Usut Tuntas Peran Luhut Panjaitan di Tambang Emas Seputar Intan Jaya, Papua
Dampaknya, sejumlah penduduk sipil Papua menjadi korban konflik bersenjata antara militer dengan TPNPB. Beberapa di antara mereka harus mengungsi dan bahkan meregang nyawa. Mereka telah menjadi korban industri pertambangan ekstraktif yang akan mengeruk kekayaan alam di tanah tempat kelahiran mereka sendiri!
Oleh: Marwan Batubara
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) RI diminta segera memanggil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LPB) guna mengklarikasi dan mengusut berbagai masalah seputar pengiriman pasukan TNI-POLRI dan pemilikan saham tambang emas di Intan Jaya dan sekitarnya.
Bagi rakyat, sambil memberi dukungan penuh dan mendoakan Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, dan Koordinator KontraS Fatia Maulidianty yang digugat LBP ke Polda Metro Jaya senilai Rp 100 miliar, terkait urusan TNI-POLRI dan pemilikan saham tambang milik negara tersebut sangat mendesak diklarifikasi, dibuat terang-benderang.
LBP menggugat Haris dan Fatia secara pidana pada 22 September 2021 berkaitan dengan tiga pasal, yakni pasal terkait Undang-Undang ITE, pidana umum, dan berita bohong. Laporan Luhut sudah teregister dengan nomor LP/B/4702/IX/2021/SPKT di Mapolda Metro Jaya. Selain itu LBP juga menggugat secara perdata berupa pencemaran nama baik dengan tuntutan ganti rugi Rp 100 miliar.
Sebelum menggugat ke Polda Metro Jaya, pihak LBP dua kali melayangkan somasi. LBP menuntut Haris dan Fatia meminta maaf atas segelintir pernyataan dalam dialog keduanya di akun YouTube milik Haris. LBP mensomasi Haris dan Fatia atas pernyataan bahwa Lord Luhut “bermain” dalam bisnis tambang di Intan Jaya. Pihak Haris dan Fatia sudah menjawab, kata “bermain” merupakan cara menjelaskan Laporan Kajian 10 LSM secara sederhana, yang telah dipulikasi terbuka sejak Agustus 2021. Namun, jawaban ini tidak memuaskan LBP, sehingga somasi tersebut dilanjutkan dengan gugatan pidana dan perdata ke Polda (22/9/2021).
Dialog Haris dan Fatia yang berlangsung sekitar 27 menit pada prinsipnya membahas laporan hasil kerja bersama koalisi 10 LSM berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Ke-10 LSM tersebut adalah YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia dan BersihkanIndonesia.
Laporan fokus mengungkap kejanggalan dan penyelewengan seputar penempatan militer dan kaitannya dengan bisnis tambang di Intan Jaya dan sekitarnya. Laporan mengungkap perihal operasi dan motif penerjunan aparat TNI-POLRI, indikasi relasi antara konsesi tambang dengan operasi militer di Papua, dampak operasi militer terhadap penduduk dan profil perusahaan pemegang konsesi tambang.
Tiga tahun terakhir pengerahan kekuatan militer Indonesia di kawasan pegunungan tengah Provinsi Papua telah memicu eskalasi konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), serta kekerasan dan teror terhadap masyarakat sipil terutama di Kabupaten Intan Jay dan sekitarnya.
Sepuluh LSM menilai, pengiriman aparat ke Papua merupakan “tindakan ilegal”. Sebab, pengiriman militer tidak dilandasi instruksi Presiden RI dan persetujuan DPR. Lantas apa motif dan atas perintah siapa aparat dikirim?
Laporan kajian 10 LSM memberi pemahaman, yang terjadi di Intan Jaya, berupa kekerasan, penembakan, pembunuhan, perampasan lahan, dan kerusakan lingkungan hidup, diduga merupakan ekses kepentingan militer. Kepentingan militer itu terdiri dari dua spektrum, yakni ekonomi dan politik.
Pada aspek ekonomi, kepentingan militer dapat dilihat terkait dengan keberadaan investasi skala besar yang memanfaatkan jasa pengamanan dan juga penempatan orang-orang tertentu dari militer di dalam jajaran perusahaan. Pada aspek politik, militer Indonesia berkepentingan mempertahankan teritori NKRI dengan membasmi TPNPB.
