Menelisik Motif Di Balik Gugatan Atas Impor LNG Pertamina
Oleh Marwan Batubara *)
BEBERAPA bulan terakhir berita dan opini mempermasalahkan impor LNG oleh Pertamina (dari Amerika/Cheniere dan Mozambique) beredar cukup luas di media. Inti berita adalah menyoal kesalahan kebijakan dan dugaan korupsi di balik impor LNG tersebut. Sehingga, para nara sumber berita menuntut agar pihak yang terlibat diproses secara hukum.
Tulisan ini tidak bermaksud mengamankan siapapun agar terhindar dari proses hukum. Apalagi jika yang bersangkutan diduga terlibat korupsi. Namun karena berita terkesan tendensuius dan tidak akurat, maka IRESS perlu mengungkap permasalahan seputar impor LNG, terutama guna mengamankan bisnis BUMN dan menjaga kredibilitas Indonesia sebagai salah satu pioner bisnis LNG di dunia.
Sejarah LNG Indonesia, bermula saat ditemukannya cadangan gas di Arun, Aceh (1971) dan Badak, Kaltim (1972). Untuk dapat dimonetisasi, Pemerintah dan Pertamina memutuskan membangun LNG Plants di Lhoksuemawe dan Bontang. Pembangunan dilakukan setelah ditandatanganinya kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan Jepang. Ekspor LNG ke Jepang berdurasi 20 tahun dengan opsi perpanjangan 20 tahun berikutnya.
Bisnis LNG boleh dikatakan berada lingkup terbatas, sehingga semua LNG Seller maupun LNG Buyer saling mengenal dengan baik. Faktor integritas dan kredibilitas sangat berperan, sehingga dalam sejarahnya belum pernah ada kejadian gagal bayar atau gagal offtake. Karena itu meski berhasil menjual LNG sejak tahun 1970-an, Pertamina baru mendapat kepercayaan pasar mengimpor LNG pada tahun 2000-an. Sikap pruden sangat berperan, jika sampai terjadi kegagalan offtake kargo LNG, maka seluruh rantai bisnis LNG akan terdampak hingga sampai ke produser gas, dan berujung pada penutupan sumur.
Kemampuan bisnis jual/beli LNG Pertamina dan Indonesia secara global telah terbangun cukup lama. Hal-hal yang mendasari kemampuan ini antara lain adalah pengalaman, keahlian dan kepercayaan pasar. Kemampuan ini sekaligus bermanfaat untuk mengamankan pasokan gas nasional jangka panjang dan berkelanjutan. Dalam praktek, Pertamina pun terlibat dalam kontrak impor gas dari AS dan Mozambique.
Kebutuhan Impor LNG
Pada Desember 2013, Pertamina berkontrak dengan Cheniere Energy, untuk impor LNG dari Texas (AS) sekitar 0,76 MTPA (million ton per annum/juta ton per tahun), berlaku sejak 2019 selama 20 tahun. Impor LNG ini dilakukan sesuai kebutuhan jangka panjang, dengan merujuk pada Neraca Gas Nasional yang diterbitkan Kementrian ESDM (2011). Impor LNG ini telah masuk dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan, Pertamina (2012-2016) yang disetujui pemerintah melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Adapun kebutuhan impor LNG dari Mozambique, Afrika dengan Anadarko Petroleum Corp. diawali dengan negosiasi pada 2013 dan penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 2014. Namun negosiasi tidak berujung kesepakatan karena ada perubahan harga pasar LNG dunia pada 2016. Belakangan, karena adanya kebutuhan internal (kilang), Pertamina melihat kembali ketersediaan LNG di pasar, termasuk negosiasi ulang dengan Mozambique dengan term and condition dan harga yang lebih menguntungkan. Hal ini berujung pada tandatangan HoA pada 2018, dan tandatangan kontrak pada Februari 2019. Volume kontrak LNG adalah 1 MTPA, berlaku sejak 2025 untuk periode 20 tahun. Rujukan impor LNG Mozambique ini adalah sama seperti impor LNG dari AS, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan Kementrian ESDM (2018). Impor LNG dari Mozambique masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pada tahun 2019.
Melihat ke belakang, ternyata pasokan LNG dari Cheniere direncanakan akan disalurkan ke terminal-terminal penerima LNG Pertamina, yakni untuk proyek LNG Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di Arun, Aceh dan FSRU Jateng yang memerlukan kepastian tambahan pasokan LNG. Kedua fasilitas tersebut didesain dengan kapasitas sekitar 3 MTPA guna memenuhi kebutuhan gas bagi sektor ketenagalistrikan dan industri.
Sedangkan impor LNG Mozambique ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina mengoperasikan kilang BBM proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap, Jateng dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jabar. Kedua proyek membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi suplai gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang saat itu disewa pemerintah/Pertamina.
Pembelian LNG ke produser LNG yang akan dideliver setelah LNG Plant selesai konstruksi dan beroperasi adalah cara yang terbaik. Hal ini umumnya dilakukan konsumen LNG Global lain, dengan tujuan mendapat pasokan LNG jangka panjang berkesinambungan dengan harga wajar, seperti telah dilakukan Pertamina dan Indonesia saat menjual LNG nya pada tahun 1970 an.
Kondisi tersebut ternyata selaras dengan pemahaman bahwa bisnis LNG adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan kemampuan membaca dinamika pasar baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Lebih lanjut, dalam proses jual beli LNG, proses negosiasi kontrak LNG memerlukan waktu panjang karena banyaknya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan. Kontrak LNG harus dikelola secara profesional dengan terus menerus memperhatikan dinamika pasar, sehingga produksi dapat dicapai tepat waktu.
