OPINI

Indonesia, G20, dan Kemiskinan

Oleh Radhar Tribaskoro INDONESIA jangan gampang bangga. Jabatan presiden G20 itu giliran, siapapun anggotanya pasti dapat. Jabatan itu pun baru berlaku 2022, bukan sekarang. Puja-puji para buzzer dan beberapa media nasional dalam hal ini, sungguh sangat tidak pada tempatnya. Indonesia sudah menjadi anggota G20 sejak didirikan tahun 1999. Pada waktu itu G20 hanya menyangkut pertemuan Menteri-menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi tidak terjadi lagi krisis ekonomi 1998. G20 beranggotakan 19 negara plus Uni Eropa. Anggota-anggota dipilih berdasar kepada ukuran ekonomi, jumlah penduduk, dan pertimbangan lain. Belanda dan Spanyol punya ukuran ekonomi yang besar tetapi mereka menjadi anggota di bawah naungan Uni Eropa. Thailand memiliki ukuran ekonomi lebih tinggi dari Afrika Selatan, tetapi Afsel yang dipilih menjadi anggota demi mewakili benua Afrika. Tahun 2008 G20 telah berkembang sehingga pengelolaannya dirasa perlu melibatkan presiden atau kepala negara. Tahun itu diselenggarakan KTT G20 yang pertama di Washington DC, Amerika Serikat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono hadir dalam pertemuan itu (lihat foto). Jadi tidak benar bahwa keanggotaan Indonesia di G20 dimulai sejak pemerintahan Presiden Jokowi. Pada tahun 2022 Indonesia menjadi Presiden G20 ke-14, jadi memang sudah waktunya. Menjadi anggota G20 juga tidak usah bangga. Ukuran ekonomi kita termasuk 20 besar karena penduduk kita besar. Namun bila dihitung secara pendapatan per kapita, kita ada di urutan terbawah kedua, setelah India yang penduduknya semilyar lebih. Pendapatan per kapita kita hanya 1/7 dari pendapatan per kapita Korea Selatan yang di urutan ke-10 dan 1/15 pendapatan per kapita Amerika Serikat yang berada di puncak G20. Jadi saya lebih melihat keanggotaan Indonesia di G20 sebagai kesempatan, bukan kehormatan. Saya kira kita tidak perlu kebanggaan palsu. Kita akui saja, kita negara miskin. Kita bahkan tidak lebih baik daripada India yang nyata pendapatan per kapitanya hanya sekitar separuh kita. India memiliki kapasitas dan ekspor produk industri yang sangat kuat. Ketika tahun 2020 ekonomi seluruh dunia ambruk, India sendirian tumbuh 7,8%. Eksekutif keturunan India bertebaran di hampir semua perusahaan Fortune 500. Tidak diragukan India akan tampil sebagai kekuatan industri dan informatika yang besar di masa datang. Hal itu sejalan dengan semakin banyaknya prestasi kelas dunia di bidang sains dan humaniora. Sekarang setidaknya 5 orang warganegara India tercatat sebagai pemenang Hadiah Nobel di bidang fisika, kesusastraan, ekonomi dan perdamaian. Di luar itu ada 4 orang keturunan India namun warganegara lain juga telah memenangi Hadiah Nobel. Dalam hemat saya kita tidak punya hak untuk berbangga. Sebagai bangsa yang sudah 76 tahun merdeka kita masih menghadapi kemiskinan massal yang menggiriskan. Gatot Nurmantyo dalam diskusi Evaluasi 7 tahun pemerintahan Jokowi 21 Oktober 2021, mengutip Bank Dunia, menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 27 juta. Angka itu sesuai standar Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan pada penghasilan $1.9/hari, untuk negara-negara berpendapatan rendah. Standar Bank Dunia itu meningkat untuk negara berpendapatan menengah bawah menjadi $3.2/hari, dan negara berpendapat menengah atas sebesar $5.5/hari. Indonesia dengan pendapatan per kapita rata-rata $4500/tahun sudah termasuk negara berpendapatan menengah bawah. Pada tingkatan ini orang miskin di Indonesia (pendapatan per kapita $3.2/hari) berjumlah 57,6 juta orang atau 31,5% dari jumlah populasi. Sementara itu bila dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, persentase penduduk miskin (dengan standar $3.2/hari) di Vietnam hanya 6,6%, sementara Thailand hanya 0,6%. Kembali ke pernyataan Gatot Nurmantyo, pembangunan ekonomi di Indonesia dalam 7 tahun terakhir, sama sekali tidak memihak kepada penduduk miskin! Bila ditatap lebih seksama, ekonom Antoni Budiawan menyebutkan bahwa 6,6 juta penduduk Indonesia di 29 kabupaten/kota termasuk penduduk termiskin di dunia dengan penghasilan kurang dari $1.000/kapita. Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua adalah kabupaten termiskin nomor dua di dunia dengan pendapatan per kapita $329, hanya sedikit di atas negara termiskin Burundi yang berpendapatan $293/kapita. Sekali lagi, kita tidak punya hak berbangga. Kita harus akui bila kita negara miskin. Kita tidak sok hebat, kita tidak gentar berada di panggung dunia lantaran kita punya martabat. Martabat itu mengatakan bahwa "Sekalipun miskin kita tidak butuh siapapun menolong. Kita akan membangun bangsa kita dengan kekuatan sendiri". Hal itu tidak sukar sepanjang seluruh potensi negara ini diarahkan demi kemaslahatan rakyat. Saya cenderung kehadiran kita di G20 sebagai peluang. Pertama, ini adalah peluang kita untuk menciptakan arsitektur keuangan dunia yang lebih berkeadilan, yang membuka peluang lebih besar dan luas bagi bermilyar penduduk miskin di dunia untuk memperbaiki nasibnya. Kedua, peluang untuk berkontribusi kepada dunia karena dari sanalah orang sedunia menghormati kita. Walau kita miskin kita tidak rugi menyumbang kepada kepentingan dunia. Kepentingan dunia itu hadir saat ini: mengendalikan perubahan iklim. Iklim dunia memang rusak akibat proses industrialisasi yang tidak terkendali di negara-negara maju. Namun hal itu tidak boleh mencegah kita untuk mendukung pencegahan kerusakan alam lebih lanjut. Itu hal terhormat yang bisa kita lakukan. Hal yang paling tidak terbayang bagi saya adalah mengumbar informasi palsu seakan-akan kita telah menjalankan agenda-agenda dunia berkenaan dengan mitigasi perubahan iklim dan menjalankan standar pembangunan berkelanjutan, padahal bohong. Saya juga tidak bisa membayangkan perjanjian telah ditandatangani presiden lantas dianulir oleh menteri-menteri sendiri. Hal itu sungguh TIDAK TERHORMAT! Sungguh perbuatan memalukan dan sangat tidak bisa dibanggakan.

