OPINI

Bubarkan dan Usut Penyusup

By M Rizal Fadillah DALAM rangka memperingati Hari Santri Nasional 2021 BPIP mengadakan kompetisi penulisan dengan tema "Menghormat Bendera menurut Hukum Islam" dan "Menyanyikan Lagu kebangsaan Menurut Hukum Islam". Tema ini dinilai mengada ada karena di samping tidak penting juga tendensius yang secara tidak langsung menjadi bagian dari apa yang dikenal dengan Islamophobia. BPIP menjadi lembaga yang tidak simpatik. Tak jelas fungsi dan kerjanya. Ketua BPIP Prof Yudian Wahyudi untuk kesekian kali membuat masalah. Dari salam Pancasila, menghardik cadar, toleran atas sex di luar nikah, hingga berujung tekad untuk puasa bicara. Kini lembaganya buat heboh lagi dengan mengadakan kompetisi penulisan yang menyinggung hukum Islam. Seruan bubarkan BPIP menguat karena badan pemborosan uang negara ini samasekali tak berguna. Alih-alih membela Pancasila, nyatanya malah merusak implementasi Pancasila. Para personalnya sok pancasilais dengan memosisikan orang lain sebagai binaan. Padahal pemahaman internal BPIP soal Pancasila juga patut diragukan dan mungkin harus dikompetisikan dulu melalui karya tulis. Sepakat bahwa BPIP bubarkan saja. Tapi para penanggungjawab atau penyusup atas isu kontroversial keagamaan mesti diproses hukum agar tidak seenaknya atau gegabah mempermainkan perasaan masyarakat, khususnya umat Islam dengan memanfaatkan BPIP untuk menyudutkan. Dalang dan penyusup dalam BPIP harus segera diusut. Adakah kader Neo PKI di BPIP ? Indikasi keterlibatan dalam otak atik aspek keagamaan patut untuk dicurigai. Soal hormat bendera dan lagu kebangsaan yang dihubungkan dengan hukum Islam adalah jelas provokasi dan adu domba. Sejak RUU HIP yang berlanjut ke RUU BPIP bangsa ini telah dan terus dibuat gaduh. Ideologi Pancasila digoyang dengan kamuflase pembelaan dan atau pembinaan. Kasus ekspresi seni politk dalam bentuk mural akhir akhir ini diobrak abrik bahkan dikejar pelukis nya, sementara penyusup yang semestinya di usut di BPIP justru tidak dipermasalahkan. Berlindung di balik ideologi Pancasila untuk menggerus nilai-nilai Pancasila itu sendiri adalah perbuatan kriminal. Hal ini sangat berbahaya dan tidak boleh dibiarkan. Apalagi jika BPIP ternyata menjadi alat politik ideologis yang digenggam rezim dalam menempatkan Pancasila sebagai sarana penguatan kelompok mapan untuk melumpuhkan oposan. Bubarkan BPIP dan usut penyusup. *) Pemerhati Politik dan Kebangsan

Korban Masih Bergelimpangan, Kebijakan Wajib Vaksin Diketatkan, Pemerintah Tutup Mata?

