OPINI
Copot Kapolda
By M Rizal Fadillah DUA Kapolda melakukan perbuatan yang berbahaya bagi bangsa. Keduanya adalah Kapolda Metro Irjen Pol Fadil Imran dan Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri. Fadil Imran diduga terlibat sekurangnya dalam pembiaran terjadinya pembantaian 6 anggota Laskar FPI. Sementara Eko Indra ikut mengecoh publik atas uang 2 Trilyun dana keluarga Akidi Tio. Irjen Pol Fadil Imran telah melakukan perbuatan berbahaya dengan mencoba mentersangkakan 6 orang korban pembantaian dan melindungi anggota Kepolisian Polda Metro Jaya yang bertindak sebagai Pelapor. Kapolda tidak menindak anggotanya yang kemudiannya berstatus Tersangka dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan tersebut. Kapolda Sumsel di tengah pandemi yang mencekam telah mengecoh publik dengan publikasi saat menerima dana sumbangan 2 Trilyun dari Heryanti anak bungsu pengusaha Akidi Tio yang kemudian diketahui ternyata uang 2 Trilyun tersebut hanya "pasir" saja. Hoax atau prank ini akan menjadi catatan sejarah bangsa. Nama Eko Indra pun ikut melegenda. Kapolri harus konsisten untuk membuktikan adanya langkah pembenahan di lingkungan Kepolisian dengan berani mencopot kedua Kapolda yang menghebohkan tersebut. Pembiaran atas pencemaran korps tentu berefek buruk bagi citra Kapolri sebagai atasan. Khusus mengenai kasus hoax keluarga Akidi Tio masyarakat menuntut penuntasan segera. Pemberhentian Kapolda adalah pilihan terbaik di samping proses hukum cepat tersangka Heryanti dan pihak lain yang terlibat. Menurut Kapolda informasi awal datang dari Kadinkes Sumsel dan Profesor Hardi Darmawan, dokter pribadi keluarga Akidi Tio. Masyarakat mengaitkan hoax 2 Trilyun dengan hoax Presiden soal dana 11.000 Trilyun. Dalam situs resmi Setkab, yang konon kini dihapus, tertulis "Datanya sudah ada, Presiden Jokowi : Uang kita yang disimpan di luar negeri Rp 11.000 Trilyun". Ternyata uang itu hingga kini tidak terbukti keberadaannya. Fakta yang terjadi justru hutang yang berjumlah 6.416 Trilyun di bulan Mei 2021. Di medsos netizen mencoba melakukan inventarisasi hoax Presiden mulai soal laku 6000 unit mobil Esemka, pengangguran digaji, sudah beli 2 juta Avigan, 50 juta masker, penguatan KPK, cetak 3 juta lahan pertanian, anak yang tak tertarik politik, persulit investasi asing, stop hutang luar negeri, stop impor, tidak bagi-bagi jabatan, hingga yang paling diingat yaitu ekonomi meroket. Mulailah untuk menjalankan prinsip good governance dengan pemberantasan hoax pejabat negara. Janganpah hoax itu selalu dituduhkan kepada rakyat semata. Pencopotan Kapolda Sumsel adalah bukti keseriusan dalam membenahi aparatur negara. Pandemi membuat panik sehingga aparat kehilangan kendali dan kontrolnya lagi. Membabi buta dengan "uang pasir" 2 Trilyun. Kapolda memang sudah meminta maaf atas ketidakhati-hatiannya, tetapi persoalan menghebohkan ini tidak cukup dengan meminta maaf. Ini bukan saat lebaran sebagai momen saling maaf memaafkan. Ini persoalan bangsa dan negara. Persoalan sosial, politik, dan hukum. Ayo copot Kapolda Metro dan Kapolda Sumsel, Kepolisian masih memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, profesional dan berakhlak. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Melawan Covid-19: Intimasi dan Nutrisi
Oleh: Prof. Daniel Mohammad Rosyid Vaksinasi massal melawan flu Covid-19 saat ini semakin dipaksakan. Terakhir BIN (Badan Intelijen Negara) telah dilibatkan dalam vaksinasi santri pesantren. Bahkan sertifikat vaksin kini dijadikan syarat mobilitas. Ada rencana untuk menjadikannya sebagai syarat administrasi untuk memperoleh pelayanan publik. Kebijakan penanganan covid yang terlambat dan inkonsisten sehingga tidak efektif justru dijadikan alasan bagi vaksinasi paksa massal ini. Langkah ini dipijakkan pada pendakuan yang rapuh, dan inkonstitusional tapi sekaligus jahat. Ada 4 alasan mengapa vaksinasi tidak relevan dalam menghadapi Flu Covid-19. Pertama, covid-19 sebagai flu adalah self-limiting disease dan ditularkan lebih melalui droplet. Virus sulit menular di ruang terbuka, panas, dan berkelembaban tinggi. Ada upaya sesat mengubah Covid-19 sebagai bukan flu, ditambah dengan narasi virus menular melalui aerosol dan OTG, sehingga pandemi Covid-19 ini menjadi semacam teror biologis. Padahal flu itu tidak ada obatnya; vaksin bukan obat flu. Perangkat paling ampuh melawan flu adalah imunitas tubuh baik yang bawaan ataupun yang diperoleh melalui gaya hidup sehat manusia sebagai makhluq multi-dimensi, bukan sekedar makhluq biokimia semacam binatang. Anak muda yang sehat yang terpapar Flu Covid-19 akan mengalami gejala flu biasa atau sedikit lebih berat namun akan sembuh dengan sendirinya dengan bantuan obat flu plus multivitamin terutama vitamin D. Flu Covid-19 memang bisa mematikan jika menyerang manusia dengan penyakit tak menular bawaan (comorbid) seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, atau kanker dan pasien yang mengalami malnutrisi. Malnutrisi ini memperparah comorbid yang sudah ada pada pasien terduga Covid-19. Apalagi lansia. Jika ditangani dengan benar, angka kesembuhan covid-19 sangat tinggi. Tidak mengherankan karena Covid-19 memang sesungguhnya hanya flu. Apapun varian dan mutasinya, Covid-19 tetap hanya flu. Kedua, vaksin-vaksin yang beredar saat ini hanya memperoleh otorisasi darurat. Efikasinya tidak meyakinkan. Padahal, keluhan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) cukup banyak, sebagian malah mematikan. Kedaruratan ini highly debatable dan berpotensi maladministrasi publik. Hemat saya, kedaruratan justru diakibatkan oleh pandemisasi flu Covid oleh WHO, serta hampir semua protokol "kesehatan" nya, terutama pembatasan mobilitas lokal. Semburan narasi bahwa penularan melalui kerumunan telah mengantar pada protokol 3M (menutup mulut dan hidung dengan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Padahal tertular flu bagi warga muda yang sehat malah lebih baik daripada vaksinasi dengan hasil imunitas yang masih meragukan. Dengan nutrisi yang sehat, natural herd immunity melawan flu lebih murah daripada vaksinasi dan tanpa menghancurkan ekonomi. Ditambah dengan isolasi baik di rumah ataupun di rumah sakit, sumber-sumber imunitas manusia sebagai makhluq multi-dimensi justru tergerus habis. Padahal imunitas dibangun sebagian besar justru melalui keakraban interaksi manusiawi, aktifitas fisik dan mental di ruang terbuka di bawah matahari, serta nutrisi seimbang. Mobilitas lokal, apalagi metabolik (berjalan dan bersepeda), seharusnya justru dipromosikan pada saat karantina wilayah diterapkan. Ekonomi lokal bisa tetap berputar. Kedaruratan yang menjadi alasan pemaksaan vaksinasi massal adalah hasil kebijakan yang keliru atau bahkan maladministrasi publik: kebijakan bukan untuk melayani publik, tapi melayani pihak tertentu seperti industri farmasi. Ketiga, pemerintah mestinya menjalankan amanah konstitusi dengan mengambil politik kesehatan yang melindungi segenap bangsa melalui kemandirian sektor kesehatan. Politik kesehatan kita seharusnya lebih preventif dan promotif. Sudah lama sistem kesehatan nasional kita bermasalah: kuratif, tidak efisien, tidak berkelanjutan, dan tidak mandiri karena banyak tergantung pada industri farmasi asing. Vaksinasi dengan vaksin buatan sendiri (bukan impor) akan lebih diterima. Comorbid dan malnutrisi yang menggerogoti kesehataan publik kurang memperoleh perhatian serius dan makin terbengkalai akibat pandemisasi Covid-19 ini. Keempat, politik kesehatan yang benar adalah yang menempatkan publik bukan sekedar pasien atau pesakitan, tapi juga produsen kesehatan sebagai public goods. Publik adalah manusia yang merdeka yang tidak saja memiliki tanggungjawab atas kesehatan tubuhnya sendiri tapi juga memiliki potensi untuk ikut menyediakan kesehatan. Vaksinasi paksa massal melawan flu Covid-19 tidak saja merampas kemerdekaan sipil warga negara yang bertanggungjawab, tapi sekaligus a waste of public money. Imunitas nasional melawan flu covid-19 dapat dibangun dengan intimasi dan nutrisi massal. Bukan dengan isolasi dan vaksinasi paksa massal. Penulis adalah Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya
Melawan Covid19: Intimasi dan Nutrisi
Oleh Daniel Mohammad Rosyid VAKSINASI massal melawan flu Covid-19 saat ini semakin dipaksakan. Terakhir BIN dilibatkan dalam vaksinasi santri pesantren. Bahkan sertifikat vaksin kini dijadikan syarat mobilitas. Ada rencana untuk menjadikannya sebagai syarat administrasi untuk memperoleh pelayanan publik. Kebijakan penanganan covid yang terlambat dan inkonsisten sehingga tidak efektif justru dijadikan alasan bagi vaksinasi paksa massal ini. Langkah ini dipijakkan pada pendakian yang rapuh, dan inkonstitusional tapi sekaligus jahat. Ada 4 alasan mengapa vaksinasi tidak relevan dalam menghadapi Flu Covid-19. Pertama, covid-19 sebagai flu adalah self-limiting disease dan ditularkan lebih melalui droplet. Virus sulit menular di ruang terbuka, panas dan berkelembaban tinggi. Ada upaya sesat mengubah Covid-19 sebagai bukan flu, ditambah dengan narasi virus menular melalui aerosol dan OTG, sehingga pandemi Covid-19 ini menjadi semacam teror biologis. Padahal flu itu tidak ada obatnya; vaksin bukan obat flu. Perangkat paling ampuh melawan flu adalah imunitas tubuh baik yang bawaan ataupun yang diperoleh melalui gaya hidup sehat manusia sebagai makhluq multi-dimensi, bukan sekadar makhlus biokimia semacam binatang. Anak muda yang sehat yang terpapar Flu Covid-19 akan mengalami gejala flu biasa atau sedikit lebih berat namun akan sembuh dengan sendirinya dengan bantuan obat flu plus multivitamin terutama vitamin D. Flu Covid-19 memang bisa mematikan jika menyerang manusia dengan penyakit tak menular bawaan (comorbid) seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, atau kanker dan pasien yg mengalami malnutrisi. Malnutrisi ini memperparah comorbid yang sudah ada pada pasien terduga Covid-19. Apalagi lansia. Jika ditangani dengan benar, angka kesembuhan covid-19 sangat tinggi. Tidak mengherankan karena Covid-19 memang sesungguhnya hanya flu. Apapun varian dan mutasinya, Covid-19 tetap hanya flu. Kedua, vaksin-vaksin yang beredar saat ini hanya memperoleh otorisasi darurat. Efikasinya tidak meyakinkan. Keluhan ikutan pasca imunisasi cukup banyak, sebagian malah mematikan. Kedaruratan ini highly debatable dan berpotensi maladministrasi publik. Hemat saya, kedaruratan justru diakibatkan oleh pandemisasi flu Covid oleh WHO, serta hampir semua protokol "kesehatan" nya, terutama pembatasan mobilitas lokal. Semburan narasi bahwa penularan melalui kerumunan telah mengantar pada protokol 3M (menutup mulut dan hidung dengan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Padahal tertular flu bagi warga muda yang sehat malah lebih baik daripada vaksinasi dengan hasil imunitas yang masih meragukan. Dengan nutrisi yang sehat, natural herd immunity melawan flu lebih murah daripada vaksinasi dan tanpa menghancurkan ekonomi. Ditambah dengan isolasi baik di rumah ataupun di rumah sakit, sumber-sumber imunitas manusia sebagai makhluk multi-dimensi justru tergerus habis. Padahal imunitas dibangun sebagian besar justru melalui keakraban interaksi manusiawi, aktifitas fisik dan mental di ruang terbuka di bawah matahari, serta nutrisi seimbang. Mobilitas lokal, apalagi metabolik (berjalan dan bersepeda), seharusnya justru dipromosikan pada saat karantina wilayah diterapkan. Ekonomi lokal bisa tetap berputar. Kedaruratan yang menjadi alasan pemaksaan vaksinasi massal adalah hasil kebijakan yang keliru atau bahkan maladministrasi publik : kebijakan bukan untuk melayani publik, tapi melayani pihak tertentu seperti industri farmasi. Ketiga, pemerintah mestinya menjalankan amanah konstitusi dengan mengambil politik kesehatan yang melindungi segenap bangsa melalui kemandirian sektor kesehatan. Politik kesehatan kita seharusnya lebih preventif dan promotif. Sudah lama sistem kesehatan nasional kita bermasalah : kuratif, tidak efisien, tidak berkelanjutan, dan tidak mandiri karena banyak tergantung pada industri farmasi asing. Vaksinasi dengan vaksin buatan sendiri (bukan impor) akan lebih diterima. Comorbid dan malnutrisi yang menggerogoti kesehataan publik kurang memperoleh perhatian serius dan makin terbengkalai akibat pandemisasi Covid-19 ini. Keempat, politik kesehatan yang benar adalah yang menempatkan publik bukan sekedar pasien atau pesakitan, tapi juga produsen kesehatan sebagai public goods. Publik adalah manusia yang merdeka yang tidak saja memiliki tanggungjawab atas kesehatan tubuhnya sendiri tapi juga memiliki potensi untuk ikut menyediakan kesehatan. Vaksinasi paksa massal melawan flu Covid-19 tidak saja merampas kemerdekaan sipil warga negara yang bertanggungjawab, tapi sekaligus a waste of public money Imunitas nasional melawan flu covid-19 dapat dibangun dengan intimasi dan nutrisi massal.. Bukan dengan isolasi dan vaksinasi paksa massal. Penulis, Rosyid College of Arts Gunung Anyar.
Pentingnya Memasyarakatkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Oleh Abdurrahman Syebubakar PADA tanggal 25 September 2015, 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia secara resmi mengadopsi SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) guna mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dan dimensinya serta menjamin kemakmuran bagi semua. SDGs dibangun di atas landasan nilai-nilai dasar hak asasi manusia, kesetaraan dan keberlanjutan pembangunan. Serangkaian tujuan dalam SDGs merupakan visi baru masyarakat global untuk masa depan yang lebih baik, yang mencakup empat dimensi utama pembangunan dengan pendekatan holistik, yaitu pembangunan sosial inklusif, pembangunan ekonomi inklusif, kelestarian lingkungan, serta perdamaian dan keamanan. Pendekatan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip Deklarasi Milenium tahun 2000 yang menjamin “kebebasan positif” dan “kebebasan negatif” generasi sekarang dan yang akan datang. Contoh kebebasan positif, di antaranya, bebas untuk hidup layak dan sehat, serta meraih pendidikan berkualitas. Sementara, bebas dari rasa takut, kemiskinan, kelaparan dan berbagai bentuk penderitaan lainnya, merupakan bagian dari kebebasan negatif. Melanjutkan dan bertujuan menuntaskan MDGs (Millennium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milenium) yang juga lahir dari Deklarasi Milenium dan berakhir tahun 2015, SDGs terdiri dari 17 tujuan dan 169 target spesifik yang harus dicapai selama 15 tahun hingga 2030. SDGs berfungsi ganda di pelbagai tingkat. Sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan, sekaligus menjadi tujuan yang hendak dicapai dengan target-target spesifik. SDGs dapat menjadi acuan dalam penentuan prioritas kebijakan dan program pembangunan nasional dan daerah. Transparansi dan multidimensionalitas - nya membantu pemerintah untuk menggalang dukungan luas dan memobilisasi kemitraan multipihak guna mengatasi pelbagai isu sentral pembangunan. Hal ini ditegaskan dalam laporan Sustainable Solutions Networks PBB 2013 bahwa SDGs "bersifat universal dan berlaku untuk semua negara, pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha dan masyarakat sipil". Penekanan SDGs pada paradigma pembangunan manusia yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan, seyogyanya menggeser orientasi kebijakan di luar narasi pertumbuhan ekonomi yang telah mendominasi agenda pembangunan selama ini. Pertumbuhan ekonomi dibutuhkan sejauh berkeadilan dan memberikan kontribusi terhadap kemakmuran seluruh rakyat, terutama rakyat kecil. SDGs juga dapat digunakan sebagai kerangka kerja dan instrumen praktis untuk memantau pelaksanaan kebijakan dan strategi pembangunan guna menjamin akuntabilitas pelaksana kebijakan di pelbagai tingkat. SDGs berfungsi sebagai “kartu penilaian” untuk membandingkan pencapaian hasil pembangunan di daerah sehingga terjadi skala prioritas dalam proses perencanaan dan alokasi anggaran. Sebagai tujuan, SDGs bermakna setiap warga negara, setiap tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan lainnya---institusi negara, swasta, media, perguruan tinggi, lembaga pemikir/riset dan masyarakat sipil--- mengerahkan potensi dan upayanya untuk mencapai tujuan dan target target SDGs. SDGs, sebagai agenda global, meniscayakan kontekstualisasi sesuai dengan kondisi di pusat dan daerah. SDGs dapat diselaraskan dengan kebijakan dan strategi pembangunan nasional dan daerah termasuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah, Rencana Kerja (tahunan) Pembangunan, Rencana Pembangunan Sektoral, Anggaran Tahunan, serta dokumen kebijakan dan rencana aksi lainnya. Di era otonomi daerah, sebagian besar tanggung jawab dan keputusan penting terkait pencapaian SDGs berada di tangan pemerintah daerah. Seperti pengalaman pelaksanaan MDGs di berbagai negara, pencapaian tujuan dan sasarannya tergantung pada otoritas lokal dan keterlibatan pemangku kepentingan lainnya. Peran penting pemerintah daerah dalam SDGs ditekankan oleh Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel 2013) tentang Agenda Pembangunan Paska 2015 dalam laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB. Dalam Laporan tersebut disebutkan bahwa masalah paling mendesak adalah mendorong pendekatan lokal dan geografis untuk mempercepat pencapaian SDGs. Hal ini dapat dilakukan dengan memilah data berdasarkan lokasi, dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menentukan prioritas, melaksanakan rencana dan pemantauan serta bermitra dengan dunia usaha dan masyarakat. Sebagai garda terdepan (front-liner), yang paling dekat dengan rakyat, pemerintah daerah berada dalam posisi paling tepat untuk mengidentifikasi dan merespon kebutuhan masyarakat melalui penyediaan layanan publik. Terlebih dalam konteks desentralisasi dan demokratisasi Indonesia di mana pemerintah daerah memiliki mandat politik melalui pilkada langsung. Aset politik pemerintah daerah berupa pemilihan langsung dan desentralisasi fiskal yang tinggi berpotensi meningkatkan penyediaan dan kualitas layanan publik sehingga tercipta kesejahteraan rakyat, khususnya kelompok miskin, rentan dan marjinal. Namun, defisit kapasitas di tingkat lokal di pelbagai bidang – dalam perencanaan, penganggaran, implementasi dan pemantauan kebijakan dan program pembangunan - menghambat potensi ini. Kapasitas pemerintah daerah untuk memobilisasi dukungan luas dari aktor-aktor kunci lainnya seperti dunia usaha, perguruan tinggi, think tank, dan kelompok masyarakat sipil – juga masih menjadi tanda tanya. Dus, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam upaya percepatan pencapaian SDGs menjadi kebutuhan mendesak. Dalam hal ini, pemerintah pusat dapat menyediakan kerangka regulasi, peningkatan kapasitas kelembagaan dan teknokratis, yang menyertai alih kewenangan dan sumber daya fiskal ke daerah. Di samping Roadmap dan Rencana Aksi di pusat dan daerah yang menjadi rujukan semua pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam pencapaian SDGs, diperlukan strategi pembiayaan serta mekanisme insentif moneter dan/atau non-moneter bagi pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi dan berbagai prakarsa percepatan pencapaian agenda global ini. Untuk menerjemahkan SDGs ke dalam konteks lokal dan merinci target target-nya di berbagai tingkat, hingga desa/kelurahan, dibutuhkan instrumen praktis seperti Peta Kemiskinan Multidimensi’ (Multi-dimensional Poverty Map), Kartu Penilaian SDGs (SDG Score Card) dan Analisis Anggaran, yang sebelumnya berhasil diterapkan di berbagai daerah di Indonesia dalam pelokalan MDGs. Hasilnya, alokasi anggaran untuk sektor-sektor terkait kemiskinan multidimensi, dan porsi belanja langsung pembangunan, meningkat cukup signifikan. ____________________________ Penulis Ketua Dewan Pengurus IDe. Tulisan merupakan adaptasi dari artikel penulis bertajuk Bringing Sustainable Development Goals Home yang dimuat harian The MalayMail pada 18 April 2016. Rekomendasi dalam tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman empiris penulis ketika memimpin pengembangan dan pelaksanaan berbagai inisiatif terkait percepatan pencapaian MDGs dan Pembangunan Manusia pada Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia, antara 2002 dan 2011.
Alih Kelola Blok Rokan (1): Waspadai Oligarki dan Pemburu Rente!
Oleh Marwan Batubara, PADA hari Senin, 9 Agustus 2021 minggu depan, pengelolaan Blok Rokan resmi berpindah dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) kepada Pertamina melalui anak usaha Pertamina Hulu Rokan (PHR). Chevron (sebelumnya Socal, lalu Caltex) menguasai blok migas di Riau tersebut sejak 1936. Kontrak Blok Rokan ditandatangani PHR dengan SKK Migas atas persetujuan Menteri ESDM 9 Mei 2019. Kontrak akan berlangsung 20 tahun, 2021-2041, menggunakan skema gross split. Bulan lalu Dirut PHR Jaffee Arizona Suardin mengatakan proses alih kelola Blok Rokan telah berjalan lancar tanpa kendala. Proses mirroring seluruh kontrak eksisting (dengan CPI) sudah lebih dari 100% dari 291 kontrak. Selain mirroring, juga dilakukan pengadaan baru dan kontrak melalui program pengembangan bisnis lokal yang juga berjalan lancar. Proses alih pekerja pun telah mencapai 98,7% kata Jaffee (13/7/2021). Dari sisi operasional alih kelola Blok Rokan tampaknya akan baik-baik saja. Sehingga target PHR mempertahankan lifting Blok Rokan sekitar 165.000 barel per hari (bph), sama seperti saat dikelola CPI, tampaknya dapat tercapai, terutama karena PHR menempuh pola mirroring kontrak. Kita tidak tahu apakah dalam pola tersebut terkandung pula maksud “mengamankan” kepentingan “para sub-kontraktor lama” yang biasa berkontrak dengan CPI. Yang jelas, untuk bisnis migas sebesar Blok Rokan, pemimpinnya malah berasal dari SKK Migas, bukan dari induknya, yakni Pertamina sebagai pemegang 100% Blok Rokan. Ke depan, seharusnya Pertamina/PHR segera menangani kontrak/sub-kontrak secara mandiri. Sebab, bisa saja kontrak existing CPI (yang di-mirror PHR) bernilai sangat mahal, sehingga agar efisien dan efektif harus direview sesuai kebutuhan rencana pengembangan jangka pendek dan panjang. Dengan demikian akan diperoleh manfaat maksimal bagi BUMN dan negara. Kalau tidak mandiri, apa gunanya Pertamina menjadi operator pengelola Rokan? Selain itu maksimalisasi benefit bisa saja gagal tercapai mengingat kontrak Blok Rokan menggunakan skema gross split, di mana peran pengawasan SKK migas menjadi sangat minimalis untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Kondisi menjadi lebih parah karena fungsi pengawasan dan audit internal BUMN belum berjalan optimal. Manajemen BUMN selama ini pun tidak berjalan independen, prinsip GCG tidak optimal, kepentingan politik penguasa cukup dominan, serta intervensi oligarki dan perburuan rente pun cukup kental. Agar pengelolaan Blok Rokan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah dan DPR harus menangkal atau mengeliminasi intervensi oligarki pemburu rente, GCG ditingkatkan dan fungsi pengawasan internal & ekternal dioptimalkan. Kalau tidak, bukan benefit maksimal yang dicapai, tetapi seberapa besar akhirnya penerimaan negara menurun dibanding sebelumnya! Sebagai catatan, selama pemerintahan Jokowi, kondisi BUMN justru semakin runyam terutama akibat maraknya intervensi oligarki dan perburuan rente. Selain aspek operasional, aspek bisnis pengelolaan Blok Rokan oleh PHR yang berpotensi merugikan negara adalah terkait kewajiban divestasi atau share down pemilikan saham. Dalam hal ini PHR telah diminta melakukan divestasi atau pengalihan saham, participating interest (PI) maksimal 39%. Karena 10% PI sudah menjadi milik Pemda/BUMD terkait, maka saham yang dimiliki Pertamina kelak hanya akan tinggal 51%. Hal yang tak kalah penting adalah, berapa *besar dana yang akan dibayar sang mitra* untuk mengakuisisi saham tersebut (dibahas pada artikel berikut). Sebelum membahas lebih lanjut perlu dipahami tentang volume dan nilai bisnis seputar pengelolaan Blok Rokan. Dengan produksi 165.000 bph dan harga rata-rata minyak mentah (crude oil) dalam 10 tahun terkahir US$ 66 per barel (berfluktuasi antara US$ 39 s.d US 97 per barel), maka kita bicara tentang nilai pendapatan kotor sekitar US$ 10,89 juta per hari atau US$ 3,92 miliar per tahun atau US$ 78,40 miliar selama 20 usia kontrak. Dengan kurs US$/Rp= 14.000, maka pendapatan kotor tersebut setara dengan sekitar Rp 1100 triliun. Merujuk pada pengelolaan Blok Mahakam, IRESS memperoleh informasi bahwa dana pendapatan kotor produksi migas terdistribusi kepada NKRI, kontraktor (Total Indonesie, Prancis) dan Cost Recovery masing-masing dengan perbandingan 60%, 22% dan 18%. Hanya dari perhitungan periode 1997-2012 saja, yakni selama 16 tahun (padahal Total mengelola Blok Mahakam selama 50 tahun, 1967-2017), keuntungan yang diperoleh Total adalah US$ 23 miliar. Karena itu tak heran jika return on investment kontraktor/Total mencapai 105%! Karena beroperasi di darat, maka pembangunan sumur-sumur dan sarana lain jauh lebih murah dibanding Blok Mahakam yang beroperasi di laut, lepas pantai. Selain itu, sebagaimana dipromosikan pemerintah, skema gross split akan lebih menguntungkan bagi kontraktor. Di sisi lain, Blok Rokan memang memerlukan biaya lebih besar karena adanya operasi penyuntikan air, gas atau kelak zat kimia untuk merecover minyak. Namun demikian, secara keseluruhan, diyakini keuntungan PHR minimal sekitar 22% pendapatan kotor (Rp 242 triliun). Dengan cadangan masih miliaran barel (1,5 hingga 2,5 miliar barel), potensi keuntungan bersih minimal sekitar Rp 242 triliun, maka pasti banyak kontraktor asing dan swasta yang bernafsu untuk memiliki saham Blok Rokan, termasuk CPI yang sebelumnya sangat berharap mendapat perpanjangan kontrak. Pemerintah pun telah membuka jalan lebar-lebar bagi investor untuk mengakuisisi sebagian saham PHR. Bahkan Kementrian ESDM telah mewajibkan program divestasi ini. Aspek legal program ini dibahas pada artikel terpisah. IRESS menganggap rencana divestasi atau sharing-down saham tersebut jelas bermasalah dan justru wajib ditolak rakyat. Pertama, karena mengelola saham Rokan secara mandiri merupakan hak konstitusional Pertamina/PHR, Kedua, Rokan merupakan blok yang sudah berproduksi yang minim risiko sebagaimana blok yang masih tahap eksplorasi. Ketiga, PHR tidak butuh