OPINI
Saatnya Kita Mandiri dengan Platform Digital Model Sendiri (1)
Oleh: Agus Maksum DALAM rangka mensosalisasikan hasil kajian Pokja Ekonomi Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU) kami kirimkan tulisan singkat ini untuk dijadikan bahan renungan dan pemahaman, juga memahamkan umat dan masyarakat terhadap situasi yang terkait dengan Ekonomi Keuangan dan Teknologi Digital. Era Industri Digital 4.0 telah menjadi lifestyle kita, baik tua (kaum baby bomers) maupun mudanya (kaum milenial) apalagi generasi Z yang lahir setelah tahun 2000-an. Bahkan trend ini segera akan menciptakan sebuah masyarakat yang di sebut society 5.0, sebuah masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada teknkologi digital. Sementara sebenarnya Industri 4.0 yang sekarang kita nikmati ini masih pada fase semu yang menipu Ekonomi di-drive oleh perusahaan StartUp Digital raksasa, namun perusahaan tersebut masih dalam masa bakar uang, masih belum mendapatkan profit. Artinya besarnya perusahaan-perusahaan raksasa Digital tersebut masih ditopang oleh masuknya uang dari Investor untuk di bakar mempertahankan user bukan dari profit. Ketika mereka akan sampai pada strategi exit-nya maka menjadi pertanyaan apakah mereka masih akan eksis, apakah mereka masih akan memberikan discount, harga murah, free ongkir dan berbagai kemudahan lainnya, atau justru mereka akan terjebak pada layanan yang menjadi mahal dan mencekik karena mereka harus mengembalikan uang triliunan rupiah yang dibakar. Berita terakhir yang kita baca misalnya Gojek Decacorn dengan valuasi Rp 140 Triliun merger dengan Tokopedia valuasi Rp 100 Triliun, setelah merger mereka segera akan IPO dengan target memperoleh uang Rp 580 Triliun dari pasar modal. Sangat mudah dibaca bahwa investor akan mencari untung dari profitaki di saham, bukan dari profit putaran bisnis. Saya khawatir target IPO Rp 580 Triliun adalah strategi exit para mafia investor untuk mengembalikan uang yang telah dibakar dari dua raksasa digital Gojek dan Tokopedia sebanyak Rp 240 Triliun yang telah meluluh lantakkan bisnis UMKM kita. Uang yang dibakar sebanyak Rp 240 Triliun itulah yang telah menjadi narkoba yang menjadikan kelompok milenial addict/kecanduan berbagai layanan Gojek dan Tokopedia mulai dari cashback, discount, harga murah, iklan gratis, free ongkir dan lain-lain dan itu semua memakan uang untuk dibakar Rp 240 Triliun, startup yang seperti inilah yang dibanggakan oleh negara dengan sebutan DECACORN. Lalu dari mana investor balik modal, mereka merger menjadi GOTO lalu segera akan IPO di bursa saham dan mentarget penjualan saham Rp 580 Triliun. Kalau itu tercapai maka investor akan mendapatkan untung Rp 340 Triliun dari IPO. Sementara valuasi perusahaan digital adalah jumlah user, loyalitas user tergantung pada discount, free ongkir, cashback, subsisdi dan lain-lain selama discount dan harga murah serta free ongkir masih ada user akan pakai aplikasi itu, tapi begitu hilang maka mereka segera akan berpindah ke lain aplikasi, sebagaimana user BBM berpindah ke WhatsApp lalu user BBM habis dan bangkrutlah persahaan RIM pemilik BBM, selabil itulah user pelanggan Aplikasi, karena sesungguhnya mereka bukah butuh tapi dimanja oleh berbagai layanan murah mudah praktis tapi layanan itu dibiayayai oleh para mafia Investor dengan bakar uang. Pertanyaan besarnya, apakah keuntungan Rp 340 Triliun dari IPO akankah dibakar lagi untuk mempertahankan user yang menjadi valuasi perusahaan? Silakan dipikir sendiri...? Bukankah ini potensial menjadi Buble Ekonomi seperti diperingatkan oleh Menteri Keuangan kita Sri Mulyani, Digital Power Concentration akan mengarah pada Buble ekonomi yang siap memicu krisis ekonomi. Lalu Bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi strategi exit para pemain raksasa digital, bila memang mereka exit. (Bersambung) Penulis Adalah Pokja Ekonomi Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU)
Usir dan Jual Kembali Kambing Kambing
By M Rizal Fadillah Di negeri 1001 keanehan, Indonesia saat ini menampilkan diri sebagai sosok yang duduk melamun dengan keluguan, kelucuan, dan kekeliruan. Tidak berdiri dan berlari pada kepribadian yang kokoh dalam kecerdasan, keseriusan, dan kelurusan. Korupsi dan sogok menyogok menjadi budaya jabatan. Perizinan tidak ditandatangan jika permohonan tidak ada lampiran, laporan tidak berlanjut jika tidak ada kedekatan, palu kemenanganpun tidak diketuk sebelum jelas pembuktian. I. Abu Nawas menerima keluhan teman soal sulit mendapat tanda tangan dari pengambil keputusan yang tidak mau tahu tentang kedalaman masalah. Si pejabat selalu menyatakan "jangan terlalu dalam" maksudnya yang penting adalah kontribusi dan urusan segera beres. Abu Nawas menyarankan dan sarannya dijalankan teman. Dikirim wadah bagus berisi tai kebo yang diatasnya dilapisi mentega. Setelah berada dihadapan, pejabat itu mencolek mentega tersebut, lalu merasakan lezatnya. Segera ia menandatangani sambil berujar seperti biasa "jangan terlalu dalam". II. Hakim mempersulit kemenangan Abu Nawas yang bersengketa tanah kebun miliknya dengan tuan tanah yang mengklaim kepemilikan juga. Sogokan tuan tanah sudah masuk ke laci meja Hakim. Dicari kesalahan dan kelemahan Abu Nawas. Ditanyakan berapa lama Abu Nawas memiliki kebun lalu pertanyaan berikut adalah berapa jumlah pohon yang ada di kebun miliknya. Tentu Abu Nawas tidak bisa menjawab atas pertanyaan Hakim yang tak terduga dan mengada