Itu Bukan Salah Luhut Panjaitan atau Erick Thohir

By Asyari Usman Apa-apa, Luhut. Sedikit-sedikit, Luhut. Jabatannya bertimbun-timbun. Hampir tidak ada bidang yang tak mengikutkan Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Invetasi, Luhut. Infrastruktur, Luhut. Ibukota baru, Luhut. Kereta cepat Jakarta-Bandung, Luhut juga. Penangangan Covid-19, dia lagi. Sampai ke urusan tes PCR-nya sekalian. Sekarang ini, para pendukung Jokowi banyak yang jengkel. Marah-marah melihat kondisi negara dan rakyat. Saking jengkelnya, ketua relawan Jokowi Mania (Jokma), Immanuel Ebenezer, mengatakan di salah satu talk-show bahwa para pejabat yang terlibat bisnis PCR harus dihukum mati. Immanuel merujuk ke skandal penyediaan tes PCR (polymerase chain reaction) oleh konsorsium sejumlah perusahaan yang tergabung dalam PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Namanya memang sosialis sekali. Seolah ingin membantu rakyat dalam urusan tes PCR itu.Tapi, setelah sejumlah media mainstream melakukan investigasi, ternyata GSI mengumpulkan laba yang sangat besar dari bisnis di tengah bencana itu. Ratusan miliar. Mungkin triliunan. Luhut mengatakan, dia tidak mengambil untung dari kegiatan GSI. Dia mengatakan, GSI hadir untuk membantu. Selain Luhut, yang juga terindikasi berbisnis PCR adalah Menteri BUMN Erick Thohir. Ada perusahaan besar, Adaro, milik Garibaldi Thohir (Boy Thohir) di GSI. Ada pula ketua umum Kadin, Arsjad Rasjid. Dan banyak lagi. Nah, salah siapa? Apakah itu salah Luhut dan Erick? Bukan. Itu bukan salah Luhut dan Erick. Itu salah kalian yang memilih Jokowi menjadi presiden. Itu kesalahan kalian yang berjuang mati-mati mendudukkan Jokowi di Istana. Kalian sebetulnya sudah tahu bahwa Jokowi tidak akan bisa memimpin pemerintahan. Dia malah “dipimpin” oleh kelompok oligarki bisnis yang bersekongkol dengan oligarki politik, khususnya dengan simpul-simpul kekuasaan. Jokowi bukan “bertugas” untuk rakyat. Dia “ditugaskan” oleh dua kelompok oligarki yang sangat berkuasa itu. Jadi, tak mengherankan kalau roda pemerintahan berjalan amburadul selama kepresidenan Jokowi tujuh tahun ini. Tak mengherankan pula kalau dia sangat bergantung pada Luhut. Sehingga, kekuasaan pemerintahan menumpuk di tangan Menko Semua Urusan itu. Ketika sekarang terbongkar keikutsertaan Luhut dan Erick dalam bisnis tes PCR, tidak perlu kaget. Kedua menteri ini adalah pengusaha. Prinsip utama pengusaha adalah mencari peluang. Di mana pun itu dan dengan menggunakan apa pun juga. Luhut, Erick dan para pengusaha lainnya melihat di tengah wabah Corona ada peluang bisnis. Mereka tangkap peluang itu. Kebetulan keduanya punya kekuasaan dan modal. Muncullah ide GSI. Mereka bisa atur sendiri apa yang mereka inginkan dan bagaimana cara menunaikan keinginan itu. Banyak yang berkomentar Luhut dan Erick melanggar etika alias moralitas. Juga melanggar pantangan “conflict of interest” (benturan kepentingan). Intinya, menjadi pejabat tinggi tidak boleh berbisnis. Apalagi berbisnis di tengah penderitaan rakyat. Sangat, sangat tak beretika. Tak bermoral. Tapi, apakah Anda masih berharap para pengusaha di Indonesia ini memiliki etika dan moral? Apakah Anda mengimpikan para pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa masih sempat memikirkan etika dan moralitas? Jadi, itu semua bukan salah Luhut Panjaitan. Bukan pula salah Erick Thohir.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Kasihan Kodok

Oleh Ady Amar *) KODOK seperti juga anjing dan babi menjadi binatang (dianggap) menjijikkan. Padahal semuanya itu ciptaan Tuhan. Tapi Tuhan juga menetapkan mana binatang ciptaannya yang boleh dikonsumsi, mana yang terlarang. Jika lalu pertanyaan "nakal" diteruskan, mengapa Tuhan menciptakan makhluk itu tapi terlarang untuk dikonsumsi. Maka jawabnya bisa jadi, mungkin di balik itu, sebenarnya Tuhan ingin menguji mana manusia yang taat dengan tidak melanggar perintahnya, dan mana yang bandel dengan memilih tetap melanggar mengkonsumsinya. Tapi perbincangan kali ini terkhusus pada kodok, tentu tidak sebagai binatang yang kehadirannya berproses dari larva, lalu jadi cebong dan berakhir pada kodok. Tidak pada makhluk ciptaan Tuhan itu. Kodok hanya disebut atau dipakai inisialnya, dan itu untuk menandai sebuah rezim. Wow! Adalah Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris BUMN, yang menginisialkan "kodok" untuk memotret rezim saat ini, yang menurutnya lebih buruk dari rezim Orba, yang rontok setelah memerintah 32 tahun. Rontok oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Adakah yang lebih buruk dari KKN, menurutnya kodok, tentu dalam inisial, lebih buruk dari itu. Menurutnya, cebong itu fase menuju kodok. Dan setelah kodok tidak akan ditemui fase lain kecuali kematian. Makna mati di sini lebih pada runtuh. Rezim akan runtuh setelah benar-benar menjadi kodok. Seperti juga rezim sebelumnya yang runtuh setelah memasuki fase KKN. Said Didu tampak cerdas, saat membuat istilah yang tidak dipaksa-paksakan, tapi jika dilihat secara obyektif rasanya _sih_ benar juga apa yang diistilahkannya itu. Maka, makna kodok itu diinisialkan dengan korupsi, oligarki, dinasti, otoritarian dan koncoisme. Inisial kodok yang dibuat itu sungguh menyentak obyektivitas kesadaran yang sebenarnya, bahwa kita memang sedang memasuki fase terakhir menuju keruntuhan. Bagaimana tidak runtuh jika negeri ini dikelola dengan model kodok style, yang itu cuma menguntungkan sekelompok kecil dari kelompoknya. Untuk meyakinkan bahwa sebutan kodok itu adalah istilah yang tepat, ia pun perlu menggambarkan gerakan binatang kodok yang "gayanya menendang ke bawah, menyingkirkan (menyepak) ke samping dan menjilat ke atas". Said Didu tampak seolah memaksa-maksakan gaya binatang kodok, itu yang Subhanallah_memang pas dengan inisial yang disampaikannya. Kasihan memang, jika kodok sebagai binatang harus diinisialkan pada perangai buruk manusia, dan itu pada sifat tamak yang lebih buruk dari sikap binatang. Pastilah kodok tidak mampu protes menolak namanya diinisialkan dengan sikap tamak makhluk paling sempurna, tapi yang justru merendahkan kesempurnaan ciptaan-Nya. Tapi setidaknya nama kodok akan lebih sering disebut, bahkan disebut sebagai istilah untuk menamakan sebuah rezim. Kodok, meski binatang kecil, lebih akan sering disebut ketimbang anjing atau babi, yang belum ditemukan inisialnya untuk menandakan tidak saja sebuah rezim, tapi apapun yang bisa menggambarkan sebuah peristiwa menjijikkan/menjengkelkan, yang jika disebut satu persatu akan panjang bererotan. (*) *) Kolumnis

