Egoisme Yaqut, dan Narasi Radikal Jadi Olok-olok
Oleh Ady Amar *)
MENTERI Agama Yaqut Cholil Qoumas buat berita yang tidak sedap. Berita yang memancing tanggapan banyak pihak. Berita yang memelintir sejarah. Ia katakan, bahwa Kementerian Agama (Kemenag) dibuat bukan hadiah buat umat Islam secara keseluruhan tapi khusus untuk Nahdlatul Ulama (NU).
Klaim Yaqut tentu tanpa pijakan sejarah yang benar, tapi sejarah yang diada-adakan. Sejarah memang acap dibuat tanpa data penunjang, dan itu pengelabuan sejarah yang sebenarnya.
Tentu pengelabuan itu sengaja dibuat sesuai dengan yang diinginkan, dan itu untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri. Sejarah memang sering dihadirkan oleh siapa yang sedang berkuasa, dan akan terkoreksi saat kekuasaan itu berganti.
Maka, klaim Yaqut berkenaan dengan Sejarah Kemenag itu tidak perlu muncul keriuhan jika ditunjang oleh data-data yang ada. Bukan penguasaan Kemenag oleh kelompok tertentu (NU), lalu muncul klaim bahwa memang ini dihadirkan atau hadiah untuk kelompok bersangkutan.
Yaqut masih "berbicara" hanya bagian dari kelompoknya (NU), meski ia saat ini sebagai Menteri Agama RI. Berbicara hanya untuk kepentingan kelompoknya, dan abai menghadirkan sejarah Kemenag yang sebenarnya.
Egoisme Yaqut yang menelikung Sejarah Kemenag yang dipimpinnya, itu sesuai keinginannya. Berbahaya jika tidak diluruskan. Dan pelurusan sejarah itu bagus jika muncul dari jam'iyah NU sendiri.
Jika tidak ada yang meluruskan, maka bisa dikatakan klaim bahwa Kemenag ini dihadirkan khusus untuk NU bukan untuk umat Islam secara keseluruhan (apalagi umat beragama lainnya), adalah semata bukan klaim Yaqut yang buta sejarah akan kementerian yang dipimpinnya, tapi klaimnya itu jadi klaim NU atas sejarah dihadirkannya Kemenag memang khusus untuk kelompoknya.
Sejarah Tanpa Jejak
Sejarah itu bisa dilihat dari jejak yang ditinggalkan, yang lalu diceritakan terus-menerus atau dicatat sebagai realita sebenarnya atas kejadian masa lalu. Mencatat apa yang terjadi dengan sebenarnya, dan lalu dinikmati generasi sesudahnya, itulah sejarah.
Sejarah itu bukan kertas kosong, yang bisa diisi/ditulis seenaknya, sekehendak hati dan lalu dipaksakan bahwa yang ditulisnya itu kebenaran. Itulah sejarah yang dimunculkan untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan atau kelompoknya, dan itu biasa dilakukan oleh yang sedang berkuasa.
Apa yang disampaikan Yaqut, itu seolah sejarah yang dihadirkan menjadi milik para pemenang, yang bisa ditulis sesuai dengan yang dikehendaki. Mencoba dibuatkan jejak sejarahnya meski belepotan di sana-sini.
Menag Yaqut tampak asal bicara sejarah Kemenag sesuai versinya, tanpa sedikit dibarengi pengetahuan sejarah kementerian yang dipimpinnya. Jadinya seolah mengolok diri sendiri, dan lalu menyasar induk organisasinya (NU), sebagai pihak yang mengubah sejarah untuk kepentingan kelompoknya. Seperti aji mumpung dan tidak segan mengucap hal yang mestinya tabu diucap orang kebanyakan sekalipun apalagi berlatar menteri. Maka, jika muncul sanggahan berbagai pihak, itu hal wajar.
Prof. Haedar Nasir, Ketua Umum Muhammadiyah, sampai perlu mengomentari itu, dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Ahad (25/10). Katanya, klaim kementerian negara lahir diperuntukkan bagi golongan tertentu dan karenanya layak dikuasai oleh kelompoknya. (Itu) suatu narasi radikal yang menunjukkan rendahnya penghayatan keindonesiaan.