ada itu. Tuan tanah sangat merasa senang atas ketidakberdayaan Abu Nawas. Dalam hati memuji kecerdikan Hakim yang memihak pada sogokan. Dalam pembelaan, Abu Nawas bertanya pada Hakim sudah berapa lama Pak Hakim memiliki rumah yang ditinggalinya ? Lalu Abu Nawas bertanya lebih lanjut, berapa jumlah genting dari rumah Pak Hakim ? III. Sahabatnya mengeluh rumahnya sempit anaknya banyak. Suasana tidak menyenangkan. Abu Nawas meminta sahabatnya membeli kambing dan dipelihara di dalam rumah. Makin ruwet keadaan karena kambing mempersempit rumah. Diminta membeli satu lagi kambing lain. Kemudian dibeli dan disimpan di dalam rumah. Anak anak gelisah, istri marah marah. Rumah diacak-acak oleh dua kambing itu. Ruwet, ruwet, ruwet. Abu Nawas menyarankan untuk menjual kembali kambing-kambing itu dan setelah dijual maka situasi kini menjadi nyaman dan mulai tertata kembali. Intervensi terhenti. Ketika Raja tidak berpuas diri dan terus memperbesar hutang luar negeri, investasi dan tenaga kerja asing didatangkan untuk mempersempit negeri, maka intervensi pun terjadi. Mengacak-acak sumber daya alami dan insani. Kambing-kambing mengotori dan membuat gelisah dan marah ibu pertiwi. Usir dan jual kembali kambing-kambing pengacak negeri, niscaya kita lebih mandiri, nyaman, dan tertata lagi. Negeri Abu Nawas harus diakhiri, segera kembali ke jati diri NKRI. *) Pemerhati Masalah Kebangsaan
Selamat Hari Ayah
Padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu per satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada di antara mereka yang sanggup bertahan lama. Oleh : Anis Matta BETAPA menggetarkannya panggilan itu. Betapa mengharu-birukannya nada itu. Betapa menggairahkannya suara patah-patah itu. Selalu ada nuansa baru setiap kali empat huruf itu menguntai menjadi kata dan meluncur dari mulut kecil seorang bocah. Ayah! Betapa kata itu memberi saya, dan juga kamu, bahkan kita semua para ayah, gairah kehidupan yang senantiasa mendorong langkah kita melanjutkan perjalanan berat ini, merambah belantara dunia yang kadang tidak bersahabat, atau bahkan memecahkan seonggok karang besar di tengah samudera kehidupan. Setelah kata iman, tidak ada lagi kata dalam kamus kehidupan —selain kata ayah— yang mampu mengajari Anda tentang makna pertanggungjawaban yang paling hakiki. Sesuatu yang muncul dengan tulus saat Anda menangkap kesan ‘diharapkan’ di balik panggilan itu. Sesuatu yang muncul dengan kuat dan elegan ketika Anda merasa menjadi ‘benteng’ proteksi dan perlindungan bagi sejumlah anak manusia. Sesuatu yang dapat mengubah pemujaan Anda terhadap diri sendiri menjadi pengorbanan yang paling tulus ketika Anda harus menjadi perisai bagi beberapa jiwa manusia. Tiba-tiba saja Anda telah berada di situ, di depan kata ini: maut! Dan dua butir bola kecil yang membulir di celah pipi Anda takkan pernah membuatmu sedih, atau bahkan menyentuh perasaan yang begitu kuat menggelora dalam batin: kebanggaan. Ayah! Tetapi, kata itu adalah juga melodi yang paling harmoni dengan getaran obsesi kelaki-lakian kita. Beberapa bagian dari ’makna sosial’ kelaki-lakian kita takkan pernah terpenuhi sebelum kata itu mengganti nama saya, dan juga Anda, untuk kemudian menjadi panggilan sehari-hari. Mimpi-mimpi superioritas Anda sebagiannya menjelma jadi kenyataan di sini; ketika bocah-bocah kecil itu bergelendotan di lengan kekar Anda, atau ketika istri Anda melakukan sesuatu yang tidak Anda senangi dan Anda mengatakan, "Saya tidak suka ini!" Mungkin Anda bukan seorang penguasa negara, atau seorang jenderal dengan ribuan prajurit atau seorang manajer besar dengan ratusan bawahan. Mungkin sekali Anda hanya seorang prajurit biasa, atau seorang bawahan kecil, atau seorang pesuruh. Tetapi, rumah - walaupun hanya kontrak - tempat Anda setiap hari dipanggil ayah, adalah wilayah teritorial Anda. Dalam wilayah kecil itu, masih tersisa sesuatu yang bisa memberi Anda rasa berkuasa. Karena Anda adalah ayah. Karena Anda adalah qawwam. Mungkin posisi dalam pekerjaan Anda tidak menggoda orang banyak untuk selalu memberi Anda seuntai senyum manis di pagi hari. Bahkan sebaliknya, Andalah yang harus setiap saat mengobral senyum, memberi kesan hormat, untuk memuaskan rasa berkuasa atasan Anda, dan guna mempertahankan posisi Anda yang sebenarnya sudah sempit dan sumpek. Akan tetapi, di sini dalam wilayah teritorial Anda tadi, Anda berhak mendapat senyum Ayah! Dan ketika lelaki-lelaki modern enggan menjadi kata itu, maka kata itu juga enggan menjadi mereka. Ketika mereka menolak janji-janji kata itu, menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan. Satu-satu laki-laki modern itu mati tertusuk sembilu sepi. Padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu per satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada di antara mereka yang sanggup bertahan lama. Setiap jengkal tanah yang kita lewati adalah mayat. Ketika mayat-mayat telah habis, kitalah yang akan menjadi jengkal tanah baru yang akan dilalui oleh mereka yang ditakdirkan hidup. Bumi kita bukan lagi firdaus. Ia telah menjelma menjadi kuburan tanpa batas. Di ujung jengkal tanah itu, ketika tidak lagi ada sisa mayat, ketika sebentar lagi ia akan menjadi sejengkal tanah, seorang lelaki tua dari tanah Egypt, aktor dunia yang kini bermukim di Perancis, berujar perlahan, ”Ambillah segenap kekayaan dan popularitasku, tetapi berikan aku seorang anak, biarkan tangisnya memecah sunyi dalam jiwaku. Aku ingin jadi ayah!”
