OPINI
Anies for President, Itu Semacam Fait Accompli
Oleh Ady Amar *) ANIES Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, memang terbiasa bekerja dengan aturan. Dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi, ia tampak sebagai politisi beradab. Tak mengenal kamus grusa-grusu sebagai pilihan dalam langkah-langkahnya. Semua dilakukan serba terukur, layaknya penjahit pakaian, yang tidak mentolerir kesilapan sekecil apapun. Langkah Anies itu penuh perhitungan. Karenanya, selalu berjalan pada norma keadaban, yang justru saat ini sulit bisa ditemukan apalagi dipilih politisi jadi model, itu rasanya mustahil. Anies tetap memakai pola yang sudah dianggap usang, berlama-lama menyelesaikan pekerjaan yang dihadapi, seolah tanpa sedikitpun mau mempersiapkan sejak dini posisi berikutnya, yang sebenarnya ia punya kans bisa sampai pada jabatan lebih tinggi (presiden). Infrastruktur yang dipunya untuk memuluskan jalan menuju ke sana tidak dipakainya. Anies seolah asyik dengan pekerjaan yang tengah dihadapinya saat ini, dan abai dengan persiapan yang seharusnya sudah dimulainya. Bagi politisi yang berebut kekuasaan, sikap yang dipilih Anies itu seperti orang yang mengabaikan jabatan lebih tinggi yang sedang menanti. Hanya berasyik masyuk dengan tugas yang ada, itu dianggap sikap lamban. Bagi politisi lain, kesempatan selagi menjabat itu dimanfaatkan sebaik mungkin, tapi itu tidak pada Anies. Sikap Anies itu seolah bermain di zona aman, dan itu memang tidak salah. Tapi jika orang lalu menganggap itu sikap "jual mahal", yang tidak seharusnya, itu pun tidak patut disalahkan. Setidaknya itu yang disampaikan beberapa pengamat, bahwa saat sudah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur (2022), maka Anies sudah tidak lagi menjadi sumber berita, bahkan pemberitaan tentangnya akan jauh berkurang. Elektabilitasnya dimungkinkan akan menurun... itu sebenarnya yang mestinya jadi perhatian. Akhirnya Muncul Deklarasi Adalah La Ode Basir bersama 6 kawan lainnya, yang bisa jadi tidak tahan melihat langgam yang dimainkan Anies itu. Bergerak bak halilintar, menggebrak dengan deklarasi "Anies for Presiden", di Gedung Joang, Cikini, Jakarta Pusat pada Rabu (20/10). Kelompoknya itu menamakan diri Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera, disingkat ANIES. Deklarasi Anies Rasyid Baswedan for Presiden, itu dilakukan seakan tanpa perlu kulo nuwun pada Pak Anies. Tanpa banyak cingcong langsung action. La Ode Basir dan kawan-kawan, seakan tidak mau tertinggal dari relawan yang muncul lebih dulu mengusung Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Tegasnya, "Kami anak-anak muda dari berbagai komponen siap mendukung Anies Rasyid Baswedan (menjadi) Presiden 2024." Katanya lagi, bahwa ia dan kawan-kawannya akan berkeliling Indonesia untuk menggaungkan Anies for Presiden, jelas La Ode Basir penuh semangat. Langkah La Ode Basir dan kawan-kawannya itu semacam gerakan fait accompli melawan sikap "hati-hati" dari Anies Baswedan dalam berpolitik. Anak-anak muda itu tampak tidak serantan melihat sikap jagoannya yang masih bermain pada tataran normatif: Maju kotanya dan bahagia warganya. Mereka ingin lebih dari itu, dan mencoba dengan caranya bergerak pada apa yang diyakininya. Anak-anak muda itu sedang mempersiapkan karpet merah untuk bisa dipijak Anies Baswedan pada waktunya. Adakah Dalangnya? Siapa sebenarnya La Ode Basir itu. Tidak banyak yang tahu. Tapi setidaknya nama itu pernah muncul sebagai relawan saat Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno maju pada Pilkada DKI Jakarta, 2017. Ia juga mantan Pengurus Pusat Dewan Masjid, yang diketuai H. Jusuf Kalla (JK). Konon ia juga bekerja di PT Bosowa, perusahaan milik keluarga JK. Tidak salah jika orang lalu menggatuk-gatukkan, bahwa La Ode Basir itu orangnya JK. Karenanya, Deklarasi Anies Baswedan for Presiden, itu lantas dihubungkan dengan JK, itu hal yang wajar. Itu karena hubungan Anies dan JK yang sudah dibangun sejak lama. Konon, yang mengajak Anies sebagai jubir pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, itu adalah JK. Dan karenanya, Anies diganjar sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, meski tidak lama ia dicopot Jokowi dengan alasan tidak jelas. Pencopotan Anies yang tentu mengecewakan Wapres JK. Tapi nasib mengantarkan Anies di tempat lain yang lebih pas. Ia akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pilkada paling keras yang masih menyisakan gesekan cukup dalam, bahkan terasa hingga kini. Jika saat itu tampil La Ode Basir sebagai relawan pada Pilkada DKI Jakarta (2017), maka kehadirannya di sana bisa jadi juga atas "kemauan" JK. Ada tangan dan andil JK di sana. Maka, jika JK pun ada di balik deklarasi Anies for Presiden, itu pun benang merahnya nyambung, dan sah-sah saja. Sebagaimana orang bisa menghubungkan deklarasi relawan Ganjar Pranowo, yang dimotori juga para relawan yang saat itu memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amien (2019). Sah-sah saja jika orang lalu menghubungkan, bahwa ada Presiden Jokowi di balik Deklarasi Relawan Ganjar Pranowo. Bunyi-bunyian menuju 2024 sudah ditabuh, dan masing-masing menjagokan jagoannya. Tidak ada yang salah dengan kehadiran para relawan yang ambil inisiatif dengan deklarasi segala. Mempersiapkan jauh hari, agar pada saatnya publik mengenal dan memilih pasangan yang dihadirkan dengan baik. Kerja-kerja relawan mesti terukur, dan diharap bisa menaikkan elektabilitas jagoannya. Dengan demikian akan muncul lamaran partai-partai untuk mengusungnya sebagai kandidat Capres/Cawapres. Jalan menuju pencapresan masih panjang, dan memilih mempersiapkan jauh hari itu langkah yang semestinya, setidaknya itu yang dilakukan para relawan dengan deklarasi untuk jagoannya. Kita lihat saja efektifitas kerja-kerja mereka itu. Memang waktu yang menilainya. (*) *) Kolumnis
Mereduksi Islam, Menuju Kepunahan NKRI
