Putusan MK Soal Omnibus Law Pantas Dicurigai, Ada Agenda Lain?
By Asyari Usman
Tiba-tiba saja Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi berani melawan. Mereka nyatakan UU Cipta Kerja alias Omnibus Law (OBL) bertentangan dengan UUD 1945. Dinyatakan inkonstitusional. Tidak sah.
MK sekarang bagaikan pindah ke kubu oposisi. Ada apa? Mengapa MK sekarang sejalan dengan suara rakyat yang sejak awal menentang OBL?
Apakah iya MK berani? Tunggu dulu. Jangan buru-buru menganggap MK berani. Boleh jadi ada agenda lain di balik putusan “heroik” MK itu.
Putusan ini perlu dilihat dengan cermat. Sebab, pernyataan bahwa UU Cipta Kerja itu tidak sah, ternyata tidak langsung menguburkan UU ini. Ada syaratnya. Dan syaratnya itu masih memberikan harapan hidup bagi UU yang kontroversial tsb.
MK memberikan waktu dua (2) tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki UU ini supaya bisa menjadi konstitusional. Artinya, apa yang dinyatakan tidak sah hari ini bisa menjadi sah dua tahun mendatang.
Putusan ini bisa menjadi preseden atau yurisprudensi yang berbahaya. Misalnya begini. Seseorang melancarkan kudeta. Tentu tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945. Inkonstitusional. Tapi, bisa menjadi konstitusional.
Begini penjelasannya. Setelah pemerintahan kudeta berjalan setahun atau dua tahun, misalnya, MK bersidang berdasarkan gugatan. Putusannya menyatakan bahwa pemerintah kudeta itu inkonstitusional. Tidak sah. Namun, MK memberikan waktu dua tahun untuk memperbaiki kinerja pemerintah yang tak sah itu. Kalau baik, maka kudeta menjadi konstitusional. Menjadi sah. Kalau tidak baik, maka pemerintah kudeta menjadi inkonstitusional permanen. Definisi “baik” dan “tidak baik” itu tentu saja sesuai penilaian MK sendiri.
Bukankah ini sangat berbahaya? Tentulah sangat, sangat berbahaya bagi kehidupan bernegara. Putusan “bersyarat” yang dikeluarkan MK untuk OBL ini wajar dicurigai dan harus diwaspadai.
Mengapa? Karena itu tadi. Putusan ini bisa menimbulkan implikasi yang jauh ke depan. Bisa dijadikan alasan untuk melegalkan tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi.
Contoh lain adalah perpanjangan masa jabatan presiden atau DPR di luar ketentuan UUD 1945. Dalam hal ini, DPR dan DPD misalnya mengumumkan sidang khusus MPR untuk mengesahkan perpanjangan masa jabatan dimaksud. Tindakan ini inkonstitusional tetapi bisa dibalikkan menjadi konstitusional.
Misalnya saja, setelah masa jabatan perpanjangan itu berjalan dua tahun atau tiga tahun, MK menggelar sidang berdasarkan gugatan. Mahkamah kemudian membuat putusan bersyarat. Mereka nyatakan bahwa perpanjangan itu bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) tetapi diberi waktu dua tahun untuk melaksanakan pilpres dan pileg.
Semua senang mendapat perpanjangan lima tahun. Dan sah! Tindakan ini semula melanggar UUD tetapi dilegalkan oleh putusan MK.
Contoh lain lagi yang tak masuk akal, bisa terjadi. Sebab, putusan bersyarat MK tentang OBL menyediakan yurisprudensinya. Katakanlah Presiden Jokowi tiba-tiba memberhentikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kemudian dia angkat Ganjar Pranowo sebagai gantinya.
Tindakan ini jelas bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi, semua itu bisa menjadi konstitusional lewat putusan MK di masa depan. Ada presedennya, ada yurisprudensinya. Apalagi, para hakim MK yang ada saat ini rata-rata masih akan duduk lebih dari lima tahun mendatang.
Sekali lagi, hari ini MK kelihatan seolah berani melawan, tapi boleh jadi ada tujuan lain yang lebih besar.[]
(Penulis wartawan senior FNN)