Permen Pengacau Hukum
Oleh M Rizal Fadillah Kontroversi Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi terus berlanjut. Produk hukum yang prosesnya tidak transparan dan atau tanpa melibatkan elemen publik dipastikan akan kontroversial. Apalagi jika itu menafikan nilai-nilai keagamaan. Bukan berarti bahwa agama setuju adanya kekerasan seksual atau menolak aturan yang mencegah terjadinya kekerasan seksual di perguruan Tinggi, bukan, akan tetapi cara merumuskan dan narasi rumusan dalam Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 itu yang dimasalahkan. Dianggap bertentangan dengan prinsip keagamaan yang dianut oleh bangsa Indonesia, khususnya agama Islam. Dari sisi hukum juga ternyata Permen ini menunjukkan kekacauan berat, antara lain : Pertama, bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (3). Lalu dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 1 dan Pasal 4. Kemudian UU No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Pasal 5 butir a dan Pasal 6 butir b. Sekedar contoh, Pasal 1 UU No 20 tahun 2003 berbunyi "Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman". Kedua, tidak memiliki dasar hukum yang benar dan kuat. Tidak ada Undang-Undang yang menjadi payung bagi sebuah Permen bermuatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dinilai pro-zina dan berbau liberal gagal menjadi UU akibat reaksi di DPR maupun umat. Tanpa UU ini, maka Permendikbudristek No 30 tahun 2021 kehilangan landasan hukum, artinya cacat hukum. Ketiga, mengacak-acak asas hukum yang baik. Secara filosofis gagal memenuhi prinsip keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Kontrak seksual telah mengabaikan nilai Ketuhanan. Secara yuridis, berbenturan dan tumpang tindih dengan aturan hukum di atasnya atau yang telah ada. Permen adalah rekayasa dan penyelundupan hukum. Secara sosiologis mendapat penentangan banyak pihak. MUI dan Ormas Islam menolak aturan sekuler ini. Keempat, narasi atau rumusan Kekerasan Seksual menurut Permen 30 tahun 2021 dengan elemen perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan/atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi, lalu berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik adalah perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP Pasal 281, 285, 289, 311dan 315. Diatur pula dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 UU No 11 tahun 2008 tentang ITE, serta UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Sesuatu yang telah diatur lalu diatur kembali dengan bobot yang manipulatif, adalah perbuatan jahat. Mengingat hal-hal di atas, maka Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi itu merupakan peraturan yang mengada-ada, bertentangan dengan agama, mengabaikan UUD 1945 dan Pancasila, liberal, sekuler, serta merupakan penyelundupan hukum. Oleh karenanya patut untuk ditolak oleh rakyat. Menteri Nadiem seharusnya mundur, aturan yang dibuatnya layak digugat secara material ke Mahkamah Agung serta diusut dalang atas penyelundupan hukum yang dilakukan ini. Presiden Jokowi tidak bisa berlepas tangan atas kekacauan di bidang pendidikan yang nyata-nyata telah membahayakan dunia akademik. Permen yang dibuat Menteri dalam Kabinet Jokowi telah menjadi pengacau hukum. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Nadiem Maa Karim
Oleh M Rizal Fadillah *) NADIEM seperti 'kalem' tetapi memang kontroversial. Sejak awal penunjukan sebagai Menteri Dikbudristek pengusaha ojek online ini dinilai sebagai orang yang tidak tepat dalam jabatannya. Nadiem tidak memiliki basis pengalaman manajemen pendidikan yang kuat. Banyak guru besar yang lebih pantas untuk menjabat Menteri Pendidikan. Kelemahan dalam pemahaman agama mewarnai kebijakan. Road map pendidikan yang steril agama menjadi masalah publik. Demikian juga kurikulum moderasi beragama yang dipastikan sekularistik. Dan terakhir, kontroversi Permendikbudristek 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kontroversi Permen ini karena tidak memenuhi asas hukum yang baik. Secara filosofis tidak berbasis agama padahal persoalan relasi seksual itu sarat akan nilai agama. Secara yuridis cacat karena tidak memiliki payung hukum Undang-Undang sejenis. RUU P-KS gagal menjadi UU. Secara sosiologis Permen ini ternyata mendapat penolakan di mana-mana. MOI, MUI, dan Muhamadiyah minta pencabutan atas Permen tersebut. Filosofi "barat" yang berbasis kontrak tercermin pada Pasal 5. Menyatakan bahwa larangan dan penyimpangan itu terjadi apabila dilakukan "tanpa persetujuan". Konsekuensi dengan "argumentum a contrario" atau "mafhum mukholafah" nya adalah apabila