Oleh: Yusuf Blegur Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya". Maklumat itu, sepertinya tidak menjadi landasan yang penting dan prinsip bagi negara dan bangsa. Jangankan menghidupi rakyat Indonesia (muslim) dengan Al Quran dan sunah. Rakyat kebanyakan yang pasrah bersama pemimpin yang serakah. Justru menghirup nafas dan keyakinan yang meniadakan Allah Yang Maha Kuasa. Bertolak belakang dari mukadimah UUD 1945 yang menjadi esensi konstitusi negara tersebut. Dengan beragam modus seperti kapitalisme dan komunisme. Eksis namun bengis dalam tampilan oligarki, otokrasi, tirani, anti demokrasi, korupsi dsb. Bagaimanapun semua itu, substansinya merupakan karakter yang sama-sama resisten pada agama dan apriori terhadap Tuhan. Terusik oleh itu dan menjadi kegelisahan tersembunyi. Apakah Indonesia kini diambang kehancuran total atau menuju kebangkitan Islam? Sebagai sebuah negara yang kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari Islam. Bahkan pada saat sebelum dan sesudah meraih kemerdekaan. Indonesia tumbuh dan berkembang dengan Islam sebagai kekuatan utama yang menopangnya. Tanpa mengabaikan peran agama, ideologi dan entitas politik lainnya. Islam saat itu merupakan agama yang radikal dan fundamental bukan hanya dalam ranah dakwah atau syiar semata. Melainkan Islam juga menjadi gerakan progressif revolusioner dalam tataran sosial, ekonomi dan politik. Islam kemudian lebih bermetamorfosis menjadi gerakan kebangsaan. Lewat organisasi perserikatan dagang, perkumpulan diskusi dan pendidikan cikal bakal pesantren. Para ulama, santri dan pemimpin intelektual Islam, melebur bersama elemen bangsa lainnya menggelorakan semangat cinta tanah air. Lewat laskar-laskar pejuang organisasi Islam dan kesadaran perlawanan rakyat menyeluruh. Nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan Indonesia dengan segala tumpah darah dan nyawa dalam upaya mempertahankannya. Berkumandang seantero republik dengan kepeloporan para Ulama, pemimpin organisasi pergerakan dan tentara rakyat. Resolusi jihad dalam mengusir penjajahan menjadi ruh 'dus' amunisi perjuangan mewujudkan Indonesia merdeka yang adil dan makmur. Gema takbir "Allahu Akbar" dan "merdeka atau mati, menjadi jiwa sekaligus saksi sejarah yang tidak bisa dihilangkan dari sejarah NKRI. *Rapuhnya Konsensus Nasional* Pasca kesepakatan Piagam Jakarta yang menggagalkan penerapan syariat Islam dalam sistem kenegaraan. Sejatinya Negara Indonesia seperti mengalami anti klimaks. Kultur dan natur rakyat nusantara yang dominan berbasis Islam setidaknya dalam kuantitas dan sebaran populasi menurut wilayah. Mengalami proses reduksi dan eliminasi dalam konstruksi negara. Kompromi politik yang sengit karena faktor akomodasi dari eksistensi suku, agama dan ras. Kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa tak bisa dihindari mematahkan semangat "objectif gigeven" masyarakat religius. Struktur sejarah, gerakan perlawanan kolonialisme-imperialisme dan kepeloporan menginisiasi kelahiran negara kebangsaan Indonesia, yang muncul dari rahim dan identitas Islam. Tergerus seiring narasi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI memasung doktrin, faham, ajaran dan ideologi lain du negeri ini. Mirisnya dalam sepanjang perjalanan, Panca Sila dikhianati. UUD 1945 dikebiri. NKRI dimutilasi. Termasuk syariat Islam atau khilafah. Belum lahir sudah diaborsi. Dengan digdayanya sistem kapitalis dan komunis yang menjadi induk semang dan mewajah baru kolonialime dan imperialisme dunia. Sepanjang kelahiran Indonesia hingga kekinian. Negara dan rakyat Indonesia terasa nyaman menjadi lahan subur bagi berkembang biaknya liberalisasi dan sekulerisasi (moderasi aliran rasional, naturalis dll) dalam segala lini kehidupan. Cara berpikir, berkata dan bertindak cenderung kontradiktif dari semangat dan nilai Islam. Sistem politik yang memisah relasi agama dengan negara. Bukan saja menempatkan Islam pada posisi marginal, meski sebagai rakyat mayoritas. Islam menjadi asing, bagi umat penganutnya dan di negeri sendiri. Sistem Negara berangsur-angsur secara halus merampok dan memperkosa keyakinan agama rakyatnya. Negara seperti kacang lupa pada kulitnya. Negara mengingkari bahwasanya Islam merupakan alasan kelahiran dan mewujudnya Indonesia. Selain menghadirkan penjajahan klasik di era modern. Negara penuh sesak oleh praktek-praktek oligarki dan otokrasi. Korupsi, kolusi, nepotisme dan pelbagai watak penindasan terhadap rakyat. Maraknya kenyataan yang tidak ideal, justru menjadi representasi wajah kekuasaan. Kekuasaan dari trah kolonialisme dan imperialisme lama, namun mengalami 'renasaince' di era modern. Sekumpulan yang segelintir dari birokrasi, politisi dan korporasi yang membajak negara. Perilaku kekuasaan yang dulu ditentang karena ingin memperjuangkan negeri yang merdeka, adil dan makmur bernama Indonesia. Indonesia kini, dengan kesadaran krisis dan kesadaran makna atau tidak sama sekali. Ada kepedulian atau pura-pura tidak tahu. Terus melakukan pembiaran ataupun dengan gugatan. Mengadakan aksi perlawanan maupun lebih memilih bersekongkol. Apapun kekacauan keadaannya sekarang. Sudah dalam posisi yang sangat membahayakan. Seperti penyakit, ia berada dalam kondisi akut dan kritis. Tidak cukup sekedar diagnosa, harus ada langkah kongkrit penyelamatan. Kekuatan Islam yang perlahan dilumpuhkan, mencerminkan realitas semua kerusakan itu. Menjadi titik balik dari keberadaan dan eksistensi Indonesia saat ini dan masa depan. Apakah kekuatan Islam di negeri ini terus menjadi korban dari eksploitasi kejahatan negara dan kekuatan global. Ataukah Islam bangkit di negeri yang spiritualitas dengan kehidupan rakyatnya tercerai-berai. Terutama saat Tuhan dihadirkan dalam wujud harta dan tahta. Uang dan kekuasaan menjadi sesembahannya. Mungkinkah kebangkitan umat Islam bersama kebangkitan Indonesia?. Atau kehilangan ghiroh umat Islam seiring kehilangan NKRI?. Entah dari orang dalam kekuasaan yang eling. Entah revolusi rakyat yang akan melahirkan pemimpinnya sendiri. Mungkin juga jalan keselamatan bagi negeri ini menjadi hak prerogatif Allah Yang Maha Kuasa. Seiring bergulirnya waktu dan dalam keadaan yang sedemikian rupa. Rakyat Indonesia khususnya umat Islam, harus kembali kepada nilai-nilai Islam dan menegakkan aqidahnya. Ada baiknya sebagai bagian strategis dari sebuah negara bangsa Indonesia, kaum muslim menengok satu wahyu Allah azza wa jalla. Seperti yang tertuang dalam al Quran pada irisan surat Ar-Ra'd : 11. إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ Innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim. yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." In syaa Allah, dengan memaknai dan menginsyafinya. Indonesia tak akan terbenam. Seperti kata Ebiet Gunung Ade, "mumpung kita masih diberi waktu". Wallahu a'lam bish-shawab. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari
Pak Prabowo, Sudahlah!
