Rakyat Harus Melawan, Batalkan Izin Tambang Ormas Segera
Oleh Marwan Batubara | IRESS
Gonjang-ganjing pemberian izin pengelolaan tambang (Izin Usaha Pertambangn Khusus, IUPK) untuk ormas keagamaan terus mengemuka 4 bulan terakhir. Setelah PBNU (memulai pengajuan permohonan izin pada Maret 2024) menerima “hadiah” dari rezim oligarki-nepotis pada bulan Mei (25/5/2024), maka minggu lalu PP Muhammadiyah pun resmi menerima izin yang dapat dianggap sebagai suap politik tersebut (25/7/2024).
Banyak alasan absurd rezim oligarkis guna menjustifikasi kebijakan zolim dan bermasalah ini. Misalnya Bahlil bilang, pemberian izin adalah imbalan atas andil besar ormas dalam mempertahankan kemerdekaan, membantu pemerintah menyelesaikan masalah masyarakat dan keummatan, serta kerap terlibat program pendidikan, kesehatan, sosial (7/6/2024). Apakah sekian banyak ormas lain dianggap tidak berjasa dan tidak berkontribusi?
Sedangkan Jokowi mengatakan pemberian IUPK: "Banyak komplain kepada saya, 'Pak, kenapa tambang-tambang itu hanya diberikan kepada yang gede-gede, perusahaan besar… Kami pun kalau diberikan konsesi itu juga sanggup kok’. Itu lah yang mendorong kita membuat regulasi agar ormas keagamaan diberi peluang mengelola tambang”. Kata Jokowi: “Kita ini kan ingin memeratakan ekonomi. Kita ingin keadilan ekonomi” (26/7/2024).
Apakah komplain ormas tersebut relevan? Apakah pemerataan dan keadilan akan tercapai dengan kebijakan tersebut? Publik ditipu dan tertipu. Sebaliknya, mereka anggap SDA milik negara dan rakyat tersebut seakan milik sendiri. Meminjam istilah Erick Thohir, SDA minerba seakan milik nenek moyang penguasa.
Bahlil dan Jokowi bisa membuat berbagai alasan guna menjustifikasi kebijakan. Namun, apapun itu tersebut, esensinya adalah nonsense, omon-omon dan omong kosong! Maka, kita perlu memahami dua hal penting: pertama, motif di balik kebijakan; kedua, landasan legal-konstitusional yang menjadi dasar kebijakan.
Motif Kebijakan
Ada beberapa motif bernuansa moral hazard di balik kebijakan IUPK ormas. Salah satu yang sangat bermasalah adalah *suap politik* guna menjaga kelanjutan kekuasaan, pemenangan Pilpres 2024 dan ucapan terima kasih atas kemenangan sang putra Gibran. Hal lain, langkah antisipatif untuk pengamanan posisi Gibran dari gugatan publik/hukum, karena lolos jadi wapres melalui pidana nepotisme dan mengakal-akali hukum secara inkonstitusional.
Saat memberi sambutan pada Muktamar NU ke-34 Jokowi mengatakan: “Saya juga menyiapkan konsesi minerba, yang ingin bergerak di usaha-usaha nikel misalnya, usaha-usaha batubara, bauksit dan tembaga, silakan” (22/12/2021). Pernyataan Jokowi tersebut diyakini merupakan janji politik untuk pemenangan pemilu. Di sisi lain, Joko “merasa” punya kuasa membagi-bagikan aset SDA negara tersebut sesuka hati.
Beberapa minggu kemudian, Jokowi menerbitkan Kepres No.1/2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi (20/1/2022). Jokowi menunjuk Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sebagai pemimpin satgas. Hasilnya, sekitar 2600 izin tambang swasta dicabut. Kadar kalori batubara tambang-tambang ini umumnya rendah.
Ternyata, lahan tambang yang akan “dibagi-bagikan” rezim bukan hanya dari tambang milik swasta yang tidak beroperasi, tetapi juga dari penciutan lahan tambang milik sejumlah pengusaha besar. Sesuai UU Minerba, jika ingin memperoleh kelanjutan kontrak/operasi, lahan para penambang besar (kontrak PKP2B dan IUP) harus dikurangi agar tidak melebihi luas maksimum. Dari KPC di Kaltim yang sebagian sahamnya milik Grup Bakrie, hasil penciutan menghasilkan lahan sekitar 20.000 ha. Kadar kalori batubara tambang ini cukup tinggi.
Penciutan lahan PT Arutmin di Kalsel, juga mengandung batubara kadar tinggi, diperolah lahan sekitar 30.000 ha. Selain itu, sepanjang ketentuan UU Minerba No.2/2020 konsisten dijalankan, masih tersedia lahan-lahan tambang lain hasil penciutan luas lahan Tanito Harum, Multi Harapan Utama (MHU), Adaro, Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal, serta sejumlah pemegang IUP/IUPK. Menurut Pasal 33 UUD 1945, hasil penciutan lahan tersebut harusnya dikelola BUMN, sehingga akan memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Aspek Legal-Konstitusional
Selama pemerintahan Jokowi, manfaat SDA minerba bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat semakin utopis, terutama karena terjadinya penyelewengan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan UU. Pancasila mengamanatkan agar prisnsip-prinsip moral, agama, kemanusiaan dan keadilan harus jadi dasar utama pembuatan kebijakan. Ternyata karena moral hazard, KKN dan sikap politik penghalalan segala cara, rezim Jokowi mengangkangi prinsip-prinsip bernegara tsb.
Menurut Pasal 33 UUD 1945, seluruh SDA adalah milik bangsa dan rakyat yang harus dikuasai negara, sehingga memberi manfaat terbesar bagi rakyat. Sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No.36/2012, penguasaan negara meliputi hak-hak yang melekat pada negara dalam aspek: 1) membuat kebijakan; 2) menerbitkan izin; 3) membuat peraturan/UU; 4) mengawasi; dan 5) mengelola. Khusus aspek pengelolaan, Putusan MK No.36 juga meneyebut tentang BUMN sebagai satu-satunya pemegang hak pengelolaan SDA.
Sebagai turunan Pasal 33 UUD 1945, UU Minerba No.4/2009, juga telah memuat privilege BUMN mengelola SDA. Namun, kesempatan tersebut ditunda rezim Jokowi dengan terbitnya UU Minerba No.3/2020. Meskipun memuat ketentuan privilege BUMN, UU No.3/2020 ini memperpanjang dominasi swasta atau konglomerat oligarkis menguasai SDA minerba kita. Dampaknya, terjadi perampokan aset batubara negara yang bernilai sekitar Rp 7000 hingga Rp 10.000 triliun (tergantung harga global batubara dan status cadangan terbukti atau potensial).
Jika diurut dari status tertinggi, dasar hukum kita berawal dari Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33), UU Minerba No.3/2020 hingga PP diurutan terbawah. Ternyata, guna memenuhi ambisi politik kekuasaan dan menjalankan agenda oligarki nepotis, Jokowi nekat menerbitkan PP yang justru bertentangan dengan konstitusi dan UU No.3/2020. PP tersebut adalah PP No.25/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pembangkangn terjadi dengan penyisipan Pasal 83A, berbunyi: "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan". Dengan demikian privilege BUMN/BUMD, artinya hak dan kepentingan seluruh rakyat, dengan otoriter dan seenaknya telah dihilangkan rezim Jokowi. Penyisipan Pasal 83A ini melanggar konstitusi dan sekaligus mengangkangi hak DPR dalam pembentukan ketentuan dalam UU.
Joko berdalih pemberian IUPK ormas untuk pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya *hak sebagian besar masyarakat lain dirampas*. Jika merujuk pada Pancasila, hanya terkait aspek keadilan saja, Jokowi telah mengangkangi Sila ke-2 dan ke-5. Kebijakan Jokowi pun dapat memicu persatuan bangsa, Sila-2, karena perlakuan yang zolim. Kebijakan sarat moral hazard dan *suap politik* sempit tersebut jelas mengabaikan Sila-1 Pancasila. Sila-4 Pancasila sangat jelas dikangkangi, karena ketentuan sangat prinsip berupa Pasal 83A PP No.25/2024 ditetapkan tanpa persetujuan DPR/wakil rakyat. Rakyat mau diam saja??
Ormas & Rakyat Mau Apa?