dilakukan dengan persetujuan maka menjadi boleh. Karenanya Permendikbudristek ini wajar jika ditafsirkan tunggal yaitu melegalisasi zina, bahkan juga LGBT. Permen PPKS kontroversi karena di satu sisi berprinsip pada kesetaraan gender, tetapi di lain pihak baik Pansel maupun Satgas ternyata dipersyaratkan minimal 2/3 harus diisi oleh perempuan. Artinya berprasangka buruk dan mendiskriminasi gender laki-laki. Apalagi Pasal 1 menegaskan bahwa norma kekerasan seksual itu berbasis "ketimpangan relasi kuasa". Dalam agama Islam kedudukan laki-laki dan perempuan adalah mitra. Bertentangan pula dengan prinsip Ketuhanan YME dan visi pendidikan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Bahwa Sistem Pendidikan Nasional itu untuk "meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UU". Agama itu penting. Nadiem jika tetap mempertahankan dan menjalankan Permendikbudristek No 30 tahun 2021 ini maka akan disorot sebagai Menteri yang menginjak-injak agama dan moral bangsa. Wajah Makarim berubah menjadi Maa Karim. Yang pertama bermakna "mulia" sedangkan yang kedua justru "tidak mulia". Meski didukung oleh Menteri Agama dan beberapa tokoh PDIP, namun Permen ini ditentang oleh kekuatan agama. Situasi tidak akan kondusif bagi Kementrian dan Pemerintah sendiri. Karenanya pencabutan merupakan sesuatu keniscayaan. Buktikan bahwa peraturan itu dibuat dengan bersendikan tertib hukum, tertib sosial, maupun tertib nilai bahkan tertib ideologi. Kembalilah Menteri Nadiem ke jalan yang mulia, kembalilah menjadi Makarim bukan Maa Karim. *) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Cara Berpikir Aneh Lingkaran Tajir Luhut Binsar Pandjaitan
Oleh;: Jajang Nurjaman Setelah mendapat kritik keras dari publik soal dugaan praktik kotor bisnis PCR yang diduga melibatkan Menko Luhut Binsar Pandjaitan, kini kelompok di lingkaran Luhut ramai-ramai pasang badan. Terbaru muncul Septian Hario Seto SHS dengan tulisan panjangnya sampai 23 point membela habis-habisan Menko Luhut. Septian Hario Seto yang baru saja diangkat menjadi komisaris BNI, sebelumnya menjabat sebagai staf khusus Deputi Bidang Koordinator Investasi dan Pertambangan, dan jauh sebelum masuk lingkaran pejabat pemerintahan SHS sudah 10 tahun bekerja dengan Luhut di Toba Bara Sejahtera. Bahkan dengan karir cemerlangnya bekerja mengikuti luhut saat menjadi staf tercatat kekayaan SHS mencapai Rp 5,1 miliar, setelah menjadi komisaris kekayaan SHS tentunya bisa semakin melejit. Sama halnya dengan kekayaan Luhut yang terus meroket, kekayaan Luhut hanya dalam 5 bulan naik Rp 67,7 miliar meskipun lagi pandemi, sekarang kekayaan luhut Rp 745 miliar. Dalam pembelaan SHS soal proyek PCR yang melibatkan nama Luhut, ia berusaha keras meyakinkan publik bahwa dirinya dan Menko Luhut begitu peduli dengan persoalan negeri dalam menghadapi pandemi, bahkan secara emplisit tanpa uluran tangan Luhut negeri ini tidak berdaya. SHS berusaha keras menyampaikan ke publik bahwa Luhut sudah banyak memberikan donasi seperti alat PCR, ekstraksi RNA, reagen dan alat lab ke Fakultas Kedokteran, meskipun tidak dijelaskan rinciannya. Termasuk didirikannya GSI ia menjelaskan meskipun ini adalah perusahaan bukan yayasan, seperti namanya ada unsur Solidaritas keuntungan dari proyek yang didapat dari GSI nanti digunakan untuk amal. Jadi SHS ingin menyampaikan kepada publik bahwa Pak Luhut sebagai pejabat memang memiliki kaitan kuat dengan perusahaan GSI, dan benar mendapatkan proyek PCR “, tapi dia mengingatkan keuntungannya nanti didonasikan ke Fakultas kedokteran seperti alat PCR dan lainnya “atas nama Pak Luhur, tentunya”. Jadi benar kalau pak Luhut bilang ke publik bahwa dia tidak ambil untung dari bisnis PCR. Pembelaan SHS ini sangat aneh karena memang berangkat dari logika yang aneh serta banyak hal yang tidak dia ungkapkan, toh ini memang hanya pembelaan, sebatas bawahan yang membela atasannya. Publik tidak perlu berharap lebih, Luhut dan lingkarannya yang tajir-tajir menjelaskan kepada publik, kenapa saat harga PCR yang harganya sampai Rp 2,5 juta sebelum Oktober 2020 pemerintah termasuk mereka adem ayem saja. Setelah Oktober 2020 harga PCR berubah-ubah tidak jelas harga standarnya berapa. Mulai dari Rp 900 ribu dari Oktober 2020 sampai Agustus 2021, kemudian berubah lagi jadi Rp495.000-Rp525.000 sampai Oktober, dan terakhir ternyata harga PCR bisa dipatok Rp275.000-Rp 300.000 sejak akhir oktober, bahkan ada yang mengatakan tes PCR kalau mau bisa saja Rp 10 ribu. Publik juga tidak perlu berarap lebih Luhut dan lingkaran menjelaskan dengan jujur, apakah betul sebatas urusan PCR negara ini