By M Rizal Fadillah SEPERTI terbuai dengan hasil survei yang selalu memberi posisi papan atas, bahkan teratas, pada Prabowo Subianto untuk Calon Presiden 2024, maka bersemangat lah kader dan pendukung untuk mendorong Prabowo maju kembali sebagai kontestan Pilpres 2024. Kesannya tinggal mencari pasangan. Puan Maharani calon kuat dengan bermodal hitung-hitungan suara partai. Lupa bahwa survey di Indonesia adalah mainan yang mudah distel dan diatur-atur. Survey bebas tanpa uji validitas ataupun uji kelembagaan. Sanksi atas keabal-abalannya pun tidak ada. Bebas-bebas saja. Figur dapat disimpan di nomor satu, tiga, atau berapapun tergantung pesanan dan biaya. Oleh karenanya pernah diusulkan betapa perlu dan mendesaknya keberadaan Undang-Undang yang mengatur keberadaan lembaga survey beserta sanksi-sanksinya. Penjudi politik mengangkat Prabowo dan Ganjar. Litbang Kompas membuat angka sama 13,9% untuk keduanya. Anies yang sangat potensial ditempatkan selalu diposisi ketiga. Tentu agar publik kehilangan keyakinan dan diharapkan pilihan bergeser ke Prabowo dan Ganjar. Prabowo berfungsi sebagai pancingan sementara Ganjar sebagai orbitan atau karbitan. Jokowi sedang mengukur jalan, siapa yang bisa memperpanjang nyawa. Ia khawatir saat turun diterkam macan. Prabowo bukan ahli strategi tetapi profil pecundang dan mudah menyerah dalam ketidakberdayaan. Tak ada teriakan terhadap penganiayaan dan pembunuhan. Pembantaian pun dibiarkan. Prabowo itu tipe pengekor yang loyal bukan pemimpin yang berani untuk mengambil risiko. Apalagi berkorban dan berjiwa pahlawan. Prabowo yang digadang-gadang akan berpasangan dengan Puan adalah pasangan nina nobo. Puan yang didukung PDIP akan menyalip. Apalagi jika diujung akhirnya Megawati menyerah kepada Jokowi dimana PDIP terpaksa dukung celeng ketimbang banteng. Ganjar yang dijagokan. Prabowo akan berakhir tragis ditinggalkan dan ditenggelamkan. Andaipun Prabowo bertahan berpasangan dengan Puan, maka Anies yang mendapat dukungan PKS, Nasdem, Golkar atau Demokrat adalah lawan berat. Pendukung Prabowo dahulu akan menjadi pendukung habis Anies. Ganjar pun sulit untuk menghadapinya. Prabowo tetap akan kalah telak. Ini bukan Pilpres 2019. Taruhlah ternyata dengan segala cara akhirnya Prabowo menang dan menjadi Presiden, maka itu bukan juga solusi bagi bangsa. Kepercayaan rakyat pada kemampuan Prabowo memimpin negara rendah. Berbeda dengan anggapan saat Pilpres sebelumnya, kini sudah dirasakan bahwa Prabowo bukan pemimpin yang bagus. Prabowo hampir sama dengan Jokowi tipe yang mudah ingkar janji. Timbul tenggelam bersama rakyat tidak dipenuhi, janji menjemput HRS diingkari, sikap kritis kepada Cina pun cepat berubah menjadi puja puji. Prabowo yang bersaksi atas kehebatan Jokowi sangat mengejutkan dan memilukan. Menjadi Menhan seperti menikmati jabatan bukan arena perjuangan menjalankan amanat menegakkan kedaulatan. Jadi dua hal untuk Prabowo, pertama menjadi Presiden saja di usia yang semakin sepuh sudah sangat berat. Dukungan tidak sekuat kemarin. Kedua, andai dengan sudah payah ternyata mampu menjadi Presiden, Prabowo bukan tipe pemimpin bangsa dan negara yang baik. Seribu kelemahan akan menjadikan Prabowo sasaran dari bulan-bulanan kritik. Sebagaimana Jokowi, Prabowo dikhawatirkan akan mengakhiri karir dengan "su'ul khotimah". Nah, Pak Prabowo, sudahlah ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Setiap Pemimpin Diukur dari Janjinya
Oleh Tony Rosyid PEMILU jadi ajang kompetisi. Siapa yang ingin jadi pemimpin, disitu ia sampaikan visi dan misi. Ini sangat elitis, karena rakyat umum seringkali gak paham apa itu visi dan misi. Tapi intinya, kalau terpilih nanti apa saja yang akan dilakukan. Inilah janji politik. Sampai di sini, rakyat paham. Janji politik mesti terukur. Supaya mudah dan terus diingat oleh rakyat: pertama, berapa jumlah janji politiknya. Kedua, apa saja rinciannya. Dua hal ini cukup untuk menilai dan mengukur tingkat keberhasilan pemimpin itu. Dari janji itu akan terlihat calon pemimpin tersebut luar biasa atau biasa saja. Program yang dijanjikan itu baru dan berbeda, atau klasik. Programnya akan jadi solusi, atau hanya aksesori. Setelah pemimpin itu terpilih, rakyat harus terus kawal janji itu. Ditunajkan, atau diabaikan. Ini soal integritas. Pemimpin yang tidak menunaikan janji, ia cacat integritas. Gak layak dipilih kedua kali. Baik untuk posisi yang sama, apalagi posisi di atasnya. Tunaikan janji, selain integritas, ini juga berkaitan dengan kapasitas. Kalau janji-janji itu gak ditunaikan, tidak saja pemimpin itu cacat integritas, tapi juga menunjukkan bahwa ia tak memiliki kemampuan. Bagi pemimpin, janji politik bukan segalanya. Artinya, seorang pemimpin tidak dibatasi kerjanya dengan apa yang telah ia janjikan kepada rakyat. Sebab, ada dinamika yang menuntut kemampuan pemimpin untuk berinovasi dan membuat terobosan-terobosan baru melampaui janji-janji itu. Meski bukan segalanya, tapi setidaknya, janji politik bisa menjadi road map. Janji politik itu acuan seorang pemimpin bekerja. Ini "syarat minimal" yang mudah diukur dan harus ditunaikan oleh seorang pemimpin. Setiap calon pemimpin pasti punya janji politik. Apakah itu presiden atau kepala daerah. Saat kampanye, mereka sampaikan janji politik itu. Dari sini, rakyat melihat kualitas calon pemimpin tersebut. Sayangnya, ketika pemimpin itu terpilih, janji politik seringkali terabaikan dan kemudian terlupakan. Yang janji lupa, rakyat juga tak ingat. Yang teringat adalah sisa-sisa pencitraan. Tenggelam oleh eforia kampanye yang penuh hura-hura. Bagaimana kita mampu melahirkan pemimpin berkualitas jika visi dan misinya gak jelas. Jika janji politik tidak jelas, maka visi dan misi pun tidak juga akan jelas. Lihat Soekarno dan Soeharto. Jelas visi dan misinya. Mau dibawa kemana bangsa ini, jelas! Era Soekarno ada pancasila yang menjadi pondasi bangsa dan negara. Karakter dan identitas bangsa jelas. Apa yang akan diraih juga jelas yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soekarno berhasil meletakkan pondasi yang cukup kuat untuk bangsa ini melalui falsafah pancasila dan UUD 1945. Era Soeharto, ada P4. Arahnya jelas yaitu pembangunan bertahap dan berkelanjutan. Ada perencanaan dan pencapaian. Sangat terukur. Seorang pemimpin mesti jelas visi dan misinya. Mesti jelas apa yang mau dicapai. Rakyat harus dipahamkan terhadap visi dan misi itu, dilibatkan dan ikut melakukan pengawasan. Anies Baswedan, Gubernur DKI layak dijadikan contoh. Visinya jelas: maju kotanya bahagia warganya. Inilah yang ingin dicapai. Visi ini akan dicapai melalui 23 Janji politiknya. Janji Anies ada angkanya dan ada detailnya. Terhadap 23 Janji itu rakyat selalu ingat dan dapat mengukur tingkat keberhasilannya. Apa yang dilakukan Anies baik untuk didorong menjadi trend di setiap suksesi kepemimpinan. Siapapun yang akan mencalonkan jadi pemimpin mesti jelas apa saja yang akan dikerjakan. Apa program yang dijanjikannya. Harus jelas angkanya, jelas pula detail programnya. Kenapa? Pertama, supaya rakyat ingat