OPINI
Penangkapan Waloni untuk Menyamakan Skor?
By Asyari Usman SELANG dua hari Muhammad Kece ditangkap, Bareskrim Polri menahan mantan pendeta Yahya Waloni dengan tuduhan yang sama. Pasal-pasal yang dikenakan pun sama. Mereka didakwa menista agama. Kece dituduh menghina Islam, Quran dan Nabi SAW. Waloni disangkakan menista Injil, atau menista agama Kristen. Waloni juga disebut melakukan perbuatan SARA. Kece ditangkap pada 24/8/2021 di Bali sedangkan Waloni ditahan pada 26/8/2021 di Cibubur. Penangkapan Waloni sangat menarik untuk disimak. Mengingat waktunya begitu dekat dengan penahanan Kece. Tak salah kalau Anda menyangka penangkapan Waloni merupakan tindakan “levelling the score” alias “menyamakan skor”. Apa maksud menyamakan skor? Saya yakin Anda semua paham. Di Indonesia ini, sejak Jokowi berkuasa, umat Islam tidak boleh merasa lebih dari yang lain. Bahkan, kebalikannya, umat Islam dipoiokkan, ditindas, diminoritaskan perasaannya. Ini terbukti dari maraknya penghinaan terhadap Islam yang dibiarkan saja oleh penguasa. Para pelaku tidak dikejar. Proses hukum terhadap para penista, kalau pun ada laporan dengan bukti-bukti kuat, cenderung dibertele-telakan. Akhirnya menguap begitu saja. Sebaliknya, jika para ustad dan ulama yang dituduh melakukan pelanggaran, para penegak hukum cepat sekali. Dalam hitungan jam sudah dimulai proses hukumnya. Langsung ditahan dan dijadikan tersangka. Kasus-kasusnya diprioritaskan. Kece ditangkap setelah semua pimpinan umat Islam mendesak. Dan setelah netizen di seluruh pelosok negeri mengisyaratkn bahwa hukum jalanan akan menjadi alternatif jika si penista tidak ditangkap. Akhirnya Kece ditangkap. Tetapi, skor 1-0 ini sepertinya tidak boleh dibiarkan. Orang lain melihat penangkapan Kece sebagai tindakan “penguasa yang tunduk pada umat Islam”. Ini tidak boleh terjadi. Harus ada “balancing act” (tindakan penyeimbang). Skor harus disamakan. Paling tidak! Kalau bisa, skor harus selalu 1-2 atau 1-3. Rupanya, ada jalan untuk menyamakan skor itu. Waloni orangnya. Kebetulan sekali mantan pendeta kelas berat ini rajin menyampaikan ceramah keras. Banyak ceramah keras Waloni yang bertema menggugat Injil. Berkali-kali dia menyebut Injil palsu dan dia mengaku bisa membuktikannya. Isi ceramah tentang Injil ini konon dilaporkan ke Bareskrim Polri. Polisi bertindak cepat. Waloni ditahan dua hari setelah Kece ditangkap. Skor menjadi sama: 1-1.[] (Penulis wartawan senior)
Dasar Otak Udang
Oleh Sugengwaras Namanya udang, otaknya jadi satu dengan kotorannya. Berbeda dengan ada udang di balik batu, di siini udangnya tersamar oleh batu, artinya udang menjadi tujuan utama yang disembunyikan di belakang batu. Dengan kata lain sehebat-hebatnya udang yang disamar/dilindungi batu, punya habitat yang menjijikkan, karena dikodratkan otaknya yang hebat itu berdekatan dengan kotorannya. Begitu juga dengan manusia, yang kadang aneh cara berpikir dan berpandang. Misalnya LBP, yang dengan semangat dan bangganya mengabarkan, mengobarkan, dan mengibarkan tentang akan didirikan pabrik Vaksin oleh Cina di Indonesia yang direncanakan April 2022 sudah berproduksi. Seakan tidak disadari bahwa di balik kehebatan LBP di mata Jokowi, ternyata tidak mempunyai rasa bangga dan rasa bahagia terhadap bangsa sendiri. Bela Cina Abaikan Pribumi Bagaimana tidak, seharusnya sebagai menteri dengan predikat menteri segala urusan itu harus diimbangi dengan jiwa dan pikiran seorang negarawan. Artinya seharusnya LBP berpikir, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Konkritnya, dia seharusnya malu, berkoar-koar kepada orang banyak, merasa puas dan bangga terhadap bangsa asing, Cina yang akan bisa berkarya dan berproduksi dengan menggunakan tanah/bumi pertiwi padahal ada anak pribumi yang mampu seperti itu, ambil contoh dr Terawan dan dr Siti Fadilah. Saya yakin jika kedua anak bangsa ini dimanfaatkan dan diberdayakan, tidak akan kalah dengan andalan LBP, Cina yang dibangga banggakan itu. Dari sini dapat diduga, apa dan bagaimana sesungguhnya yang terpikir dan terbayang di otak LBP, meskipun saya yakin otaknya bukan otak udang. Semoga Allah Subhanallahu Wataala, Tuhan Yang Mahakuasa, memberikan bimbingan dan petunjuk kepada LBP yang banyak dipuja banggakan Presiden Joko Widodo. Namun demikian, kita layak berterima kasih kepada LBP, karena suka tidak suka, apa komentar LBP merupakan hak pribadinya. Di sisi lain, ada hikmahnya untuk kita, agar kita mau tidak mau, enak tidak enak, tetap mengedepankan, memanfaatkan dan memberdayakan saudara sendiri, teman sendiri, bangsa sendiri dalam berdoa, berucap maupun bertindak terkait masa depan yang lebih baik. *) Purnawirawan TNI AD.
