuk menggali lebih dalam, “siapakah gerangan sang dermawan yang baik hati dan rendah hati itu?” Dipastikan seluruh hati rakyat Indonesia sangat terharu, bangga dan bersyukur, ternyata masih ada manusia sederhana. Manusia yang sama sekali tidak dikenal atau dikenal di kalangan dunia persilatan pengusaha keturunan taipan kelas naga. Tetapi, berani untuk tampil beda. Meminjam istilah DI, “Akidi telah menampar begitu banyak konglomerat negeri ini. Dan Akidi tidak peduli. Akidi sudah 11 tahun mati lalu”. Pastinya, hari-hari ini, bukan cuma DI yang pusing. orang lain pun kebagian pusing. Ditandai berhamburan begitu banyak pernyataan di media yang saling bertabrakan. Salah satunya diberitakan di media, Kamis (29/07/2021), bahwa Kementerian Keuangan mengatakan “sumbangan almarhum pengusaha Akidi Tio sebesar Rp. 2 triliun sebagai penerimaan hibah negara”. Kamis, 29 Juli 2021, Media Indonesia menurunkan judul berita, “BI Angkat Bicara Soal Transfer Bantuan Covid-19 Rp. 2 Triliun”. Kepala Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, pihaknya tidak mengetahui perihal sumbangan untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan itu. "Kalau menyangkut perpindahan uang, mungkin saya masuk ke situ. Kalau soal sumbangannya itu sendiri, mohon maaf saya tidak tahu, tidak punya informasi tentang itu," kata Erwin saat diwawancarai Metro TV, Kamis (29/7/2021). Benarlah kata Kapolda Sumsel, "saya hanya makelar kebaikan saja. Terkait alokasi, nanti akan ada ahli-ahli yang lebih paham. Saya hanya membantu menyampaikan seperti dengan gubernur, pangdam, dan steakholder terkait lainnya," ujarnya seperti ditulis di Kompas.com. Pesan WhatsApp dari teman lama masuk ke Hp saya: Tolong bilangin kepada bung DI, bukan cuma dia yang pusing, seluruh republik sepertinya dibuat terbingung-bingung juga. Tetapi sambil berdoa semoga sumbangan itu cepat dicairkan oleh negara. Mudah-mudahan bung DI mau juga membaca tulisan ini. Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.

"Garuda Shield" Antisipasi "Dragon Shield"

By M Rizal Fadillah LATIHAN Bersama besar-besaran Tentara Amerika dengan TNI AD dengan sandi "Garuda Shield" akan dilaksanakan tanggal 1-14 Agustus 2021 di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Tak bisa dipungkiri Latihan Bersama saat ini berkaitan dengan ketegangan global antara Amerika dengan China. Khususnya klaim China soal Laut China Selatan. Publik dalam negeri memandang Latihan Bersama ini ada hubungannya dengan menguatnya cengkeraman RRC atas negara Indonesia baik program jalan sutera OBOR maupun dominasi ekonomi termasuk TKA asal China yang membanjir. TNI AD bermanuver di tengah hangatnya kondisi politik global dan nasional tersebut. Secara formal "Garuda Shield" sebagaimana penjelasan KSAD Jenderal Andika adalah kerjasama rutin tahunan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan personal TNI AD, namun sebagaimana penegasan pihak US Army kerjasama ini memberi bobot khusus pada tekad AS untuk mendukung kepentingan keamanan teman dan sekutu di kawasan. Commanding General of USARPAC General Charles A Flyn menyatakan "program ini seperti latihan multinasional Pasifik menjelajah ke wilayah negara lain". Tampaknya Latihan bersama "Garuda Shield" kali ini agak istimewa bahkan menjadi Latihan Bersama terbesar dalam sejarah. Sejumlah 2.282 personal tentara Angkatan Darat AS akan terlibat. Peningkatan ketegangan global yang berimbas pada ketegangan nasional berefek politik. Pemerintahan Jokowi yang terlalu dekat dengan RRC tentu menjadi kurang nyaman. Lalu, demi kebijakan politik luar negeri yang "bebas aktif" mungkinkah setelah ini akan diadakan Latihan Bersama "Garuda Shield" lain dengan Tentara China yang bisa saja bersandi "Dragon Shield" ? Jawabannya adalah sulit dan kemungkinan kecil untuk terjadi, dengan alasan : Pertama, Tentara China tidak terbiasa "bersekutu" apalagi melalui Latihan Bersama. Hegemoninya senantiasa mengandalkan kekuatan sendiri. Berbeda dengan politik militer AS yang gemar keroyokan sejak dulu, karenanya sebutan populer untuk ini adalah tentara sekutu (allied army). Kedua, hegemoni China selalu berbasis ekonomi, sehingga unjuk kekuatan militer bersama dengan negara "sahabat" akan berpengaruh pada stabilitas penguasaan ekonomi dan bisnis. Menekankan pada kerjasama politik dan militer menakutkan pelaku bisnis China. Ketiga, rakyat Indonesia tidak mudah menerima kehadiran Tentara China walau sekedar Latihan Bersama. Di samping trauma pada sejarah pemberontakan PKI yang dikendalikan RRC, juga masyarakat beragama khususnya umat Islam akan bereaksi keras menentang Latihan Bersama yang dipandang bagian dari penguatan penyebaran ideologi Komunis. Musuh agama. Latihan Bersama US Army dengan TNI AD saat ini strategis dan dapat mempengaruhi istana. Mengevalusi persahabatan erat dengan RRC atau menyerah. Garuda Shield Agustus adalah todongan senjata ke arah Istana. Berlebihankah? Mungkin iya mungkin tidak--Maybe yes maybe no. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan