Adakah Celeng Itu?

Oleh Ady Amar *)

BABI hutan biasa juga disebut dengan celeng. Dengan bulu hitam, celeng terkesan menjijikkan. Karenanya, sebutan celeng pada pribadi atau entitas tertentu itu menyakitkan. Semacam penyebutan mengecilkan, konotasi negatif.

Celeng itu sebutan penghinaan yang disematkan. Tidak satu pun ingin disebut, atau memilih ingin disebut dengan sebutan menjijikkan. Semua menghindar bahkan tidak ingin binatang satu ini ada dalam pikiran, agar tidak sampai kata celeng diucapkan.

Akhir-akhir ini kata celeng disematkan pada pendukung Ganjar Pranowo, yang sebenarnya ada dalam tubuh PDIP. Masih dengan KTA PDIP, tapi tampak "melawan" induknya dengan mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden (Capres 2024), padahal DPP PDIP belum menentukan calonnya, baik Capres atau Cawapres. Soal pencalonan itu hak mutlak DPP PDIP.

Mereka disebut celeng, seolah mengecilkan pendukung Ganjar, yang padahal tidak sedikit dari mereka adalah tokoh PDIP tingkat Cabang. Bisa disebut FX Hadi Rudyatmo, mantan Wali Kota Surakarta, yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Surakarta. Bahkan terang-terangan menunjukkan perlawanan pada induknya, bahwa ia memilih Ganjar Pranowo untuk menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

FX Hadi Rudyatmo memang punya jejak gertak-gertak seolah melawan induknya, dan anehnya aman-aman saja. Itu saat pencalonan Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wali Kota Surakarta, yang tidak melewati DPC Surakarta. Ia marah besar, yang seolah tidak akan berada dalam kubu Gibran. Tapi setelah DPP PDIP mengeluarkan putusan mencalonkan Gibran, yang putra Presiden Jokowi itu, ia bukannya melawan induknya, tapi memilih balik kandang.

Saat ini yang dilakukan FX Hadi Rudyatmo dengan gaya seolah melawan induknya, bahwa ia lebih memilih celeng, dan lalu menyerang koleganya Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, seseorang yang memulai menyebut celeng pada pendukung Ganjar. Maka, FX Hadi Rudyatmo sampai perlu membuatkan filosofi celeng, yang disebutnya punya gerakan gesit, dan ia menyukainya. Apa tumon ia berani membela Ganjar Pranowo dengan melawan induknya.

Melihat jejak "gertak-gertak" FX Hadi Rudyatmo, yang aman-aman saja tanpa ada sanksi organisasi padanya, tentu menjadi keheranan tersendiri. Karena itu banget bukan tabiat Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang bisa menoleransi pelanggaran demikian.

Kasus "celeng" ini seolah perlawanan terbuka, dan jika tidak ada sanksi dikenakan padanya juga pada pengurus PDIP lainnya di tingkat cabang, maka tidak salah jika analisa muncul, bahwa sebutan celeng itu cuma settingan, satu cara menaikkan elektabilitas Ganjar Pranowo. Seolah ia dizalimi partainya sendiri, dan karenanya mengundang simpati.

Strategi Celeng

Sebutan celeng yang menjijikkan itu lalu dikooptasi menjadi kekuatan tersendiri. Seolah dalam internal PDIP ada kekuatan perlawanan, dalam hal ini DPP PDIP. Jika DPP PDIP menoleransi munculnya kelompok celeng, itu hal mustahil. Menoleransi menggerogoti kebijakan partai, jika benar, itu seperti "kudeta" dari dalam.

Jika pembiaran itu dianggap hal biasa, itu sama saja dengan pembiaran pada kelompok celeng untuk menjadi besar. Hal mustahil yang jauh dari tabiat Ibu Megawati yang tidak menolerir "perlawanan" sekecil apapun pada petugas partainya. Perlawanan terang-terangan kelompok celeng ini bukan masalah kecil, yang itu bisa meruntuhkan wibawa partai.

Tampaknya strategi "zalim" yang dikenakan pada Ganjar Pranowo, justru satu cara efektif menaikkan elektabilitasnya untuk nyapres. Ini semacam skenario yang direncanakan, yang pada saatnya bisa "menjual" Ganjar Pranowo sebagai Capres dari PDIP

Skenario seolah "benturan" Celeng versus Banteng yang sepertinya memang dicipta. Skenario itu bisa terlihat dengan tidak adanya sanksi keras pada kelompok celeng yang terus bermanuver melawan kebijakan partai. Pantas jika lalu muncul pertanyaan, adakah celeng itu?

Lalu, bagaimana dengan kehadiran Puan Maharani yang "dijajakan" dengan tebaran baliho di mana-mana, yang konon akan disandingkan sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. Meski belum pasti, setidaknya Puan dihadirkan seolah berhadapan dengan Capres dukungan celeng. Tapi pada saatnya semua akan mengerucut pada satu nama, sosok yang seolah dizalimi. Setidaknya analisa itu, dan bisa juga analisa lainnya, yang nantinya akan muncul.

Dan ujung dari semuanya biasanya akan ditentukan oleh elektabilitas masing-masing calon, yang dikendalikan lembaga survei pesanan. Tidak dipungkiri, banyak lembaga survei yang bermain angka sesuai dengan pemesannya. Soal menaikkan dan merontokkan elektabilitas kandidat tertentu, itu bukan perkara sulit.

Maka, edukasi terus-menerus pada publik untuk memilih Capres yang mendekati ideal harus terus diberikan, jika ingin pergantian kepemimpinan nasional ini bermakna. Satu hal yang pasti, bahwa opini baik dan buruk akan terus dimunculkan mengaduk-aduk sukma publik, tentu dengan intensitas tinggi sampai pada waktunya: 2024. (*)

*) Kolumnis

673

Related Post