Waloni Tidak Sama dengan Kece
By M Rizal Fadillah MENEMPATKAN pandangan keagamaan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya adalah hal yang wajar. Konsekuensi dari pluralisme yang dihargai. Kasus Yahya Waloni dan Muhammad Kece berbeda dalam konteks penghinaan atau penistaan agama. Kece menista sedangkan Waloni tidak. Kece berkoar dengan menafsirkan seenaknya tanpa dasar dan basis keagamaan yang cukup tentang Nabi Muhammad yang disebut pengikut Jin atau bersalam muslim mengganti Allah dengan Yesus. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan pemahaman Kristiani. Itu adalah hawa nafsu Kece sendiri. Berbeda dengan Waloni yang menyatakan bahwa Bible palsu maka hal ini menjadi keyakinan umat Islam pada umumnya. Jika sebagai orang Kristen Kece menyatakan bahwa Qur'an tidak benar bahkan palsu maka itupun adalah haknya. Ia tidak meyakini Qur'an. Tapi jika ia menyatakan Qur'an itu adalah igauan Nabi Muhammad misalnya, maka itu penistaan. Karena ia telah menafsirkan dimana keyakinan Kristiani juga tidak menggambarkan demikian. Yahya Waloni menyebut bahwa Bible itu palsu tentu berdasarkan pemahaman ilmu teologi yang dikuasainya. Ia akan mampu mempertanggungjawabkan dengan dasar keyakinan dan keilmuannya. Jika ada argumen bantahan maka pandangan Yahya itu bisa dibawa ke ruang diskusi teologis. Demikian juga jika ada orang lain yang merasa berpengetahuan bahwa Al Qur'an itu palsu misalnya, itupun dapat diperdebatkan pula. Kece nampaknya bukan orang yang berpengetahuan dalam soal agama baik Islam maupun Kristen. Ungkapannya lebih pada sentimen keagamaan dan mencari sensasi bahkan komersial karena berujung pada donasi. Bukan eksplanasi dari substansi sebuah religi. Kini keduanya diproses secara hukum. Untuk Kece ujarannya mengandung kebencian dan yang bukan menggambarkan pandangan Kristiani, karenanya tidak mudah untuk mendapat dukungan terbuka dari umat Kristen. Justru kecaman besar dari umat Islam yang didapat. Sebaliknya Waloni yang diposisikan penyeimbang atau balas dendam tentu akan mendapat support dan perhatian dari umat Islam. Membawa perdebatan tentang orisinalitas Bible ke ruang hukum justru dapat mengguncangkan. Waloni akan menempatkan sebagai bagian dari elemen pembela Islam. Ruang sidang menjadi arena pembuktian. Berbeda dengan si Kece yang dinilai ngelantur ujarannya karena sangat tidak berbasis dalil atau kajian. Umat tinggal mengikuti saja buka-bukaan soal agama di forum hukum yang tentu berdampak SARA dan menjadi perhatian nasional, bahkan Internasional. isu menariknya adalah "Bible itu palsu". Semestinya "balas dendam" dan perdebatan keagamaan yang dibawa ke ruang Pengadilan seperti ini tidaklah perlu jika Pemerintah cinta damai dan menjaga kerukunan. Bisa saja kasus Waloni menjadi magnet baru dari sentimen keumatan dan keagamaan. Membangun fanatisme dan membuka celah friksi. Yahya Waloni tidak sama dengan Kece sang pemaki umat dan penista agama. Kece lebih dekat dan sama dengan Abu Janda ! *) Pemerhati politik dan Kebangsaan
Mereka Memikirkan Rakyat?
