Karma

Oleh Ady Amar *)

Kata "karma" tiba-tiba menyeruak di ruang publik. Menjadi kata yang muncul bertubi-tubi di media sosial (medsos). Setidaknya sejak Senin, 22/11, semua lalu membuat simpulan atas kejadian perempuan tua yang dimaki-maki gadis muda, konon putri jenderal bintang tiga.

Setidaknya itu pengakuannya. Dan sang anak dari ibu tua tadi, dikenal sebagai anggota DPR RI, ada di sampingnya. Ia adalah Arteria Dahlan, yang terus bertanya pada wanita muda tadi, siapa nama jenderal AD bintang tiga yang dimaksudnya. Tampak diacuhkan, tidak juga dijawab.

Peristiwa itu di bandara Soekarno Hatta, dan sebenarnya cuma masalah sepele. Konon lagi, perempuan tua itu menghalangi jalannya. Maka terjadilah keributan. Videonya viral. Dan yang memviralkan kawan Arteria Dahlan sendiri, sesama anggota Komisi III, jadi viralnya video itu tampaknya memang sengaja dibuat menjadi viral. Apa maksudnya, biar ini bagian polisi untuk mengurainya.

Netizen yang melihat video dan membaca pemberitaan soal itu, menyebut sebagai "karma" yang diterima sang ibu tua tadi. Itu karena ulah sang anak, Arteria Dahlan. Peristiwa pada acara Mata Najwa (2019), muncul sikap tidak selayaknya dari Arteria Dahlan yang menghardik dengan keras Prof Emil Salim, dalam perdebatan berkenaan dengan pelemahan KPK.

Prof Emil Salim yang biasa tenang dan sejuk jika berbicara, sampai harus menggebrak meja saat ia berbicara dipotong terus menerus dengan tidak selayaknya. Telunjuk Arteria yang dibarengi intonasi bicara keras dan mata melotot ditujukan pada Prof Emil, lelaki tua yang usianya dikisaran 90 tahun. Sungguh pemandangan tidak sedap.

Publik mengingat itu dengan baik, dengan stempel di benak, bahwa anggota DPR RI ini sebagai anak muda tidak sopan dan belagu. Tidak punya santun pada yang lebih tua. Bicaranya terkesan mau menang sendiri, sehingga tidak melihat lagi lawan bicaranya siapa. Baginya yang penting menyerang dan menang. Itu setidaknya ditunjukkan Arteria Dahlan dalam perdebatan itu.

Maka, kejadian sang ibu yang diperlakukan dengan tidak semestinya di ruang publik oleh perempuan muda anak jenderal, dan itu di depan Arteria Dahlan, menjadikan publik senang. Mengingatkan publik, bahwa Arteria Dahlan juga memperlakukan Prof Emil Salim di hadapan jutaan mata yang menyaksikan acara itu dengan tidak selayaknya.

Maka, kata "karma" dipakai melabeli ulah sang anak lelaki ibu tadi, yang menabur angin pada waktu tertentu, dan menuai badai pada kesempatan lainnya. Kata karma dipakai untuk menyebut ulah sang anak pada suatu waktu, yang menampol sang ibu di waktu lainnya.

Karma itu sebenarnya konsep dalam agama Hindu, yang diserap untuk melabeli sebuah sebab akibat. Dan itu lebih dipakai pada hal-hal keburukan: jika berbuat tidak baik, maka pada suatu waktu karma akan datang dengan balasan keburukan.

Mengapa karma tidak mengena pada sang anak, mengapa justru sang ibu yang menerima perbuatan tidak mengenakkan itu. Meski sebenarnya itu juga mengena pada sang anak yang ada di sampingnya, yang tampak sikapnya justru memble, tidak meledak-ledak, melihat sang ibu diperlakukan dengan tidak semestinya. Arteria tampak ciut juga dalam penampakan di video itu. Justru perempuan muda itu yang nekat dengan menunjuk-nunjuk sang ibu, seperti yang dulu ia lakukan pada Prof Emil Salim.

Setidaknya orang lalu menyebut, itu sebagai "karma" yang muncul, tanpa ingin memperdebatkan konsep itu berasal darimana, tapi bisa jadi pembelajaran yang baik buat semuanya. Arteria Dahlan dan perempuan muda anak pak jenderal bintang tiga, yang entah siapa namanya, adalah produk manusia yang berjalan dengan nafsu amarah, yang bersandar pada kesombongan. Maka yang keluar dari mulut-mulut mereka adalah perkataan dan sikap tidak selayaknya.

Tidak sedikit pun punya rasa hormat pada yang lebih tua. Sehingga tidak perlu jari telunjuk, mata melotot dan perkataan kasar dengan intonasi tinggi diumbar, seolah itu bagian dari mempertahankan harga diri. Itulah kesombongan. Itu aji mumpung namanya. Merasa kuat karena sedang menjabat sebagai anggota dewan yang terhormat, atau mumpung jadi anak seorang jenderal. Maka lakunya suka-suka. Dan, kita rakyat kebanyakan cuma ngelus dada jika menemui kesewenang-wenangan yang sama di ruang publik.

Maka, jangan coba-coba melawan kesewenang-wenangan tanpa punya "gigi", jika tidak ingin diperlakukan dengan tidak semestinya. Pilihan sikap diam, itu tanda tahu diri, bahwa pamer kuasa itu tidak lah perlu dilawan. Jika tidak ingin dapat kalimat kasar, bahkan tidak mustahil bogem mentah mendarat di pipi.

Maka, sikap bersabar melihat arogansi oknum yang sedang berkuasa itu mesti dipunya. Melawan, di samping tidak ada manfaat, itu juga perlawanan tidak seimbang. Untuk melawan kesewenangan itu tidak harus menunggu karma, itu bagai menunggu godot, tapi membuat "barisan" mengedepankan perlawanan dengan sikap-sikap terpuji. (*)

*) Kolumnis

638

Related Post