dan mudah mengukurnya. Kedua, agar pemimpin bertanggung jawab untuk menunaikan janji-janji itu. Ada baiknya ini dimulai dari para gubernur dan kepala daerah yang sekarang menjabat. Ada berapa janji Ganjar Prabowo misalnya. Dan apa saja detailnya. Berapa yang sudah ditunaikan, dan apa saja yang belum ditunaikan. Ini juga berlaku untuk Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Khofifah Indarparawansa (Gubernur Jawa Timur), dan juga kepala-kepala daerah lain. Ingatkan rakyat atas janji politikmu saat kampanye, dan tunjukkan apa saja yang sudah ditunaikan saat ini. Jadikan dirimu pemimpin yang bertanggung jawab atas janji-janji itu. Supaya rakyat bisa secara obyektif menilai dan mengukurmu. Kita berharap, semua rakyat di daerah manapun berada, harus secara terus menerus mengingatkan janji-janji politik para pemimpinnya, dan meminta mereka menunaikan. Raport hijau atau merah, setidaknya dimulai penilaiannya dari janji itu. Diingat, atau dilupakan. Ditunaikan, atau diabaikan. Pertanyaan sederhana: apakah kalian (rakyat) ingat janji politik pemimpin daerah kalian? Kalau tidak, minta pemimpin kalian mengingatkannya kembali. Kalau pemimpin kalian juga tak ingat, maka ia bukan pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas. Jangan berikan lagi ia kesempatan kedua kali, apalagi naik posisi. Kalian harus berani tegas menghukum para pemimpin yang tak bertanggungjawab atas janjinya. Nasib bangsa ini ada di tangan para pemimpin. Kalau anda tidak serius memilih pemimpin, maka pemimpin itu juga tidak akan pernah serius mengurus anda. Bagaimana Anda serius memilih pemimpin, janji pemimpin saja Anda tidak tahu! *) Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Politik Riset
By M Rizal Fadillah POLITIK hukum adalah kebijakan politik tentang hukum, politik ekonomi merupakan kebijakan politik mengenai ekonomi baik arah, bentuk, atau sistem yang dianut. Politik budaya adalah kemauan politik mengenai budaya bangsa. Nah politik riset tidak lain bagaimana kebijakan kenegaraan mengenai riset baik kedudukan, fungsi, maupun sistem kelembagaannya. Diarahkan ke mana perisetan Nasional. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah politik riset. Ternyata bukan saja Omnibus Law yang main disatu-satukan itu, lembaga riset pun disatukan di bawah satu komando. BATAN,LAPAN, LIPI, BPPT dilebur dalam BRIN. Lucunya lembaga riset ini memiliki Dewan Pengarah dan lebih lucu lagi Ketua Dewan Pengarahnya adalah Ketum PDIP. Parahnya, Ketua Dewan Pengarah memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ketum PDIP adalah Puteri Presiden Soekarno, penguasa Orde Lama yang dikenal diktator dan menjalankan model demokrasi terpimpin. Nasakom adalah politiknya. Menjepit agama dengan memanjakan komunis. Sayang akhir kekuasaannya tragis jatuh karena dikaitkan dengan pemberontakan PKI. Presiden seumur hidup tidak mampu bertahan dan hanya mampu menjabat hingga 1966. 21 tahun. Soekarno menggagas badan riset MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai cikal bakal LIPI. Soekarno ingin lembaga riset yang besar semacam Academy of Science Uni Sovyet, Negara Eropa Timur, dan Tiongkok. Kiblat ke negara sosialis karena lembaga risetnya di bawah Negara, bukan swasta seperti di Amerika dan Negara Barat. Presiden memimpin langsung lembaga riset. Mungkin lembaga riset berguna untuk pengembangan ideologi sosialis dan komunis saat itu. Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristanto, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri meminta kepada Jokowi pada saat Pilpres 2019 untuk membentuk BRIN. "BRIN memang perlu di bawah Presiden langsung" katanya. Menariknya Megawati itu menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN sekaligus Ketua Dewan Pengarah BPIP. Sekretaris Dewan Pengarah BRIN adakah Shudamek Agoeng Waspodo, Chairman Garudafood. Boss kacang ini juga adalah anggota Dewan Pengarah BPIP. Inilah akar dari politik riset dalam pembentukan BRIN. Politik ikut bahkan menentukan dalam mengarahkan riset-riset. Adakah Academy of Science dari negara sosialis menjadi rujukan BRIN? Dikaitkan dengan agenda PPHN yang juga digagas PDIP maka lengkaplah arah politik riset ini ke depan. Ideologisasi yang menjadi ranah politik telah dilekatkan dengan lembaga riset nasional. Persoalan yang muncul adalah keraguan publik bahwa ideologi Pancasila yang dicira-citakan Megawati Soekarnoputeri adalah Pancasila 18 Agustus 1945 atau Pancasila 1 Juni 1945 ? Jika yang dimaksud adalah yang terakhir maka BRIN menjadi lembaga riset yang berbahaya. Menjadi sarana ideologisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang orisinal. Politik riset tidak mengarah pada otonomi ilmiah tetapi sarat ideologi. Cara seperti ini diterapkan oleh negara-negara sosialis atau komunis. Jokowi dan Megawati harus menjelaskan dulu hal ini kepada Rakyat Indonesia. Jangan sampai terjadi penelikungan ideologi melalui lembaga riset. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Adakah Celeng Itu?
Oleh Ady Amar *) BABI hutan biasa juga disebut dengan celeng. Dengan bulu hitam, celeng terkesan menjijikkan. Karenanya, sebutan celeng pada pribadi atau entitas tertentu itu menyakitkan. Semacam penyebutan mengecilkan, konotasi negatif. Celeng itu sebutan penghinaan yang disematkan. Tidak satu pun ingin disebut, atau memilih ingin disebut dengan sebutan menjijikkan. Semua menghindar bahkan tidak ingin binatang satu ini ada dalam pikiran, agar tidak sampai kata celeng diucapkan. Akhir-akhir ini kata celeng disematkan pada pendukung Ganjar Pranowo, yang sebenarnya ada dalam tubuh PDIP. Masih dengan KTA PDIP, tapi tampak "melawan" induknya dengan mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden (Capres 2024), padahal DPP PDIP belum menentukan calonnya, baik Capres atau Cawapres. Soal pencalonan itu hak mutlak DPP PDIP. Mereka disebut celeng, seolah mengecilkan pendukung Ganjar, yang padahal tidak sedikit dari mereka adalah tokoh PDIP tingkat Cabang. Bisa disebut FX Hadi Rudyatmo, mantan Wali Kota Surakarta, yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Surakarta. Bahkan terang-terangan menunjukkan perlawanan pada induknya, bahwa ia memilih Ganjar Pranowo untuk menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). FX Hadi Rudyatmo memang punya jejak gertak-gertak seolah melawan induknya, dan anehnya aman-aman saja. Itu saat pencalonan Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wali Kota Surakarta, yang tidak melewati DPC Surakarta. Ia marah besar, yang seolah tidak akan berada dalam kubu Gibran. Tapi setelah DPP PDIP mengeluarkan putusan mencalonkan Gibran, yang putra Presiden Jokowi itu, ia bukannya melawan induknya, tapi memilih balik kandang. Saat ini yang dilakukan FX Hadi Rudyatmo dengan gaya seolah melawan induknya, bahwa ia lebih memilih celeng, dan lalu menyerang koleganya Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, seseorang yang memulai menyebut celeng pada pendukung Ganjar. Maka, FX Hadi Rudyatmo sampai perlu membuatkan filosofi celeng, yang disebutnya