By Asyari Usman JOKOWI memikirkan rakyat? Megawati risau dengan nasib rakyat kecil? Puan susah melihat orang susah? Bambang Soesatyo murung melihat penderitaan rakyat? Surya Paloh tertegun mendengar orang makin susah cari makan? Ataukah Luhut, Airlangga, Mahfud MD berlinang mendengar ketidakadilan dan kesewenangan di mana-mana? Zulkifli Hasan menangis melihat orang-orang yang tidur di dalam karton? Muhaimin Iskandar terhenyak melihat semakin banyak orang yang hanya makan sekali sehari? Dan semua mereka ini cemas memikirkan masa depan bangsa yang kini memikul utang besar? Cemas melihat isi perut Indonesia dikuras habis oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang “sangat akrab”dengan mereka? Anda sebaiknya basuh muka dulu. Sarapan dulu. Duduk tenang sebentar dengan kopi secangkir! Sempatkan membaca artikel, tulisan, laporan LSM tambang, LAM lingkungan, LSM kemanusiaan, LSM ekonomi-bisnis, dll. Renungkan kondisi Indonesia saat ini. Amati kelakuan dan mulut para pejabat negara ini, baik yang sudah disebutkan di atas maupun yang namanya tidak tertulis di sini. Simpulkan sendiri pikiran dan tindakan mereka. Untuk siapa mereka berkuasa? Apa yang telah mereka lakukan untuk rakyat?[] (Penulis wartawan senior)
Hakim Harus Baca Buku Putih
By Rizal Fadillah TELAH siap Kejaksaan untuk mengajukan dua Tersangka, yang sedunia merasa aneh, hingga kini masih dirahasiakan namanya. Publik hanya menduga bahwa kedua Tersangka adalah Fikri Ramdhani dan Yusmin. Dengan alasan masih aktif dan dijamin tidak akan melarikan diri maka keduanya tidak ditahan. Delik tuduhannya adalah pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) yang dilakukan secara bersama-sama ( Pasal 55 KUHP). Mengingat terdakwa adalah Polisi aktif yang sama-sama penegak hukum dengan Jaksa Penuntut Umum, maka dirasakan tidak mudah untuk memeriksa secara obyektif meski di ruang Pengadilan. Publik mengkhawatirkan baik Jaksa maupun Pengacara nantinya akan berada pada pos yang sama. JPU sulit untuk "all out" mengorek keterangan melainkan berpedoman pada skenario yang telah disepakati bersama antara Kejaksaan dan Kepolisian. Majelis Hakim menjadi harapan dan penentu. Akan tetapi mengingat hal ini merupakan kasus politik bukan hukum 'an sich' maka tidak mustahil kekuasaan akan melakukan intervensi. Karenanya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus pembunuhan "crime against humanity" ini harus kuat dan mandiri. Menegakkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa atau tekanan politik penguasa. Publik menyangsikan bahwa Fikri dan Yusmin adalah pelaku utama atau hanya mereka berdua yang melakukan. Ada pihak yang sesungguhnya lebih bertanggungjawab atas pembunuhan ini. Pengadilan diharapkan bukan selesai dengan menghukum keduanya, tetapi dari keduanya membongkar pelaku dan aktor intelektual kejahatan kemanusiaan tersebut. Bongkar siapa komandan yang berada di mobil Land Cruiser hitam, bagaimana voice note antara petugas lapangan dengan atasan, siapa saja penumpang yang bukan aparat Kepolisian di mobil Avanza silver B 1278 KJD dan Avanza hitam B 1739 PWQ yang diduga membunuh dua orang anggota Laskar. Lalu "di mana" dan "siapa saja" yang menyiksa dan akhirnya membunuh keenam anggota laskar tersebut? Atas perintah siapa semua kejahatan itu dilakukan? Majelis Hakim diharapkan seksama dalam menguak kasus. Menjadi awal dari pembuktian benar atau tidak dugaan atau kecurigaan publik. Hakim harus jujur dan benar-benar bekerja dengan keyakinan hati nurani. Tidak mudah terbeli. Ini adalah kasus berat yang dapat memuliakan atau menghinakan. Para Hakim di samping membaca Kitab Hukum juga membaca Kitab Suci Agama-nya. Lalu baca juga hasil temuan dan analisa Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) yang dituangkan dalam Buku Putih "Pelanggaran HAM Berat" Pembunuhan Pengawal HRS. Bacaan ini sangat penting karena ada fakta hukum yang berguna bagi telaahan Majelis Hakim. Buku Putih di atas mencoba membeberkan peristiwa sebenarnya dari kasus besar pelanggaran HAM berat yang justru dikecilkan dan dibuat seperti drama novel picisan. Nyawa manusia yang disampahkan. Mereka ingin menutupi kebiadaban dengan cara cara biadab. Majelis Hakim diharapkan menjadi manusia yang berjubah kemuliaan. Menjunjung tinggi harkat dan derajat kemanusiaan. Bukan menjadi bagian dari kebiadaban. Pelaku dan penyuruh pembunuhan enam laskar pengawal HRS harus menerima hukuman yang berat. Semua yang terlibat baik petugas lapangan, atasan, maupun pengambil keputusan politik harus merasakan derita penjara. Buku Putih menjadi bacaan wajib Majelis Hakim. Harapannya para Hakim itu memiliki hati dan pikiran yang putih. Agar nanti di hari pengadilan akherat dapat berwajah putih karena telah berlaku adil. Bukan berwajah hitam yang akan diseret-seret dengan hina dan mengerikan. Siksa yang dikhususkan bagi orang-orang yang telah berlaku zalim, apakah itu Penguasa ataupun Hakim. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Mural Wiji Thukul