Ternyata, berdasar analisis spasial oleh tim 10 LSM terungkap, letak pos militer dan kepolisian berada di sekitar konsesi tambang yang teridentifikasi terhubung baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para pejabat atau mantan pejabat militer. Hal ini memperkuat keyakinan 10 LSM tentang pemanfaatan jasa militer mengamankan investasi besar usaha penambangan emas.
Di sisi lain, masyarakat adat menolak kegiatan tambang di wilayahnya, sehingga sebagian mereka harus mengungsi dan malah tewas menjadi korban. Namun, operasi ilegal itu, justru memantik eskalasi konflik bersenjata, memperparah teror bagi masyarakat sipil, dan menambah deretan kekerasan negara di Papua. Sedikitnya 10% penduduk Sugapa, Ibu Kota Kabupaten Intan Jaya mengungsi, termasuk 331 perempuan dan anak-anak di awal tahun 2021.
Perusahaan Pemegang Konsesi: PTMQ Terkait LBP
Ada empat konsesi perusahaan tambang yang diidentifikasi terletak di kecamatan/distrik yang terdapat dan berdekatan dengan pos-pos militer. Keempat perusahaan tersebut yakni PT Freeport Indonesia dan/atau PT Antam/Mind-ID, PT Madinah Qurrata ‘Ain (PTMQ), PT Nusapati Satria (PTNS), dan PT Kotabara Mitratama (PTKM).
Dua dari empat perusahaan, yakni PT Antam dan PTMQ adalah pemegang konsesi tambang di sekitar Intan Jaya yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi, termasuk dengan Menko Marves LBP. Permasalahan terkait PT Antam akan dibahas pada tulisan terpisah.
PTMQ memegang konsesi 23.150 hektar yang masih tahap eksplorasi. Lahan konsesi PTMQ berdekatan dengan beberapa pos polisi danb militer seperti Polsek Sugapa, Polres Intan Jaya, dan Kodim Persiapan Intan Jaya. Awalnya, perusahaan tersebut dimiliki oleh Dasril dan Ason, yang kemudian menjalin kerjasama dengan perusahaan asal Australia, West Wits Mining (WWM). Belakangan, WWM justru menjadi pemilik 64% saham PTMQ. Sehingga PTMQ menjadi subsidiary dari WWM.
Pada 2016, WWM memberi 30% saham kepada Tobacom Del Mandiri atau PT Tambang Raya Sejahtera (TSR), anak perusahaan Toba Sejahtera Group (TSG). Kerjasama WWM dengan TSG (yang mayoritas saham milik Menko LBP) ini merupakan “perjanjian aliansi bisnis” yang dimulai Oktober 2016.
Ada tiga nama aparat yang terhubung dengan PTMQ, yaitu Purn. Polisi Rudiard Tampubolon, Purn. TNI Paulus Prananto, dan Menko LBP. Rudiard Tampubolon merupakan komisaris PTMQ. Selain duduk sebagai komisaris, perusahaan yang dipimpin Rudiard yakni PT Intan Angkasa Aviation juga mendapat 20% kepemilikan saham di PTMQ. Paulus Prananto dan LBP merupakan anggota tim relawan (Bravo Lima) pemenangan Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2014 dan 2019. Menurut WWM, kepemimpinan dan pengalaman Rudiard cukup berhasil menavigasi PTMQ menuju operasi tambang.
Merujuk Annual Report WWM 2017, aliansi bisnis WWM dengan TSG yang dijalankan oleh TSR adalah untuk kelancaran bisnis tambang. TDM bertanggung jawab atas operasi terkait izin kehutanan, sertifikat clean and clear, akses lokasi dan keamanan. Dilaporkan pula, sebagai bagian dari Toba Sejahtera Group (TSG), TSR memiliki akses terhadap “berbagai keahlian” yang ada dalam TSG, dan juga “koneksi” kepada para pengambil keputusan di pemerintahan maupun di penegak hukum. Tampaknya karena “peran dan kemampuan strategis” inilah maka TDM/TSG “memperoleh ganjaran” saham sangat besar dari WWM.
WWM jelas sangat menikmati berbagai fasilitas dan kelancaran bisnis tambang di Intan Jaya karena berpartner dengan perusahaan milik pejabat yang sangat berkuasa di Indonesia, yakni LBP. Terasa, LBP sangat berpengaruh dalam berbagai sektor di pemerintahan, seperti sektor-sektor energi, migas, tambang, ekonomi, politik, hankam, dan lain-lain. Jabatan dan tugas yang “dibebankan” Presiden Jokowi kepada LBP sangat banyak dan beragam, sampai-sampai sejumlah politisi dan aktivis menjuluki LBP sebagai The Real President.
