Jawaban Kepada Para Penentang Syariah

Oleh: Subagyo

Semakin lama suara menetang pemberlakuan syariah (Hukum Islam) di Indonesia kian mengemuka. Doktor Ade Armando yang merupakan dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia merupakan salah satu penentangnya, menganggap pemberlakukan syariah di Indonesi adalah berbahaya.

Di media-media sosial dan tulisan-tulisan di blog internet, terdapat kesan bahwa ada orang-orang yang memang awam ilmu hukum, awam sejarah, mereka mengira bahwa orang-orang yang memperjuangkan syariah itu merupakan kaum ekstrimis yang anti NKRI, ingin mengubah ideologi negara Pancasila atau anti Pancasila.

Proganda dengan kalimat “Mengganti Pancasila dengan Syariah Islam” itu adalah menyesatkan. Sebab, orang-orang Islam Indonesia yang memperjuangkan syariah itu bukan dengan maksud mengganti Pancasila, melainkan memperjuangkan hak-hak dan kewajibannya, yang telah dijamin oleh konstitusi.

Sikap menentang berlakunya syariah tersebut bisa saja memang merupakan sikap penganut ideologi sekularisme, atau bisa karena salah paham dan tidak memahami sistem hukum Indonesia.

Kaum awam ilmu hukum tersebut butuh untuk meneliti sejarah bagaimana proses Indonesia didirikan. Peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, mau tidak mau harus diakui.

Para tokoh Islam ada di dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebagai representasi umat Islam yang mayoritas.

Di dalam sidang-sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terjadi perdebatan para pendiri negara dari golongan Islam dan nasionalis. Terjadilah kompromi, sehingga bangunan negara Indonesia disebut sebagai religious nation state oleh para ahli Hukum Tata Negara.

Hukum Islam dan politik Islam dalam sejarahnya di dunia telah memberikan pengaruh pada hukum di banyak negara, sehingga menjadi bahan kajian-kajian ilmu hukum di dunia.

Bapak sejarahwan sains, George Sarton berkata bahwa Raja Frederick II, penguasa Dinasti Norman di Sisilia (yang saat itu adalah Kaisar Romawi), adalah orang yang setengah muslim dengan caranya sendiri. Ketika Frederick II berkuasa, University of Naples tahun 1224 M, menggunakan sistem pendidikan yang dikembangkan perguruan tinggi Islam. Bahkan sistem fiskal Inggris meniru sistem hukum fiskal Islam di Sisilia.

Joseph Schacht secara khusus meneliti syariah dan menerbitkan buku berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence, meskipun dikomentari negatif oleh Wael B. Hallaq (profesor Hukum Islam Institute of Islamic Studies. McGill University, Montreal, Kanada). Profesor Wael menyatakan bahwa karya Schacht tersebut adalah suatu perlakuan yang menyesatkan terhadap hukum dan Ilmu Hukum Islam, sebagaimana kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i dianggap sebagai suatu penjelasan ushul fiqih.

Profesor Peter de Cruz menyebutkan bahwa Hukum Islam termasuk bagian dari sistem hukum di dunia, meskipun ia tidak membahasnya lebih jauh. Profesor Werner Menski dari Inggris dalam karyanya Comparative Law In A Global Context (2008) membahas secara khusus tentang Syariah Islam.

Menski memberikan uraian pandangan fundamental terkait dengan bagaimana memahami Hukum Islam dalam konteks hukum yang plural. Menski menyatakan, seorang muslim yang baik, seperti yang dinyatakan dalam Quran sendiri, tidak bisa bersikeras bahwa semua orang di dunia harus menganut Islam atau jenis tertentu Islam. Walhasil, seorang muslim yang baik sudah dengan sendirinya adalah seorang pluralis.

Profesor Menski terpengaruh oleh pandangan tokoh Islam, yakni Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, yang berkata, “Saya seorang muslim fundamentalis. Saya meyakini fundamental Islam. Yang salah adalah ekstrimisme. Kita tidak boleh membiarkan ekstrimisme dalam agama. Dalam kasus kita ekstrimisme datang dari luar negeri. Orang-orang Afghan bukan ekstrimis.”

Terkait pandangan Profesor Menski tentang pluralitas, pluralisme itu seperti tema HAM, di mana lebih mengemuka dalam wacana-wacana intelektual di Barat. Tetapi Islam sendiri juga memuat ajaran HAM dan pluralitas sebagai pemaknaan dari “kesadaran terhadap perbedaan”. Pluralitas dalam ajaran Islam memang bukan pluralisme ideologi Barat. Tetapi ada titik-titik singgung yang sesuai. Alquran Surat Alhujurot ayat 13 merupakan ayat yang berkaitan dengan pluralitas tersebut.