tidak mampu lagi dan benar-benar tidak ada duit. Padahal data menunjukan soal anggaran untuk penanganan kesehatan di tahun 2020 yang digelontorkan Rp 99,5 triliun yang dipakai atau terealisasi hanya 63,6 persen. Di tahun 2021 dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen, padahal sekarang menjelang akhir tahun. Belum lagi soal temuan terbaru, dari bisnis PCR saja uang yang berputar sampai Rp 23 triliun dan keuntungan yang diperoleh dari kelompok yang berbisnis soal PCR bisa mencapai Rp 10 triliun lebih. Dari sini bisa disimpulkan, saat pandemi pejabat kita tidak serius bekerja untuk rakyat,mereka sibuk dengan kelompoknya berbisnis kemudian untuk menutupi borok sesekali mereka berdonasi dari hasil untung ini. Koordinator CBA (Center for Budget Analysis)
Rezim Klojotan
Oleh: Yusuf Blegur Ada yang menarik dari kegiatan memperingati hari Pahlawan yang dilakukan oleh rakyat pada hari Rabu tanggal 10 November 2021 yang lalu. Bukan saja karena diikuti oleh pelbagai elemen bangsa seperti mahasiswa, buruh, ormas, beberapa aktifis dan tokoh pergerakan. Lebih dari itu, parlemen jalanan itu diwarnai tampilnya seorang senior yang boleh dibilang memasuki usia sepuh. Beliau adalah Babeh Ridwan Saidi. Seorang aktivis sejarah, kebudayaan dan salah satu tokoh pergerakan Islam. Meski di usia yang tidak muda lagi, beliau tetap menampilkan ghiroh Islam, semangat progressif revolusioner dan jihad amar maruf nahi munkar. Babeh Ridwan Saidi juga menyerukan perlawan rakyat terhadap rezim boneka oligarki yang sudah kebablasan menindas dan menyengsarakan rakyat. Babeh Ridwan Saidi begitu berapi-api berorasi layaknya aktifis mahasiswa yang masih muda meski usianya sudah memasuki usia 80 tahun. Menyeru rakyat bersatu dan bangkit melawan kekuasaan dzolim. Berani dan tegas menghadapi rezim klojotan, kata Babeh Ridwan Saidi. Bukan hanya keberanian, sikap konsisten dan istiqomah dalam mengajak kesadaran nasionalisme di tengah momentum hari pahlawan. Tampilnya Babeh Ridwan Saidi dalam demokrasi jalanan. Sejatinya menjadi tamparan keras bagi generasi muda dibawahnya termasuk kalangan milenial, yang hingga hari ini bersikap statis, apriori dan mungkin statis terhadap situasi kekinian kebangsaan Indonesia. Betapa kehadiran dan semangat Babeh Ridwan Saidi memiliki nilai tersendiri dalam aksi peringatan hari pahlawan itu. Babeh Ridwan Saidi menunjukkan bahwasanya usia dan fisik tidak semuanya akan lekang oleh waktu. Jiwa dan keteguhan hati menyuarakan kebenaran dan keadilan akan tetap bisa tumbuh dalam setiap sanubari tanpa mengenal usia, pengalaman dan status sosial. Babeh Ridwan Saidi yang idealnya disebut kakek untuk menikmati sisa hidup dengan bercengkerama bersama anak-cucu dan keluarga. Masih bisa tampil garang dan memukau di tengah sengatan terik matahari dan sorotan tajam aparat keamanan. Betapa ini menggugah perasaan dan emosi bagi semua yang menikmati "comport zona" dan anti perubahan ditengah krisis multi dimensi kenegaraan. Babeh Ridwan Saidi tetap gigih menyadarkan kepada semua, saatnya rakyat tidak bergantung pada pemerintahan. Tidak menaruh harapan berlebihan kepada para birokrat dan politisi. Kepada konstitusi dan parlemen yang mandul. Senior yang detail memahami dan mengenal sejarah Jakarta dan kolonialisme di Indonesia ini. Seakan mengingatkan bahwa pahlawan dapat lahir dari rahim rakyat yang tertindas. Para pahlawan akan hadir ditengah rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Hanya rakyat yang bisa menyelamatkan rakyat. Begitu tulus dan antusias Babeh Ridwan Saidi menggelorakan perjuangan. Ma syaa Allah, barakallahu fikum. Semoga Allah memberika umur panjang yang maslahat dan memberi teladan sekaligus motivasi perjuangan bagi bangsaIndonesia khususnya generasi muda. Budayawan yang gape seluk beluk politik itu begitu lugas dan gamblang memotret sekaligus memetakan situasi pemerintahan yang sudah amburadul. Kebijakan rezim yang tidak menggunakan akal sehat dan mengabaikan faktor ilmu pengetahuan dalam mengambil kebijakan negara. Hanya menghasilkan pemerintahan yang ugal-ugalan dibawah kepemimpinan Jokowi. Akibatnya bukan hanya kerusakan dan kehancuran sistem ketatanegaraan. Kekuasaan yang hanya dalam 7 tahun lebih, telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, mengancam eksistensi dan kedaulatan NKRI serta penderitaan panjang kehidupan rakyat. Gagalnya penanganan pandemi yang dibarengi maraknya mega korupsi yang dilakukan birokrasi terutama dikalangan menteri. Ditambah ekspolitasi utang luar negeri yang beraroma proyek rente yang akhirnya gagal dan harus dijual lagi. Bukan hanya proyek