Oleh Ady Amar Wiji Thukul hilang entah ke mana. Atau lebih tepat, Wiji Thukul dihilangkan entah oleh siapa. Rezim jahat saat itu mengambilnya, dan ia tak pernah kembali menemui istri dan buah hatinya di gubuk kecilnya di Solo. Politik kekerasan, itu demokrasi yang tersumpal. Menyumpal demokrasi bahkan yang ada di pikiran. Maka, kritik umpatan sajaknya pada rezim, itu bisa jadi yang menyebabkan ia tak mampu lagi bersajak ria. Ia seolah ditelan bumi, atau hancur remuk raga jadi serbuk halus tertiup angin. Tidak ada yang tahu dengan cara apa Wiji Thukul disudahi hidupnya, dan oleh siapa. Misteri itu tidak terungkap, meski rezim berganti. Tapi nasib hilangnya Wiji Thukul itu tidak terkuak sedikitpun. Bahkan tidak ada yang mencoba ingin menguak mengungkapnya. Saat kanak-kanak, saat itu ia duduk di SMP, ia kaget ternyata sajak bisa buat ciut penguasa. Saat itu ia mulai menulis sajak pendek. Sajak nakal kelewatan. Sajak itu ia beri judul "Kemerdekaan", dibacakannya saat Hari Kemerdekaan RI. Itu di tahun 1982. Begini bunyinya: Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai Keesokan harinya panitia Hari Kemerdekaaan RI di kampungnya, dan sekalian Wiji Thukul dipanggil dan diinterogasi Babinsa di Kelurahan. Sajak Wiji Thukul memang sajak pemberontakan. Ia tampak menjadi orang kiri, yang dipaksa oleh keadaan. Menjadi kiri buat orang semacam Wiji Thukul seperti jadi keharusan. Kemiskinan yang tanpa pendampingan Tuhan, bisa menjadi kiri sebenarnya. Ia anak seorang penarik becak. Cuma bisa Sekolah Menengah Atas Karawitan dan Tari, tidak tamat karena biaya. Ia mengalah pada adik-adiknya. Dan lalu ia jadi calo tiket bioskop. Kondisi itu, bisa jadi, menyebabkan pilihan sajaknya penuh pergolakan, dan itu menyakitkan rezim yang tengah menikmati hidup serba nikmat. Sajak-sajaknya dianggap membahayakan keberlangsungan kenikmatan atas nama pembangunan, atau apapun namanya. Saat ini, kutipan sajak "pemberontakan" Wiji Thukul muncul sebagai mural pada dinding-dinding di kota Solo juga Yogyakarta. Kutipan sajak yang dipilih tentu yang tidak tajam bak sembilu, agar tidak dihapus Satpol PP atas nama keindahan kota. Wiji Thukul seolah dihidupkan kembali sebagai simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan. Rezim boleh berganti, tapi tabiat rezim yang bisa jadi sama tiraninya, memunculkan perlawanan. Maka, sajak-sajak Wiji Thukul -- bahkan juga kutipan sajak WS Rendra dan Chairil Anwar pun hadir sebagai mural-- amat relevan, seolah menjadi kawan kesuntukan melawan kekuasaan jahil dan lalim. Apa yang Perlu Ditakutkan Wiji Thukul hanyalah orang kecil, menjadi aktivis pilihannya. Di sela-sela aktivitasnya, ia menulis sajak, meski bukan terbilang penulis sajak papan atas, tapi pada sajak karyanya nuansa getir, kesulitan hidup, marah, perlawanan... dan seterusnya, itu punya nilai tersendiri. Masuk kategori sajak pamflet, mungkin itu tepat jika melihat sajak-sajak karyanya. Sekeras apapun sajak dibuat, tidak pernah dalam sejarah mampu menumbangkan rezim berkuasa. Namun sajak mampu sebagai monster menakutkan bagi rezim tiran. Itu ibarat bangunan kokoh yang mustahil bisa dirobohkan, tapi mampu membuat penghuninya ketakutan. Hari-hari ini nukilan sajak-sajak Wiji Thukul, WS Rendra, dan bahkan Chairil Anwar menghiasi tembok-tembok dihadirkan sebagai seni mural. Sajak-sajak yang melintasi periode waktu panjang, itu dimunculkan seolah mengiringi suasana zaman yang tidak jauh berbeda dengan saat sajak itu dicipta. Sajak-sajak itu mengajarkan, seolah tidak ada yang berubah dari pergantian rezim. Sepertinya bangsa ini tidak beranjak lebih baik, tetap terpuruk dan terpuruk... Rezim boleh berganti, tapi tabiat (menuju) tiran terus ditampakkan.... Maka kehadiran sajak-sajak di tembok-tembok mana saja, itu tiada henti terus seolah berteriak mengingatkan bangsa yang bergerak menjauhi bandul sejahtera. Maka, sajak-sajak itu akan terus hadir, meski harus menanggung diserupakan musuh yang mesti dibabat habis. Maka menghapus mural dalam bentuk cuplikan sajak-sajak itu jadi pilihan. Namun menghapus pesan pada mural yang bertumbuh di mana-mana, itu mustahil bisa dihentikan. Satu dihapus, maka sepuluh akan bertumbuh. Dan tentu kualitas pesan yang disampaikan akan makin kuat dan menohok. Mural-mural itu mustahil bisa merobohkan tembok yang dihiasi dengan sajak-sajak dan gambar kritik sosial. Lalu apa yang mesti ditakutkan? Biarkan saja kehadirannya, jangan diganggu. Karena dengan itulah ia dapat mengekspresikan kesuntukan hidup. Wiji Thukul sudah pergi entah ke mana, bisa jadi ia dihilangkan untuk tak kembali... Begitu pula WS Rendra, dan apalagi Chairil Anwar... mereka semua sudah pergi dengan alasannya masing-masing. Namun legacy yang ditinggalkan, sajak-sajak kritik sosialnya tetap abadi dinikmati. Tanggal 27 Juli 1998, Wiji Thukul dinyatakan hilang, bersama 12 orang lainnya. Hilang dan dihilangkan tentu punya makna beda. Tapi dalam konteks Wiji Thukul, mungkin lebih netral dikatakan, pergi entah ke mana tak kembali. Dan 23 tahun kemudian, Wiji Thukul muncul kembali, tidak sosoknya. Tapi kutipan sajaknya di tembok-tembok, menjadi mural lambang perlawanan. Meski yang muncul baru kutipan sajak terbilang sejuk, belum sampai yang mengguncang... (*) *) Kolumnis
KPK = Kapan Pemberantasan Korupsi?