Lanjutnya, meski Indonesia sudah 76 tahun merdeka, masih saja ada segenap warga dan elite negeri yang masih belum beranjak dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Masih saja ada yang belum beranjak "akil-balig".
Kegaduhan yang ditimbulkan Yaqut ini, memunculkan komen banyak pihak, yang mempermalukan dirinya. Sampai tingkat mengorek-ngorek pendidikannya yang hanya tamat SMA segala, yang semestinya tidak perlu sampai dibuka auratnya segala, itu jika Yaqut tahu sedikit sejarah kementerian yang dipimpinnya. Terutama tidak perlu sampai ada kegaduhan yang ditimbulkan. Tidak perlu sampai muncul tanggapan politisi PDIP sekelas Kapitra Ampera dengan komen olok-olok.
"Kalau sekolah sampai gerbang, ya begitu pemahamannya. Salah-salah."
Sepintas Sejarah Kemenag
Mohammad Yamin orang pertama yang mengusulkan terbentuknya sebuah Kementerian yang mengurus tentang Agama (Islam). Maka usulannya pada Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 11 Juli 1945, yang ia namakan Kementerian Islamiyah. Usulannya itu tidak mendapat persetujuan dari anggota BPUPKI. Tak menyerah, pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945, Yamin menyatakan hal yang sama tapi lagi-lagi mayoritas menolak dan abstain atas usulannya.
Berlanjut di Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), perjuangan untuk membentuk Kementerian Agama bergaung kembali. KNIP merupakan cikal-bakal DPR di akhir tahun 1945.
Adalah Saleh Suaidy, tokoh Partai Masyumi, yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah Al-Irsyad Purwokerto, Karesidenan Banyumas, yang secara vokal menyatakan Indonesia butuh suatu Kementerian Agama.
"Mengusulkan supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tapi hendaklah kementerian yang khusus dan tersendiri," kata Saleh Suaidy, yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Al-Irsyad Surabaya. Lalu ke Jakarta belajar secara intensif pada Syekh Ahmad Surkati.
Kali ini, usulan Suaidy itu mendapat dukungan, di antaranya dari Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang menyatakan bahwa pembentukan Kementerian Agama akan menjadi perhatian pemerintah.
Dan akhirnya pada tanggal 3 Januari 1946, Kementerian Agama resmi berdiri saat Kabinet dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang mengangkat tokoh Partai Masjumi HM Rasjidi sebagai Menteri Agama RI pertama. Rasjidi pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Al-Irsyad yang dipimpin Syekh Ahmad Surkati, di Lawang, Jawa Timur. Nama Rasjidi pun "pemberian" Syekh Surkati, yang tadinya bernama Saridi. Dalam sejarahnya HM Rasjidi dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dan juga ikut membidani lahirnya Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama M. Natsir, Sjafroedin Prawiranegara, Anwar Haryono dan tokoh-tokoh eks Partai Masjumi lainnya.
Dalam pidato pertamanya, HM Rasjidi mengatakan, bahwa "Kementerian Agama menaungi semua agama yang diakui di Indonesia, dan bukan terbatas agama Islam". Jadi apa yang kerap disampaikan Yaqut, bahwa Kementerian Agama bukan hanya mengurusi agama Islam saja, itu sudah disampaikan HM Rasjidi tujuh puluh lima tahun lalu. Jadi itu bukan hal baru, dan memang tupoksinya demikian.
Membaca sejarah hadirnya Kementerian Agama yang benar, dan itu tercatat dalam sejarahnya, tentu tidak bisa dilepaskan dari nama-nama yang tersebut di atas dengan latar belakang Partai Politik dan Organisasi di mana mereka berkhidmat. Pada pembentukan Kemenag saat itu, NU masih dalam bagian dari Partai Islam Masjumi.
Maka, klaim-klaim ala Yaqut, yang tanpa pijakan sejarah, itu tidak perlu dihadirkan kembali. Agar olok-olok menyakitkan tentangnya dan lalu menyasar NU, itu tidak perlu harus dimunculkan. (*)
*) Kolumnis