Siapa Pun KSAD Asal Bukan Dudung

By M Rizal Fadillah JUDUL di atas terinspirasi komentar netizen medsos dengan tulisan hal yang sama, lucu juga. Kesannya siapapun boleh menjadi KSAD asal bukan Dudung. Maksudnya adalah Letjen TNI Dudung Abdurrahman Pangkostrad kini dan Pangdam Jaya sebelumnya. Figurnya kontroversial. Peluang Dudung Abdurrahman menjadi KSAD memang besar, kenaikan posisi dari Pangdam menjadi Pangkostrad adalah pertanda bahwa bukan hal berat meningkat jabatan menjadi KSAD untuk menggantikan Jenderal Andika Perkasa yang sedang dipromosikan sebagai Panglima TNI. Sayangnya Dudung adalah sosok yang yang bermasalah, didukung oleh kekuasaan tetapi tidak disukai oleh rakyat. Ada empat masalah besar yang menjadikan Dudung Abdurrahman tokoh kontroversial sehingga menjadi tidak layak menjadi KSAD, yaitu : Pertama, perusak sejarah TNI dengan mengomandani penurunan baliho Habib Rizieq Shihab di Petamburan. Misi militer yang dinilai sebagai kudeta atas pekerjaan Satpol PP. Dudung masuk jauh ke dalam kegiatan politik pragmatis dan murahan. Kedua, dalam agenda pekerjaan Kepolisian turut menyertai Kapolda Irjen Pol Fadil Imron tampil dalam Konferensi Pers pembantaian 6 laskar FPI dan turut berdusta dengan menyatakan terjadi "tembak menembak" serta menunjukkan alat bukti yang diduga rekayasa. Pangdam yang menampilkan diri sebagai "ajudan" Kapolda. Ketiga, mendirikan patung Soekarno yang di samping Proklamator juga pemimpin Orde Lama di Kompleks Akademi Militer Magelang. Sebagai Gubernur Akmil saat itu Dudung meresmikan patung Soekarno bersama Megawati. Patungisasi Soekarno dicanangkan Megawati dimana-mana. Jika benar niat untuk menghormati Proklamator semestinya bersama dengan Moh Hatta. Keempat, merusak atau menghilangkan patung diorama penumpasan G 30 S PKI di Museum Makostrad. Nuansa ketidaksukaan kepada sejarah peran Nasution, Soeharto, dan Sarwo Edhi dalam menumpas PKI di masa Orde Lama sangat terasa. Alasan "haram patung" yang ditoleransi Dudung Abdurrahman adalah sumier dan tidak adekuat. Kalkulasi dukungan politik kekuasaan memungkinkan Dudung Abdurrahman untuk menjadi KSAD, akan tetapi pencitraan dirinya menimbulkan kesan "dosa politik" yang bertumpuk. Publik menilai Dudung tidak pas dan tidak pantas sebelum kasus dan campur tangan politiknya diusut tuntas. Yang wajar dan pantas untuk menjadi KSAD adalah siapa pun, asal bukan Dudung ! *) Analis Politik dan Kebangsaan

Telinga Iwan Fals Tipis, Tak Setebal Anies Baswedan

Oleh Ady Amar *) Ada yang kerap bahkan sudah jadi hobi lapor melaporkan pada pihak berwajib, jika merasa dirinya atau junjungannya, atau kelompoknya diberitakan dengan tidak sebenarnya. Dilaporkan pada kepolisian untuk sebisa mungkin diseret ke pengadilan. Itu bisa karena postingan, atau pernyataan seseorang terhadap publik figur dianggap tidak mengenakkan, bahkan dianggap fitnah, lalu memilih jalur hukum menyelesaikan persoalan itu. Kemarin Kamis, 4 November, Rosana, istri musikus gaek yang lagu-lagunya penuh kritik, Iwan Fals, mengadukan laporan ke Polda Metro Jaya, seseorang dengan inisal KS, yang disebutnya mencemarkan nama baik suaminya. Itu berkenaan dengan Ormas Orang Indonesia (OI). Ia didampingi sang suami, Iwan Fals, yang lalu berstatus sebagai saksi. Mengapa tidak Iwan Fals sendiri yang mengadukan pencemaran nama baiknya, kok justru harus istrinya. Aneh, kan. Iwan Fals terbilang tukang kritik. Lagu-lagunya sarat kritik, yang akhirnya tak tahan juga dirinya diganggu dengan "kritik". Telinga Iwan ternyata tipis. Mengadu pada instrumen kekuasaan (polisi) jadi pilihan. Kalau saja pada masa lalu ada pihak di era Soeharto yang dikritiknya menempuh jalur hukum, entah sudah berapa kali ia mesti menghuni prodeo. Iwan Fals saat ini memang bukan seperti yang dulu. Iwan Fals yang sekarang ini, orang menyebut "singa tua" yang ompong, yang mata dan hatinya tak mampu melihat fenomena sosial-politik sekeliling dengan baik. Ia tampak menikmati keasyikan tersendiri bisa makan semeja dengan penguasa. Banyak yang menyayangkan langkahnya memilih jalur hukum. Memang sih pokok materi perkara aduannya tidak di-share di ruang publik. Maka, semua tidak tahu seberapa dahsyat fitnah yang mengenainya itu. Meski demikian, menempuh jalur hukum itu mengesankan ia bukan terbilang orang yang "jembar hati" melihat persoalan dan menyelesaikan dengan cara-cara persuasif di luar pengadilan. Atau bahkan membiarkan saja persoalan yang dianggapnya fitnah, itu justru langkah elegan, yang lambat laun pastilah "fitnah" itu akan pupus dengan sendirinya. Tapi ya itu tadi, tukang kritik memang tidak selamanya kuat dikritik, dan lalu memilih jalur hukum. Berharap saja pihak kepolisian bijak dan tidak memproses perkara yang sebenarnya bisa dicari titik temunya. Tidak semua perkara mesti diseret ke pengadilan yang melelahkan, hanya untuk kepuasan semu satu pihak. Anies Memang Istimewa Bersyukur Iwan Fals tidak ditakdir sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang tidak berperangai seperti Anies Baswedan. Tidak berperangai seperti Anies, itu karena ia "'sempit hati", yang tidak tahan kritik yang lalu memilih jalur hukum. Maka, sehari bisa 3-4 kali, seperti minum obat layaknya, ia akan bolak-balik melaporkan orang-orang yang mengkritiknya. Menjadikan pekerjaan utama sebagai Gubernur jadi terbengkalai. Diakui atau pun tidak diakui, tetaplah Anies Baswedan itu pejabat istimewa, seng ada lawan. Ia membiarkan saja, bukan lagi kritikan, tapi hujatan bahkan fitnah keji yang didapatnya dari para buzzer bergaji rupiah, yang umpatannya jahat penuh dusta, yang seperti diproduksi massal. Memilih dengan tidak menghiraukan. Bak dianggap angin lalu saja. Anies tidak ingin terkotori pikirannya dengan hal-hal tidak produktif. Anies tampak tidak mempermasalahkan dirinya jadi samsak hidup, dihajar tiap hari dengan fitnah yang diada-adakan. Anies tampak menikmatinya. Ia tak harus bersungut-sungut melaporkan mereka yang memang bekerja dan digaji dengan mengumpat-memfitnahnya. Intensitas umpatan jahat penuh fitnah tampak makin hari makin sadis dihantamkan. Seolah para buzzer berlomba memproduk umpatan paling sadis yang bisa membuat Anies terusik. Sekali lagi, Anies tetap saja tak bergeming. Agaknya rugi bahkan menjatuhkan diri jika merespons umpatan sampah. Sikap yang dipilih Anies setidaknya efektif. Menjadikan pekerjaan utamanya tidak jadi terbengkalai cuma ngurus hal tidak semestinya yang sifatnya personal. Anies terus bekerja membuat Jakarta makin "bercahaya", yang itu memang cuma bisa dilihat oleh mereka yang tak buta hati dan matanya. Tahun 2024 masih jauh, tapi kerja para buzzer dan analis politik berbayar, yang belakangan muncul seperti jamur di musim hujan, seolah diikhtiarkan-dihadirkan punya tugas menenggelamkan elektabilitas Anies yang moncer. Tampaknya, menjatuhkan Anies berlebih, bahkan terkesan dikeroyok jadi musuh utama, rasanya tidak efektif lagi. Justru di mata publik, tidak saja di Jakarta, tapi di seantero negeri justru menimbulkan empati dan simpati sebaliknya. Sepertinya cara-cara busuk dengan membusuk-busukkan Anies Baswedan, itu sudah mampu dibaca publik dengan baik. Memilih diterus-teruskan pastilah mubazir. (*) *) Kolumnis

