Banser Itu Elit
Oleh Ady Amar *)
Barisan Ansor Serbaguna (Banser), sebuah badan otonom Nahdlatul Ulama dari GP Ansor, itu saat ini tidak bisa dilihat sebelah mata. Banser menjelma sebagai kekuatan yang diperhitungkan.
Tentu bukan diperhitungkan karena komandan utama Banser, Yaqut Cholil Qoumas, Ketua GP Ansor, diangkat jadi Menteri Agama RI. Meski itu sebuah pencapaian luar biasa.
Banser Ansor pada masa kini memang tampak jadi kekuatan yang diperhitungkan, seolah mampu menggoyang eksistensi HMI/KAHMI, yang sejak baheula jadi kekuatan yang diperhitungkan rezim yang berkuasa.
Banser Ansor (selanjutnya ditulis Banser) bahkan menjadi kekuatan elit yang diperebutkan, setidaknya diperlihatkan Meneg BUMN, Erick Thohir (ET), yang tiba-tiba memilih Banser sebagai sandarannya. Tidak menutup kemungkinan akan berderet lagi tokoh yang ingin jadi bagian darinya.
Tidak jelas memang mengapa ET sampai kepincut ingin menjadi bagian dari keluarga besar Banser. Setelah melalui "plonco" merayap di rerumputan. Merambat bagai buaya, dengan pakaian khas "tentara" loreng-loreng Banser, dan dengan risiko kepala kecantol kawat, meski kawat tak berduri. Ia lulus dalam perploncoan, dan resmi diangkat sebagai Anggota Kehormatan Banser.
Orang lalu gumun ada apa sebenarnya dengan ET ini, kok pilihannya jadi aneh-aneh. Sebelumnya, viral dialognya dengan penjaga ponten umum di sebuah SPBU. Videonya viral, dan menuai tanggapan netizen yang 99 persen menertawakan. Bermacam komen, satu yang nyelekit, "WC umum minta digratiskan, giliran PCR jadi ajang bisnis".
Pilihan ET pada Banser harusnya dilihat tidak sekarang, tapi jauh ke depan, itu di tahun 2024. ET mencoba peruntungannya di situ, dan itu tentang Pilpres. Setidaknya, jika ikhtiarnya kesampaian bagian dari yang berkontestasi, maka ia berharap ada sumbangan suara signifikan dari Nahdlatul Ulama, setidaknya dari GP Ansor. ET jauh-jauh hari sudah nitip diri berharap nantinya dirinyalah yang jadi pilihan kaum nahdliyin.
Jadi, pilihan ET pada Banser, meski itu hal yang belum pasti bisa mewujudkan keinginannya, tetaplah ikhtiar luar biasa yang pantas dihargai. Bagi ET tidak ada yang tidak mungkin, maka pilihannya yang sampai ia harus diplonco segala, itu langkah yang dipersiapkan jauh hari, agar pada waktunya ia tak tertinggal kereta.
Ada yang bertanya, apakah menjadi anggota kehormatan Banser itu memang cita-cita ET sejak remaja dulu, dan baru kesampaian saat ia sudah menjadi Meneg BUMN, tidak ada yang bisa menjawab, karena tidak ada keterangan yang demikian darinya. Terpenting ET sudah jadi bagian keluarga besar Banser, dan otomatis juga jadi bagian nahdliyin.
Di sini yang elit memang Banser, menjadi Ormas yang diperebutkan. Sedang ET cuma manusia biasa saja, yang secara kebetulan menjabat sebagai menteri, maka ia diberi atau dilabeli sebagai anggota kehormatan Banser. Meski ET harus tetap tunduk pada statuta Banser, yang itu diatur sebagai landasan operasionalnya.
Banser Ansor yang di era Orde Baru termarginalkan keberadaannya, saat ini jadi sebaliknya. Menjadi tentara sipil bergengsi, dan yang akrab bersinergi dengan rezim. Langkah Banser menjadi mudah dan tampak disokong kekuasaan. Banser ada dalam pusaran kekuasaan dan menikmatinya.
Pantaslah jika Banser menjadi kekuatan yang diperhitungkan, setidaknya ET sebagai jawabannya. Ia tengah berharap pada Banser. Harapan yang tentu punya nilai, yang pada waktunya ingin ditagihnya.
ET berharap mendapat balasan setimpal yang tentu sesuai dengan pengorbanan yang diberikan. Memang tidak ada makan siang yang gratis, soal itu pastilah ET memahaminya. (*)
*) Kolumnis