Oleh: Mochamad Toha Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengeluarkan keputusan wajib vaksinasi untuk setiap orang yang akan beraktivitas di tempat-tempat yang telah ditentukan. Masyarakat harus sudah divaksinasi minimal dosis pertama. Aturan itu sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 966 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Desease 2019. Keputusan itu sebagai pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4, Level 3, dan Level 2 Corona Virus Desease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali. Dalam Keputusan Gubernur yang ditetapkan pada 3 Agustus 2021, diterangkan selama masa PPKM Level 4, setiap orang yang akan melakukan aktivitas di setiap tempat atau sektor-sektor yang telah ditetapkan, harus sudah divaksinasi Covid-19, minimal dosis pertama. Bukti telah dilakukannya vaksinasi tersebut dapat ditunjukkan dengan sertifikat vaksin yang diunduh melalui aplikasi Jakarta Kini (JAKI) atau laman PeduliLindungi.id. “Kecuali, bagi warga yang masih dalam masa tenggang 3 (tiga) bulan pasca terkonfirmasi Covid-19, dapat menunjukkan bukti hasil laboraturium, dan penduduk yang kontraindikasi dilakukan vaksinasi Covid-19 berdasarkan hasil pemeriksaan medis dapat menunjukkan bukti surat keterangan dokter, serta anak-anak usia kurang dari 12 tahun,” kata Gubernur Anies di Balai Kota Jakarta, pada Kamis (5/8/2021). Penerapan prokes Covid-19 dan penegakan sanksinya dalam Keputusan Gubernur tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Desease 2019. Yang perlu dikaji ulang dari kebijakan “Wajib Vaksin” oleh Pemerintah itu, apakah sudah dipikirkan efek simpang dari vaksin yang ternyata telah menelan korban meninggal dunia akibat vaksin? Menyusul banyaknya korban di kalangan tenaga kesehatan, demi meningkatkan imunitas para nakes yang berada di garda terdepan, Kemenkes akan vaksinasi ketiga booster kepada 1,47 juta nakes dengan Vaksin Moderna asal Amerika Serikat. Hasil evaluasi akhir itu saat menghitung efikasi vaksin secara keseluruhan dalam melawan infeksi dari Covid-19 sebesar 94,1 persen. Angka ini lebih rendah daripada yang diumumkan Moderna pada 16 November lalu yakni 94,5 persen. Sebelumnya, berdasarkan data Tim Mitigasi IDI terdapat 949 tenaga kesehatan yang wafat akibat Covid-19 selama pandemi. Rinciannya, sejak Maret 2020 hingga 26 Juni 2021, yaitu 401 dokter umum dan spesialis, 43 dokter gigi, 315 perawat, 150 bidan, 15 apoteker, dan 25 tenaga laboratorium medik. Mereka ini telah disuntik dengan Vaksin Sinovac asal China. Dan, kini terdapat hampir seribu tenaga kesehatan yang sedang menjalani isolasi mandiri hingga perawatan intensif. Untuk dokter, setelah program vaksinasi dilakukan, terdapat 88 dokter yang meninggal. Detailnya, 20 dokter telah menerima vaksin (10 orang dari Februari 2021-Mei 2021, dan 10 orang pada Juni 2021), 35 dokter belum divaksin, dan 33 dokter masih dalam konfirmasi. Sementara, menurut data PPNI, terdapat 28 perawat meninggal akibat Covid pasca liburan Lebaran Mei tahun ini hingga 26 Juni lalu. Dari jumlah tersebut, 10 perawat telah menerima vaksin, 17 belum divaksin karena komorbid, dan satu masih dalam konfirmasi. Menurut Ketua Umum DPP PPNI Harif Fadhillah, faktor yang menyebabkan banyaknya perawat meninggal terinfeksi Covid-19, karena mereka bekerja pada tempat yang memiliki risiko tinggi terpapar, penyakit itu sendiri, dan penyakit penyerta. Perlu dicatat, vaksin Sinovac itu terbuat dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”. Jika vaksinasi yang kini sedang berjalan itu tidak dihentikan sementara, hal itu sama saja dengan menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, virus yang inactivated itu, dipastikan ada yang dormant (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan bangun dari tidurnya! Bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, faktanya saat ini mutasi corona sampai ribuan karakter atau varian. Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis, seperti yang menimpa penyanyi yang meninggal beberapa bulan lalu. Ada yang langsung berikatan atau menempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR (Polymerase Chain Reaction): positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Fakta klinis tersebut ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan saja, tapi Covid-19 juga sudah mulai menginfeksi saluran pencernaan, sistem saraf, hingga mata. Kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Kematian dr. JF di Palembang, sehari setelah divaksin, dan DR. Eha Soemantri SKM, MKes, di Makassar, menjadi bukti Sinovac tidak aman. Begitu juga yang menimpa Novilia Sjafri Bachtiar, Kepala Divisi Surveilans dan Uji Klinik Bio Farma yang juga Dosen Luar Biasa Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang meninggal dunia. Kabarnya, Novilia meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19. Novilia adalah Kepala Tim Peneliti Uji Klinis vaksin Sinovac di tanah air dari Bio Farma. Dia mengawal proses uji klinis vaksin Covid-19 yang sudah dimulai sejak Agustus 2020. Semua korban tersebut sudah pernah divaksin 2 kali yang akhirnya terpapar Covid-19 juga. Data dan fakta itu bukanlah hoax. Karena, semua itu fakta yang terjadi dan disiarkan secara resmi oleh IDI juga. Dus, mengapa Pemerintah memaksakan vaksin kepada rakyat? Padahal, tidak ada dampak positifnya. Apakah Gubernur Anies Baswedan tidak pernah baca kabar sekitar seribu nakes yang meninggal pasca vaksinasi? Apakah Pemerintah tidak pernah mengkaji kasus Trio Fauqi Virdaus, warga Buaran, Jakarta Timur, yang meninggal dunia sehari setelah disuntik vaksin AstraZeneca? Apalagi, dari hasil otopsi menyebut, tidak ada komorbid pada korban. Hasil autopsi dibacakan dokter RSCM pada Selasa sore akhir Juli 2021. Hanya menerangkan dua poin saja, yakni Trio dinyatakan tidak ada komorbid atau penyakit penyerta. Poin dua, ada flek hitam di paru-paru, tapi flek ini tak berkaitan dengan kematian. Amelia Wulandari, seorang mahasiswi akhir pada Fakultas Hukum Universitas Syiah (USK) Kuala Banda Aceh, Minggu (1/8/2021) harus dirawat di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh karena lumpuh setelah mendapatkan vaksinasi anti-Covid-19 oleh nakes. Menurut epidemiolog Dr. Tifauzia Tyassuma, WHO telah melarang vaksinasi paksa, apalagi diikuti ancaman hukuman pada rakyat. Seperti, tidak bisa memperpanjang SIM, STNK juga hukuman jika tidak mau menerima vaksin. Tiada satu pun negara di bumi ini, boleh melakukan program penyuntikan vaksinasi, dalam situasi emergency sekalipun, dengan paksaan, ancaman dan lain-lain pada rakyatnya. Sejak WHO berdiri tahun 1958, vaksinasi itu Program Sukarela, bukan program Mandatory. “Tugas Pemerintah, untuk menyediakan vaksin terbaik, berikan edukasi terbaik, memberikan pemahaman terbaik. Bukan memberikan ancaman apalagi hukuman pada rakyatnya,” ungkap Dokter Tifauzia. “Kalau ada satu rakyat, yang cedera karena vaksin, membuat cacat, dan meninggal karena vaksin... Saya mau tanya pada Presiden, pada Menteri Kesehatan, Kapolri dan lain-lain, tanggungjawab apa yang bisa Anda berikan kepada penerima vaksin?” Dari 3 pertanyaan di atas, seharusnya Pemerintah, Presiden, Menkes dll, punya kepekaan hati rasa yang tinggi. Semua nakes, seluruh rakyat Indonesia, sadar bahwa vaksinasi corona, demi agar Pandemi ini bisa segera selesai, adalah pilihan yang harus dipertimbangkan. Dan jika Pemerintah, punya kehendak baik, untuk menyediakan yang terbaik bagi rakyatnya, dan tidak memberikan vaksin sembarangan dengan risiko yang harus ditanggung oleh rakyat sendiri, men-support, mendukung, dan mendorong secara penuh, agar vaksin Merah Putih segera jadi dan bisa digunakan secepat mungkin. “Kita punya Laboratorium, pabrik vaksin, ilmuwan hebat-hebat yang sudah puluhan tahun memproduksi Vaksin, bahkan mengekspor ke negara-negara lain,” ungkap Doter Tifauzia. Dan, para ilmuwan itu, sudah menyatakan sanggup untuk membuat vaksin Merah Putih, dan asalkan Pemerintah mensupport, vaksin bisa jadi pada 2021, dan bisa digunakan secara luas. “Kenapa vaksin Merah Putih tidak di-support, didukung, disegerakan untuk jadi? Saya tidak Anti vaksin. Tetapi saya tidak mau disuntik vaksin selain vaksin dari virus Asli Indonesia, vaksin yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri. Titik! Tanpa Syarat!,” tegasnya. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Sebaiknya Vaksin Jangan Dipaksakan