Hukum Internasional juga mengakui sumbangan syariah kepada masyarakat dunia. Profesor E. Saefullah Wiradipradja, guru besar Universitas Islam Bandung, menyampaikan bahwa sumbangan Hukum Islam, khususnya terhadap Hukum Perang/Humaniter, sangat besar terutama dalam meletakkan asas-asas perikemanusiaan dalam Hukum Perang Humaniter. Seorang guru besar Hukum Internasional pada Akademi Ilmu Negara di Den Haag, Belanda, dan pernah menjadi menteri pada tahun 1936 menyatakan bahwa orang-orang yang dianggap peletak dasar-dasar hukum internasional yaitu Vittoria dan Suarez, banyak mengambil dasar hukum internasional dari syariat Islam. Hugo de Groot (Grotius) sebagai Bapak Hukum Internasional modern dalam tulisannya banyak mengambil pendapat Vittoria dan Suarez yang mengambil dasar-dasar Hukum Islam.

Pendapat yang sama juga dikemukakan juga oleh pengarang Perancis Sedilot dalam bukunya Sejarah Arab, Jean Pictet dalam tulisannya The Geneva Convention and The Laws of War, M.K. Ereksoussi dalam The Koran and The Humanitarian Convention, dan Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang.

Di Indonesia sendiri, Hukum Islam (syariah) telah menjadi kenyataan sejarah di Nusantara, sebelum Indonesia merdeka. Bahkan di zaman kolonial Belanda juga diterapkan syariat bagi orang Islam dan dibentuk Mahkamah Syariah, meskipun dalam bidang hukum yang terbatas. Artinya, pemerintah penjajah Belanda masih memperhatikan living law masyarakat Islam di tanah jajahannya di Nusantara.

Pada zaman Hindia Belanda, terdapat peraturan bernama Regeering Reglemen (RR) Tahun 1885, di mana Pasal 78 ayat (2) menentukan bahwa apabila terjadi perkara perdata antara sesama orang Bumiputera atau dengan orang yang disamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada hakim agama atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama atau ketentuan mereka. Pengadilanya dibentuk dengan nama Priesterraad, Stbl. 1882 No. 152 Jo. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Kerapatan Qodhi Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur

Sukarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 juga menyampaikan ide bahwa rakyat yang beragama Islam harus bekerja keras agar dalam pemilihan umum memilih para pemuka agama Islam yang duduk di dalam Badan Perwakilan Rakyat sehingga peraturan yang keluar dari badan tersebut adalah peraturan yang berdasarkan Islam. Begitu pula umat Kristen mesti berusaha dalam pemilihan umum, agar nantinya Badan Perwakilan Rakyat juga mengeluarkan peraturan yang bersumber dari Injil.

Dalam perspektif hukum konstitusi, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Profesor H. Muchsin mengemukakan pandangan dari Profesor Hazairin yang merupakan guru besar Hukum Islam di Universitas Indonesia, bahwa di dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan Hukum Nasrani bagi umat Nasrani, atau bertentangan dengan Hukum Hindu bagi umat Hindu, dan seterusnya berlaku pula prinsip hukum yang demikian bagi umat Budha.

Negara Indonesia wajib menjalankan masing-masing syariat agama bagi para pemeluk agama masing-masing. Syariat tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan itu menjadi kewajiban pribadi masing-masing orang menurut agamanya.

Pandangan tersebut sama dengan pandangan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Kyai Abdurrahman Wahid. Tetapi yang jelas mereka sama pandangan dalam satu hal, yakni syariat – entah dengan cara formal atau tidak formal – merupakan pedoman hidup bagi umat Islam yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Profesor H. Muchsin menyatakan bahwa proses politik yang panjang akhirnya membuahkan perundang-undangan yang berlabel Islam. Contohnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang di dalamnya ada Piagam Jakarta, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sekarang berubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (hingga artikek ini ditulis telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009) dan sebagainya.

Dengan demikian, terlepas dari segala kekurangan dalam penerapannya di Indonesia, syariah merupakan bagian dari system hukum Indonesia. Sikap dan usaha menentang syariah dengan berharap Indonesia akan menjadi 100% sekuler, merupakan sikap yang tidak hanya bertentangan dengan Pancasila, tapi juga inkonstitusional.

Penulis Adalah Advokat di Surabaya

419

Related Post