Dramaturgi Panglima TNI (Bagian-2)

Oleh Selamat Ginting

KALI ini Presiden Jokowi kesulitan menentukan siapa pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menjadi Panglima TNI. Sesungguhnya jika Jokowi mau, pada Desember 2020 lalu, bisa saja ia mengganti Hadi.

Mengingat pada Desember 2020 itu, Hadi sudah tiga tahun menjadi Panglima TNI. Namun ternyata Hadi terus melanjutkan kariernya hingga empat tahun kurang satu bulan. Padahal rata-rata masa jabatan Panglima TNI di era reformasi pada kisaran 2-3 tahun.

Bagaimana sesunggunya pola Jokowi memilih Panglima TNI? Mari kita telusuri alurnya sejak periode pertama pemerintahannya.

Memang selama Jokowi menjadi presiden, baru dua kali ia memilih panglima TNI. Pertama kali ia memilih Jenderal Gatot Nurmantyo (GN) menggantikan Jenderal Moeldoko. Moeldoko merupakan panglima TNI pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menjadi panglima peralihan pemerintahan SBY ke Jokowi.

Dimulai pada 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Sehingga Moeldoko yang ikut pemerintahan SBY selama satu tahun dua bulan, lanjut ‘mencicipi’ awal pemerintahan Jokowi selama kurang dari sembilan bulan. Di situ Jokowi mulai kenal siapa Moeldoko, termasuk loyalitasnya terhadap dirinya.

Jadi, panglima TNI pertama pilihan Jokowi bukan Moeldoko, justru Jenderal GN. Pilihan Jokowi terhadap Gatot adalah kejutan politik bila dikaitkan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Terutama pada pasal 13 yang berbunyi: "Jabatan Panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan."

Jika dikaitkan dengan kalimat tersebut, maka rotasi dari Moeldoko kepada Gatot, jelas tidak bergantian. Namun, ada multitafsir pada kalimat ‘dapat dijabat secara bergantian’. Artinya bisa dapat, bisa juga tidak dapat (bergantian).

Di sini dibuktikan, Moeldoko yang berasal dari matra darat kembali ke Gatot yang juga berasal dari matra darat. Awalnya tentu mengherankan. Sebab, Panglima TNI sebelum Moeldoko adalah Laksamana Agus Suhartono.

Jadi, setelah Agus Suhartono dari matra laut maka diberikan kepada Moeldoko dari matra darat. Sehingga diperkirakan yang akan menggantikan Moeldoko dari matra udara, yakni Marsekal Agus Supriatna. Agus Supriatna alumni AAU tahun 1983 dari Korps Penerbang Tempur, memenuhi persyaratan untuk menjadi panglima TNI.

Kekurangannya memang satu, yakni bintang tiganya hanya berumur tidak lebih dari sepekan. Jabatan bintang tiganya hanya selama dua hari saja sebagai Kepala Staf Umum TNI. Jadi hanya sebagai persyaratan formal untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).

Sehingga kematangannya belum teruji untuk memimpin Mabes TNI. Hal ini antara lain, membuat Jokowi memutuskan menunjuk KSAD Jenderal GN. Gatot lulusan Akmil 1982. Satu tahun lebih senior daripada KSAU Marsekal Agus Supriatna maupun KSAL Laksamana Ade Supandi, yang juga lulusan AAL 1983.

Gatot pun lebih matang dalam jabatan bintang tiga, sebagai Komandan Kodiklatad serta Panglima Kostrad. Lebih berbobot dan lebih meyakinkan untuk memimpin tiga matra daripada Agus Supriatna. Sedangkan Ade Supandi ‘terganjal’ jatah matra laut, sebab sebelum Moeldoko, Panglima TNI-nya adalah Laksamana Agus Suhartono dari matra laut.

Jadi begitulah alur mengapa Jokowi akhirnya memilih GN. Namun dalam perjalanannya, akhirnya Jokowi merasa tidak pas dengan GN. Ada kebijakan politik Jokowi yang tidak sinkron dengan GN, terutama dalam menghadapi kelompok ‘Islam politik’. Keduanya berbeda sikap. Hal ini tampaknya menjadi jalan pemisah keduanya.

Buntutnya, Jokowi mencopot GN, tiga bulan sebelum masa pensiunnya tiba. Ia tidak memberikan kesempatan kepada GN untuk menuntaskan jabatannya hingga Maret 2018. Gatot ‘dipenggal’ pada Desember 2017.

Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah kejutan politik di akhir tahun 2017.

Gatot terperengah, ia coba ‘melawan’ dengan membuat keputusan kontroversial. GN melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi TNI yang tidak ‘biasa’. Antara lain menjadikan Mayjen Sudirman sebagai panglima Kostrad menggantikan Letjen Edy Rahmayadi. Edy sudah meminta pensiun dini kepada GN untuk persiapan menjadi bakal calon gubernur Sumatra Utara.

Surat keputusan Panglima GN yang kontroversial di ujung kariernya itu, langsung dibatalkan ketika Marsekal Hadi resmi dilantik dan memegang tongkat komando Panglima TNI.

De-gatot-isasi pun terjadi. Orang-orang lebel GN tersingkir dari pusaran. Mayjen Sudirman pun batal menjadi Panglima Kostrad dan otomatis gagal naik pangkat menjadi letjen. Ia ‘dimaafkan’ di akhir kariernya dengan tetap diberikan promosi jabatan sebagai Komandan Kodiklat TNI dengan kenaikan pangkat bintang tiga. Tapi hanya berumur tak lebih sepekan, kemudian pensiun.

Begitulah dramaturgi yang terjadi di Cilangkap, markas besar TNI. Dramaturgi adalah sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.

*) Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Wartawan senior yang banyak mengamati masalah politIk pertahanan keamanan negara.

313

Related Post