Adagium menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah perlu menjadi pedoman kerja rezim Jokowi yang selama ini nyaris tutup masalah gali masalah yang mengakibatkan terkesan rezim ini hanya menang dalam tingkat operasi (pelaksanaan pemberian vaksin) tapi sesungguhnya kalah dalam tataran strategi (simpati dan kepercayaan rakyat) Oleh Sugengwaras SEJAK dulu, strategi diakui sebagai tataran tertinggi, karena mendasari operasi, yang selanjutnya operasi mendasari taktik dan tehnik Seiring perkembangan dan kemajuan teknologi maka tehnik mendominasi dan mengiringi strategi, operasi maupun taktik Sebelum hukum ada dan mengatur peradaban, awal muawalnya adalah berangkat dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimulai dari individu hingga kelompok yang kini kita kenal dengan suku, bangsa, negara, regional dan multinasional/global. Kemudian dengan adanya kesamaan dan persaingan kepentingan antar individu atau kelompok, munculah gesekan atau konflik individu atau kelompok Dalam upaya mencari serta memperoleh kebenaran dan keadilan, lahirlah hukum yang mempunyai sifat mengikat terhadap aturan yang harus dipatuhi serta memaksa terhadap hal hal yang dilanggar, bahkan ada diskresi hukum yang berlaku dalam situasi dan kondisi yang tidak seperti biasanya atau dalam keadaan darurat HAM hingga kini masih tetap dan terus menjadi dasar pertimbangan dalam membuat kebijakan atau keputusan meskipun beberapa waktu yang lalu komnasham RI telah merusak citra HAM di Indonesia tentang adanya indikasi konspirasi dengan kepolisian dalam menguatkan pernyataan Polri atas telah terjadinya tembak menembak yang menewaskan enam laskar FPI pengawal IB HRS di km 50 jalan tol Jakarta Cikampek, yang hingga kini masih menjadi borok, bau tidak sedap dan hutang kebenaran dan kejujuran Polri kepada masyarakat. Sesungguhnya pengertian vaksin identik dengan imunisasi, bedanya imun lebih melekat dan mendahului dalam tubuh manusia, sedangkan vaksin merupakan suplemen /komplemen dari luar tubuh seseorang yang bisa memperkuat / kebal (jika ada kesesuaian dengan kebutuhan tubuh), sebaliknya mengakibatkan kelemahan, kehancuran atau kerusakan tubuh mana kala tidak sesuai dengan keperluan tubuh Sedangkan imunisasi adalah kekebalan yang memang telah ada dimiliki tubuh sebelum divaksin atau tanpa divaksin Pemahaman vaksinasi dan imunisasi ini harus dipahami dan disadari rezim ini, agar kebijakan yang diambil tidak membuat gaduh masyarakat. Disisi lain masyarakat harus sadar dan paham bahwa langkah upaya berupa pemberian vaksin yang dilakukan pemerintah semata mata untuk memberikan kekebalan tubuh dalam rangka pencegahan menghadapi penularan Covid - 19. Sebaliknya rezim juga harus paham bahwa banyak orang tanpa divaksin telah memiliki imun diri yang bisa kebal menghadapi Covid, sehingga tidak harus dipaksa dan diintimidasi Hal ini diperkuat adanya fakta yang menunjukkan masih bisa tertular vaksin bahkan meninggal dunia bagi mereka yang telah mendapatkan vaksin, sebaliknya tidak tertular Covid -19 bagi mereka yang tidak/belum divaksin. Kita harus berpikir integral komprehensif, percaya takdir dan ketentuan Allah, kejadian alam, juga percaya adanya ulah perbuatan manusia. Dalam ilmu perang, ada dikenal psy war, perang non militer termasuk perang biologi, yang bisa seperti pandemi Covid- 19 saat ini. Sangat kuat dugaan pandemi dibikin oleh Cina, karena faktanya awal munculnya dari Wuhan RRC dalam rangka menguasai dunia termasuk Indonesia. Sayangnya seolah ditutup tutupi oleh rezim Jokowi hal hal terkait penguasaan atau penjajahan Cina terhadap Indonesia dalam banyak aspek kehidupan bernegara. Obyek obyek vital strategis seperti pelabuhan, bandara, sarana sarana transportasi, sumber daya alam dan buatan, nyaris telah dikuasai dan dikelola Cina artinya kita sudah kalah tanpa perang. Sebenarnya secara strategis kemampuan dan kekuatan kita sudah lumpuh, namun bisa bisanya para stake holder negara ini masih bisa tolak pinggang dan cengangas cengenges sambil menginjak injak rakyatnya dengan cara cara halus maupun vulgar. Contoh konkrit menjadikan vaksin sebagai persyaratan dalam segala urusan. Pemberian vaksin yang dicanangkan rezim ini tidak masalah, namun yang menjadi masalah ketika rezim memaksakan vaksin ini kepada masyarakat dengan intimidasi. Rezim harus punya malu dan harga diri terkait beberapa menteri yang koplak seperti kebijakan dan statemen LBP yang mensyaratkan (sertifikat) vaksin dalam berbagai urusan, MenAg yang terseret kasus pelecehan terhadap Tahun baru Islam, juga Men Kes yang memprediksi masih bertahun tahun lagi Covid akan berlangsung lama dan panjang. Ini benar benar sikap dan kebijakan yang kekanak-kanakan. Konyolnya TNI POLRI masih mau diseret seret untuk membackingi program ini Saya juga nggak paham, kenapa TNI POLRI mau maunya terseret dalam kasus ini Kesimpulannya, sebaiknya pemerintah harus mencabut atau membatalkan kebijakan tentang label vaksin sebagai persyaratan dalam beberapa urusan, yang tidak tepat dan tidak bermanfaat, selain menambah beban moral dan tetesan air mata rakyat Penulis Purrnawirawan TNI AD.

Ganjar Melambung Jokowi Menggantung Mega Bingung

By M Rizal Fadillah HASIL survei Charta Politika tentang elektabilitas 10 tokoh menempatkan Ganjar Pranowo pada peringkat tertinggi dengan 20,6% disusul Anies Baswedan 17,8% dan Prabowo 17,5%. Sementara Puan Maharani 1,4% dan Airlangga Hartarto 1,0% berada di urutan 9 dan 10. Tingginya angka dan posisi Ganjar membuat publik bertanya tentang skenario yang sedang dijalankan. Sebenarnya Ganjar tidak sekuat Anies baik popularitas maupun elektabilitasnya, namun survei dapat diatur sehingga Ganjar dibuat melejit dan harus menggeser Anies. Realitas geo-politik sesungguhnya dimenangkan Anies sebagai Gubernur DKI. Dalam survey ini Ganjar adalah mainan Jokowi dan tentu saja Presiden memiliki segala daya untuk mampu memainkan. Jokowi untuk dapat menjabat tiga periode bukanlah hal yang mudah. Melawan arus aspirasi, opini, atau moralitas politik. Pilihan pragmatis adalah mencari figur yang dapat menjadi kepanjangan tangannya. Presiden wajar jika awal menimbang Luhut, Moeldoko atau Ganjar Pranowo. Dua purnawirawan Luhut dan Moeldoko tidak berbasis partai, sedangkan Ganjar adalah kader PDIP partai pemenang Pemilu. Pilihan pada Ganjar setelah melihat Luhut memiliki seribu kerentanan dan Moeldoko gagal mengkudeta Partai Demokrat. Ganjar diharapkan bisa membelah PDIP dan memproteksi Jokowi pasca lengsernya. Karenanya Ganjar harus terus dibuat melambung. Agenda Jokowi mudah dibaca oleh PDIP yang menggadang-gadang Puan untuk manggung. Petugas partainya ini mulai menjadi anak durhaka. Jika permainan berlanjut maka jarak Megawati “God Mother” dengan Jokowi “God Father” akan semakin tidak “Good”. Jokowi yang dilepas PDIP akan berposisi menggantung. Tidak berkaki lagi. Masalahnya kini Megawati tentu bingung. Sang Puteri Puan Maharani yang dicoba didongkrak habis dengan alat baliho menghadapi kecaman masyarakat. Survey pun sengaja dibuat pula agar jarak semakin menjauh dari sang pesaing Ganjar Pranowo. Surat DPP PDIP No 3134 tanggal 11 Agustus 202 menegaskan tentang hak prerogatif Megawati dan meminta kader untuk menghentikan pembicaraan soal Presiden/Wakil Presiden. Ada ancaman sanksi atas pelanggaran disiplin. Megawati bingung. Konstelasi politik di sekitar Istana semakin menarik. Dapatkah permainan otak atik ini menyelamatkan Jokowi dari keruntuhan? Jika hanya ini yang menjadi indikator tentu masih terlalu sumir. Akan tetapi retak retak yang dipelihara dipastikan akan menyebabkan pecah. Penjagaan benteng pertahanan pun semakin melemah. Lemahnya penjagaan benteng pertahanan Istana menyebabkan rakyat lebih mudah untuk membobolnya. Rakyat yang semakin marah dan muak dengan korupsi kekuasan yang sudah berada di luar ambang batas. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Trio Sesat yang Mengganggu Umat