Dibanding alasan-alasan manipulatif dan sarat omong-kosong, diyakini motif-motif kekuasaan, kooptasi aspirasi, perburuan rente, pengendalian suara dan upaya pecah-belah lebih dominan di balik terbitnya PP izin tambang ormas. Setelah berhasil mengendalikan dan menyandera partai-partai, maka giliran ormas besar dan terpandang digarap. Memang ada ormas yang menagih atau menerima imbalan karena telah berjasa mendukung kemenangan sang Putra Mahkota, Gibran. Tapi demi keamanan kekuasaan oligarki nepotis ke depan, termasuk prospek gugatan hukum atas dugaan KKN dan berbagai pengkhianatan konstitusi, maka tampaknya Jokowi perlu mendapat pengamanan dan perlindungan ormas-ormas.
Sekarang, ormas-ormas ini mau apa? Berpihak pada rakyat, Pancasila, UUD 1945 dan amanat reformasi atau kepada rezim? Demi tegaknya moral dan hukum di bumi pertiwi, rakyat sudah gagal memperoleh dukungan DPR, karena Sebagian besar pimpinan partainya pesakitan yang tersandera dan disandera. Jika ormas keagamaan, yang harusnya fokus dan dominan menjaga moral bangsa, sebagai benteng tegaknya Pancasila, justeru menerima suap politik dan terkooptasi rezim oligarki nepotis, maka rakyat bisa berharap kepada siapa lagi?
Ketua Muhammadiyah berkoar-koar akan mengelola tambang tanpa kerusakan lingkungan dan bebas konflik sosial. Pak Kyai Haedar Nashir, isu utamanya bukan soal lingkungan dan konflik! Tetapi yang pokok adalah: pengelolaan tambang oleh ormas itu bertentangan dengan Pancasila, Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.3/2020! Muhammadiyah, NU dan ormas-ormas keagamaan lain tidak berhak mengelola tambang SDA tersebut. Bagaimana bisa, ormas-ormas keagamaan, yang pimpinannya harus menjadi panutan moral rakyat, justru memberi contoh buruk dan dapat pula diduga terlibat KKN? Wajar jika anggota ormas menggulingkan pimpinan ormas tersebut.
Spekulasi pun berkembang, karena nilai rente besar, bisa terjadi persekongkolan oligarkis yang memanfaatkan ormas keagamaan sebagai “pengelola” tambang hasil penciutan lahan milik kontraktor PKP2B. Tujuannya agar manfaat terbesar rente tambang tetap dinikmati oligarki, setelah berbagi “alakadarnya” dengan perusahaan “tameng” milik ormas. Konon dari 20.000 hektar lahan hasil penciutan area tambang KPC, terkandung 150 juta ton batubara. Jika diasumsikan harga batubara US$ 100/ton dan kurs US$/Rp= 16.000, maka nilai bruto cadangan batubara tersebut adalah Rp 240 triliun. Cukup mengambil Rp 1 – 2 triliun dari Rp 240 triliun tersebut, maka bayangkanlah betapa banyak hal bisa terjadi di NKRI.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa lahan hasil penciutan area tambang milik kontraktor oligarkis PKP2B dan pemegang IUP oligarkis, sebagiannya tetap saja dikelola oleh pemilik semula/lama. Hal ini bisa terjadi karena kebijakan bernuansa KKN dan moral hazard sesama anggota rezim oligarki belakang ini merupakan hal lumrah. Padahal menurut Pasal 33 UUD dan Putusan MK No.36/2012, lahan-lahan hasil penciutan harusnya dikelola BUMN agar manfaatnya dapat dinikmati seluruh rayat. Rakyat harus menuntut transparansi masalah lahan ini.
Sudah banyak aktivis, tokoh, ormas, LSM, BEM dan berbagai kalangan masyarakat yang menolak kebijakan izin tambang ormas. *Kepada pihak mana pun yang terkait dan berkepentingan, to whom it really concern,* terutama rezim yang dipimpin Jokowi, kami menuntut agar segera membatalkan pemberian IUPK tambang kepada ormas keagamaan! Kepada para pimpinan ormas, berhentilah mengkhianati konstitusi dan rakyat, serta menerima suap politik. Masih ada waktu untuk bertobat.
Para penyelenggara negara, terutama rezim Jokowi dan DPR tampaknya sudah tidak merasa perlu melindungi dan memperjuangkan hak seluruh rakyat. Ormas keagamaan pun akhirnya bisa ditaklukkan oleh dan bergabung dengan rezim oligarki nepotis. Maka tampaknya rakyat yang haknya dijamin konstitusi untuk bersikap dan menyatakan pendapat (terutama Pasal 28 dan 28E UUD 1945), sudah waktunya bangkit melawan secara bersama, masif dan berkelanjutan. (*).