infra struktur, bahkan proyak penanganan pandemi juga ikut dirampok. Tak kurang mulai dari bansos, vaksin dan terakhir pengadaan PCR juga terendus menjadi komoditi bisnis para pengusaha, menteri dan lingkaran istana. Itu beberapa contoh kebobrokan rezim Jokowi, selain kenaikan pajak dan biaya hidup yang kian mencekik rakyat. Perlakuan rezim Jokowi inipun dianggap barbar dan bengis terhadap umat islam. Bukan hanya politisasi agama fan kriminalisasi para ulama. Rezim pencitraan boneka oligarki ini nyata-nyata juga melakukan sekulerisasi dan liberalisasi Islam. Umat islam terus diperkosa dengan kebijakan penangkalan aqidah berkedok moderasi Islam. Jokowi dam gerombolan kekuasannya tidak hanya sekedar anti Islam. Namun Jokowi dalam kekuasaan para taipan dan borjuasi korporasi telah mengibarkan bendera kapitalisme dan komunisme di negeri Panca Sila. Oleh karena itu sudah selayaknya dan perlu menjadi perenungan bagi semua rakyat Indonesia. Jika masih menginginkan kehidupan anak-cucu lebih baik di masa mendatang. Jika masih ingin merasakan keberadaan NKRI kelak. Jika masih ingin melihat agama Islam tegak di persada Indonesia yang religius. Maka seperti yang Babeh Ridwan Saidi bilang, harus ada kesadaran nasionalisme untuk memperjuangkan Indonesia dari cengkeraman neo kolonialisme dan neo imperialisme (nekolim). Harus ada keberanian rakyat menyelamatkan Indonesia dari rezim Jokowi yang sudah membabi-buta dalam kemudaratan. Rezim yang seiring waktu mulai kehilangan kemanusiaan dan Ketuhanan dalam menjalankan pemerintahan dan negara. Saatnya hari pahlawan menjadi benih-benih kesadaran perjuangan dan kebangkitan Indonesia. Kesadaran dan kebangkitan bagi umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia. Melawan rezim kekuasaan yang mulai mabuk dan semaput. Pemerintahan Jokowi yang sudah kehilangan legitimasi rakyat. Ayo bangkit Indonesia, menghadapi rezim klojotan. Diksi yang sederhana dan unik khas Betawi. Sebagaimana yang dicukil Babeh Ridwan Saidi. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Rezim Black Hole
By M Rizal Fadillah PEMERINTAHAN Jokowi terus menguras dana dari berbagai sumber untuk investasi dan berbagai keperluan pembangunan negeri termasuk menangani pandemi. Sayangnya kebocoran terjadi di sana sini, korupsi dan pencarian komisi ikut menyertai. Keserakahan para pejabat dan pengusaha dalam mengeksploitasi negeri seolah-olah negeri ini menjadi miliknya sendiri. Sebuah film berdurasi pendek yang dibintangi Napoleon Ryan dan disutradai Philip Sanson berjudul "The Black Hole" memenangi Festival film Cannes pada tahun 2008. Menarik karena pemainnya hanya seorang diri dan tidak mengeluarkan suara akan tetapi dahsyat dalam menggambarkan akibat buruk dari sebuah keserakahan. Pemain yang bekerja di depan mesin foto copy di tengah kelelahannya mendapatkan hasil foto copy selembar besar kertas berbundar hitam di tengah, black hole. Segala dapat masuk ke dalam lubang hitam tersebut, termasuk tangan si pemain. Singkatnya ia dapat memasukkan tangan untuk mengambil coklat di kulkas yang ujung nya berniat mencuri uang di brangkas. Gembira dengan kertas black hole ia dapat merogoh uang dari dalam brangkas tersebut terus dan terus. Uang berpindah ke luar. Keserakahan membuat ia terus merogoh ke dalam hingga badannya masuk seluruhnya. Celakanya kertas black hole terlepas dari tempelan di dinding brangkas. Ia tidak bisa keluar dan terjebak di dalam ! Para pejabat dan pengusaha saat ini terbaca dan terasa oleh rakyat berpostur gendut akibat makan minum berlebihan. Makan ribuan bahkan jutaan hektar tanah, makan batubara, makan duit APBN, juga makan pajak dan retribusi rakyat kecil. Minum minyak dan sumber daya air secara eksploitatif dan berlebihan. Bagi-bagi sertifikat tanah kepada rakyat hanya seremonial dan sekedar pencitraan. Berbagai kartu disebar dan sembako pun dibagikan sambil menghinakan. Tidak berimbang dengan keserakahan dalam menghabiskan berbagai sumber daya alam yang seolah tidak ada rasa kenyang dan puas. Sikap ingin berkuasa terus juga adalah model dari keserakahan. Keserakahan itu baru selesai setelah dipaksa berhenti atau mati. Qur'an Surat At Takatsur mengingatkan sifat manusia yang serakah dan baru selesai setelah bertemu kubur. Tanpa membawa harta yang dikumpulkannya. Dalam kisah Rusia ada seseorang yang diperkenankan memiliki tanah seluas dia mampu untuk mencapainya dengan berjalan. Berjalan ia menuju jarak terjauh. Ketika lelah ia melihat ke belakang betapa luas tanah miliknya kini. Tapi ia belum merasa puas. Terus berjalan, bahkan karena tak kuat ia merangkak untuk memperluas area. Masih belum puas, lalu merayap meski nafas sudah tersengal. Akhirnya ia mati. Tanah miliknya hanya satu setengah meter. Rezim black hole adalah rezim yang ingin berinvestasi dan berhutang luar negeri terus dan terus. Korupsi dan komisi terus dan terus. Memperpanjang kekuasaan terus dan terus. Mencuri uang rakyat dengan merasa aman. Menguras brangkas hingga ia sendiri masuk ke dalam brangkas dan tidak bisa keluar lagi. Rezim Jokowi mati. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Roasting Kiky dan Sense of Humor Anies