By M Rizal Fadillah ADANYA ketegasan sikap mengenai keberadaan ajaran sesat yang ditetapkan oleh MUI atau Ormas Islam dimaksudkan untuk ketenangan dalam menjalankan kehidupan beragama khususnya di kalangan umat Islam. Bukan soal diskriminasi atau hak asasi tetapi menyangkut usaha menciptakan ketertiban dalam beragama. Faham yang dapat menimbulkan reaksi dan masalah di kalangan umat Islam sehingga membuat situasi panas yang awalnya duo dan kini adalah "trio sesat" yaitu : AHMADIYAH Mengakui bagian dari agama Islam padahal memiliki pandangan yang secara fundamental berbeda. Terutama mengenai kenabian Muhammad yang diyakini bukan Nabi yang terakhir (khataman nabiyyin). Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Lalu ia menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi dan "al Masih al Mau'ud" (al Masih yang dijanjikan). Kitab sucinya di samping Al Qur'an juga kumpulan wahyu "Tadzkirah". MUI memfatwakan sesat tahun 1980 dan diperkuat tahun 2005. SYI'AH Mengklaim Agama Islam tapi dominan Persia. Memiliki perbedaan mendasar yang menyangkut akidah bukan furu'iyah dengan rukun iman dan rukun Islam yang berbeda. Kesucian Imam yang terjamin (ishmah) melebihi Nabi, memusuhi Sahabat dan menistakan istri-istri Nabi, menodai Al Qur'an, memiliki hadits sendiri termasuk ucapan para Imam, anti Arab, nikah kontrak, menyakiti diri "tathbir" dalam peringatan Asyura. MUI secara parsial menyatakan sesat Syi'ah dalam penistaan Sahabat, tahrif Al Qur'an, nikah muth'ah, dan pemaksuman Imam (ishmah). MUI membuat dan mengedarkan buku "Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia". BAHA'I Telah lama ada dan rakyat dikejutkan oleh pengakuan Menag Yaquts baru baru ini ketika mengucapkan selamat Hari Raya kaum Baha'i Naw Ruz 178 EB. Turunan Syi'ah ini lahir di Persia meyakini keberadaan Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Nabi itu adalah Baha'ullah yang tulisannya menjadi kitab suci. Shalat satu waktu, puasa 19 hari, haji ke kuburan Bahaullah di Bahjah Akka Palestina, serta berkiblat ibadah ke arah Gunung Carmel Israel. MUI dalam berbagai pandangannya telah menyatakan sesat Baha'i. Umat Islam waspada dan resah dengan faham sesat ini. Sayangnya Menteri Agama Yaquts Khalil Qoumas justru gemar memancing kegaduhan dengan tekad dan langkah mensyiarkan ketiga faham ini. Umat Islam tentu kecewa, kesal dan marah. Alih-alih berupaya menjaga stabilitas umat, Menag justru menampilkan peran antagonis dalam mengobrak-abrik perasaan umat. Segera setelah dilantik menjadi Menag menggantikan Fahrur Rozi, Yaquts langsung tekan gas dan lantang berstatemen akan mengafirmasi hak Ahmadiyah dan Syi'ah. Sontak saja ucapannya telah menimbulkan kritikan tajam di kalangan tokoh-tokoh Islam. Terakhir Baha'i yang diakui. Yaquts memang dinilai belum pas untuk menjadi Menteri Agama. Trio sesat yang mengganggu umat mestinya bukan disyiarkan apalagi diafirmasi. Ketiganya sensitif dan bisa memancing friksi atau konflik. Kementrian Agama sebaiknya menjadi kementrian yang menyejukkan bukan menjadi kementrian bakar-bakaran. Karenanya waspadai dan eliminasi atau minimalisasi ekspansi faham-faham tersebut. Melindungi yang kecil bukan dengan memusuhi yang besar. Faham sesat bukan untuk dibesarkan. Menteri Agama itu adalah pengayom bukan provokator atau menjadi tukang kompor. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Luhut "Manipulasi" Indikator Kematian Covid!