Oleh Sugengwaras Wacana perekrutan Tim Testimoni dengan mencoba mantan pidana korupsi sebagai penyuluh anti korupsi tentu saja banyak mengundang pro kontra. BARANGKALIi gagasan ini muncul dari fenomena Ahok sang penista agama, mantan napi bisa menjadi petinggi BUMN, puluhan orang mantan ahli menangani korupsi justru dipecat melalui tes wawasan kebangsaan, bahkan tidak boleh lagi masuk anggota KPK, para tahanan politik ulama dan pengkritis pemerintah diborgol tapi bagi yang lain seperti Mohamad Kece si penoda agama masih bisa semangat bergelora tanpa diborgol, atau beberapa tahanan pidana korupsi masih bisa cengengas- cengenges dan lenggang kangkung, dengan sanksi hukum yang spektakuler. Juga mungkin penggagas berinspirasi dari pemikiran bahwa mantan pidana bisa jadi orang baik, sadar dan bertaubat karena pengalaman jiwa raganya selama ditahan yang bergelut dengan sedih, malu, menderita, bahagia, bangga dan berani. Dalam politik tidak ada yang tetap dan pasti, kecuali perubahan karena kepentingan itu sendiri. Dalam hukum yang mengandung sifat mengikat untuk mengikuti aturan dan sifat memaksa untuk menjalani resiko bagi yang melanggar, tidak ada yang murni karena adil belum tentu benar, sebaliknya benar juga belum tentu dirasa adil. Maka dengan semakin seringnya fenomena fenomena aneh yang mengandung kejutan dan kontroversial ini perlu dipekai dan dipedulii namun juga tetap waspada terhadap kemungkinan latar belakang, motif, maksud dan tujuanya, agar masyarakat tidak terpengaruh negatif, hanyut dan larut mengikuti arus penyesatan, pengalihan isu, pengelabuhan dan penjebakan. Artinya banyak kemungkinannya hal hal yang kontroversial itu dijadikan moment perubahan berpikir yang bisa jadi sensitif mengiringi situasi dan kondisi NKRI ini. Cermati fenomena pasang surutnya pandemi Covid -19, cemas harap rakyat atas kebijakan PPKM, wacana bergeser mundurnya pelaksanaan pilkada, pilpres, bertahannya ambang batas 20 %, jabatan presiden 3 periode serta diserentakkannya pilkada dan pilpres Di sisi lain, penggabungan, pengelompokan dan penampilan para tokoh dan fans justru bermunculan di tengah belum jelasnya berakhirnya pandemi, kebohongan rezim, kaburnya penanganan koruptor kakap, abainya hutang negara yang sangat membebani generasi penerus serta terabaikannya TKA dibalik digembar-gemborkannya kembali pemindahan Ibu Kota Negara Baru di Kaltim serta diam diamnya penyusunan BPIP / HIP yang siap menerkam Pancasila yang selama ini kita pedomani Hanya sosok pemimpin yang amanah, jujur, berani, Arief dan bijak serta berwawasan luas yang bisa menyikapi fenomena ini, Semoga dengan bekal persatuan dan kesatuan dalam bingkai kebhinekaan ini, NKRI segera lolos, bangun dan bangkit kembali tuk menjadi negara yang maju, adil, makmur, sejahtera dan Jaya....Aamiin......!!! *) Purnawirawan TNI AD
Koalisi Para Penipu
By Asyari Usman MEREKA sudah bertemu. Para penipu rakyat itu sudah saling berangkulan erat. Untuk mematangkan kerja sama yang lebih spektakuler lagi. Yaitu, memperpanjang penipuan terhadap rakyat. Atau, sinonimnya, memperpanjang pengabdian kepada oligarki bisnis. Yang diperpanjang adalah kesempatan bagi oligarki untuk menguras kekayaan Indonesia selama sekian tahun lagi. Tanpa syarat. Tanpa pengawasan. Tanpa rintangan. Pokoknya, oligarki bisnis mendapatkan perpanjangan “kontrak pengurasan” Indonesia. Dan dijamin aman. Kemudian, yang juga diperpanjang adalah kekuasaan para politikus antek oligarki. Mereka bisa berkuasa “extra time”. Ada tambahan waktu. Yang berarti tambahan uang haram dari oligarki yang mereka beri perpanjangan kontrak pengurasan. Sebagian politikus akan punya kesempatan tambahan untuk menumpuk kekayaan pribadi. Lalu, memperpanjang peluang para pemegang kekuasaan nyata di lapangan. Yaitu, mereka yang langsung berurusan dengan aktivitas harian operasi pengurasan kekayaan rakyat itu. Mereka pun mendapatkan bagian masing-masing sesuai proporsi peranan mereka. Itulah hasil pertemuan Koalisi Para Penipu. Koalisi besar yang memiliki kekuasaan untuk berbuat khianat dan jahat atas nama konstitusi. Mereka selalu, dengan licik dan cerdik, menggunakan celah-celah konstitusi