Apa dan Siapa Yang Dibidik Komut Pertamina, Ahok?
Pada 10 Februari 2021, Komut Pertamina Ahok menyatakan adanya kejanggalan dalam kontrak impor LNG dari Mozambique. Kata Ahok: "Ada indikasi (dimainkan oleh oknum) makanya kami minta diaudit," Rabu (10/2/2021). Kita tidak paham bagaimana hasil audit yang disebut Ahok tersebut dan bagaimana pula tindak lanjutnya.
Belakangan, Komut Pertamina pun mempertanyakan harga kontrak impor LNG yang dianggap sangat mahal. Sikap Ahok ini dikemukakan saat harga migas turun, terutama pada periode 2019-2020. Lalu diperparah pula dengan harga yang turun akibat pendemi Covid-19. Maka, muncullah permintaan agar kontrak LNG tersebut dibatalkan.
Kondisi semakin runyam dengan munculnya pernyataan ahli hukum dari satu “law firm” yang sengaja disewa oleh “Manajemen/Dekom Pertamina”. Dikatakan, pembatalan kontrak LNG dapat dilakukan bila ada fraud dalam proses pengadaan. Karena itu, terjadilah pelaporan “kasus impor LNG” tersebut ke Kejaksaan Agung, untuk mencari-cari fraud dimaksud.
IRESS sangat ragu jika latar berlakang sikap Ahok di atas, termasuk melaporkan “kasus impor LNG” ke Kajaksaan Agung, terutama dimaksudkan untuk mencegah Pertamina dari kerugian akibat turunnya harga gas dunia. Ditengarai, menurut sumber IRESS yang terpercaya, sebenarnya sikap tersebut bisa saja dilatarbelakangi motif lain. Jika harga gas/LNG yang jadi penyebab, tersedia opsi lain, yaitu dengan menjual kembali.
Faktanya, harga migas memang selalu berfluktuasi, naik dan turun. Belum pernah terjadi, harga migas berada pada level rendah dalam waktu cukup lama. Bahkan dalam 1-2 bulan terakhir, harga gas telah naik berlipat-lipat, dan mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi Pertamina dan Indonesia. Dengan demikian, sikap short-sighted (memperlakukan jual/beli LNG layaknya jual-beli mobil bekas) yang ditunjukkan Ahok tersebut sangat tidak relevan untuk menjadi kebijakan korporasi. Oleh sebab itu, wajar jika timbul kecurigaan tentang “motif lain” di balik pernyataan “ada indikasi” yang disebutkan di atas. Mungkin saja ada anggota manajemen yang sedang “dibidik”.
Perubahan struktur organisasi (proses pembentukan Subholding) di Pertamina dengan pembubaran Direktorat Gas yang menangani bisnis Gas dan LNG yang terjadi sebelumnya dan hampir bersamaan, juga memberikan dampak ketidakmampuan mengelola bisnis LNG nasional dengan baik. Sehingga mitigasi resiko terhadap pengadaan LNG juga tidak tertangani secara optimal, termasuk juga ikut memicu sikap manajemen/board Pertamina pada saat harga turun. Akibatnya management risiko dalam mengatasi supply/demand sering menjadikan manajemen sebelumnya dianggap telah berbuat kesalahan, termasuk dikaitkan dengan dugaan korupsi.
Permasalahan manajemen resiko seperti disebut di atas juga dialami oleh BUMN/PLN dalam proyek listrik 35 GW. Poyek ini berasal dari kebijakan pemerintah dan dianggap sebagai proyek yang tepat dan wajar dijalankan. Namun belakangan proyek bermasalah, terjadi over capacity, BPP listrik naik, dan lain-lain. Maka tampaknya PLN harus menanggung beban dan kesalahan tersebut sendirian, seolah-olah kebijakan 35 GW itu adalah produk PLN dan PLN harus bertanggungjawab.
Pemicu lain yang tak kalah penting adalah perseteruan pada high level management Pertamina yang membawa pengadaan LNG ke aparat penegak hukum. Situasi dan kondisi ini berpotensi menimbulkan kendala bisnis LNG dikemudian hari, dan menurunkan kepercayaan pelaku bisnis LNG Global bermitra dengan Pertamina. Sehingga ke depan, hal ini dapat berdampak buruk pada keamanan pasokan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional.
Seperti disampaikan di atas, impor LNG Cheniere dan Mozambique dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gas shortage. Impor juga dilakukan mengacu pada dokumen resmi pemerintah, yakni Neraca Gas Nasional yang rutin diterbitkan oleh Kementrian ESDM. Banjir pasokan migas dan pandemi Covid-19 telah membuat harga migas anjlok. Jika kebijakan impor dilakukan melalui proses yang pruden dan sesuai prinsip GCG, maka sangat tidak relevan mempersalahkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan karena kerugian akibat harga anjlok tersebut.
Melihat fakta bahwa saat ini harga pasar LNG melambung jauh melampui harga kontrak (LNG Cheniere dan Mozambique), karena bisa menjual LNG tersebut ke pasar, maka Pertamina kini justru untung berlipat. Secara matematis, merujuk harga pembelian LNG dalam kontrak, maka harga pasar saat ini memberi keuntungan sekitar $80 juta per kargo atau sekitar $900 juta per tahun. Dan keuntungan tersebut akan dinikmati juga oleh Direksi dan Dekom, termasuk Ahok, dalam bentuk bonus/tantiem. Kalau sudah begini, alasan untuk menyalahkan menjadi tidak relevan. Maka, mungkin perlu dicari “peluru” lain untuk membidik target! []
*) Direktur Eksekutif IRESS