Oleh: Mochamad Toha Data dari 510 Pemerintah Daerah menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 warga meninggal dengan status positif Covid-19. Tapi jumlah kematian positif Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada tanggal yang sama hanya 105.598 orang. Artinya, Pemerintah Pusat memangkas 19.192 kematian karena positif Covid. LaporCovid menemukan ada lebih dari 19.000 kasus kematian akibat Covid-19 yang sudah dilaporkan oleh pemerintah kabupaten/kota namun tidak tercatat di data pemerintah pusat. “Artinya, antara data pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah pusat, terdapat selisih 19.192 kematian,” ujar Analis Data LaporCovid-19, Said Fariz Hibban lewat keterangan tertulis, Rabu, 11 Agustus 2021. Menurutnya, bila dijabarkan 10 provinsi dengan selisih angka kematian positif terbesar, yakni Jawa Tengah (-9,662), Jawa Barat (-6,215), DI Jogjakarta (-889), Papua (-663), Kalimantan Barat (-643), Sumatera Utara (-616), Kalimantan Tengah (-301), Jawa Timur (-294), Banten (-140), dan Nusa Tenggara Barat (-112). Ditambah lagi, lanjut Said, data kematian yang selama ini dipublikasikan pemerintah belum mencakup kematian warga dengan status probable. Padahal, WHO merekomendasikan untuk menyertakan kasus probable sebagai kasus kematian akibat Covid-19. Berdasarkan data LaporCovid-19, akumulasi kematian probable di Indonesia setidaknya telah mencapai 26.326 jiwa. Jika kematian positif Covid-19 itu diakumulasikan dengan kematian probable, total kematian terkait pandemi di Indonesia telah mencapai 151.116 jiwa. Di sisi lain, ujar Said, jumlah kematian yang terjadi di luar rumah sakit belum tercatat secara baik dalam sistem pencatatan milik pemerintah. Padahal, berdasar data yang dikumpulkan tim LaporCovid-19, banyak warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat lain. Sejak awal Juni hingga 7 Agustus 2021, tim LaporCovid-19 mencatat sedikitnya 3.007 warga meninggal di luar rumah sakit. Jumlah kematian yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih banyak karena data itu baru berasal dari 108 kota/kabupaten di 25 provinsi. Saat ini, hanya satu provinsi, yakni DKI Jakarta, yang mempublikasikan data kematian warga ketika isolasi mandiri. Oleh karena itu, LaporCovid-19 mendesak pemerintah daerah lainnya untuk mempublikasikan data jumlah kematian warga saat isolasi mandiri. “Keterbukaan ini penting agar masyarakat makin memahami dampak pandemi Covid-19,” tutur Said. Menko Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Luhut Binsar Panjaitan menghilangkan angka kematian dari indikator evaluasi Covid-19. Alasannya, sering terjadi kesalahan input data. Para epidiomolog menilai langkah ini berbahaya. Kuat dugaan dihapuskannya angka tersebut dengan maksud memoles angka agar tampak sukses menangani pandemi. Jangan sampai ada anggapan, penguasa biasa memang ngawur dan suka-suka. Juru Bicara Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, menjelaskan perihal tidak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dikeluarkannya indikator itu karena adanya input data yang belum diperbarui dan merupakan angka kematian dari akumulasi selama beberapa pekan sebelumnya. Pemerintah menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk. Atau dicicil pelaporannya sehingga dilaporkan terlambat. Penghapusan indikator kematian ini menunjukkan, Pemerintah Pusat yang dikomandani Luhut Binsar Panjaitan tidak profesional dalam menjalankan tugas penanganan pandemi Covid-19. Manipulasi data dengan menghapus angka sebanyak 19.000 kasus kematian akibat Covid-19 yang sudah dilaporkan Pemda itu jelas mengindikasikan tidak adanya koordinasi antara Pusat dan Daerah. Pemerintah Pusat sesuai rencana, maunya tanggal itu angka kematian turun. Tapi, mungkin Luhut lupa tak perintahkan Daerah untuk ubah kembali ke angka riil kematian sebenarnya. Boleh jadi, angka kematian itu diperoleh bukan murni Covid, tapi komorbit juga. Begini, ketika Pemerintah akan memberlakukan PPKM Darurat, sebelumnya ada upaya untuk menambah angka kematian dengan mengikutkan pasien komorbit yang meninggal ini sebagai kematian akibat Covid-19. Makanya, angka kematian komorbit di daerah turun drastis, dan nyaris tidak ada sama sekali. Karena, angka ini dimasukkan sebagai angka kematian akibat Covid-19. Ini yang Pemerintah Daerah lakukan melalui Dinas Kesehatan. Sehingga, saat itu angka kematian akibat Covid-19 begitu tinggi, dan diberlakukanlah PPKM Darurat hingga PPKM Level-Levelan (2, 3, dan 4). Situasi mencekam! Ambulan hilir-mudik maraung-raung minta jalan. Malamnya, lampu PJU dipadamkan. Penyekatan terjadi di mana-mana di jalan-jalan protokol kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan lain-lain, termasuk penyekatan yang berlaku di perbatasan kota-kota besar tersebut. WHO pun menyorot penanganan Covid-19 di Indonesia. Pemerintah dinilai gagal menangani pandemi Covid-19. Laporan Mingguan Reuters, sejarah mencatat, pada 18 Juli adalah tanggal terburuk, dimana waktu itu tercatat 50.039 kasus baru dalam sehari. Arie Karimah, seorang Pharma-Excellent alumni ITB menyebut, dalam 7 hari terakhir, rata-rata penambahan kasus baru adalah 30.982 kasus setiap harinya. Atau: dari 10 ribu orang ada 8 yang terinfeksi. Total kasus: 3.749.446, kematian 112.198. Tampaknya, karena tidak mau dianggap gagal sebagai Komandan PPKM Level-Levelan itu, Luhut dan timnya berusaha menghapus indikator kematian akibat Covid-19. Maka, mereka memangkas 19.192 kasus kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan 510 daerah. Indikator kematian akibat Covid-19 memang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Akan dibuat melesat naik atau menukik turun, tinggal mainkan data saja. Seperti yang terjadi saat akan diberlakukannya PPKM akhir Januari 2021 hingga PPKM Level-Levelan. Pasien meninggal karena ada penyakit bawaan alias comorbit pun dimasukkan sebagai pasien Covid-19. Apa yang terjadi kemudian? Pada pertengahan Juni 2021 lalu, ratusan makam di TPU Cikadut, Kota Bandung, Jawa Barat dibongkar setelah diketahui lebih dari 700 jenazah yang dimakamkan secara prosedur Covid-19, ternyata tidak terpapar Virus Corona. Atas permintaan keluarga, sebanyak 196 makam akhirnya dibongkar. Dari total tersebut, 71 jenazah diantaranya dipindah ke luar Kota Bandung. Sementara 125 lainnya dipindah ke pemakaman keluarga atau TPU di Kota Bandung. Sebelumnya, lebih dari 700 jenazah di TPU Cikadut dimakamkan sesuai prosedur Covid-19, karena saat meninggal, hasil swab PCR mereka belum keluar. Karena itu, pihak RS langsung memasukkan jenazah tersebut dalam kategori indikasi terpapar Covid-19. Dalih Luhut Jubir Menko Marves, Jodi Mahardi, telah memastikan pemerintah bukan hendak menghapus indikator kematian dalam asesmen level PPKM. Pemerintah hanya akan merapikan terlebih dahulu data-data angka kematian Covid-19 yang selama ini menyebabkan distorsi. “Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian,” ucap Jodi, Rabu (11/8/2021). Ia menyebut kesalahan data indikator kematian ini terjadi karena ada keterlambatan laporan lantaran data yang menumpuk dan dicicil. Sehingga, kata dia, kondisi ini bisa menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah. “Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah,” dalihnya. Selama lebih dari 21 hari lalu, banyak kasus aktif yang juga tidak ter-update. Ia menyebut akhirnya pemerintah mengambil langkah untuk menghilangkan dahulu indikator kemarian untuk dilakukan perbaikan sehingga data bisa akurat. “Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi,” jelas Dodi. Jodi memastikan untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin (9/8/2021) menyebut telah mengeluarkan indikator kematian dalam menilai level PPKM di berbagai daerah. Alasannya, indikator kematian dianggap menimbulkan distorsi dalam penilaian level PPKM karena banyak input data yang tidak update dari berbagai daerah. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Tangkap dan Adili Luhut