untuk menipu rakyat. Tanpa ragu dan malu, mereka menyebut manuver bejat itu sebagai langkah yang konstitusional. Begitulah Koalisi Para Penipu. Mereka sangat pintar dan terlatih mencari momen yang tepat untuk menipu. Wabah Covid menyediakan peluang yang terbaik untuk mereka. Peluang penipuan konstitusional yang berkedok situasi darurat. Apa yang bisa dilakukan rakyat untuk mencegah penipuan ini? Nyaris tidak ada. Kecuali melalui komentar atau protes di media sosial (medsos). Tapi, reaksi melawan di medsos tidak akan berdampak. Skenario penipuan akan jalan terus. Sebagai penutup, kita hanya bisa mengulangi lagi bahwa yang berkuasa di Indonesia ini adalah oligarki bisnis. Merekalah yang merancang penipuan konstitusional itu. Dengan menggunakan tangan-tangan rakus, khianat, dan ceroboh yang sedang memegang kuasa legislatif dan eksekutif. Antek-antek oligarki itu tidak peduli kalau kecerobohan dan kerakusan mereka akan menghancurkan masa depan bangsa dan negara. Bagi mereka, kepuasan sesaat ketika mereka berkuasa sudah cukup. Itulah Koalisi Para Penipu. Mereka yakin penipuan lebih lanjut akan berhasil. Wallahu a’lam.[] (Penulis wartawan senior)
Luhut Merah atau Merah Putih
By M Rizal Fadillah URUSAN vaksin menjadi genggaman Luhut, apalagi dikaitkan dengan urusan investasi. Alih-alih mendorong berkembang industri vaksin dalam negeri, Luhut malah memproklamasikan akan berdirinya pabrik vaksin kerjasama dengan China di Indonesia pada tahun 2022. Belum jelas apa perusahaan Chinanya, yang jelas nama vaksin itu mRNA. Bagaimana nasib Vaksin Nusantara dan Vaksin Merah Putih karya anak-anak bangsa ? Meski basa-basi akan tetap dikembangkan, namun tidak ada bukti pemihakkan. Nyatanya prioritas justru kerjasama dengan China untuk mendirikan pabrik. Ini sama saja dengan membunuh vaksin dalam negeri. Bagaimana nanti persaingan produksi dalam pemasaran dan pengembangan ? Vaksin China baik Sinovac maupun Sinopharm termasuk vaksin yang paling diperbincangkan efektivitasnya di banding Pfizer, Johnson & Johnson, Astrazeneca atau lainnya. Di masyarakat pun banyak yang mempertanyakan dan meragukan. Jika saja tidak ada pemaksaan mungkin orang banyak yang akan melakukan pilihan. Terlepas dari persaingan politik dan bisnis vaksin asing, putera puteri bangsa kita sendiri terus berusaha melakukan inovasi atas vaksin Covid 19. Vaksin Nusantara yang dipelopori dr Terawan, mantan Menkes, terus diminati. Turki konon memesan 5,2 juta dosis dari vaksin ini. Bahkan Turki menawarkan menjadi lokasi uji klinis fase 3 Vaksin Nusantara. Vaksin Merah Putih vaksin juga terus di diteliti di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Bandung dan Universitas Airlangga Surabaya. Vaksin produksi dalam negeri ini harus diproteksi oleh Pemerintah sehingga terjamin baik pemasaran maupun pengembangannya. Investasi dari manapun selayaknya diarahkan pada kemandirian vaksin kita sendiri. Merah putih adalah kobaran nasionalisme melalui vaksinasi. Kini Luhut justru berpaling ke China yang memang ia koordinator urusan China-Indonesia. Tetapi Luhut bukan segalanya sehingga penentuan tidak boleh dilakukan sendiri. Apapun posisinya, Luhut hanya salah satu dari Menteri Kabinet Jokowi. Ini bukan negara Luhut, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih jauh rakyat harus terlibat untuk ikut mempertimbangkan. Ataukah bangsa dan rakyat Indonesia harus mengambil keputusan sendiri yakni tolak vaksin Luhut-China dan pilih vaksin Nusantara atau Merah Putih ? Ini bangsa yang merdeka, mandiri, dan berdaulat. Jangan jual negara ini kepada asing dengan dalih pandemi. Luhut bukan Louis XIV yang dahulu menyatakan di depan Parlemen Paris : "l'etat c'est moi"--Negara adalah aku ! Atau memang Luhut sudah merasa menjadi Louis ? *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Sejarah Mentang-mentang, dan Sentilan Gus Baha
