Kekuasaan Kian Sekarat

Oleh: Yusuf Blegur

Saat kekuasaan semakin represif dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, sejatinya kekuasaan tidak sedang menunjukkan kekuatannya. Justru sebaliknya, bukan cuma sekadar kelemahan. Kekuasaan itu malah terlihat sedang limbung dan mengalami sakit yang serius. Sebenarnya tak berdaya tapi memaksakan menjadi dzolim. Serba permisif dan terkesan melakukan pembiaran terhadap korupsi dan extra ordinary crime lainnya. Kejahatan-kejahatan institusional dilakukan secara kolektif kolegial yang dilakukan dengan masif, sistematik dan terorganisir dalam penyelenggaraan negara. Sementara di sisi lain begitu tegas, keras dan terkesan bengis dalam menyikapi suara kritis. Rezim yang di dalamnya digerogoti oleh disfungsi dan kerusakan baik dari sistem maupun aparaturnya, berangsur-angsur dan perlahan, sedang menuju kematiannya. Ia hanya menunggu waktu untuk terhempas dari kekuasaannya. Baik secara konstitusional maupun oleh tuntutan gerakan rakyat di luar mekanisme formal. Jatuhnya kekuasan dengan proses 'soft landing' atau harus menempuh terjadinya 'bleeding', bisa saja mengiringi transisi kekuasaan yang akan berlangsung. Rezim dan kroninya akan dipaksa dan terpaksa mundur secara terhormat atau dengan cara dinistakan.

Kekuasaan yang dijalankan oleh rezim yang hanya memiliki legalitas tanpa legitimasi, menandakan bahwa rezim sudah tidak lagi memiliki kepercayaan dari rakyat. Apalagi jika sudah muncul sikap skeptis dan apriori dari publik. Bahkan diolok-olok dan dipermalukan oleh rakyatnya sendiri. Desakan dan tuntutan mundur kepada seorang presiden, pada substansinya telah menegaskan sosok dan jabatan yang melekat padanya, sudah tidak berfungsi dan berlaku lagi. Keputusan dan kebijakan sebagai seorang pemimpin tak akan lagi akan didengar, didukung dan dilaksanakan rakyat. Hanya butuh administrasi dan kaidah hukum untuk melengkapi sekaligus mengesahkan seorang presiden harus meletakkan jabatannya.

Bukan hanya kegagalan-kegagalan program pembangunan dan runyamnya kebijakan strategis lainnya. Rezim oligarki sekaligus boneka konspirasi global ini, dinilai telah membawa kehidupan rakyat, bangsa dan negara pada kemunduran. Apa yang dihasilkan pemerintahan selama ini justru menimbulkan kerusakan dan kehancuran dalam pelbagai sektor kehidupan. Setidaknya ada tiga aspek penting dan fundamental yang selama ini dinyatakan oleh banyak pihak, telah hilang dalam tata kelola negara. Pertama, terkait kedaulatan dalam bidang politik. Kedua, soal kemandirian ekonomi. Ketiga, kegagalan melahirkan kebudayaan yang berkepribadian bangsa. Semua prinsip dan nilai-nilai kebangsaan itu sudah terlepas, dimiliki dan dikuasai asing. Rakyat dan negeri ini sudah kadung dieksploitasi. Dirampok hartanya dan diberangus hak asasinya.

Negara kekuasaan dengan sadar atau tanpa sadar, harus menggerus dan memakan tubuhnya sendiri. Pada akhirnya harus mengorbankan rakyat dengan pelbagai kesengsaraan dan penderitaan hidup. Alam pun ikut bereaksi memperlihatkan murkanya. Dari banjir Sintang Kalbar hingga Mandalika yang pongah dan memalukan di Lombok. Seakan muncul sebagai penolakan proyek lumbung pangan yang serampangan dan lintasan sirkuit yang ceroboh mengabaikan kelestarian alam dan memanipulasi hak rakyat atas tanah. Rakyat hanya punya simbol-simbol dan lambang negara tanpa keberadaan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI yang sesungguhnya. Rakyat seperti berada di negeri merdeka yang terjajah. Direndahkan martabat dan harga dirinya oleh bangsa asing, sembari dikhianati oleh sebagian bangsanya sendiri. Hidup sebagai budak dan didera penderitaan panjang di negeri yang terbilang penuh anugerah.

Kehilangan faktor-faktor mendasar dan prinsip dalam membangun negara tersebut. Pada hakekatnya sama dengan keadaan negara dengan raga saja tanpa kehadiran jiwa. Hanya lahiriah tanpa batiniah. Negara dengan adat kekuasan, seperti zombie yang memangsa siapa saja dan mencari korban yang paling lemah. Kenyataannya akan menampilkan ketiadaan aturan, hukum rimba dan kebiadaban di sana-sini. Jika tidak ada lagi yang bisa dikorbankan. Gerombolan penguasa itu saling memangsa dan berusaha mempertahankan diri dan meneruskan kesinambungan kehidupannya masing-masing. Sampai tidak ada lagi yang bisa dimangsa, tidak lagi yang bisa dikanibal sesamanya. Monster kekuasaan itu pada akhirnya mengalami sekarat. Menghadapi kematian karena pertarungan di kalangannya sendiri.

Dengan realitas dan fakta tak terbantahkan bahwasanya NKRI dalam keadaan gawat. Kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa saban hari makin tersekat. Degradasi sosial dan disintegrasi nasional terus menguat. Kebijakan dan perilaku aparat cenderung menampilkan banyak maksiat. Diperburuk dengan kepemimpinan yang sarat mudharat. Akankah negara ini pulih dan kembali menjadi sehat ?.

Atau mungkin juga solusi terbaik dari kekuasaan yang kian sekarat. Tidak ada kata dan pilihan lain lagi, selain harus segera tamat.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

344

Related Post