suntikan dana dari mitra (akrobat kata-kata manipulatif ini sering diumbar), cukup dengan meminjam, karena Blok Rokan sudah mengahasilkan pemasukan sekitar US$ 10,89 juta setiap hari atau sekitar US$ 3,92 miliar (Rp 55 triliun) setiap tahun. Keempat dengan underlaying bisnis demikian, justru akan banyak bank/lembaga keuangan menawarkan pinjaman termurah pada Pertamina. Dengan demikian untung besar dan maksimal tetap bisa diraih tanpa harus kehilangan saham. (akibat divestasi). Kelima, dengan potensi keuntungan dan ROI yang demikian besar di satu sisi dan risiko yang rendah di sisi lain, maka sulit diterima akal sehat (kecuali ada faktor moral hazard) jika Pertamina masih berminat berbagi keuntungan besar kepada investor lain. Konon Pertamina pun memang tidak berminat untuk sharing down saham. Keenam, ika dikatakan selain dana, calon mitra juga akan membawa keahlian dan teknologi, maka “promotor program divestasi” ini dapat dianggap telah melecehkan kemampuan bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Teknologi pun bisa dibeli/disewa. Faktanya, lebih dari 90% karyawan CPI resmi beralih menjadi karyawan PHR. Dirut PHR Jaffee A. Suardin pun telah mengakui perihal mulusnya transfer alih kelola. Terkait SDM, ke depan Pertamina perlu memperhatikan jalur karir karyawan eks CPI hingga dapat menduduki posisi maksimal secara adil, objektif dan profesional sesuai kompetensi. Setelah dikuasai asing (Caltex & Chevron) selama hampir satu abad (sejak 1936), pengelolaan Blok Rokan oleh bangsa sendiri merupakan dambaan sebagian besar anak bangsa. Dengan demikian akan diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, target tersebut tidak akan tercapai jika muncul “sabotase” melalui kebijakan sarat moral hazard dan perburuan rente, terutama karena besarnya keuntungan yang ingin diraih. Kalau tidak mau jadi pecundang, DPR atau minimal rakyat harus melawan rencana sarat nuansa oligarkis ini.[] Penulis, Direktur Eksekutif IRESS.
Grogi Denny Siregar
By M Rizal Fadillah SEPERTI rekan sekolamnya Ade Armando keduanya menjadi korban prank Heryanti Akidi Tio soal sumbangan 2 Trilyun. Sudah habis habisan memuji setinggi langit eh tak disangka langitnya runtuh. Puja puji dengan nada girang kini berubah menjadi pijit pijit kening karena kena tendang. Reaksi Denny setelah tahu kena tipu-tipu tentu menutupi kekesalan dan menduga banyak yang mencibir. Ia menyatakan bahwa beberapa hari ke depan bahkan seminggu akan dibully di medsos. Ia "declare" bully-an mulai. Meski seperti tenang menghadapi risiko tetapi itu secara psikologis menunjukkan bahwa sebenarnya Denny sedang grogi. Seperti pepatah "pertahanan terbaik adalah menyerang" .Denny malah menyinggung dan menyerang Andi Arief, Rizal Ramli, dan Fadli Zon soal kasus Ratna Sarumpaet. Sebenarnya konteksnya berbeda. Heryanti Akidi mencoba berfoto selfie sebagai pengusaha Tionghoa filantropis. Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut Heryanti sebagai penyumbang terbesar setelah Bill Gates. Adalah pilihan hidup Denny untuk menjadi pembela Istana habis-habisan. Tapi mungkin seseorang itu bisa lupa bahwa kekuasaan istana itu akan habis juga. Kelak loyalis harus ikut bersayonara. Jika masih ngotot berkata-kata sama maka bisa berujung penjara. Kekuasaan adalah prank berbingkai bahagia dalam fatamorgana. Sakitnya tuh di sini. Kasus keluarga pengusaha Tionghoa Akidi Tio adalah prank paling bersejarah dan Denny Siregar adalah pemain figuran dari sejarah itu. "Almarhum bisa saja mengembangkan dananya ke luar negeri, tempat kelahiran nenek moyangnya. Tapi sungguh dia malah menyumbangkan hartanya yang besar itu untuk membantu pemerintah Indonesia yang sedang kesulitan menghadapi pandemi ini". Menurutnya banyak sekali etnis Tionghoa di Indonesia yang menyumbangkan hartanya di saat musibah. Denny tak merasakan bahwa rakyat Indonesia sedang bersedih atas tanah, kebun, hutan, dan lapangan pekerjaan yang telah dan terus dirampok serta dikuras habis oleh etnis Tionghoa. Yang mereka sumbangkan itu tak seberapa dibanding hasil rampokannya. Kita sebagai pribumi sedih dan marah atas perilaku seperti itu. "Saya sendiri masih sedih banyak orang yang mengaku pribumi, beragama muslim, masih sibuk mengumpulkan donasi, bukan untuk saudaranya sendiri, buat orang luar negeri" sindir Denny soal donasi Palestina. Denny tertipu oleh phobia keagamaannya sendiri--anti Islam--mungkin karena Syi'ahnya, sehingga lebih pro pengusaha etnis Tionghoa ketimbang pribumi muslim. Denny mestinya faham bahwa soal Palestina bukan semata keagamaan tetapi kemanusiaan ! Israel yang zalim dan brutal telah merampas hak kemerdekaan bangsa Palestina. Kita harus membantunya baik melalui diplomasi maupun donasi. Mudah-mudahan prank Akidi Tio yang juga dengan sangat berani telah mempermainkan Kapolda Sumsel menjadi pelajaran bagi Denny. Tapi jika sudah kebal dari rasa malu atau dosa dalam menyakiti muslim, ya rakyat khususnya pribumi muslim sulit untuk menjadi percaya. Denny tetap akan menjadi musuh umat. Apalagi jika Denny dan Armando masih tetap nyaman bermain di kolam yang keruh dan beracun. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Ajakan Revolusi dari Purnawirawan TNI AD