Jokowi Tumbang Oleh Ulah Menteri

By M Rizal Fadillah Risma Menteri Sosial yang emosional wek wek ke mana-mana, memimpin dengan manajemen marah-marah sehingga menimbulkan kritik tajam. Tak pantas menjadi Menteri Sosial dengan modal jiwa a-sosial. Akting sinetron sapu-sapu bagai model teladan jadi bahan tertawaan. Malah menjadi pertanyaan akan kondisi kesehatan. Yaqut Menteri Agama terus bikin gaduh kepada umat beragama. Beragama Islam tetapi mengganggu ketenangan umat Islam. Dari rencana afirmasi Syi'ah dan Ahmadiyah, do'a semua agama, pengakuan agama Baha'i, hingga Kemenag hanya untuk NU dan menggandeng Kyai sesat ke Mabes Polri, umat resah dan mengkritik habis. Menteri Agama tak faham bagaimana mengayomi umat beragama. Premanisme dibawa ke ruang Kementerian. Nadiem Makarim pengusaha ojek online yang dikatrol jadi Menteri Pendidikan ternyata tidak menunjukkan kualitas Menteri terdidik. Dunia akademik diacak-acak. Tanpa makna kampus merdeka, liberalisasi dengan membuat road map menjauhi agama, dan terakhir membuat aturan yang membuka peluang seks bebas dan proteksi LGBT di Perguruan Tinggi. Nadiem menjadi Menteri Pendidikan yang dipaksakan untuk memenuhi mau-maunya Jokowi. Awal dianggap banyak potensi, namun prakteknya impotensi. Dunia pendidikan tampaknya bukan bidangnya. Bobot akademis tidak menunjang. Menteri BUMN Erick Thohir pengusaha yang membangkrutkan banyak BUMN. Karya BUMN dijual-jual meski atas nama perintah. Negara dijadikan lapak usaha. Terendus usaha pribadi masuk di Kementrian yang dipimpinnya. Meski dibantah, namun rakyat tidak percaya. Di era pandemi yang menyengsarakan rakyat, sempat-sempat mencari keuntungan berbisnis kesehatan. Konon bersama Menteri lain, Luhut Binsar Panjaitan. Nah Luhut lebih seru dan payah, Menteri segala Menteri ini diduga orang terkuat di belakang Presiden. Berjibun jabatan dipercayakan kepadanya. Bagai telah menerima "Super Semar" untuk menjalankan roda pemerintahan. Menko Investasi berujung jeblok investasi, Menko Maritim membentangkan jalur maritim buat negeri lain. Menko China-Indonesia yang menjadi Komandan penanganan pandemi ini dituduh masuk ke bisnis pandemi. Menteri yang sekaligus pengusaha memang dekat dekat dengan bisnis haram berbasis KKN. Hampir semua Menteri Jokowi tidak berprestasi bahkan bermasalah. Menteri Keuangan menjadi Menteri Perhutangan, Menteri Perdagangan menjadi Menteri Pengimporan, Menteri Mendes PDDT tidak menyejahterakan Desa malah diduga jual beli jabatan Kemendes PDDT. Jokowi salah memilih atau memang tidak bisa memilih. Oligarkhi faktanya menjadi pengendali dari kekuasaan. Desakan rakyat agar Menteri mundur atau dimundurkan mesti disikapi Presiden. Presiden harus bermusyawarah dengan oligarkhinya yang dipastikan susah atau serba salah. Menteri mundur berefek domino, Menteri dimundurkan memunculkan perlawanan. Gonjang-ganjing di Kabinet Jokowi akan semakin kuat. Memang yang terbaik sebagai solusi adalah Presiden yang mundur sehingga dapat ditata secara menyeluruh pemerintahan. Kembali ke relnya yang telah jauh melenceng. Jokowi yang bertahan hanya melanggengkan kebangkrutan, korupsi, bahkan penggerusan Ideologi dan Konstitusi. Ulah para Menteri membuka peluang kepada Jokowi untuk lebih cepat tumbang. Jalan semakin terseok-seok dan berat bertahan hingga akhir masa jabatan. *) Analis Politik dan Kebangsaan

Masih Adakah TNI untuk Rakyat?

Oleh: Yusuf Blegur Sebagai tentara rakyat Indonesia TNI biasanya hadir pada saat rakyat mengalami kesengsaraan. TNI selalu bersama rakyat dalam keadaan sesulit apa pun. Sebagai anak kandung rakyat, kekuatan yang lahir dari rahim rakyat, TNI tak akan sanggup melihat rakyat tertindas, hidup dalam penderitaan. Sebagai institusi kekuatan bersenjata,, TNI menjadi tempat perlindungan utama bagi rakyat dalam menghadapi musuh yang datang dari luar maupun dari dalam. Sejarah menoreh catatan emas perjalanan kekuatan dwi tunggal tersebut. Bahwasanya, TNI bersama rakyat berjuang bersama merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Baik dari penjajahan asing maupun pengkhianatan dari bangsanya sendiri. TNI juga merupakan pintu gerbang terakhir penyelamatan Pancasila, UUD 1945 dan keberlangsungan NKRI. Medan pertempuran yang dihadapi suatu negara saat ini, mungkin saja berbeda dengan model peperangan beberapa dekade yang lalu, dimana peperangan tidak selalu soal aneksasi atau penguasaan fisik dan dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Kecenderungan perang kekinian menjadi lebih dinamis, modern, dan bervariasi. Penggunaan senjata tidak melulu dibutuhkan untuk penaklukan suatu negara. Seiring waktu, sesuai kemajuan zaman dengan pesatnya perkembangangan informasi dan teknologi, banyak cara satu atau beberapa negara menancapkan kuku kekuasaannya pada negara lain. Target kekuasaan juga tidak mutlak pada merebut atau menguasai keseluruhan suatu wilayah atau negara secara fisik semata. Dengan kata lain, penguasaan ekonomi, penguasaan politik dan penguasaan budaya suatu bangsa juga menjadi alat dan metode yang efisien dan efektif dari penjajahan. Proxy War, perang asimetri dan CBRE kini menjadi perang modern yang menyelimuti dan mengancam dunia. Menciptakan konflik untuk memecah belah, menguasai sumber daya alam, menciptakan pemimpin boneka, dan atau penguasaan fisik suatu negara, jika diperlukan bisa saja terjadi. Bahkan bisa melalui infiltrasi informasi, investasi dan agresi di pelbagai bidang. Tak bisa dipungkiri lagi, penjajajahan gaya baru bisa hadir melalui agitasi dan propaganda serta penyesatan informasi memanfaatkan media komunikasi. Seiring itu, bisa juga dipicu dari hubungan