Jika benar dan tidak ada rekayasa baik narasi, suara maupun gambar di video yang berdurasi 59, yang telah beredar di medsos, atas nama agama, bangsa dan negara, LBP harus ditangkap, diadili dan dipidanakan, karena esensi dari ucapan Luhut, benar benar telah membuat gaduh dan menyesatkan bangsa Indonesia terutama terhadap ajaran agama Islam. Oleh Sugengwaras NAMUN saya belum yakin apakah ini asli suara Luhut, yang murni dan utuh narasi keseluruhannya, karena bisa saja dalam situasi dan kondisi negara kita yang sedang sulit diterjemahkan ini, dijadikan peluang dan kesempatan dalam kesempitan untuk memperparah carut marutnya NKRI Demi Allah, ini sudah semakin keterlaluan, ketika sebelumnya Menag memgumumkan ditundanya libur Tahun Baru Islam yang dikenakan satu hari kemudian dengan alasan pembenaran. Bagi saya pribadi, ini Menag Koplak, yang tidak berpikir utuh tentang Islam, bahwa jatuhnya hari dan tanggal pasti ada relevansinya dengan acara acara spiritual ibadah keagamaan. Tampaknya Menag ini tidak paham dan tidak menghayati makna yang tersirat terkait keagamaan yang membimbing, membentuk dan menyiapkan akhlaq manusia yang beriman dan bertaqwa. Untuk LBP maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, anda sebagai non-muslim, anda tidak boleh gegabah, ngawur dan abai terhadap Alqur'an, hadist, itjma dan kias, yang merupakan sumber pedoman, tingkatan dan tahapan dalam mengambil solusi terkait implementasi ajaran islam. Saya sebagai umat Islam, masih menghormati dan memaklumi, karena anda non-muslim yang tidak memahami ajaran Islam secara utuh, namun hendaknya anda terlebih dulu dengan stakeholder keagamaan Islam untuk konsultasi dan koordinasi agar tidak membuat perbuatan tidak menyenangkan kepada umat Islam. Oleh karenanya, jika ternyata apa yang tersurat di video tersebut asli dan benar adanya, sebaiknya anda menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam atas kekhilafan tersebut. Sebaliknya kepada seluruh umat islam, saya mengimbau untuk peka dan peduli serta waspada terhadap perkembangan khususnya terkait aturan aturan untuk kegiatan keagamaan Islam yang terasa semakin ke depan semakin mencurigakan dan mengkhawatirkan, serta tidak mudah terjebak dan hanyut atas jebakan-jebakan yang menyesatkan yang berpotensi rentannya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebagai umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia, selayaknya kita meneladani kepada umat yang lain, bahwa Islam lRahmatan Lil Alamiin, yang bisa hidup harmonis dan saling menghormati terhadap sesama yang berbeda tanpa meninggalkan keyakinan sendiri. Juga umat Islam yang mayoritas ini, harus punya harga diri yang konsisten dan konsekuen, serta tidak tinggal diam, manakala ajaran islam disepelekan dan dihinakan. Juga kepada TNI POLRI, saya yakin dan mengingatkan, hendaknya TNI POLRI yang punya peran sangat strategis terhadap NKRI ini benar-benar konsisten dan konsekuen terhadap NKRI dan bukan mengabdi kepada segelintir pejabat atau penguasa saja. Semoga di bawah kepeloporan TNI POLRI, NKRI kondusif dan sejahtera. Penulis Purrnawirawan TNI AD