Oleh Ady Amar *) SEJARAH selalu diisi para pemenang. Atau dalam narasi lain, sejarah selalu diwarnai oleh mereka yang tengah berkuasa Merekalah yang menulis sejarah sesuai dengan keinginan dan versinya. Rezim Orde Baru menulis sejarahnya sendiri, menurut versinya. Maka yang berbau Orde Lama dibersihkan, dibuang dalam buku-buku sejarah. Maka nama-nama yang berbau "kiri" akan sulit bisa ditemukan, dalam buku pelajaran sejarah sekolah. Soeharto "panglima" Orde Baru muncul menghiasi sejarah, dan ia digambarkan tidak saja mampu melumat ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, tapi ia juga sebagai jenderal yang mampu menjaga stabilitas keamanan khususnya. Maka operasi pembunuhan misterius (petrus) jadi andalan penegakan kamtibmas, meski itu dianggap melanggar HAM. Tidak terhitung penjahat yang ditembak mati tanpa pengadilan. Meski ditentang Barat, operasi petrus jalan terus, dan berhenti saat dianggap sudah cukup memenuhi target. Untuk menegaskan peran Soeharto dalam merebut kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, dimunculkan film-film perjuangan, dimana Soeharto sebagai tokoh sentralnya. Film "Serangan 1 Maret/Janur Kuning" (1979), "Serangan Fajar" (1982), dan yang paling fenomenal film "Pengkhianatan G30S/PKI" (1984). Film ini rutin sejak 1985 diputar di TVRI, setiap tanggal 30 September. Tidak ada yang salah dalam film-film itu, justru film-film itu membangkitkan semangat kejuangan, dan memperlihatkan kekejaman PKI sebagai dalang kudeta dengan melakukan pembunuhan para jenderal. Pada masa Orde Baru, apa saja yang berbau kiri ditiadakan. Sehingga sulit untuk menemukan, misal buku Tan Malaka. Namanya menjadi asing, tidak dikenal anak-anak sekolah tingkat lanjutan pertama dan atas. Padahal ia termasuk pahlawan nasional. Bukunya Madilog (1951) sulit ditemukan. Buku itu magnum opus karya Tan Malaka, dan dianggap sebagai karya paling berpengaruh dalam Sejarah Filsafat Indonesia Modern. Tapi bersyukur Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cukup berjasa saat mengangkat karya Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang dianggap orang paling mengerti akan kisah hidup Tan Malaka, sebagai aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia. Buku 3 jilidnya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia itu mampu melepas dahaga mengenal sejarah tokoh misterius satu ini. Seiring berjalannya waktu, rezim Orde Baru lambat laun, khususnya pada pertengahan '80-an, mulai melonggarkan literasi agak kekirian, termasuk karya yang pada awalnya "terlarang". Bahkan Bung Karno, yang dianggap tokoh utama rezim Orde Lama, pelan-pelan pula namanya "dipulihkan", dan itu bisa terlihat dengan penamaan bandara dengan namanya bersama dengan nama Bung Hatta, Bandara Soekarno Hatta. Namun soal Komunis sebagai ajaran terlarang, tidak bisa ditawar-tawar, yang itu dikuatkan dengan Tap MPRS, yaitu Tap XXV/MPRS/1966. Rezim Orde Baru tegas menegakkan ketetapan itu. Tidak ada tawar menawar, dan itu memang konsekuensi sebagai negara Pancasila yang berketuhanan. Soekarno Menjadi Tidak Proporsional Sebagai pahlawan nasional dan Proklamator RI bersama Hatta, Soekarno dibuat seolah milik keluarga, atau setidaknya milik PDI Perjuangan. Maka wajah Soekarno selalu menempel pada banner-banner beraroma PDIP, di samping juga tentunya wajah Megawati Soekarnoputri. Peran Bung Karno ditarik atau dikecilkan tanpa disadari, seolah milik keluarga. Seperti PDIP tidak percaya diri jika tanpa mengikutsertakan nama besar Soekarno. Di sebalik itu masyarakat "dipaksa" mengakui peran-peran besar Soekarno dengan lomba memasang patungnya. Soekarno hadir menjadi tidak proporsional. PDIP sebagai partai besar, menjadi partai penguasa yang seolah bisa berbuat apa saja. Apalagi dengan klaim kepemilikan "petugas partai" meski itu setingkat presiden, maka apa yang tidak bisa dibuat menjadi mudah dibuat dan diwujudkan. Maka semua pihak ingin mendekati partai besar ini, terutama mendekati sang pemilik partai, Megawati Soekarnoputri. Megawati jadi pihak yang seolah diperebutkan. Keberadaannya bahkan lebih dari "petugas partai", yang meski orang nomor satu di republik ini. Sematan gelar "petugas partai" itu memang mengecilkan, itu hal tidak pantas. Itu upaya ingin menjadikan presiden juga milik partai, sebagaimana juga Soekarno milik partai. Melihat itu, bermunculan mereka yang ingin mendekat dengan berbagai cara. Maka pengadaan patung Bung Karno jadi