punya gerakan gesit, dan ia menyukainya. Apa tumon ia berani membela Ganjar Pranowo dengan melawan induknya. Melihat jejak "gertak-gertak" FX Hadi Rudyatmo, yang aman-aman saja tanpa ada sanksi organisasi padanya, tentu menjadi keheranan tersendiri. Karena itu banget bukan tabiat Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang bisa menoleransi pelanggaran demikian. Kasus "celeng" ini seolah perlawanan terbuka, dan jika tidak ada sanksi dikenakan padanya juga pada pengurus PDIP lainnya di tingkat cabang, maka tidak salah jika analisa muncul, bahwa sebutan celeng itu cuma settingan, satu cara menaikkan elektabilitas Ganjar Pranowo. Seolah ia dizalimi partainya sendiri, dan karenanya mengundang simpati. Strategi Celeng Sebutan celeng yang menjijikkan itu lalu dikooptasi menjadi kekuatan tersendiri. Seolah dalam internal PDIP ada kekuatan perlawanan, dalam hal ini DPP PDIP. Jika DPP PDIP menoleransi munculnya kelompok celeng, itu hal mustahil. Menoleransi menggerogoti kebijakan partai, jika benar, itu seperti "kudeta" dari dalam. Jika pembiaran itu dianggap hal biasa, itu sama saja dengan pembiaran pada kelompok celeng untuk menjadi besar. Hal mustahil yang jauh dari tabiat Ibu Megawati yang tidak menolerir "perlawanan" sekecil apapun pada petugas partainya. Perlawanan terang-terangan kelompok celeng ini bukan masalah kecil, yang itu bisa meruntuhkan wibawa partai. Tampaknya strategi "zalim" yang dikenakan pada Ganjar Pranowo, justru satu cara efektif menaikkan elektabilitasnya untuk nyapres. Ini semacam skenario yang direncanakan, yang pada saatnya bisa "menjual" Ganjar Pranowo sebagai Capres dari PDIP Skenario seolah "benturan" Celeng versus Banteng yang sepertinya memang dicipta. Skenario itu bisa terlihat dengan tidak adanya sanksi keras pada kelompok celeng yang terus bermanuver melawan kebijakan partai. Pantas jika lalu muncul pertanyaan, adakah celeng itu? Lalu, bagaimana dengan kehadiran Puan Maharani yang "dijajakan" dengan tebaran baliho di mana-mana, yang konon akan disandingkan sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. Meski belum pasti, setidaknya Puan dihadirkan seolah berhadapan dengan Capres dukungan celeng. Tapi pada saatnya semua akan mengerucut pada satu nama, sosok yang seolah dizalimi. Setidaknya analisa itu, dan bisa juga analisa lainnya, yang nantinya akan muncul. Dan ujung dari semuanya biasanya akan ditentukan oleh elektabilitas masing-masing calon, yang dikendalikan lembaga survei pesanan. Tidak dipungkiri, banyak lembaga survei yang bermain angka sesuai dengan pemesannya. Soal menaikkan dan merontokkan elektabilitas kandidat tertentu, itu bukan perkara sulit. Maka, edukasi terus-menerus pada publik untuk memilih Capres yang mendekati ideal harus terus diberikan, jika ingin pergantian kepemimpinan nasional ini bermakna. Satu hal yang pasti, bahwa opini baik dan buruk akan terus dimunculkan mengaduk-aduk sukma publik, tentu dengan intensitas tinggi sampai pada waktunya: 2024. (*) *) Kolumnis
Menggeser-geser Libur Hari Raya Islam ke Hulu, Menggusur-gusur Aqidah Kemudian
Oleh: Yusuf Blegur Betapa pun sekuler dan liberalnya pemerintahan Indonesia sebelumnya. Serepesif-represifnya rezim kekuasaan yang pernah ada. Baru sekarang ini ada yang mengutak-atik apalagi sampai mengubah waktu libur Peringatan Hari Besar Islam. Bahkan sejak Indonesia merdeka dimana mainstream pertentangan negara Islam dan negara Pancasila mengemuka. Tidak ada presiden Indonesia dan kabinetnya mengurusi perubahan hal-hal baku dan prinsip yang menjadi bagian dari keyakinan satu agama. Hanya di bawah rezim kekuasaan Jokowi dan kementerian agama RI sekarang. Tahun ini sudah dua kali merubah jadwal libur Hari Raya umat Islam. Pertama libur peringatan Tahun baru Islam yang bertepatan dengan 1 Muharam atau kalender masehi tanggal 10 Agustus 2021, diubah menjadi tanggal 11 Agustus 2021. Kemudian yang kedua, saat umat Islam merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam pada 12 Rabiul Awal yang jatuh pada tanggal 19 Oktober 2021, kembali diubah hari liburnya tanggal 20 Oktober 2021. Sesederhana dan asal saja alasannya karena takut menumpuknya keramaian liburan saat pandemi. Manuver kebijakan yang mengusik umat Islam, namun hal yang sama tidak dilakukan pada peringatan hari besar agama lain atau acara hari kenegaraan. Sekadar politisasi Islam yang biasa dilakukan, atau ada agenda lain terselubung?. Menarik juga untuk ditelisik. Siapa yang selama ini melakukan politisasi Islam atau membangun narasi Islam politik?. Lebih dalam lagi, siapa di belakang dan yang mendesain aksi-aksi Islamophobia?. Sementara seiring waktu umat Islam selalu menjadi langganan stigma dan stereotif dari propaganda, framing dan rekayasa busuk kekuasaan yang anti Islam. Tidak sedikit produk aturan dan kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Agama RI yang dianggap nyeleneh dan menyimpang. Mulai dari polemik penggunaan dana haji umat untuk pembiayaan infra struktur. Hingga kontroversi saat mengumumkan pembatalan pemberangkatan jamaah haji karena pandemi dengan biaya fantastis sebesar 21 miliar. Angka yang sangat besar cuma untuk bercuap-cuap. Seterusnya pelbagai himbauan dan keputusan menteri agama yang kental dengan muatan liberalisasi dan sekulerisasi agama, khususnya Islam. Menteri agama yang seorang muslim itu, juga pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin populisme Islam berkembang luas. Bagai tak punya hati, seorang muslim berbicara tentang agamanya sendiri seperti itu, hanya karena jabatannya. Mungkin saja pemerintahan Jokowi menganggap mengganti jadwal hari libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Merupakan sesuatu yang biasa saja. Jokowi atau pesuruhnya yang menteri agama itu menilai lumrah dan wajar. Mungkin dalam pikirannya, cuma perubahan hari dan sesuatu yang tidak prinsip atau syar'i. Kalaupun rezim tendensius dan punya "hidden agenda". Toh, kekuasan mereka yang punya. Tak ada yang bisa mencegah. Tidak perlu ada kelonggaran demokrasi. Tak ada tempat untuk keadilan. Siapapun yang berbeda, menggangu dan apalagi sampai bertentangan, tinggal dibungkam. Digebuk atau dihilangkan suara dan eksistensinya. Demi kelanggengan kekuasaan dan kepuasaan menikmati materi dan kehidupan duniawi. Sepertinya rezim ini lupa dan khilaf permanen, bahwasanya mereka telah bermutasi menjadi tirani. Khawatir melanjutkan kekaisaran Raja Firaun di Mesir klasik. Atau bisa saja menjadi pemerintahan Kemal At-Taturk di Turki awal abad 19. Kedua contoh pemimpin dunia yang identik dzalim dan lalim. Fundamental dan Radikal Mereduksi Islam Upaya-upaya yang terus-menerus secara terorganisir, masif dan sistematik terhadap liberalisasi agama. Semakin kentara dilakukan pemerintah bersama kekuatan-kekuatan organisasi masa dan tokoh-tojoh agama tertentu. Islam secara intensif direkayasa dan dipaksa memasuki ruang kebebasan tanpa batas. Meninggalkan ketentuan-ketentuan dasar yang prinsip dan menjadi syariat. Atas nama pluralitas dan moderasi, Islam secara halus mengalami penggusuran kemurniannya. Pelemahan dan penghancuran umat Islam telah mengalami diskursus dan observasi panjang. Oleh kalangan penganut kapitalisme dengan ujung tombak faham sekuler dan liberal. Serta ideologi komunis yang bersandar pada atheisme. Keduanya menempatkan Islam sebagai doktrin dan ajaran menjadi hambatan dan penghalang terbesar dalam melakukan dominasi dan hegemoni terhadap dunia. Sementara kedua ideologi yang bersumber pada pemikiran manusia itu, selain menempatkan agama Islam sebagai ancaman, dilain sisi mereka menganggap umat Islam sebagai pasar yang potensial. Indonesia sendiri dibawah kepemimpinan rezim Jokowi secara ekspresif dan vulgar sering melakukan kriminalisasi para ulama dan habaib. Juga tokoh pergerakan aktifis Islam dan demokrasi. Ada kekuatan gelap yang terselubung menyusun skenario ekstrim Deislamisasi. Tanpa malu dan bangga menunjukan permusuhan dan kebencian terhadap Islam. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia. Jangan tanya soal keberlimpahan kekayaan alam. Ditambah lagi dengan keunggulan wilayah pada aspek geostrategis dan geopolitis. Posisi yang demikian itu sangat menentukan dalam jalur interaksi dan kerjasama internasional. Dengan demikian, Indonesia bersama umat Islamnya menjadi keniscayaan dan keharusan untuk dikuasai baik oleh kepentingan global maupun kemitraan negara strategis. Dengan cara apapun, melalui aneksasi ekonomi, infiltrasi politik dan ideologi atau bahkan kalau perlu dengan agresi dan kolonialisasi. Betapa pedih dan memilukan, negeri dengan kepantasan sejahtera, adil dan makmur. Namun kenyataanya miskin dan terbelakang. Bercermin dari fragmentasi dan realitas itu. Sesungguhnya Indonesia bukan saja telah mengalami marginalisasi UUD 1945 dan Panca Sila dalam praktek-praktek kehidupan bernegara dan berbangsa. Lebih dari itu secara agresif dan spartan, moncong senjata telah memuntahkan peluru tajam mengoyak-ngoyak Islam dan umatnya. Mengendalikan umat Islam berarti equivalen dengan menguasai secara keseluruhan NKRI. Tentunya oleh asing dan aseng. Entah salah satu atau keduanya dimana bisa dipastikan semuanya bukan orang Indonesia asli. Oleh karena itu, sepertinya cuma ada dua pilihan yang bisa dilakukan rakyat Indonesia. Pertama, menyerahkan nasibnya kepada rezim pemerintahan yang menguasai negara. Pilihan ini menjadi sangat sulit. Menyadari sampai saat ini pemerintah tidak menunjukan tanda-tanda perbaikan dan penyelamatan negara. Justru terjadi kecenderungan pemerintah telah melakukan "crime of state". Aparatur pemerintahan abai dan cenderung menindas rakyatnya. Kedua, ini pilihan yang amat berat dan penuh resiko. Rakyat dalam hal ini umat Islam. Harus berani "Menggugat Indonesia" yang terlena dalam cengkeraman nekolim. Layaknya Soekarno yang menyampaikan "Indonesia Menggugat" di hadapan pemerintah Hindia Belanda pada masa pergerakan kemerdekaan. Islam yang menjadi janin dan roh kelahiran NKRI. Dituntut untuk bangkit dari proses destruktif yang dialami umat Islam. Paling utama dan mendesak adalah menjaga dan merawat ukuwah Islamiyah. Gencarnya upaya pembelahan sosial dan politik adu domba dikalangan umat Islam harus segera ditangani oleh umat Islam sendiri. Mau tidak mau, suka tidak suka, sebelum bicara hal-hal progressif lainnya tentang Islam. Hanya dengan persatuan dan kesatuan umat Islam. Perbaikan dan kemajuan umat Islam, negara dan bangsa Indonesia dapat diraih. Karena mewujudkan Islam sebagai agama Rahmatan Lil A'lamin, merupakan ikhtiar bersama termasuk di dalamnya NKRI dan seluruh dunia. Pada akhirnya, semoga geser-menggeser hari raya umat Islam tidak diikuti gusur-menggusur aqidah umat Islam. Wallahu a'lam bishawab. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Kemuliaan Akhlak dan Keteladanan
Oleh: Yusuf Blegur Saat negara ini juga bangsa-bangsa lain di dunia, kehilangan kepercayaan dan mengalami krisis kepemimpinan. Maka momentum peringatan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Strategis bagi umat manusia termasuk rakyat Indonesia bisa memetik pelajaran dan mengambil hikmah dari kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Selain memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam juga membangun sistem sosial yang menyeluruh termasuk aspek pemerintahan, ekonomi, politik, hukum dan pertahanan keamanan. Nabi Muhammad juga pemimpin di dunia yang paling dapat dipercaya dan memiliki kemuliaan akhlak yang dibutuhkan untuk merubah peradaban manusia menjadi lebih baik. PADA 12 Rabiul Awal 571 M, kelahiran seseorang di dunia yang kemudian perannya sangat menentukan peradaban manusia sepanjang zaman, bahkan setelah wafatnya di dunia. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam dengan segala keagungan sifat dan perbuatannya. Tidak hanya sekedar berdakwah mensyiarkan Islam. Rasullulah juga telah menjadi figur dari kenyataan dan sejarah yang menjadi pelajaran penting bagi proses kehidupan manusia. Baik kehidupan manusia dengan sesamanya maupun hubungan manusia terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'Ala pemilik segala kebesaran dan kekuasaan yang mutlak. Tahun ini bertepatan dengan tanggal 19 Oktober 2021. Umat Islam sedunia kembali berkhidmat pada peristiwa kelahiran atau Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Sebuah momen penting bersejarah dan begitu menakjubkan bukan saja bagi kehidupan umat Islam, namun kepada semua manusia di dunia beserta alam yang terhampar melingkupinya. Rasullullah satu-satunya manusia yang pernah hidup di bumi yang semua perkataan dan tindakannya menjadi manifestasi kebenaran yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta'Alla. Seperti kitab suci Al Quran yang telah diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'Alla, yang menjadi pedoman hidup sebagai petunjuk dan pembeda terhadap yang hak dan batil pada kehidupan manusia. Sikap dan perbuatannya merujuk pada Al Quran, bukan semata pada akal dan hawa nafsu. Kehadiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam juga menempatkannya sebagai pemimpin yang melalukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan. Menjebol tradisi jahiliyah dan kesesatan hidup sejalan membangun nila-nilai tauhid dan sosial. Tersirat menegaskan perannya yang kuat dalam menjelaskan relasi kekuasan Ilahi terhadap makhluknya. Tak ubahnya Al Quran yang mengangkat kisah para Nabi Allah sebelumnya, hingga Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasalam. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam seperti menjadi representasi Al Quran. Kehidupannya menjadi sunah, seiring Al Quran yang berisi tuntunan dari Allah Subhanahu Wa Ta 'Ala kepada seluruh umat manusia agar selamat dunia akhirat. Melalui Al Quran dan sunah, manusia akan dapat menemui Allah Subhanahu Wa Ta A'lla kelak. Hikmah Maulid Nabi Peringatan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pada tahun 2021 ini. Terasa begitu penuh makna dan emosional. Bukan saja terhadap risalah perjuangan kenabiannya yang revolusioner dan mencerahkan peradaban manusia. Lebih dari itu perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam yang mengguncang dunia itu. Menunjukkan ketaatan dan loyalitas kepada Ketauhidan itu amat sangat berat. Penyerahan diri dalam penghambaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta 'Alla seiring menyeru kepada kebenaran dan memerangi yang mungkar. Keringat, darah dan pengorbanan jiwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam beserta keluarga, para sahabat dan umatnya yang istiqomah dalam menegakkan Dienul Islam, begitu dahsyat dan luar biasa. Mereka adalah generasi yang pernah ada pada zamannya, yang menukar seluruh kemanusiannya dengan keyakinan dan keimananya pada Allah Azza Wa Jalla demi keselamatan dunia dan akhirat. Tidak terjebak dan larut pada kehidupan dunia yang sejatinya hina dan penuh senda gurau. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi tanpa lelah mengajak seluruh umat di dunia untuk tidak mencintai dunia yang melalaikan manusia dan lebih menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan kemurnian jiwanya tak pernah berhenti memikirkan, bertindak dan mempertaruhkan hidupnya demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Sebuah karakter pemimpin yang mulia yang sangat sulit dijumpai setelah masanya. Ketaqwaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam telah menjadi contoh dan keteladanan bagi umat manusia, seperti yang dituangkan Al Quran dalam petikan surah Al Ahzab ayat 21, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ yang artinya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu". Melawan Jahiliyah Modern Indonesia dalam hal ini para pemimpin dan rakyatnya. Sesegera mungkin harus mampu melakukan refleksi dan evaluasi terhadap perjalanan hidup kebangsaan. Kenapa sejauh ini sebagai sebuah negara yang bahkan sejak kelahirannya. Indonesia telah mengalami kerusakan sistem multidimensi dan tak pernah mencapai tujuan dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Apa yang terjadi pada negara Indonesia?, secara substansi sistem yang ada telah menciptakan seburuk-buruknya sebuah negara bangsa di dunia. Kebanyakan penyelengaraan negara jauh dari yang ideal. Negeri kaya tapi miskin rakyatnya. Negara hukum tapi telanjang menggunakan praktek tangan besi. Terkenal sebagai masyarakat religi namun berperangai mengabaikan Tuhan. Bangsa Indonesia bersama para pemimpinnya terus-menerus tak pernah bersyukur atas rahmat dan anugerah yang telah diberikan Allah Subhanahu Wa Ta A'la. Dengan kekayaan alam yang berlimpah dan segala fasilitas yang tersedia untuk hidup sebagai sebuah negara bangsa yang adil dan makmur. Indonesia malah tak ubahnya seperti negara yang sengsara, rakyatnya hidup terbelakang dan penuh penuh keterbatasan. Bersandar dan menganut ideologi-ideologi yang bersumber pada pemikiran manusia. Hasil pemikiran dan orientasi yang tentu saja dipenuhi nafsu, ambisi dan keserakahan hidup. Membuat para pemimpin dan sebagian besar rakyat Indonesia. Bukan hanya kering spritualitasnya, lebih dari itu menjadikan agama terlebih Islam hanya sekedar formalitas dan simbol semata. Mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan dan Ketuhanan. Menjadikan materi dan kepuasan dunia sebagai Tuhannya. Secara esensi tidak berbeda dengan binatang buas, merasa unggul dan ingin menguasai, saling memangsa, dan membunuh untuk kepuasannya sendiri. Terlalu lama menghirup napas kapitalisme dan atheis yang menganut sistem liberal dan dan sekuler. Membuat bangsa Indonesia tidak hanya menjadi populasi penduduk yang mengejar materi, jabatan dan kepentingan kebendaan dunia lainnya. Lebih dari itu menjadikan mayoritas rakyat Indonesia telah mengalami pergeseran dan pendangkalan aqidah. Banyak para pejabat, tokoh dan yang menyandang ulama sekalipun. Begitu murahnya menjual agama dan menggadaikan aqidahnya dengan sesuatu yang rendah. Orang-orang seperti itu kian ramai dan perlahan tapi pasti telah keluar dari agama bahkan menjadi musuh agama. Menjual awidahnya demi kesenangan dunia. Oleh karena itu, dengan banyaknya fenomena-fenomena proses dehumanisasi dan atheisme dalam kehidupan dunia, terlebih di Indonesia. Maka negeri ini menjadi masyarakat yang tatanan hidupnya baik secara sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum tidak berbeda dengan sistem jahiliyah yang pernah ada di zaman Nabi Muhammad dan sebelumnya. Bangsa Indonesia seperti mengikuti siklus sejarah, kembali kepada masa lalu kehidupan yang identik dengan kebiadaban. Maka menjadi sesuatu yang alami dan menjadi tuntutan hidup bahwasanya rakyat Indonesia berhak dan harus mendapat kehidupan yang jauh lebih baik. Secara spiritual dan materil, lahir dan batiniah. Termasuk kembali kepada khitah kehidupannya yang hakiki. Meresapi dan dan menginsyafi keagamaannya. Membangun kehidupan religi yang bersandar pada nilai-nilai Islam yang kafah. Bercermin dari yang pernah dilakukan dan dicontohkan Nabi Besar Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. In syaa Allah Dienul Islam sebagai agama Rahmatan lil A'lamin, memberikan jalan lurus bagi keselamatan umat manusia di dunia dan akherat. Pemimpin Indonesia sudah sepantasnya intropeksi terhadap kegagalan-kegagalan negara, pemerintahan dan sistem yang selama ini keluar dari ajaran Islam. Lagipula, penerapan syariat Islam itu hanya untuk umat Islam, bukan buat yang lain. Tidak berlaku bagi umat non muslim. Tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain mengikuti tata cara atau syariat Islam. Apalagi sampai menimbulkan permusuhan, kebencian dan menciptakan konflik dalam menjalankan syariat Islam. Kenapa dibuat rumit dan polemik?. Agamamu, agamaku, politikmu politikku, cara hidupmu cara hidupku. Kenapa mengidolakan, merayakan kelahiran dan memperingati kematian tokoh-tokoh dunia kontemporer tidak pernah dipersoalkan?. Di sebagian belahan dunia, itu dilakukan sebagai bentuk peduli, kecintaan bahkan sebagai wujud fanatisme. Semua tidak masalah dan menimbulkan polemik. Bagaimana dengan kelahiran dan perjuangan manusia agung dan mulia seperti Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam?. Nabi sekaligus Rasul yang begitu besar jasa dan pengorbanannya bagi umat manusia di dunia. Pemimpin revolusi Islam yang dengan akhlaknya mampu merubah peradaban manusia. Dapatkah umat manusia memetik pelajaran dan mengambil hikmahnya?. Pada akhirnya peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Dengan kemuliaan ahlak dan keteladanan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Salam. Idealnya bisa menjadi momentum dan kebangkitan umat Islam untuk kembali menghidupi jiwanya dengan Al Quran dan Sunah. Menghadirkan Islam sebagai tuntunan hidup dan memperbaiki akhlak manusia. In syaa Allah. Mari kita limpah curahkan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Allahumma Sholli Ala Muhammad. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Skandal Kereta Cepat Harus Cepat Dibuka