Menata Parlemen, Menguatkan Peran Civil Society

Oleh: Tamsil Linrung *) CHECK and balances. Dua kata ini acapkali menjadi pemanis dalam diskursus ketatanegaraan. Dengan prinsip saling kontrol dan saling imbang (check and balances) ini, lembaga-lembaga negara atau cabang-cabang kekuasaan dapat menghindari pemusatan kekuasaan yang sewenang-wenang. Semua negara di dunia selalu menerapkan prinsip check and balances. Pun Indonesia. Reformasi politik 1998 yang disusul reformasi konstitusi sebanyak empat kali amandemen UUD 1945 menyepakati diadopsinya prinsip check and balances ke dalam sistem pemerintahan. Tetapi, mekanisme check and balances tentu hanya dapat berjalan jika lembaga negara dimaksud punya kewenangan berimbang. Bila tidak, jangankan saling check, untuk balance saja jelas mustahil. Dari perspektif ini, prinsip check and balances antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan lembaga negara lainnya menjadi sulit tercapai karena kewenangan DPD begitu timpang ketimbang yang lain. Padahal, dalam sistem pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat sangat sentral. DPD dibentuk untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. DPD dibentuk juga agar prinsip check and balances dapat berlangsung paripurna. Tentu DPD berusaha maksimal menjalankan amanah ini. Namun dengan kewenangan terbatas, langkah-langkah politik menjadi terbatas pula. Mandat konstitusi kepada DPD hanya sebatas menyarankan, memberi pertimbangan dan dapat ikut serta saja. Konstitusi hanya memberikan fungsi perwakilan kepada DPR, yang tercermin dari kepemilikan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran yang secara kuat dimiliki DPR. Meski DPD juga memiliki fungsi tersebut, namun fungsi yang dimilikinya tidak bersifat otoritatif. Itulah sebabnya keberadaan DPD yang tadinya menjadi lembaga penyeimbang DPR justru hanya menjadi pelengkap dan bahkan subordinat DPR. Padahal, legitimasi anggota DPD sangat kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. DPD sebagai kamar kedua tidak memiliki kewenangan memadai untuk mengontrol proses legislasi di DPR. Sebaliknya, DPR sebagai kamar pertama mempunyai kewenangan mengontrol secara penuh usulan RUU. Masalahnya, bukan tidak mungkin terjadi konflik kepentingan antara pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah yang begitu dominan di DPR. Ingatan kita tentu masih segar pada pengesahan UU Omnibus Law yang tempo hari diusulkan pemerintah. Di tengah berbagai kecurigaan rakyat atas proses legislasi UU Omnibus Law yang super kilat itu, DPD tidak bisa berbuat banyak. Ini hanya satu contoh kecil betapa ketiadaan double check antara DPD dan DPR harus dikritisi kembali, sebab konstitusi tegas menyerukan semangat check and balances. Namun kita terpaksa menegasinya karena ketimpangan kewenangan. Penguatan DPD Jawaban persoalan di atas sudah pasti penguatan kewenangan lembaga DPD melalui amandemen kelima UUD 1945. Namun, proses politik ini tidak hanya memerlukan persetujuan politik bersama antara DPR dan DPD, tetapi juga kemampuan melawan ego, syahwat, dan nikmat kekuasaan. Kini, terbuka jalan amandemen kelima menyusul digagasnya rumusan norma Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) oleh MPR. DPD tentu menyambut baik, dengan tetap mawas terhadap potensi penumpang gelap amandemen. Bila kotak Pandora amandemen sepakat kita buka, sekalian saja mengoptimalisasi konstruksi sistem parlemen yang ada. Kita berharap, DPR dengan segala kesadaran politik dan kerendahan hatinya menyambut baik gagasan itu. Namun, guna mendorong upaya politik ini lebih kencang, DPD perlu merangkul masyarakat sipil, sekaligus memberi jalan agar civil society bertumbuh menjadi faktor penyeimbang di parlemen. Jejaring masyarakat sipil bisa berperan melahirkan reformasi kelembagaan parlemen melalui pergumulan ide, gagasan, dan desakan kepada pemangku kebijakan. Pelibatan masyarakat sipil secara intens, sekaligus menambah energi agar cahaya demokrasi yang mulai meredup kembali berkilau. Bagaimana pun juga, institusi masyarakat sipil masih dipandang sebagai simpul pembela kepentingan rakyat. Artinya, pelibatannya masyarakat sipil secara tak langsung merupakan upaya melebarkan representasi rakyat secara optimal. Syukurnya, DPD belakangan terlihat intens bertukar pikiran dengan mereka. Tak hanya di Ibukota, dalam beberapa kesempatan, Ketua DPD didamping sejumlah Anggota DPD bahkan menyambangi institusi masyarakat sipil dengan melakukan roadshow ke daerah-daerah. Selain menyerap aspirasi daerah, roadshow ini juga menerima masukan urgensi penguatan DPD. Tidak sedikit diantaranya menginginkan strong bikameral, di mana kewenangan DPD sebanding dengan DPR. Pemikiran ini tentu sangat ideal. Namun, pemikiran ideal itu muncul dari harapan masyarakat yang menginginkan DPD melanjutkan perjuangan presidential threshold atau ambang batas pemilihan presiden 0 persen sehingga masyarakat dapat disajikan beragam pilihan calon presiden dan wakil presiden. Selama ini, DPD memang tengah memperjuangkan ambang batas 0 persen. DPD juga menggagas pemikiran calon presiden perorangan atau non partai. Dua cita-cita ini tidak hanya membutuhkan energi besar tetapi juga kewenangan yang memadai. Jadi, kata kuncinya kembali kepada penguatan DPD melalui amandemen UUD 1945. Syukurnya, dukungan masyarakat terlihat besar, baik personal maupun dari organisasi masyarakat sipil. Dukungan ini menjadi support moral bagi DPD untuk bekerja lebih maksimal menuju cita-cita itu. Saran lainnya, ada pula yang mengusulkan agar DPD menjadi satu fraksi di DPR, sebagaimana disampaikan pakar hukum tata negara Dr. Maruarar Siahaan. Ide ini cukup menarik. Jika konstitusi memberi ruang kepada DPD dalam konteks itu, maka segala hak dan kewenangan DPR juga melekat pada DPD, dari soal legislasi hingga hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Apapun formatnya, yang jelas penataan relasi kerja yang baik dan berimbang antara DPR dan DPD perlu dikaji ulang. Bila tidak, sulit mencapai kinerja parlemen yang efektif. Kata kuncinya ada pada frasa berimbang. Jika dua kamar dalam sistem parlemen bikameral ini dibiarkan terus-menerus tidak sebanding, mustahil berharap saling kontrol dan saling imbang (check and balances), baik antara parlemen dengan lembaga tinggi negara lainnya maupun di internal parlemen sendiri. Masalahnya, setiap kali isu penguatan DPD bergulir, maka di saat yang sama muncul anggapan adanya pengurangan kewenangan DPR. Padahal tidak demikian. Kuatnya DPD akan menguatkan parlemen secara keseluruhan karena saling kontrol dan saling imbang tentu berpengaruh pada kualitas produk legislasi yang dihasilkan. Terkecuali bila sudut pandangnya kepentingan kelompok, nah, itu beda lagi. *) Penulis adalah Anggota DPD RI