Oleh Ady Amar *) MUNGKIN cuma komedian Kiky Saputri, yang mampu "mengolok" sampai ke tingkat dasar tokoh politik/publik dengan "serangan" kelucuan ngeri-ngeri sedap. Sedang tokoh yang dihadirkan dan "diserang", itu muncul dengan berbagai sikap ditimbulkan. Kiky jebolan stand up comedy, dan biasa muncul dengan mengkritik seseorang yang bisa menimbulkan kemarahan (roasting). Kemarahan terkadang tidak saja pada tokoh yang di-roasting, tapi pada pengikutnya yang tidak sedikit merasa geram. Padahal sebelum roasting dilakukan, sudah ada semacam deal-dealan. Misal, apakah boleh menyebut ini dan itu dan seterusnya. Tentu materi utuh roasting tidak diberikan pada tokoh yang dihadirkan. Maka yang muncul adalah candaan yang tidak disangka tokoh bersangkutan. Seolah deal-dealan yang sudah disepakati tidak pernah dibuat, karena narasi candaan menjadi kelucuan yang menohok. Seperti sesuatu yang disampaikan tanpa terlebih dulu dirundingkan. Tokoh yang dihadirkan seberapa besar jabatan dan kuasanya, dibuat tidak berkutik dikuliti dengan canda aroma politik. Seperti layaknya tukang cukur rambut yang memegang kepala Presiden sekalipun dengan tampak canggung. Jika tokoh yang dihadirkan punya kuping tipis, maka aura wajah merah merona menampakkan sikap tak suka. Dan jika harus dipaksa tertawa, itu seperti tertawa orang yang tercekik. Kiky mampu membuat tokoh yang diundang tampak salah tingkah dan tak nyaman, apalagi ditambah gelak tawa penonton seolah meneror, membenarkan roasting yang dihadirkan. Sekali lagi, meski deal-dealan itu ada sebelum roasting dilakukan, tapi roasting itu tetap menjadikan tamu tampak gugup dan salah tingkah, seolah apa yang diroasting itu belum pernah dibicarakan sebelumnya. Layaknya pengadilan dan tokoh yang dihadirkan seolah terbunuh oleh candaan, tanpa punya kemampuan membalas. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, tampil di acara televisi Trans7, "Lapor Pak!", jadi tokoh yang siap di-roasting Kiky. Anies tampil tampak siap, seolah tak ada beban dengan munculnya pertanyaan apapun yang dicandakan. Anies tampil tenang, dan bahkan mampu membalik suasana dengan sense of humor yang dihadirkan. Saat, Kiky bercanda dengan tanya, "Apa kabar dengan Formula E, Pak?" Anies menjawab dengan santai, "Kalau nanti Formula E tiba, mau nonton gak?" Semua yang hadir di sana, termasuk Kiky, dengan serempak menjawab, "Mau". Lalu Anies meneruskan, "Semua boleh lihat, sambil menunjuk satu persatu yang ada di sana-- lalu dilanjutkan-- kecuali Kiky." Meledaklah tawa personil dan kru Lapor Pak! Formula E, yang rencana akan diadakan di Jakarta, Juni 2022, itu memang jadi bahan untuk digoyang mereka yang tampak tidak ingin perhelatan itu dihadirkan. Maka, Anies terus jadi sasaran serangan bahkan fitnah para pihak agar event itu tidak terlaksana. Fraksi PDI-P dan PSI DPRD DKI Jakarta, adalah para pihak yang terus menggoyangnya. Ditambah para buzzer berbayar Rupiah, yang bekerja tak kenal lelah dan malu buat opini menjatuhkan Anies. Orang banyak menyebut, bahwa Anies Baswedan, yang jika lihat tampilannya bak pejabat kaku, sehari-hari serius tampak jarang senyum, tapi ternyata punya sense of humor tinggi. Tentu itu tidak terlepas dari emotional quality yang baik. Satu lagi, sebagai orang bebas, ia yakin benar bahwa apa yang dilakukan on the track maka tidak ada yang perlu ditakutkan atau ditutupi, jika itu harus dibuka selebar-lebarnya sekalipun. Sebagai tokoh publik yang tidak "bermasalah", maka Anies Baswedan justru tampil mampu beri pencerahan, meski tidak sampai bisa menerangkan apa yang terjadi sebenarnya secara detail, itu karena durasi waktu dan acara yang lebih pada canda semata. Maka, Anies hanya mampu menampakkan sense of humor cerdasnya, dengan hanya mengembalikan pertanyaan Kiky jadi pertanyaan balik darinya, dan itu mampu mengundang gelak tawa. Itu sudah cukup. (*) *) Kolumnis
Smelter di Jawa Timur: Tirani Mengkristal