Demi NKRI, jadilah bangsa yang revolusioner. Revolusi, Revolusi, Revolusi Oleh Sugengwaras BARANGKALI bulan Agustus adalah momen yang tepat untuk melakukan revolusi guna menuju dan mencapai peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat dalam mewujudkan Indonesia adil makmur jaya sentosa. Tinggalkan pamer kekuatan, kekuasaan, kepintaran, dan keberanian sebagai penguasa, ahli atau praktisi yang berembel-embel Presiden, Menteri , Dewan yang terhormat, Profesor, Doktor, Jendral, Pangeran atau sejenisnya, jika dalam maindset-nya mengedepankan egosentris yang mengabaikan kepentingan rakyat. Mengingat dan belajar sejarah perjuangan bangsa, akan mendorong kita untuk membawa, menjaga dan memelihara negara ini sesuai rel cita-cita pendiri negara, yang tetap dan terus ditegakkan, dibina dan dipertahankan seiring lajunya kemajuan perkembangan iptek dan dinamika yang terjadi, yang mensyaratkan pimpinan negara yang mampu menahkodai negara ini penuh bijak, arif, waspada, peka peduli terhadap unsur-unsur negara (pemerintah, rakyat, wilayah, pengakuan negara lain) dan aspek aspek negara (IPOLEKSOSBUDAGHUKHANKAM). Bumi yang kita injak dan diami memaknakan simbol atau filosofi yang dalam, terkait rotasi bumi pada siklus perputaran 24 jam ,sehari semalam, yang melahirkan adanya siang dan malam serta revolusi bumi yang membuktikan siklus perputaran 365 hari atau setahun. Semua harus diiringi berpikir selaras dan seimbang yang menyandingkan antara sang pencipta dan yang diciptakan. Di sisi lain kita kerucutkan dengan peristiwa-peristiwa besar seperti revolusi bumi, industri, Perancis, Tiongkok, Kuba dan Amerika. Lantas bagaimana dengan revolusi di negara kita? Apakah penjajahan sebelum kemerdekaan mencerminkan keuletan dan ketahanan menderita bangsa Indonesia? Atau simbol kebodohan bangsa Indonesia? Yang jelas perjuangan dan pengorbanan besar bangsa Indonesia, pemboman Hiroshima Nagasaki dan turun tangannya Sang Mahakuasa ikut terkait di dalamnya. Fakta perjuangan dan pengorbanan besar senantiasa dihadapkan pada tantangan yang besar, sulit, dan penuh risiko. Bermimpilah, kehadiran pandemi Covid - 19, vaksinasi dan faktor faktor lain, bagaikan penjajahan bangsa asing saat sebelum Indonesia merdeka. Kini kita tarik dan fokuskan lebih mengerucut dan khusus yang terjadi pada era Joko Widodo. Sandingkan dan bandingkan dari situasi dan kondisi unsur dan aspek negara di atas, ketika pada era-era sebelumnya, yang pasti senantiasa ada plus minusnya. Dari pemikiran dan pandangan kita masing-masing akan bisa melihat, mendengar, dan merasakan tentang sistim pemerintahan dan jalannya roda pemerintahan, apakah mencerminkan pemerintahan yang sejalan dengan pikiran rakyat atau justru pemerintah yang mendzolimi rakyat? Selanjutnya jawaban ini akan melahirkan pemikiran atau pandangan revolusi. Semua pihak, baik pemerintah terutama para aparat negara lebih khusus para penegak hukum dan rakyat harus sadar serta paham tentang pentingnya sebuah revolusi, sehingga tidak lantas mengedepankan emosi, alergi, paranoid, trauma, panik tanpa dasar hukum yang jelas, memaknakan revolusi sebagai wujud tindakan melawan pemerintah bahkan perbuatan makar, yang akhirnya brutal, main tangkap, tahan, pidana yang kebablasan, menabrak protap atau prosedur hukum yang menimbulkan kegaduhan di sana-sini. Juga rakyat harus sadar dan paham tentang pengertian revolusi itu sendiri. Revolusi adalah perubahan cepat, yang mencakup sosial dan atau ketatanegaraan, yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang dilakukan melalui cara-cara kekerasan atau tidak melalui cara-cara kekerasan, bisa kecil, bisa besar, sesuai yang dikehendaki atau tidak sesuai yang dikehendaki, yang bertujuan mengubah struktur dan atau proses penyelenggaraan jalannya roda pemerintahan. Berangkat dari sinilah, demi terwujudnya NKRI yang lebih baik, maka dengan tidak mengabaikan rasa hormat atas kebaikan, juga tidak melupakan atas ikut campur tangannya negara lain yang membuat NKRI tidak kondusif, kita berharap terjadi revolusi positif dan membangun, guna keluar dari belenggu dan himpitan penderitaan lahir batin akibat kurang peka dan pedulinya pemerintah terhadap suara rakyat terkait rasa keadilan dan penegakan hukum. Dengan harapan, dilakukan sebaik-baiknya, setertib-tertibnya, seaman- amannya, terencana, terkoordinir, terpadu dan terkendali, tanpa ada hasutan, gangguan dan provokasi, fokus pada tujuan, untuk kepentingan rakyat, agama bangsa dan NKRI. Hindari sabotase, penyesatan, pengelabuhan, pengkhianatan, adu domba dan sejenisnya. Pedomani dan pegang prosedur hukum yang ada hindari tumpah darah sesama bangsa. Merdeka!!! Penulis adalah Pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI.
Komisi XI DPR Buang Sampah Calon Anggota BPK ke MA
by Luqman Ibrahim Soemay Jakarta FNN – Komis XI DPR berkelit soal seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang nenggantikan Barullah Akbar yang pensiun Oktober 2021 nanti. Kini giliran tumpukan sampah yang bau amis, yang dibuat dan diproduksi oleh Komisi XI DPR, dibuang ke Mahkamah Agung. Publik diarahkan untuk mengalihkan semua kesalahan yang telah dibuat Komisi XI ke Mahkamah Agung. Dua calon anggota BPK, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Seoratin jelas-jelas tidak memenuhi syarat administratif sebagai calon anggota BPK. Namun dalam tahan selekasi administratif, diloloskan oleh Komisi XI DPR. Setelah skandal ini diungkap Majalah FORUM Keadilan, Komisi XI panik. Lalu minta perlindungan ke Mahkamah Agung. Aliran lumpur dan sampahnya dialirkan ke Mahkamah Agung. Sebelumnya Komisi XI DPR melalui surat nomor 061/MS.V/KOM.XI/VI/2021 menyurati Ketua DPR, perihal Panyampaikan Daftar Nama Calon Anggota BPK RI, bahwa berdasarkan hasil pedaftaran dan seleksi administrasi calon anggota BPK RI, dalam rapat internal tanggal 24 Juni 2021, Komisi XI DPR telah memutuskan 16 nama calon anggota BPK yang memenuhi persyaratan administrasi. Berkaitan dengan keputusan yang dibuat Komisi XI tanggal 24 Juni 2021 itu, pimpinan DPR diminta untuk menyapaikannya kepada Dewan Pertimbangan Daerah (DPD untuk mendapatkan pertimbangan selama satu bulan. Terhitung sejak surat Pimpinan DPR diterima pimpinan DPD. Walampun dalam kenyataannya, pertimbangan DPD tidak selalu didengar oleh DPR. Nantinya pertimbangan DPD tidakp berpengaruh terhadap keputusan Komisi XI DPR. Dua diantara 16 orang calon anggota BPK yang diloloskan itu, ada yang aneh, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Soeratin. Mereka bedua pejabat eselon dua dan tiga di Kementerian Keuangan. Baik Nyoman Adhi Suryadnyana maupun Hary Zacharias Soeratin boleh cukup dua tahun atau 24 bulan meninggalkan jebatan sebatan pejabat publik pengelola keuangan negara atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Hary Zacharias Soeratin sejak 13 Juli 2020 lalu diangkat Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jendral