senjata untuk "dilihat" Megawati. Muncul patung setengah dada Ir. Soekarno di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, (7 Februari 2020). Gubernur Akmil, kala itu, Mayjen Dudung Abdurrahman, cerdas menangkap momen itu. Ia diapresiasi Megawati, yang dalam sambutannya mengucapkan terima kasih dan penghargaan. Megawati mengatakan, bahwa Bung Karno itu pendiri Akmil, dan menjadi aneh jika tidak ada patungnya. Itu sudah hampir melupakan sejarah. Lanjutnya, padahal kita tahu bahwa sejarah di dunia ini pun sangat penting untuk menunjukkan yang namanya kita sebagai warga bangsa. Sambutan khas Megawati dengan kalimat ala kadarnya yang terpontal-pontal, itu pun disambut penuh kekaguman. Mayjen Dudung pun menyambar, itu tampak dalam sambutannya, bahwa patung Ir. Soekarno di Akmil sebagai simbol untuk menghormati dan mengabadikan perjalanan perjuangan bersejarah Sang Proklamator. Selain itu dijadikan panutan bagi Taruna-Taruni sebagai calon pimpinan TNI AD dan TNI masa depan. Patung Ir. Soekarno di Akmil, itu yang menjadikan Mayjen Dudung dalam hitungan bulan diangkat sebagai Pangdam Jaya. Benar-benar sakti. Tidak lama setelah itu, Mayjen Dudung menyambar lagi dengan menurunkan baliho-baliho Habib Rizieq Shihab. Tidak lama kemudian, ia diangkat sebagai Pangkostrad dan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Entah ini bisa disebut kebetulan, atau langkahnya memang penuh perhitungan. Lalu muncul lagi patung Ir. Soekarno Duduk di kursi sedang membaca buku, diresmikan di depan kantor Lemhanas, (20 Mei 2021). Tidak persis tahu apa motif Letjen (Pur) Agus Widjoyo, Gubernur Lemhanas, menghadirkan patung itu. Seolah berlomba membangun patung Soekarno jadi model, dan tentu itu politik kepentingan. Lalu gong sementara dari semuanya adalah patung Ir. Soekarno yang dibangun Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, sebuah patung Ir. Soekarno Menunggang Kuda, (7Juni 2021). Patung itu diletakkan di halaman depan Kantor Kementerian Pertahanan. Peresmiannya juga oleh Megawati Soekarnoputri. Jika lalu pihak lain mengatakan, bahwa perjalanan sejarah bangsa ini bukan cuma oleh seorang Ir. Soekarno, itu tidak salah. Menghadirkan Ir. Soekarno berlebihan, itu politik mumpung sedang berkuasa. Sentilan Gus Baha Indonesia dibentuk oleh seluruh bangsa, bukan hanya segelintir orang saja, sentil Gus Baha. Itu disampaikannya dalam video berdurasi 45 detik, Gus Baha menyatakan, bahwa Indonesia bukan hanya milik PDIP dan Soekarnoisme saja. "Tentu Pak Karno bikin negara itu untuk semua bangsa, bukan untuk PDIP saja, bukan untuk partai yang berpaham marhaenisme, juga bukan untuk partai yang berpaham Soekarnois saja," ujarnya. Kebesaran Soekarno jangan sampai direduksi atau disederhanakan hanya melalui partai saja. Itu justru merupakan bentuk pengkerdilan pada Soekarno. "Ya kita gak mungkin gak menghormati Soekarno. Beliau adalah pahlawan besar yang harus kita hormati... Tapi ya, kebesaran pak Karno dan bangsa Indonesia jangan kemudian direduksi, disederhanakan hanya melewati partai. Itu kan pengkerdilan," ujar Gus Baha. "Bahkan HOS Cokroaminoto bikin partai Islam adalah untuk mengusir bangsa Belanda dari Indonesia, yang mestinya juga untuk kepentingan semua bangsa Indonesia dan bukan hanya Islam saja," imbuhnya. Apa yang disampaikan Gus Baha, sebenarnya hal biasa saja. Menjadi istimewa karena yang menyampaikan Gus Baha. Semua yang bisa berpikir sedikit rasional, merasakan hal sama, bahwa Bung Karno serasa direduksi/disederhanakan. Atau, Bung Karno dibuat menjadi kecil, seolah pahlawan kelas keluarga dan partai (PDIP) saja. Makanya itu, Bung Karno selalu dihadirkan pada baliho-baliho yang menyertakan Megawati atau PDIP. Orang bertanya-tanya, tumben Gus Baha ceramahnya "nyasar" pada pereduksian Bung Karno itu. Bisa jadi, ia dan juga manusia merdeka lainnya melihat, bahwa upaya mereduksi Bung Karno sedang terjadi. Sebaliknya muncul upaya menganggap pahlawan bangsa itu cuma Soekarno, itu yang dikritisinya. Dan lalu jadi keprihatinan Gus Baha, dan tentu kita semua... Sejarah memang suka mentang-mentang sedang berkuasa, dan melupakan periode sejarah sebelumnya. *) Kolumnis