ekonomi yang dibangun melalui ekploitasi dan eksplorasi sumber daya alam berkedok investasi dan jebakan hutang luar negeri. Di lain sisi daya tarik geografis, geopolitis dan geostrategis mengundang syahwat kolonialisasi suatu negara terhadap negara lain. Memoderasi kapitalisme dengan istilah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Membaca Posisi dan Kekuatan Negara NKRI yang rawan dan rentan terhadap penguasaan asing dan aseng, menyebabkan terbukanya peluang negara terpecah-belah dan kehilangan kedaulatan negara. Belum lagi ditambah pengeroposan dari dalam berupa korupsi dan pengekangan demokrasi dll. Upaya intervensi dari luar yang berisiko terhadap keberadaan dan eksistensi negara Indonesia, tidak serta-merta hanya karena ancaman kekuatan alutsista. Keruntuhan NKRI bisa saja terjadi karena hilangnya kedaulatan politik, lemahnya kemandirian ekonomi serta hancurnya kebudayaan nasional. Ciri-ciri sederhana dan dapat menjadi indikatornya ialah ketika negara digerogoti dari dalam oleh perilaku korup dan 'abuse of power'. Negara semakin melemah dan digantikan oleh kekuatan kelompok 'non state'. Hegemoni dan dominasi borjuasi korporasi besar pada akhirnya melahirkan oligarki yang mencengkeram birokrasi dan para politisi. Negara melalui aparaturnya harus tunduk pada kekuatan modal yang berwujud perusahaan lokal dan transnasional. Tanpa terkecuali para pemimpin insitusi negara, mulai dari kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, semua aparatur pemerintahan termasuk di dalamnya presiden, para menteri, DPR/MPR, Jaksa Agung, MA dan MK, tak luput juga TNI-Polri, hampir semua aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer, berada dalam ketiak para cukong, mafia dan sindikat. Mereka tak ubahnya suatu pemerintahan boneka. Boneka-boneka cantik dan manis yang terlihat lugu yang terpajang di istana negara dan kantor-kantor pemerintahan. Reaktualisasi Kemanunggalan TNI dan Rakyat Negara dan bangsa Indonesia pada kondisi aktual dan faktual, telah menjadi rahasia umum berada dalam masa-masa genting. Bahkan, beberapa pemimpin negara dan media asing sudah berani menyorot keadaan Indonesia. Terlebih terkait ekonomi-politik soal banjirnya investasi plus hutang luar negeri dari Cina. Di dalam negeri sendiri, fenomena pengaruh dan kekuasaan orang-orang Cina telah merangsek ke pelbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Telah kasat mata berupa determinasi, arogansi dan superioritas orang-orang Cina di Indonesia. Dahulunya hanya unggul di sektor ekonomi, etnis pendatang dari negeri komunis bermata sipit dan berkulit kuning itu. Kini telah menguasai panggung-panggung politik dan sistem pertahananan keamanan negara. NKRI telah membunyikan alarm bahaya. Ini menyangkut masa depan anak-cucu dan keberadaan negara bangsa Indonesia yang terancam. Siapakah yang mampu mengambil peran inisiatif menyelamatkan NKRI? Mungkin tulisan ini bisa menjadi harapan dan sekaligus pesan moral kepada TNI. Di saat umat Islam dan rakyat pada umumnya tak berdaya, hidup dalam ketidakadilan yang hanya menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Kepada siapa lagi rakyat berharap dan meminta pertolongan?, kecuali kepada TNI. Ada baiknya TNI dapat melakukan refleksi sekaligus evaluasi terhadap peran dan eksistensinya terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Terlebih terhadap adanya disparitas yang teramat lebar antara TNI dan rakyat. Masih sanggupkan TNI mengingat sejarah?. Masih sanggupkan TNI untuk tidak melupakan sejarah?. Kebersamaan dengan rakyat bahkan sebelum menjadi TNI. Saat masih menjadi BKR, TKR dan ABRI, di situlah momen dan perjuangan kemanunggalan TNI dengan rakyat yang tak bisa diabaikan dan dipisahkan keberadaannya di republik ini. TNI dan rakyat bahu-membahu, saling mengisi dan membantu mengatasi masalah kebangsaan bersama, menghadapi musuh penjajah yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Negara menjadi saksi bisu bahwasanya TNI dan rakyat bersatu sejak masa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, pasca kemerdekaan hingga peristiwa 1965 dan lahirnya era reformasi. Tiada negara tanpa kemanunggalan TNI dan rakyat. Tiada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tanpa kemanunggalan TNI dengan rakyat. Keduanya adalah pahlawan yang mutlak dibutuhkan bagi keberadaan dan eksistensi ke depan republik ini. Seperti yang dikatakan negarawan, tiada negara yang selamat tanpa angkatan perangnya. Kekinian, menjelang peringatan hari pahlawan yang bertepatan dengan tanggal 10 November 2021, mungkin inilah momen sekaligus titik balik dari kebangkitan kemanunggalan TNI dan rakyat. Khususnya umat Islam dengan kalangan santri dan resolusi jihad dari ijtihad para ulama. Bersama TNI menjadi api revolusi yang mengguncang dunia. Semoga spirit 10 November 1945 yang menjadi representasi bersatunya TNI dan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bisa menjadi kebangkitan NKRI. Jika peristiwa heroik bersatunya TNI dan rakyat dalam suasana keterbatasan, mampu memenangkan pertempuran fisik melawan kekuatan militer yang tidak seimbang, bahkan saat melawan tentara fasis sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia ke-2, maka itu menjadi pelajaran sejarah yang teramat penting bagi TNI dan rakyat. Betapapun dalam ancaman dan tekanan sekalipun datang dari luar, bersatunya TNI dan rakyat akan sanggup menghadapi bangsa asing maupun aseng. Tentunya dengan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'Ala, mengiringi pekik perjuangan Merdeka dan Allahu akbar!. In syaa Allah. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari

Negeri Seolah-olah

Oleh Yusuf Blegur Terlihat tak ada sedikitpun celah kekurangan atau hal-hal yang buruk dari keberadaan Republik Indonesia. Negeri yang oleh Koes Plus dikatakan tanah surga, gemah ripah loh jinawi, seakan didesain Sang Pencipta menjadi negeri yang memuliakan kemanusiaan dan mengagungkan Ketuhanan. Apalagi kalau diamati dari konstitusinya, dasar negara dan falsafah bangsanya. Dengan Pancasila yang menimbulkan kecemburuan bagi dunia karena nilai-nilainya yang universal. Disebut-sebut lebih tinggi dari "Declaration of Human Right" Amerika Serikat atau Manifesto komunisnya Uni Soviet. DITAMBAH lagi UUD 1945 yang dalam mukadimahnya sarat religiusitas karena menegaskan narasi atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Negeri yang berada di tengah garis khatulistiwa yang eksotis berlimbah kekayaan alam dan dibingkai oleh semboyan NKRI Itu, serasa menjadi negara sempurna yang menghidupi rakyatnya dengan kemakmuran dan keadilan. Namun sayangnya, fakta berbicara lain. 76 tahun berlalu, kemerdekaan yang diraih melalui pengorbanan begitu besar, tak kunjung membawa rakyat Indonesia memiliki negara kesejahteraan. Apa yang terjadi, semua mengalami kontradiksi. Apa yang kemudian menjadi semangat dan tujuan proklamasi kemerdekaan, menghasilkan sesuatu yang sungguh-sungguh bertolak belakang. Teorinya tak sebagus prakteknya. Begitupula dengan pemimpin-pemimpin yang diberikan amanah oleh rakyat. Begitu banyak menampilkan sikap yang tidak memilki satunya kata dengan perbuatan. Keseharian rakyat dipertontonkan dengan betapa berjaraknya antara nilai-nilai dengan tindakan. Di tengah-tengah konstelasi dan konfigurasi dunia yang melulu menampilkan kepalsuan, manusia hidup dalam konspirasi kejahatan global. Bukan hanya eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, lebih dari itu dengan kesombongannya, manusia memarginalkan peran dan kekuasaan Tuhan. Banyak yang beragama, namun tak banyak yang menjalaninya. Bahkan tidak sedikit yang tidak beragama dan lebih bangga menuhankan dirinya. Hidup di era modern, namun mewujud seperti Raja Firaun, manusia dzolim yang dihukum Tuhan. Tidak terkecuali di Indonesa. Negeri yang dibangun di atas fondasi keagamaan, tradisi, dan dinamika masyarakatnya yang kaya akan spiritualitas. Namun mengusung prinsip-prinsip sekuler dan demokrasi liberal dalam mengelola negara. Indonesia lebih pantas menjadi tempat berhimpunnya populasi yang menganut kapitalisme dan menghamba pada materialistik. Sungguh miris dan ironis. Tidak hanya a-historis, negara perlahan namun pasti menuju dekadensi moral dan kemunduran peradaban. Korban Pemimpin-Pemimpin Durjana 7 tahun lebih rezim Jokowi memimpin Indonesia. Belum tuntas ia menyelesaikan perjalanan roda pemerintahan 2 periode. Jokowi seperti meninggalkan reruntuhan dan keping-keping kehancuran bangunan. Di bawah kepemimpinan Jokowi membuat negara seperti baru saja mengalami tsunami dahsyat dan gempa bumi mengerikan. Kerusakan akibat bencana yang bukan dihasilkan oleh alam, tapi oleh kelicikan dan kerakusan manusia. Jokowi sendiri menjadi presiden yang dianggap publik menghasilkan pemerintahan yang paling buruk dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya yang pernah memimpin Indonesia. Ada beberapa aspek fundamental yang substansial dan esensial dalam kehidupan bernegara yang diberangus rezim Jokowi. Beberaa di antaranya al., sbb:. 1. Sektor Keagamaan. Sebagai mayoritas penduduk di Indonesia, umat Islam paling rentan dan sering mengalami penindasan. Mulai dari stigma stereotip dan fitnah sebagai agama kekekerasan dan teroris, umat Islam kerapkali dicap intoleran, radikal, dan fundamental. Umat Islam juga sering mendapat tindakan represi dan kriminalisasi. Tidak sedikit para aktivis Islam dan para ulama yang dipenjarakan rezim dengan niat jahat, penuh siasat dan tidak mendapat keadilan hukum serta perlndungan negara. Selain itu pemerintahan Jokowi secara terang-terangan seperti menyusun strategi terencana melakukan politisasi dan memarginalkan umat Islam. Justru banyak pejabat pemerintahan terutama di lingkungan kementerian dan instansi yang setingkat, melalui gerakan sekulerisasi dan liberaliaasi berupaya membuat deIslamisasi. Contohnya bisa dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan kementerian agama dan kementeriaan pendidikan. Kedua kementerian ini cenderung sering menyusupkan kebijakan-kebijakan strategis yang yang menggerus dan anti Islam. Rezim Jokowi terkesan melegalkan tindakan pelanggaran hukum terhadap umat Islam dan mereduksi nilai-nilai Islam. Ada juga satu peristiwa yang tak terlupakan dan akan menjadi cacat sejarah bagi rezim Jokowi. Saat terjadi pembunuhan 6 orang laskar pengamanan Imam Besar Habib Riziek Syihab (HRS). Terlepas dari upaya politisasi dan kriminalisasinya, peristiwa itu menjadi catatan pelanggaran berat HAM baik di dalam negeri maupun internasional. Kasus itu layak disebut 'extra ordinary crime", atau 'crime of state' meski terus ditutup-tutupi dan dihilangkan. 2. Sektor Politik dan Ekonomi. Justru di bawah kekuasaan partai-partai politik yang berbasis nasionalis dan sebagian berbasis agama seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PPP, PKB dll, pemerintahan Jokowi malah gagal dan tak mampu mewujudkan konsep Trisakti yang pernah diusung Bung Karno, dimana gagasan itu menjadi representasi nasionalisme Indonesia. Berdaulat dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, seperti menjadi pepesan kosong dalam kekuasaan rezim Jokowi. Lebih sadis lagi PDIP yang dipimpin Megawati Soekarno Putri yang merupakan anak kandung Bung Karno, dimana Jokowi menjadi petugas partainya, bersama kolega partai dan pemerintahan membuat oligarki yang pantas disebut mengkhianati cita-cita Bung Karno dan NKRI. Megawati Soekarno Putri bersama persekongkolan politik kekuasaan, seperti membunuh Bung Karno berkal-kali setelah kematian fisik dan ideologinya yang sebenarnya. Rezim Jokowi juga terus membawa negara dan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran. Lewat kolonialiasasi ekonomi dan politik berkedok investasi, Indonesia kini berada dalam cengkeraman China yang komunis. Ini menyebabkan pendulum ideologi tidak berada dalam posisi keseimbangan. Cina semakin agresif bukan hanya dalam soal ekonomi dan politik, kekuatan negeri tirai bambu itu itu juga 'mengekspor" penduduknya dalam jumlah besar ke Indonesia. Siap menggusur pribumi dan merebut kadaulatan Indonesia. Selain mengusik kepentingan kapitalisme blok barat yang dipimpin Amerika, hegemoni dan dominasi Cina terhadap Indonesia. dapat memicu konflik kepentingan dan bisa saja menimbulkan perang, terutama karena ekonomi politik dan pertahananan keamanan dua ideologi dunia itu. Kondisi yang demikian membuat Indonesia dalam kerugian besar dan dalam bahaya. Selain soal penguasaan sumber daya alam, pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi, terancam kehilangan stabilitas dan kedaulatan negara. Situasi seperti ini seakan membawa Indonesia kembali pada era perang dingin. Bukan tidak mungkin, peristiwa 1965 yang menjadi tragedi politik dan kemanusiaan itu terjadi lagi. Catatan hitam sejarah konflik ideologi dan transisi kekuasaan itu berpotensi terulang, mengingat latar belakang, indikator dan fenomena-fenomena yang ada hampir sama dengan yang menyebabkan peristiwa G 30 S/PKI. Salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah ada di abad 19. Syarat-syarat obyektif dan subyektif, menyebakan peristiwa tersebut bakal kembali terjadi. Hanya soal waktu yang mungkin tidak terlalu lama lagi. 3. Sektor Kebudayaan. Di samping seolah-olah menjadi negera Pancasila dan melaksanakan konstitusi UUD 1945, Indonesia malah mengadopsi sistem nilai dan kebudayaan yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia pada akhirnya menjadi wadah sekaligus potensi pasar global dari banyaknya produk ekonomi dan kebudayaan negara-negara di dunia. Indonesia tak ubahnya diterpa agresi kebudayaan asing. Cara berpikir, bertutur kata dan bertindak bangsa Indonesia, semua bergaya dan diisi oleh faham kapitalis yang sekuler dan liberal. Nilai-nilai Islam dan agama pada umumnya tercerabut dari akarnya. Lagi-lagi menjadi korban imperialisme dan kolonialisme modern. Dari semua realitas itu, faktor kepemimpinan nasional menjadi pemicu dan berkontribusi signifikan membentuk tatanan negara dalam pelbagai dimensi kehidupan rakyat. Dalam hal ini, keadaan Indonesia yang jauh dari ideal apalagi sampai bisa disebut 'wellfare state', lebih karena pemimpin-pemimpin yang bukan saja khianat terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan dan tujuan negara, akan tetapi pemimpin-pemimpin itu, telah menggantikan peran kaum penjajah. Mengumbar nafsu syahwat kekuasaan menjadi koloniais di negerinya sendiri. Menjadi pemimpin-pemimpin durjana bagi rakyatnya. Oleh karena itu dengan masih menyebut Indonesia dengan julukan negara Pancasila, berpijak pada UUD 1945 dan dalam naungan NKRI, gemuruh dan sorak sorai saya Indonesia, saya Pancasila dan saya NKRI, sejatinya, kekuasaan ini sedang menjalankan negara yang seolah-olah. Seolah-olah Pancasila. Seolah-olah NKRI. Seolah-olah Indonesia. Semoga dapat menjadi yang sesungguhnya. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Bedikari.