Perbendaharaan Keuangan. Sementara Nyoan Adhi Suryadnyana baru 18 bulan meninggalkan jabatan sebagai Kepala Kantor Pengasawan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Manado, menjadi Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai di Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Selatan sejak 20 Desember 2019 lalu. Dengan demikian, baik Hary Zacharias Seoratin maupun dan Nyoman Adhi Suryadnyana belum cukup 24 bulan meninggalkan jabatan mereka sebagai pejabat publik pengelola keuangan negara atau KPA. Maka secara admisntratif jelas-jelas bertentangan dengan syarat imperativ untuk menjadi calon anggota BPK. Namun masih diloloskan oleh Komisi XI DPR yang memang dungu, dongo, keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Padahal pasal 13 huruf (j) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK telah memberikan batas yang jelas dan tegas. Tidak ada yang abu-abu, sehingga tidak perlu minta fatwa lagi ke Mahkamah Agung. Misalnya, sang calon harus telah meinggalkan jabatan sebagai pejabat publik pengelola keuangan negara atau KPA minilam dua tahun atau 24 bulan. Melalui surat nomor 075/MS/KOM.XI/VIII/2021 tertanggal 02 Agustus 2021 kepada Ketua DPR yang ditandatangani Ketua Komisi XI DPR, Dito Ganinduto, perihal Pemintaan Petimbangan Mahkamah Agung terkait Calon BPK RI, khususnya untuk Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hari Zacharias Soeratin, Komisi XI meminta piminan DPR menyurati Mahkamah Agung untuk mendapatkan pendapat, pandangan atau fatwa Mahkamah Agung mengenai permasalahan tersebut. Mestinya sejak di selekasi administratif, nama Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Soeratin sudah gugur atau tidak diloloskan. Namun Nyoman masih lolos karena dodorong habis-habisan oleh Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah yang menjadi anggota Komisi XI DPR. Akhirnya Nyoman lolos. Kalau hanya Nyoman saja yang lolos, maka terkesan Nyoman terlalu menonjol. Untuk itu, diloloskan lagi Hary Zacharis Soeratin. Jadinya, ada dua calan anggota BPK yang tidak memenuhi syarat administratif, namun sangaja diloloskan oleh Komisi XI DPR. Sekarang, giliran barang busuk yang berbau amis itu dilemparkan ke Mahkamah Agung. Kalau sampai diloskan dengan fatwa Mahkamah Agung, maka nanti Mahkamah Agung yang terkena image tentang barang busuk dan berbau amis tersebut. Berdasarkan informasi dan sumber yang didapat Majalah FORUM Keadilan dan FNN dari kalangan Komisi XI DPR, Said Abdullah berkepentingan meloloskan Nyoman, agar kelak bisa mengendalikan anggaran dari APBN. Dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan dan audit akhir dari BPK. Sebab hanya audit dari BPK yang menentukan pelaksanaan anggaran APBN itu mengandung korupsi atau tidak. Nyoman bukan saja didorong Said Abdullah. Menurut sumber Majalah FORUM dan FNN, Nyoman juga didukung atasannya Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebab hasil audit dan opini BPK belakangan mengenai penggunaan dana Covid Rp. 1.035 triliun dan potensi pemerintah tidak mampu membayar utang, membuat Sri Mulyani kini tidak nyaman. Untuk meloloskan Nyoman, anggaran yang digelontorkan untuk DPR tidak kecil. Dana sekitar Rp. 75 miliar disediakan untuk hajatan ini. Diperkirakan setiap anggota Komisi XI DPR didekati dengan uang antara Rp. 1,5 miliar sampai Rp. 1,7 miliar. Sementara untuk Ketua Poksi atau yang biasa disebut Kapoksi Rp. 2,5 sampai Rp. 4 miliar. Sedangkan untuk Ketua Fraksi, berkisar antara Rp 5 miliar sampai Rp. 10 miliar. Ketika ditanya asal-muasal uanganya, sumber FORUM dan FNN tak bersedia menyebut. Dilanjutkan sang sumber, bisa saja, baik itu Nyoman, Said Abdullah maupun Sri Mulyani tidak tahu-menahu dengan uang saweran kepada Komisi XI, Kapoksi dan pimpinan Fraksi DPR untuk meloloskan Nyoman itu. Namun kita lihat saja di ujung seperti apa? Apakah Nyoman lolos atau tidak? Yang pasti, soal meloloskan pejabat melalui fit and proper test di Komisi XI dengan sejumlah uang untuk anggota DPR, bukanlah hayalan.com semata. Meskipun dulu itu namanya Komisi IX, namun kasus Travel Cheque Miranda Gultom untuk menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia menjerumuskan sejumlah anggota Komisi IX DPR, Miranda Gultom dan Nunun Nurbaetie, isteri Adang Daradjatun ke penjara. Masa iya sih, Komisi XI DPR mau mengulangi kesalahan yang sama lagi? Seperti kasus Travel Chaque Miranda Gultom dulu itu? Tupai saja tidak akan mau jatuh di lubang yang sama kedua kalinya. Harusnya Komisi XI hindari stigma sebagai DPR dungu, dongo, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng, dengan tidak melanjutkan Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias ke proses fit and proper test. Bikin lagi saja keputusan Komisi XI yang baru. Hanya ada 14 nama calon anggota BPK. Tanpa ada nama Nyoman Adhi Suryadnyana dan Hary Zacharias Soeratin yang ikut fit and proper test. Sebab pasti bakal dibatalkan juga oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena cacat prosedur sejak awal. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Ketika Barshim Memukul Wajah Dunia Yang Penuh Egoisme
Catatan kisah Barshim-Tamberi Final lompat tinggi Olimpiade Tokyo 2021 Oleh M. Nigara RASANYA kita ingin terus dan terus mengulang kehebatan Mutaz Essa Barshim atlet lompat tinggi Qatar dan Gianmarco Tamberi, Italia. Keduanya suka atau tidak, langsung atau tidak, telah menampar wajah siapa pun yang selalu mendahulukan kepentingan diri sendiri. Memukul mereka yang mengedepankan ego. Kisahnya tak perlu saya ulang, ya keduanya sama-sama mampu melompati mistar 2,37 meter. Tapi pada titik tertentu, atlet Italia, Tamberi mengalami cedera. Barshim tinggal sendiri. Ia bisa melakukan apa saja. Hebatnya, atlet Qatar itu justru meminta pejabat yang berwenang untuk berdiskusi. Pertanyaannya sederhana. "Mungkinkah kami bisa memperoleh medali emas bersama?" Barshim tidak mengatakan, lawannya sudah cedera, maka dia berhak atas medali emas apa pun yang terjadi pada kesempatan terakhirnya. Sang pejabat yang berwenang pun tak ragu