Semoga saja yang menjadi Presiden yang sebenarnya adalah Presden Jokowi. Kita pun tidak mempermasalahkan banyaknya jabatan LBP asalkan dijalankan sesuai peraturan yang berlaku. Namun, terkait operasi militer dan tambang PTMQ di Intan Jaya, serta dampak operasi terhadap rakyat sekitar tambang, tercatat berbagai masalah strategis yang perlu diklarifikasi dan diproses secara hukum.
Untuk itu, DPR didesak agar segera menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, terutama Menko LBP, melalui berbagai mekanisme seperti rapat kerja, audit menyeluruh dan membentuk pansus (panitia khusus). Klarifikasi dan proses hukum, termasuk pertanggungjwaban pemerintah, harus dituntaskan minimal atas permasalahan berikut.
Pertama, pengiriman militer ke wilayah sekitar tambang dinilai illegal, tanpa didukung oleh Kepres dan persetujuan DPR, sehingga melanggar Pasal-pasal 17, 18, 19 dan 20 UU No.34/2004 tentang TNI.
Kedua, ketiadaan instruksi resmi dapat menjadi indikasi pengiriman pasukan dan operasi militer di Intan Jaya tidak semata soal penumpasan kelompok bersenjata, namun justru terkait erat dengan kepentingan ekonomi bisnis tambang.
Ketiga, karena kekuasaan dan pengaruh Menko LBP sangat besar ditengarai terjadi penyalahgunaan wewenang dalam proses perizinan, akses lokasi, sertifikat clean and clear, dan pemanfaatan TNI-POLRI guna mendukung kelancaran dan keamanan para perusahaan bisnis tambang, termasuk PTMQ.
Peran dan kekuasaan LBP yang sangat besar itu secara gamblang termuat dalam Laporan Tahunan MMW 2017. Tampaknya, karena peran tersebutlah WWM mengganjar TSR dengan saham besar, 30%, di PTMQ.
Keempat, kepentingan ekonomi perusahaan dan militer terselip dari serangkaian kekerasan operasi TNI-POLRI yang melanggar HAM di Intan Jaya dan sekitarnya. Dampaknya, sejumlah penduduk sipil Papua menjadi korban konflik bersenjata antara militer dengan TPNPB.
Beberapa di antara mereka harus mengungsi dan bahkan meregang nyawa. Mereka telah menjadi korban industri pertambangan ekstraktif yang akan mengeruk kekayaan alam di tanah tempat kelahiran mereka sendiri!
Kelima, sebagian besar masyarakat adat tidak menyetujui penambangan emas di wilayahnya. Oleh karena itu, konsesi tambang yang telah diberikan perlu dicabut oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah perlu memperbaiki kebijakan tambang di Papua, yang harus mengutamakan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan rakyat sekitar.
Permasalahan dan dugaan penyelewengan seputar bisnis tambang dan operasi militer di Intan Jaya sangat besar untuk dibandingankan dengan gugatan perdata & pidana Menko LBP terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidianty atas dasar ungkapan “Lord Luhut bermain bisnis tambang”. Padahal, dialog Haris dan Fatia hanya menjelaskan laporan dan temuan Koalisi 10 LSM tentang berbagai pelanggaran operasi aparat TNI-POLRI di Intan Jaya. Temuan tim 10 LSM tampaknya bukan sekedar “permainan” remeh temeh.
Laporan pun telah terpublikasi sejak Agustus 2021. Namun, tindakan korektif dan tindak lanjut dari pemerintah dan DPR sangat tidak jelas.
Jangan-jangan gugatan tersebut dimaksudkan mengalihkan perhatian dan/atau menutupi isu besar terkait keterlibatan dan penyelewengan sejumlah pejabat negara dalam operasi militer dan bisnis tambang di Intan Jaya. Apapun itu, demi kedaulatan, hukum dan keadilan di NKRI kita mendesak DPR dan Presiden Jokowi segera menuntaskan kasus besar itu.
Tidak ada tempat bagi siapa pun yang memiliki kekuasaan sangat besar dan kuat untuk berada di atas negara, konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Sambil mengapresiasi hasil kerja koalisi 10 LSM dan “umpan terobosan” Haris dan Fatia, mari kita tunggu langkah konkrit dari DPR dan Presiden Jokowi, “The Real President”!
Penulis adalah Direktur Eksehutif Indonesian Resources Studies atau IRESS.