Jawaban Kepada Para Penentang Syariah

Oleh: Subagyo Semakin lama suara menetang pemberlakuan syariah (Hukum Islam) di Indonesia kian mengemuka. Doktor Ade Armando yang merupakan dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia merupakan salah satu penentangnya, menganggap pemberlakukan syariah di Indonesi adalah berbahaya. Di media-media sosial dan tulisan-tulisan di blog internet, terdapat kesan bahwa ada orang-orang yang memang awam ilmu hukum, awam sejarah, mereka mengira bahwa orang-orang yang memperjuangkan syariah itu merupakan kaum ekstrimis yang anti NKRI, ingin mengubah ideologi negara Pancasila atau anti Pancasila. Proganda dengan kalimat “Mengganti Pancasila dengan Syariah Islam” itu adalah menyesatkan. Sebab, orang-orang Islam Indonesia yang memperjuangkan syariah itu bukan dengan maksud mengganti Pancasila, melainkan memperjuangkan hak-hak dan kewajibannya, yang telah dijamin oleh konstitusi. Sikap menentang berlakunya syariah tersebut bisa saja memang merupakan sikap penganut ideologi sekularisme, atau bisa karena salah paham dan tidak memahami sistem hukum Indonesia. Kaum awam ilmu hukum tersebut butuh untuk meneliti sejarah bagaimana proses Indonesia didirikan. Peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, mau tidak mau harus diakui. Para tokoh Islam ada di dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebagai representasi umat Islam yang mayoritas. Di dalam sidang-sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terjadi perdebatan para pendiri negara dari golongan Islam dan nasionalis. Terjadilah kompromi, sehingga bangunan negara Indonesia disebut sebagai religious nation state oleh para ahli Hukum Tata Negara. Hukum Islam dan politik Islam dalam sejarahnya di dunia telah memberikan pengaruh pada hukum di banyak negara, sehingga menjadi bahan kajian-kajian ilmu hukum di dunia. Bapak sejarahwan sains, George Sarton berkata bahwa Raja Frederick II, penguasa Dinasti Norman di Sisilia (yang saat itu adalah Kaisar Romawi), adalah orang yang setengah muslim dengan caranya sendiri. Ketika Frederick II berkuasa, University of Naples tahun 1224 M, menggunakan sistem pendidikan yang dikembangkan perguruan tinggi Islam. Bahkan sistem fiskal Inggris meniru sistem hukum fiskal Islam di Sisilia. Joseph Schacht secara khusus meneliti syariah dan menerbitkan buku berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence, meskipun dikomentari negatif oleh Wael B. Hallaq (profesor Hukum Islam Institute of Islamic Studies. McGill University, Montreal, Kanada). Profesor Wael menyatakan bahwa karya Schacht tersebut adalah suatu perlakuan yang menyesatkan terhadap hukum dan Ilmu Hukum Islam, sebagaimana kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i dianggap sebagai suatu penjelasan ushul fiqih. Profesor Peter de Cruz menyebutkan bahwa Hukum Islam termasuk bagian dari sistem hukum di dunia, meskipun ia tidak membahasnya lebih jauh. Profesor Werner Menski dari Inggris dalam karyanya Comparative Law In A Global Context (2008) membahas secara khusus tentang Syariah Islam. Menski memberikan uraian pandangan fundamental terkait dengan bagaimana memahami Hukum Islam dalam konteks hukum yang plural. Menski menyatakan, seorang muslim yang baik, seperti yang dinyatakan dalam Quran sendiri, tidak bisa bersikeras bahwa semua orang di dunia harus menganut Islam atau jenis tertentu Islam. Walhasil, seorang muslim yang baik sudah dengan sendirinya adalah seorang pluralis. Profesor Menski terpengaruh oleh pandangan tokoh Islam, yakni Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, yang berkata, “Saya seorang muslim fundamentalis. Saya meyakini fundamental Islam. Yang salah adalah ekstrimisme. Kita tidak boleh membiarkan ekstrimisme dalam agama. Dalam kasus kita ekstrimisme datang dari luar negeri. Orang-orang Afghan bukan ekstrimis.” Terkait pandangan Profesor Menski tentang pluralitas, pluralisme itu seperti tema HAM, di mana lebih mengemuka dalam wacana-wacana intelektual di Barat. Tetapi Islam sendiri juga memuat ajaran HAM dan pluralitas sebagai pemaknaan dari “kesadaran terhadap perbedaan”. Pluralitas dalam ajaran Islam memang bukan pluralisme ideologi Barat. Tetapi ada titik-titik singgung yang sesuai. Alquran Surat Alhujurot ayat 13 merupakan ayat yang berkaitan dengan pluralitas tersebut. Hukum Internasional juga mengakui sumbangan syariah kepada masyarakat dunia. Profesor E. Saefullah Wiradipradja, guru besar Universitas Islam Bandung, menyampaikan bahwa sumbangan Hukum Islam, khususnya terhadap Hukum Perang/Humaniter, sangat besar terutama dalam meletakkan asas-asas perikemanusiaan dalam Hukum Perang Humaniter. Seorang guru besar Hukum Internasional pada Akademi Ilmu Negara di Den Haag, Belanda, dan pernah menjadi menteri pada tahun 1936 menyatakan bahwa orang-orang yang dianggap peletak dasar-dasar hukum internasional yaitu Vittoria dan Suarez, banyak mengambil dasar hukum internasional dari syariat Islam. Hugo de Groot (Grotius) sebagai Bapak Hukum Internasional modern dalam tulisannya banyak mengambil pendapat Vittoria dan Suarez yang mengambil dasar-dasar Hukum Islam. Pendapat yang sama juga dikemukakan juga oleh pengarang Perancis Sedilot dalam bukunya Sejarah Arab, Jean Pictet dalam tulisannya The Geneva Convention and The Laws of War, M.K. Ereksoussi dalam The Koran and The Humanitarian Convention, dan Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang. Di Indonesia sendiri, Hukum Islam (syariah) telah menjadi kenyataan sejarah di Nusantara, sebelum Indonesia merdeka. Bahkan di zaman kolonial Belanda juga diterapkan syariat bagi orang Islam dan dibentuk Mahkamah Syariah, meskipun dalam bidang hukum yang terbatas. Artinya, pemerintah penjajah Belanda masih memperhatikan living law masyarakat Islam di tanah jajahannya di Nusantara. Pada zaman Hindia Belanda, terdapat peraturan bernama Regeering Reglemen (RR) Tahun 1885, di mana Pasal 78 ayat (2) menentukan bahwa apabila terjadi perkara perdata antara sesama orang Bumiputera atau dengan orang yang disamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan mereka. Pengadilanya dibentuk dengan nama Priesterraad, Stbl. 1882 No. 152 Jo. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Kerapatan Qodhi Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur Sukarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 juga menyampaikan ide bahwa rakyat yang beragama Islam harus bekerja keras agar dalam pemilihan umum memilih para pemuka agama Islam yang duduk di dalam Badan Perwakilan Rakyat sehingga peraturan yang keluar dari badan tersebut adalah peraturan yang berdasarkan Islam. Begitu pula umat Kristen mesti berusaha dalam pemilihan umum, agar nantinya Badan Perwakilan Rakyat juga mengeluarkan peraturan yang bersumber dari Injil. Dalam perspektif hukum konstitusi, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Profesor H. Muchsin mengemukakan pandangan dari Profesor Hazairin yang merupakan guru besar Hukum Islam di Universitas Indonesia, bahwa di dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan Hukum Nasrani bagi umat Nasrani, atau bertentangan dengan Hukum Hindu bagi umat Hindu, dan seterusnya berlaku pula prinsip hukum yang demikian bagi umat Budha. Negara Indonesia wajib menjalankan masing-masing syariat agama bagi para pemeluk agama masing-masing. Syariat tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan itu menjadi kewajiban pribadi masing-masing orang menurut agamanya. Pandangan tersebut sama dengan pandangan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Kyai Abdurrahman Wahid. Tetapi yang jelas mereka sama pandangan dalam satu hal, yakni syariat – entah dengan cara formal atau tidak formal – merupakan pedoman hidup bagi umat Islam yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Profesor H. Muchsin menyatakan bahwa proses politik yang panjang akhirnya membuahkan perundang-undangan yang berlabel Islam. Contohnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang di dalamnya ada Piagam Jakarta, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sekarang berubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (hingga artikek ini ditulis telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009) dan sebagainya. Dengan demikian, terlepas dari segala kekurangan dalam penerapannya di Indonesia, syariah merupakan bagian dari system hukum Indonesia. Sikap dan usaha menentang syariah dengan berharap Indonesia akan menjadi 100% sekuler, merupakan sikap yang tidak hanya bertentangan dengan Pancasila, tapi juga inkonstitusional. Penulis Adalah Advokat di Surabaya