menjawab: "Bisa!" Maka terjadilah adegan indah, sang atlet Italia melompat memeluknya. Mereka bergembira bersama. Dan gemparlah dunia. Nama Barshim dan Tamberi serta merta melonjak ke puncak pujian dunia. Andai saja Barshim egois, maka Tamberi hanya akan memperoleh perak, dan dunia juga tidak akan mengecam Barshim, karena olimpiade adalah tempat pertarungan. Lazimnya pertarungan pasti ada yang kalah atau menang. Tapi tidak bagi atlet yang di dalam jiwanya bersemayam falsafah: Peacefull (Kedamaian), Friendship (Persahabatan), Exellence (Keunggulan), dan Respect (Menghargai). Itulah yang diperlihatkan oleh tiga pihak Barshim, Tamberi, dan pejabat yang bertugas. Bukan yang pertama Meski tidak sama persis, tapi karena keempat unsur di atas, beberapa peristiwa juga pernah terjadi. Sekali lagi napas olahraga yang murni adalah persahabatan. Jadi, jika hanya untuk menang atlet, ofisial, atau siapapun mau menggunakan hal-hal kotor, saya kira kita patut 'menghukum' mereka. Arip Nurhidayat, atlet _longboard_ Indonesia di Sea Games, Filiphina 2019. Bertarung di ronde ketiga melawan Roger Casugay, atlet tuan rumah. Dalam satu hempasan ombak di pantai Monaliza Point, San zjuan, La Union, Arif terhempas. Tali di kakinya terlepas, ia tenggelam dalam gulungan ombak. Roger, melihat adegan itu. Ia melompat, menerjang gelombang untuk menolong sang lawan. Lho, kok? Bukankah itu kesempatan bagi roger untuk menang? "Tidak, Arip adalah sahabat. Nyawanya jauh lebih berharga dari sekedar kemenangan untuk saya," katanya. Sikapnya ini membuahkan rasa bangga sang Presiden Rodrigo Duterte. "Saya bangga kepadamu!" tukas Duterte singkat. Buahnya Roger diberikan penghargaan sebagai Atlet Fair Play, Seag 2019. Dalam Kejuaraan Atletik Dunia 2018 di Doha, Qatar. Di nomor 5000 meter putra, adegan yang mirip juga terjadi. Drama menyelamatkan lawan ketimbang meraih kemenangan. Adalah Braima Suncar Dabo, pelari asal Guinea-Bissau di final 5000 meter melepas kesempatannya untuk menang dan memilih membantu Johnathan Busby dari Aruba. Sekali lagi, sang atlet mengatakan kemenangan tak seberharga ketimbang menolong orang. Pelari dari Aruba itu oleng dan mengalami kesulitan. Dabo menghentikan larinya, ia hampiri sang pesaing, ia rangkul dan ia papah hingga mereka berdua mencapai garis finis sebagai pelari terakhir. Nomor itu dimenangkan olrh pelari asal Ethiopia, Selemon Barega. Tapi Dabo memenangkan hati puluhan juta pemerhati atletik dunia. Sikapnya terus jadi pembicaraan yang baik bagi banyak orang. Tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini, ketiganya sepertinya, maaf, dikirim oleh Allah untuk kita semua. Roger dan Dabo jauh sebelum pandemi, sementara Barshim dan Tamberi di saat pandemi covid-19 masih menggila. Sepertinya kita semua ditegur. Kita semua harus mau menurunkan ego masing-masing untuk menghadapi pandemi ini. Mereka mempertontonkan kejujuran, kemuliaan, persahabatan, dan kebersamaan jauh lebih indah ketimbang mengedepankan ego sendiri-sendiri yang ujungnya merugikan orang yang lebih banyak... Tak ada yang bisa diselesaikan dengan baik tanpa campur tangan orang lain. Saatnya kita benar-benar bergandengan tangan. Tanpa itu, maka siapa pun kita, sebesar apa pun kita, pasti hancur. Semoga bermanfaat.... Penulis adalah Wartawan Olahraga Senior dan Mantan Wa-Sekjen PWI
Buruk Muka Cermin Dibelah, Beda Akidi dengan Mukidi
Oleh Ahmad Khozinudin (Sastrawan Politik) AMSYONG, dikibuli dan dipermalukan di depan publik itu menyakitkan. Apalagi, dilakukan terhadap pejabat yang sebelumnya ikut melambungkan perannya sebagai pihak yang turut serta berhak atas penghormatan. Itulah, kisah hoax Rp 2 trliun Akidi Tio. Semua yang sebelumnya merasa terlibat, terhitung ikut menyampaikan kabar kedermawanan Akidi, kini kena getahnya. Bahkan, bukan hanya pejabat, Dahlan Iskan pun ikut merasa 'diberaki' mukanya karena begitu gegap gempita ikut melambungkan sosok Akidi Tio. Akhirnya, Heriyanti, anak bungsu Akidi Tio dijemput langsung Direkrur Intelkam Polda Sumsel, Kombes Pol Ratno Kuncoro ke Mapolda Sumsel Senin (2/8/2019). Info terbaru Heriyanti ditetapkan tersangka kasus uang hibah Rp 2 Triliun yang tidak benar. Penjemputan ini penting untuk melindungi muka pejabat yang jelas-jelas ditipu dengan iming-iming bantuan Rp. 2 Triliun. Meskipun ada kesalahan pejabat, kenapa langsung percaya, kenapa tidak melakukan verifikasi data dan fakta, kenapa tidak pegang tuh duit baru bicara, kenapa ikut sibuk bikin seremonial penerimaan, dan seterusnya. Ga ada urusan, yang penting proses dulu. Buruk Muka Cermin Dibelah. Pejabat, itu logikanya pokoknya. Malu urusan nanti, sekarang cari kambing hitam dulu. Padahal, kalau mau fair, semua yang terlibat membuat dan/atau menyebarkan hoax duit 2 Triliun Akidi Tio dapat dijerat pasal 14 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Bahkan, pembuat hoax dapat dituntut 10 tahun penjara. Kita semua tentu mengapresiasi sikap tegas pejabat kepolisian yang menjemput paksa anak Akidi. Kasus Akidi ini benar-benar telah menerbitkan keonaran se NKRI. Seluruh pejabat di cipoa. Tapi bagaimana dengan Mukidi? Akidi hanya hoax Rp. 2 Triliun, sementara Mukidi sebar hoax Rp. 11.000 Triliun. Bahkan, bukan cuma 11.000 triliun, Mukidi juga sebar hoax soal mobil SMK, hoax buy back Indosat, hoax tidak akan import, hoax Bisa Kalajengking, hoax tidak akan utang, dst. Rasanya, jika cermin itu mau dipecah jangan hanya putri Akidi yang dijemput paksa. Mukidi juga harus dijemput paksa, diperlakukan seperti anak Akidi. Kalau sudah begini, mau pecahkan cermin berapapun rasanya nasi sudah menjadi bubur. Wibawa yang sudah tercela, tidak akan mungkin kembali memiliki kehormatan karena tindakan jemput jemputan. Negeriku oh negeriku. Jangankan dengan asing, di negeri sendiri saja mudah dipecundangi. Bagaimana mungkin akan mampu berdikari di antara bangsa bangsa di dunia ? Akidi dan Mukidi sama-sama penebar hoax. Tapi setidaknya, Akidi punya jasa untuk menunjukkan betapa buruknya mental dan intelektual pejabat di negeri ini. Adapun Mukidi ? Muke Lo Jauh ...... [].