By M Rizal Fadillah TERBITNYA Perpres No 93 tahun 2021 yang membolehkan penggunaan dana APBN adalah sinyal kegagalan. Awalnya percaya diri pada pembiayaan mandiri tanpa dana negara, namun ujungnya teriak dan meraih pegangan ketika mulai tenggelam. Kereta cepat membuat kepanikan lalu cepat mengubah jalur. Kini kereta itu bergerak di jalur SOS. Pemerintah mulai menyuntik dana 4,3 Trilyun berupa PNM untuk PT KAI lokomotif konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Dana itu berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) 2021. Dana yang mestinya digunakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi rakyat dipakai guna pemulihan kereta cepat Indonesia Cina. Menyedihkan. Timbul pertanyaan apakah Perpres penggunaan dana APBN yang diawali suntikan SILPA 2021 ini murni inisiatif Pemerintah Indonesia atau atas tekanan China ? Melihat pada komposisi personalia dimana China dominan, kecurigaan itu menjadi sangat wajar. Presiden Komisaris Guo Jiang, Direktur Keuangan Zang Chou, dan Direktur Teknik Xiao Song Xin adalah sebuah gambaran dominasi. Ekonom Faisal Basri mengkritisi masa depan proyek ambisius Jokowi yang mangkrak dan bengkak ini. Menurutnya kereta cepat bakal mengalami kesulitan bayar dan pengembalian. Artinya dapat menjadi proyek gagal. Ia menyarankan segera stop proyek kereta cepat sebagaimana stop pula proyek food estate dan Ibukota baru (IKN). Proyek kereta cepat Jakarta Bandung ternyata berat saat konstruksi dan berat pula saat operasi. Apa yang terjadi jika ternyata kereta berbiaya 114 Trilyun ini nantinya sepi penumpang akibat harga mahal, jarak pendek, opsi angkutan banyak, serta Ibukota yang ternyata dipindahkan. Kereta yang mondar mandir cepat berpenumpang sedikit. Pemaksaan proyek adalah tanggungjawab Pemerintah dan ini artinya tanggungjawab Kepala Pemerintahan, yaitu Presiden Jokowi. Terlalu banyak kegagalan dari cara mengelola negara dengan nafsu bisnis semata. Negara menjadi komoditas. Bapak infrastruktur yang babak belur. Proyek kereta cepat perlu audit serius, jangan-jangan menjadi lahan korupsi dan skandal. Kritik atas proyek yang kini dikomandani Luhut Binsar Panjaitan ini sudah sangat banyak. Tetapi nampaknya terus dijalankan dengan tak peduli. Bahkan nekad harus menggali dana APBN. Teringat bait puisi Chairil Anwar. Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih perih Dan aku akan lebih tak peduli Aku ingin hidup seribu tahun lagi Meski dengan seribu dusta, aku ingin hidup satu periode lagi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Tangkap Komedian Songong Si Penghina Habib Rizieq, Jika Tidak Ingin Umat Bertindak Sendiri
Oleh Ady Amar *) APAKAH ia sudah kehilangan sense of humor sudah tidak punya lagi kreatifitas menghibur yang membuat orang terbahak, sehingga mesti harus menghina atau melecehkan nama ulama tertentu. Sepertinya ia sudah kering, tak punya bahan lawakan, tak mampu mengundang audiens untuk tertawa. Maka, yang keluar dari mulutnya ucapan atau lebih tepat umpatan ngaco mengundang orang lain untuk dijadikan bahan candaan yang tidak semestinya. Bahkan sampai tingkat melecehkan dengan sebutan kotor. Setidaknya itu video singkat yang beredar sejak kemarin (16 Oktober). Mengundang keprihatinan bahkan kemarahan umat, menghendaki Kepolisian bersikap dengan menangkap komedian itu. Ialah Dani Wijaya Wardhana, atau biasa memakai nama panggung McDanny, dikenal sebagai stand up komedian. Candaannya menyasar ulama yang tengah meringkuk dalam penjara, bukan karena laporan berpuluh umat ditipu ulama dalam proyek fiktif atau atas bisnis kotornya. Tapi ulama yang jadi sasaran pelecehannya itu mendekam dalam penjara karena dianggap "berbohong" atas Hasil Swab Covid-19 pada RS Ummi, Bogor. Jika saja bisa dibuktikan bahwa benar ia "berbohong", maka dicukupkan hanya disanksi administratif. Sanksi pidana yang dikenakan, itu oleh praktisi dan pengamat hukum disebut hal mengada-ada. Tanpa ada perkataan pemula atau kontekstual dari lawakannya, yang mengharuskan ulama satu ini mesti dihinakan. Tiba-tiba dari mulut kotor McDanny keluar umpatan, _fuck_ Rizieq Shihab. Apakah ini spontanitas yang diproduksi otak songongnya, atau itu memang sudah direncanakan bahwa dengan menghina ulama satu ini ia aman-aman saja. Bahkan berharap dengan menghina ulama satu ini ia bisa dapatkan kelucuan tersendiri, atau agar ia dianggap nekat, sehingga tarifnya naik. Apa salah Habib Rizieq Shihab padanya sehingga harus dilecehkan, itu banyak pertanyaan muncul dari para netizen dan karenanya muncul (tagar) #tangkapmcdanny menjadi trending topic. Kita lihat saja apakah pihak Kepolisian peka dan tanggap pada hal-hal demikian. Pada soal-soal demikian mestinya polisi hadir, sebelum umat mencari jalannya sendiri menghakimi yang bersangkutan, tentu itu hal tidak diinginkan. Jika komedian _gareng_ ini bebas merdeka, tidak mendapat sanksi atau diproses hukum. Maka itu artinya, perlakuan penghinaan/pelecehan atas ulama yang kebetulan berseberangan dengan rezim tidak dianggap sesuatu. Hal biasa, seperti yang sudah-sudah, justru pihak pembuat video atau yang meng-upload video dikejar seolah dianggap pelaku yang turut menyebarkan berita yang memancing kemarahan umat. Sedang aktor utamanya melenggang bebas, ini aneh dan bagian dari akrobat hukum. Pelaku yang sesungguhnya menjadi tidak tersentuh hukum, karena yang dilecehkan itu musuh rezim, maka ia aman-aman saja. Jika lalu muncul dugaan, bahwa apa yang dikatakan McDanny itu hal yang memang disengaja itu bisa dibenarkan, jika pihak Kepolisian tidak menangkap dan memprosesnya. Mereka seolah mendapat keistimewaan. Mereka semacam manusia yang diprogram untuk menghina Habib Rizieq Shihab. Ini semacam buzzerRp, yang sulit bisa disentuh hukum. Melakukan pelecehan bahkan fitnah sekalipun menjadi bebas merdeka. Dilaporkan tapi tidak ada tindak lanjut bisa menyentuh "mesin" manusia jenis itu. Maka para penghina, semacam McDanny, pada mereka yang berseberangan dengan rezim ke depan bisa jadi akan makin "kreatif", bahkan akan makin semarak dengan tingkat intensitas lebih dahsyat lagi. Penghinaan terhadap Habib Rizieq Shihab, tentu mustahil bisa menjatuhkan namanya. Meski hinaan dan cacian merendahkan disuarakan terus-menerus sekalipun, tidak lantas membuat nama Habib Rizieq runtuh. Namanya akan tetap semerbak mewangi. Tidak ada yang mampu mengecilkan dan membuat busuk namanya. Melaporkan itu bagian dari mencari keadilan, meski itu sulit bisa didapat. Itu tidak masalah, itu bagian dari ikhtiar mencari keadilan, meski sulit bisa didapat, jika masih memposisikan diri ada di barisan yang berseberangan dengan rezim. Pada saatnya semua akan berakhir, dan itu jika hukum sudah tidak tertekuk dalam kuasa politik. Kapan waktunya, tidak ada yang mampu memprediksi. Terus dan tetaplah bersabar, karena Tuhan tidak sedang diam. Dia melihat semuanya, dan jika sampai waktunya, maka dengan mudah Dia mampu untuk menyudahi itu semua. Jangan tanya kapan waktunya itu datang, tapi tanyalah pada diri sendiri, apakah Tuhan sudah kita jadikan sandaran, tentu sembari ikhtiar keras dan sistemik untuk menyudahi itu semua. Percayalah Tuhan tidak sedang diam, apalagi tertidur. (*) *) Kolumnis