Oleh: Marthen Goo Kita dikagetkan dengan pernyataan Presiden soal Smelter dibangun di Jawa Timur. Tentu hal itu mengganggu ketenangan orang Papua karena bukan dibangun di Papua tapi justru dibangun di Jawa Timur. Sementara, semangat lahirnya desentralisasi didasarkan pada penghapusan pembangunan yang sentralistik. Nilai keragaman di Indonesia berusaha dirajut melalui semangat Kebhinekaan. Sudah sekian lama pembangunan bersifat sentralistik dan hal itu ditentang, hari ini smelter akan dibangun di Jawa Timur. Mestinya Pemerintah Pusat harus berpikir bagimana asas manfaat bagi orang Papua, dan logikanya, smelter harus dibangun di Papua. Papua harus dilihat dalam asas kebhinekaan dan semangat mewujudkan tujuan nasional. Pasal 25 UUD’45 jelas menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang” . Artinya bahwa pembangunan Smelter itu tidak perlu di Jawa Timur. Cukup dibangun di Papua dengan asas kebhinekaan (dibangun di daerah yang SDAnya diambil). Cara Melihat Smelter Secara Subtansial Smelter harus dilihat secara menyeluruh bahwa memiliki beberapa fungsi, yaitu (1) fungsi pendapatan daerah; (2) fungsi penyerapan tenaga kerja; (3) fungsi pasar seperti penghidupan pangan lokal dan hal lainnya; (4) fungsi ekonomi mikro seperti pendapatan kos-kos bagi pencari kerja. Fungsi pasar dapat dilihat dengan kebutuhan pangan yang besar, dan akan memberikan pendapatan bagi petani. Begitu juga tempat tinggal. Empat fungsi besar itu tentu akan membantu meningkatkan perekonomian dan kemajuan di Jawa Timur. Terus Posisi Papua dapat apa? Mestinya pemerintah harus membangun ekonomi di Papua dengan membuat smelter di Papua. Tindakan ini makin memupuk distrust (ketidak-percayaan), dan patut diduga adanya kebijakan yang memberikan gambaran adanya tirani dan dugaan rasisme . Ini juga sangat bertentangan sekali dengan pasal 27 ayat (2) UUD’45, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” . Seakan-akan rakyat Papua tidak memiliki hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika Pemerintah melihat bahwa pasal 27 ayat (2) itu berlaku juga bagi Papua, Smelter mestinya dapat dibangun di Papua. Atau, dapat kita lihat juga terkait pasal 28 UUD’45, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” . Orang Papua harus dilihat memiliki hak yang sama juga dengan warga negara yang lain untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya baik dalam pembangunan maupun dalam peningkatan perekonomian melalui pembangunan Smelter. Argumen Logis Soal Alasan Banyak opini yang berkembang mendukung Smelter dengan pura-pura bertanya “Mengapa tidak diprotes sebelumnya?” . Cara berlogika tersebut terbalik. Harusnya adalah “kenapa pemerintah tidak mau membangun smelter di Papua agar tidak menimbulkan protes?” atau “kenapa tidak tunjukan bentuk kepedulian (niat) dalam pembangunan ekonomi di Papua melalui smelter?” Ada juga yang beropini bahwa Smelter di bangun di Jawa Timur karena Papua tidak aman. Pada hal, kritikannya, “kenapa negara tidak membuat Papua tanah damai agar dengan Papua tanah damai, Smelter bisa dibangun di Papua?” Cara buat Papua Tanah Damai adalah dengan Gelar Perundingan seperti Aceh-Jakarta. Kenapa negara tidak lakukan perundingan untuk Papua tanah damai? Semangat mewujudkan Papua tanah damai melalui dialog Jakarta-Papua pernah ditawarkan konsepnya kepada Presiden Jokowi pada periode pertama. Sayangnya semangat damai tidak diwujudkan melalui perundingan. Konsep-konsep damai juga bahkan sudah disampaikan sebelum Jokowi jadi Presiden, misalnya pertemuan pimpinan-pimpinan Gereja Papua dengan SBY. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun merekomendasikan Dialog melalui bukunya Papua Road Map . Bahkan tokoh-tokoh Gereja di Papua pun merekomendasikan Dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan berbagai masalah di Papua. sayangnya hal itu sampai saat ini tidak dilakukan. UUD’45 pasal 28I ayat (2) menyebutkan “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” . Sehingga, jika Aceh bisa digelar proses yang sama, atau jika aspek kemanusiaan dikedepankan untuk di daerah lain, khususnya di pulau Jawa, mestinya Papua juga. Tawaran Solusi Dari tulisan ini, agar terpenuhinya pasal 25; pasal 27 ayat (2); Pasal 28; Pasal 28I ayat (2), saya juga akan memberikan tawaran solusi yang menurut saya mencermikan kebhinekaan dan mencerminkan semangat mewujudkan tujuan nasional dan sebagai prinsip penghormatan pada Hak Asasi Manusia, dan agar menghapus kecurigaan dan menghapus kristalisasinya tirani. Tawaran solusinya adalah: 1) Batalkan pembangunan Smeslter di Jawa Timur apapun alasannya dan bangun di Papua; (2) Gelar Perundingan Jakarta-Papua untuk wujudkan Papua Tanah Damai. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum Tata Negara