Luhut Menggila Ibadah Pakai Kartu Vaksin

By M Rizal Fadillah KATA Luhut rumah ibadah kini sudah dibuka atau dilonggarkan dengan syarat isinya 25 % dan harus menunjukkan kartu vaksin. Sudah isinya cuma 25 % harus pakai kartu vaksin lagi. Bagi orang kuat beragama, rumah ibadah adalah segala-galanya. Bagi orang yang jauh dari agama kegiatan untuk beribadah di dalam ruang ibadah hanya persoalan kecil yang bisa dilonggarkan atau ditinggalkan. Baginya ibadah itu sama dengan belanja di mall, mengunjungi tempat wisata, atau makan di restoran. Kartu vaksin dijadikan kunci pembuka pintu ruangan. Agama- agama menempatkan rumah ibadah beragam pada tingkat intensitas "kunjungan" kolektifnya. Agama Islam nampaknya yang paling tinggi. Sekurang-kurangnya lima kali sehari. Shalat berjama'ah di Masjid menjadi ibadah berderajat tinggi di sisi Allah SWT. Kebijakan Luhut akan terasa dampaknya bagi muslim yang menjadi mayoritas bangsa ini. Masjid berada di kota dan desa-desa, di kompleks perumahan yang tertata hingga daerah padat penduduk yang mungkin agak kumuh. Masjid adalah rumah warga mendekat kepada Tuhannya untuk shalat, berdo'a dan memohon perlindungan. Termasuk meminta agar pandemi Covid 19 agar segera berakhir. Masjid terus kena bantai oleh kebijakan Pemerintah dengan alasan Covid 19. Dari shalat bermasker, merenggangkan shaff, hingga larangan shalat di Masjid. Masjid yang ditutup. Kini dibolehkan dengan syarat jama'ah harus berkartu vaksin. Dengan ini vaksin telah menjadi alat pemaksaan sekaligus penjajahan ritual. Vaksin itu hak, bukan kewajiban. Kebaikan bersama bukan kemutlakan. Konstitusi atau Undang-Undang tidak ada eksplisit mewajibkan. Peraturan hanya sampai memberi sanksi administratif pada warga tidak bervaksin. Itupun masih dikritisi. Pelaksanaan haruslah berdasar pada Peraturan yang jelas dan tidak pada tafsir seenaknya sesuai kehendak Pemerintah. Pemerintah Jokowi terus mengarah pada etatisme dengan mengambil kebijakan yang mengabaikan persetujuan rakyat. Rakyat yang sedang menderita kesulitan dan kepedihan dalam menghadapi pandemi bukannya dimudahkan dan digembirakan tetapi justru terus dibombardir dengan pemaksaan demi pemaksaan. Lihatlah pengangguran yang terus bertambah, pedagang kecil yang diobrak abrik, angkutan umum yang sulit penumpang, usaha yang bangkrut, dan kini ibadah yang dipersulit. Syarat harus dengan kartu vaksin dan besok bisa-bisa harus didahului test PCR atau SWAB yang tentunya berbayar. Pemerintah jangan licik memaksakan vaksin pada warga tetapi lepas tangan dari ekses penyuntikan vaksin seperti kemungkinan menyebabkan kelumpuhan hingga kematian. Belum lagi isu vaksin yang kebal atas varian baru virus Corona. Perlu klarifikasi. Penanganan pandemi covid 19 ini harus segera dikaji, dievaluasi, diaudit, serta dibangun konsensus bersama dengan seluruh rakyat, termasuk kepedulian dan bukti kerja para wakil rakyat. Tanpa ada kebersamaan maka yang terjadi adalah pemaksaan-pemaksaan. Bahkan bernuansa penjajahan. Kebijakan Luhut Panjaitan soal rumah ibadah bervaksin harus melibatkan pandangan MUI dan ormas keagamaan. Jika hanya dengan kemauan sepihak maka Luhut telah menjadi aktor jahat dari proses penjajahan ritual. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Menggugat Hegemoni Ambang Batas Calon Presiden

Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Oleh: Tamsil Linrung PRESIDENTIAL threshold (PT) tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat konstitusi. Meski seringkali menjadi polemik, namun segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden tidak pernah mempan. Segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap terbawa angin. Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden itu. Di belakangnya, konon, oligarki berkelindan dengan sejumlah klan politik, bahu-membahu mempertahankan presidential threshold. Tujuannya, sebagai siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain. Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik kita, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat. Sedangkan hukum menjadi aturan main. Hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik." Bunyi dan maknanya terang, sehingga minim potensi dipersepsikan keliru. Tegasnya, konstitusi membebaskan parpol memilih satu dari dua alternatif, hendak mengusung calon sendiri atau memilih bergabung bersama parpol lainnya. Tetapi aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Kalkulasi suara tersebut berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Terlihat jelas, ada pertentangan antara dua pasal di atas. Karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional. Inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga. Pertama, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan. Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% suara sah nasional terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib itu tidak punya cantolan kepada UUD 1945. Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasional disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya. Ambil contoh Pilpres 2019. Dasar hitung-hitungan kuota partai untuk mengusung pasangan calon presiden berangkat dari hasil Pemilu 2014. Padahal, hasil Pemilu itu telah digunakan untuk pencalonan presiden 2014. Jadi, satu tiket dipakai untuk dua event berbeda. Lagi pula, bila kalkulasi suara didasarkan pada Pemilu periode sebelumnya, lalu bagaimana jika ada partai baru dalam rentang 5 tahun belakangan? Bagaimana dengan hak konstitusional mereka mengajukan calon? Jawabannya, hak konstitusional ini harus bertekuk lutut dalam kendali presidential threshold. Perlawanan DPD DPD (Dewan Perwakilan Daerah) selaku lembaga perwakilan rakyat tentu memiliki beban moral untuk ikut andil meluruskan kekeliruan presidential threshold. Ini sebuah kekeliruan berjamaah yang kemungkinan besar disadari oleh semua jamaahnya. Namun, langkah dan kepentingan politik jangka pendeklah yang mengharuskan sebagian pihak memunggungi fakta, lalu menundukkan hati pada kebatilan. Saya tak bermaksud mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkali-kali menolak uji materi pasal 222 UU Pemilu adalah batil. Bila dicermati, putusan penolakan MK diwarnai pertimbangan open legal policy, yang berarti kebijakan mengenai pasal dimaksud merupakan kewenangan pembentuk UU alias DPR. Selain itu, putusan MK juga disertai dissenting opinion. Pada uji materi pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Rhoma Irama, Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat berbeda. Keduanya menilai ambang batas presiden 20% tidak adil. Sedangkan dalam putusan uji materi yang diajukan Rizal Ramli, ada empat hakim setuju gugatan pemohon, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, dan Enny Nurbaningsih. Sebagai hukum yang mengikat, yang menjadi acuan tentu saja amar putusan MK, bukan pendapat perseorangan hakim. Namun, situasi di atas kiranya memberi gambaran tersendiri tentang presidential threshold. Artinya, sangat beralasan DPD memutuskan melawan hegemoni presidential threshold dengan menawarkan gagasan ambang batas 0 (nol) persen, sebagaimana amanat konstitusi. Senapas dengan langkah tersebut, DPD sekaligus mencoba merumuskan rekonstruksi model penguatan sistem presidensiil melalui upaya alternatif pengajuan calon presiden dan wakil presiden non-partai atau perseorangan. Ide itu setidaknya berangkat dari dua pertimbangan. Pertama, sebagai upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik anak negeri untuk berkompetisi bagi kemajuan bangsa. UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mendefenisikan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi menyerahkan kedaulatannya kepada lembaga negara. DPD menjadi salah satu pemegang amanat itu, sehingga menjadi kewajiban DPD menghadirkan sistem pelaksanaan pemilu yang secara konsisten memijak UUD 1945. Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya. Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test. Kedua, kalau usulan calon non partai dapat kita setujui, maka DPD diharapkan dapat mengajukan calon presidennya sendiri. Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon. DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Meski Utusan Daerah tidak persis sama dengan DPD, namun hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak diamputasi. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres. Lagi pula, DPD memiliki legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. Dengan begitu, hak DPD mengajukan calon sendiri adalah rasional. Kini, semua berpulang pada satu hal, yakni terbukanya kotak pandora bernama amandemen UUD 1945. Di sanalah semua perjuangan ini bermula. * Penulis adalah Anggota DPD RI.