Vaksin, PCR, dan Angkara di Tengah Pandemi

Oleh Gde Siriana Yusuf *) RAKYAT Indonesia sesungguhnya telah lama mengenal konspirasi jahat di tengah wabah penyakit. Hal ini, misalnya, dapat ditemukan dalam kisah Calon Arang—cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Kisah itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1006-1042), anak Raja Udayana yang memerintah Kerajaan Daha Kediri, Jawa Timur, sejak 1021. Naskah lontar yang berisi cerita ini ditulis dengan aksara Bali kuno dan kini tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden, Belanda. Calon Arang digambarkan sebagai penguasa ilmu hitam yang, bersama pengikutnya, sering merusak hasil panen petani dan mendatangkan penyakit di Desa Girah. Ia mendatangkan penyakit karena marah kepada penduduk desa yang enggan meminang putrinya, Ratna Manggali, karena takut kepada Calon Arang. Bukan hanya penyakit, Calon Arang juga mengirim banjir besar ke desa tersebut, sehingga banyak orang meninggal. Di akhir cerita, Calon Arang dapat dikalahkan oleh Mpu Bharadah, guru spiritual Raja Airlangga yang terkenal sakti, yang namanya juga tercatat dalam kitab Negarakertagama. Selama masa pandemi, selain muncul krisis kesehatan, ekonomi, dan demokrasi, krisis yang menjadi fokus utama dunia adalah korupsi. Pandemi Covid-19 telah menciptakan badai korupsi yang sempurna dengan menghasilkan peluang baru untuk mencari rente. Lebih banyak sumber daya, baik di dalam maupun di luar negeri, disediakan untuk mengatasi pandemi dalam konteks kompromi dalam keleluasaan pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya yang dikombinasikan dengan pengawasan serta penegakan yang terbatas (Martini, 2020). Di satu sisi, diperlukan mobilisasi sumber daya besar-besaran untuk mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi. Tapi, bersamaan dengan itu, terbuka pula peluang korupsi. Sementara itu, dalih kedaruratan telah melemahkan mekanisme pencegahan dan pengawasan korupsi. Hal ini menjadi fenomena umum di banyak negara menengah-miskin. Afrika Selatan merupakan salah satu contoh negara yang mengalami banyak kasus korupsi dalam bantuan sosial dan pembelian vaksin. Sementara dulu konspirasi Calon Arang dilandasi dendam dan Mpu Bharadah tidak menjual kesaktiannya untuk menyembuhkan penyakit warga Desa Girahmaka, kini ada konspirasi jahat yang lebih dilandasi motif ekonomi serta kesaktian teknologi dalam bentuk masker, alat tes, dan vaksin Covid-19 yang harus dibayar oleh seluruh penduduk dunia. Jika tidak dapat dianggap sebagai sebuah konspirasi, setidaknya ada pihak-pihak yang dengan serakah memanfaatkan situasi pandemi untuk mengambil keuntungan ekonomi di tengah penderitaan orang banyak. Di sinilah potensi korupsi dan mengejar rente terjadi. Sebab, hari ini tidak ada Mpu Bharadah, tapi ada pabrik-pabrik dan para pedagang yang memproduksi massal kesaktiannya, lalu menjualnya melalui kerja sama dengan pembuat kebijakan. Pandemi seharusnya menjadikan kita lebih menjaga kesehatan diri, peduli terhadap sesama, lebih religius, dan secara ekonomi harus bertahan hidup. Orang-orang serakah justru memanfaatkan peluang ekonomi ini untuk mengambil lebih banyak dari orang-orang yang menderita. Seperti halnya politik vaksin, politik tes polymerase chain reaction (PCR) tidak melarang orang mencari untung. Tapi, dalam konteks good governance, hak publik harus dilindungi dengan memastikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dijalankan. Transparency International (2021) berpendapat bahwa klausul kerahasiaan tidak boleh digunakan oleh perusahaan farmasi atau pemerintah untuk mengabaikan hak publik atas informasi penting, seperti harga sebenarnya tes PCR dan vaksin serta berapa keuntungan yang diperoleh pabrikan dan penyelenggara tes PCR dan vaksinasi. Jika India dapat menurunkan harga tes PCR beberapa kali, dari 4.500 rupee (Maret 2020) hingga 500 rupee atau setara dengan Rp 96 ribu (Agustus 2021), mengapa Indonesia tidak bisa? Itu adalah pertanyaan logis masyarakat yang semestinya direspons pemerintah dengan bijak. Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk kedua kalinya penurunan harga PCR, dari Rp 450 ribu ke Rp300 ribu, tapi penggunaan tes PCR diperluas ke semua moda transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Bagi pebisnis, hal ini mirip cara mempertahankan profit. Jika margin berkurang, kuantitas harus diperbanyak. Penurunan harga tes PCR ini pun tidak dapat menjawab pikiran logis masyarakat: jika di India harga tes PCR bisa jauh lebih murah berkali-kali lipat, mengapa Indonesia tidak mengimpor saja dari sana? Thomas Ferguson (1995) telah menjelaskan dalam teori persaingan investasi partai politik bahwa para investor besar yang berasal dari masyarakat kelas atas dan berkontribusi besar dalam pemenangan kampanye politik pemerintah yang berkuasa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi politik negara. Sebab, mereka memiliki akses ke informasi-informasi penting yang mahal harganya sehingga tidak terjangkau oleh warga biasa. Teori ini memperlihatkan bagaimana kebijakan publik akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan orang kaya, dan kepentingan kelas bawah sangat mungkin dikorbankan. Konsekuensinya, seluruh area kebijakan tidak lagi akan diperebutkan atau diperdebatkan karena investor besar yang tersebar di berbagai partai politik memiliki preferensi yang identik dalam banyak isu kebijakan. Namun ada fakta di Indonesia yang belum dijelaskan oleh Thomas Ferguson, yaitu para investor politik tidak saja mempengaruhi kebijakan publik, tapi juga menempatkan dirinya dalam kabinet dan menjadi pembuat kebijakan. Inilah yang terjadi dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi selama masa pandemi dan tidak ada perlawanan yang sungguh-sungguh dari Dewan Perwakilan Rakyat (partai politik) untuk mengkritik kebijakan ihwal pandemi yang memberatkan masyarakat. Praktik memburu rente dapat dilihat sebagai usaha menerapkan praktik monopoli terhadap sumber daya dan melobi pemerintah/penguasa dalam upaya mendapatkan perlindungan, konsesi, serta hak guna sumber daya tersebut (Ratnia Solihah, 2016). Perburuan rente disebut sebagai korupsi ketika ada persaingan untuk perlakuan istimewa terbatas bagi beberapa orang dalam dan ketika biaya berburu rente sangat berharga bagi penerimanya (Johan Graf Lambsdorff, 2002). Konsep ini juga berlaku untuk perilaku birokrasi yang meminta dan mengekstrak "suap" atau "sewa" melalui otoritas legal yang bersifat diskresioner untuk tujuan memberikan keuntungan yang sah ataupun tidak sah kepada klien politik (Chowdhury, Faizul Latif, 2006). Hal ini sangat terlihat dari kebijakan PCR, juga pengadaan vaksin yang dibungkus dengan nuansa diskresi, saat kebijakan selama masa pandemi akan berlindung pada "kekebalan hukum" yang diberikan oleh Undang-Undang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Kita harus berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan judicial review, sehingga tidak ada pejabat negara yang kebal hukum dan tak bisa berdalih dengan pandemi dalam mengelola keuangan negara sehingga menabrak aturan. Dalam praktiknya, akan sulit menghindari konflik kepentingan jika orang-orang yang berlatar belakang bisnis, apalagi yang berkontribusi besar secara kapital dalam pemenangan pemilihan presiden, diberi tugas menyusun kebijakan publik ihwal tes PCR. Pemerintah harus merasakan beban masyarakat yang bertambah selama masa pandemi. Harga tes PCR merupakan salah satu beban tambahan, dan pemerintah seharusnya mengupayakan harga serendah mungkin, relatif terhadap harga di negara lain. Apa yang menjadi beban masyarakat sebagai akibat inefisiensi perusahaan ataupun praktik memburu rente seharusnya pada akhirnya dipandang akan merugikan ekonomi nasional dan berdampak pada kecepatan pemulihan ekonomi. Di sisi lain, harga vaksin dan tes PCR, juga vitamin dan obat-obatan lain, menjadi hal yang sensitif bagi masyarakat selama masa pandemi karena menyentuh rasa keadilan, yaitu perasaan senasib sebagai suatu bangsa yang sedang dilanda berbagai kesulitan. Untuk itu, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan kembali penugasan orang-orang berlatar belakang pedagang yang memimpin upayabesar untuk mengatasi pandemi. Sebab, dipastikan mereka sangat kesulitan menjaga naluri mencari untung besar meskipun dalam situasi krisis. Jika hal ini dibiarkan, kisah pandemi Covid-19 akan menjadi angkara di tengah nestapa pandemi. *) Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) Tulisan ini juga dimuat Koran Tempo pada 5 November 2021