OPINI

Dudung Merundung

Oleh Ady Amar *) PEKAN ini adalah pekannya Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman. Apa yang disampaikannya dalam kunjungan kerja di Batalyon Zoni Tempur 9 Lang-Lang Bhuana Kostrad, di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, (Senin, 13 September), itu menimbulkan kontroversi. Mengalahkan berita-berita lain yang muncul sepekan ini. Geger beritanya bahkan mengalahkan berita pesawat Rimbun Air, yang jatuh di Intan Jaya. Kontroversi ucapannya, "Semua agama benar di mata Tuhan," menimbulkan tanggapan bertubi di tengah masyarakat, terutama tanggapan dari kalangan ulama. Beberapa pengurus teras MUI pun mengomentari pernyataan Letjen Dudung itu. KH Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI merespons dengan nasihat, agar Letjen Dudung Abdurachman minta maaf atas pernyataannya yang menyebut semua agama itu benar di mata Tuhan. Jelasnya, "Pernyataan semua agama itu benar, itu sesat dan menyesatkan", Rabu (15/9). Bukannya mendengar nasihat itu, justru sehari kemudian Letjen Dudung perlu membuat klarifikasi atas pernyataannya yang sampai menimbulkan geger itu. Motifnya tentu membela diri, meyakini bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Katanya, "Pernyataannya bahwa semua agama adalah benar di mata Tuhan, karena dia sebagai Pangkostrad perlu menyatakan semua agama benar saat berbicara di hadapan prajuritnya. Sebab, prajuritnya berasal dari berbagai pemeluk agama." "Saya ini Panglima Kostrad, bukan ulama. Jika ulama mengatakan bahwa semua agama itu benar, berarti dia ulama yang salah," ujarnya penuh yakin dalam keterangan persnya, Kamis (16/9). Dudung jelas mengatakan, bahwa sebagai petinggi militer dia berhak bicara pada prajuritnya, bahwa semua agama benar di mata Tuhan, itu karena dia bukan ulama. Tanpa sadar sebenarnya ia menjelaskan, entah disadarinya atau tidak, bahwa ia penganut relativisme kognitif, dimana tidak ada kebenaran mutlak dan universal dalam pandangan manusia, dan itu tentang apa saja. Ia seolah menolak absolutisme, lawan dari relativisme, yang meyakini bahwa harus ada kebenaran dan kebaikan tunggal dan objektif. Pilihannya hanya dua: benar mutlak atau salah mutlak. Dalam absolutisme, tidak boleh ada yang setengah-setengah, setengah benar atau setengah salah. Meyakini agamanya paling benar, itu absolutisme. Tentu itu bukan bentuk intoleran. Karenanya, bukan pula hanya monopoli ulama, semua insan harus meyakini bahwa agamanya itu benar absolut. Meski tidak patut diteriakkan pada pemeluk agama lain dengan pongah. Pun non-Islam juga meyakini, bahwa agama yang dipeluknya yang paling benar. Sikap yang ingin dibangun Letjen Dudung di hadapan prajuritnya, hingga keluar ungkapan "semua agama itu benar di mata Tuhan", dimaksudkan bagian dari toleransi. Padahal toleransi tidak keluar dari batasnya, yaitu (hanya) saling menghargai, bukan menggugurkan keyakinan absolut yang mesti dipunyai pemeluk agama. Letjen Dudung memang bukan ulama, itu pasti. Tapi tidak harus jadi ulama seorang (muslim) memahami batasan toleransi itu. Menyenangkan prajurit yang beragam agama/keyakinan, itu tidak harus sampai menggerus keyakinan, bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang paling benar. Keyakinan (akidah), pastilah bukan monopoli ulama. Pluralisme Merundung Ucapan Letjen Dudung sungguh merundung, dalam makna mengganggu. Ucapan kontroversialnya itu mengganggu, dan jika disadarinya, itu menelisihi agama yang dipeluknya. Bagaimana bisa dikatakan agama yang dipeluknya sama dengan agama lainnya, dan itu hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam dalam beragama. Pernyataan Letjen Dudung diawali dengan pesannya, "Agar prajurit TNI menghindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama..." Lalu dilanjut, karena semua agama itu benar di mata Tuhan." Fanatik terhadap agama itu justru anjuran. Tentu bukan fanatik buta. Jika tidak fanatik, apa beragama harus kurang lebih, begitu... Atau jika fanatik pada agamanya, apa itu bisa menciptakan kekerasan, lalu hilang sikap toleran pada agama lain. Tentu tidak demikian. Justru sebaliknya yang didapat. Fanatik janganlah dimaknai sempit, lalu jadi negatif. Ini yang menjadikan merundung. Letjen Dudung dengan pernyataannya, itu jelas pluralisme agama, sebuah paham yang mengatakan bahwa semua agama itu benar di mata Tuhan. Pluralisme menjelma menjadi agama baru, agama gado-gado sesembahan liberalis. Karenanya, Islam menolak pluralisme itu. Tidak Islam saja yang menolaknya, bahkan Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk , jelas menolak dengan keras pluralisme agama itu. Mestinya semua agama menolaknya. Mana mungkin atas nama toleransi, satu agama mengakui agama lainnya hanya karena toleransi. Ini bisa merundung, dalam konteks Letjen Dudung Abdurachman, akan menghancurkan bangunan agama yang sudah kokoh hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam agamanya. (*) *) Kolumnis

Krisdayanti Menyingkap Kebenaran Publik

Oleh: Yusuf Blegur SEKETIKA kepolosan Krisdayanti di channel video Akbar Faisal mengundang beragam respon. Pemaparan Krisdayanti yang tak ubahnya nyanyian politik itu secara spontan mengungkap isi jeroan parlemen dan para politisi kontrak penghuninya. Termasuk bagaimana uang beredar yang formal dan non-formal menyokong kerja-kerja legislasi, pengawasan pemerintah, dan menyuarakan aspirasi rakyat. Meski samar-samar rakyat telah mengetahui status dan peran anggota DPR RI, celoteh artis cantik yang pernah menjadi diva musik Indonesia itu, semakin menegaskan betapa pekerja parlemen itu berlimpah fasilitas. Termasuk berhamburan uang rakyat yang menggaji politisi Senayan yang juga petugas partai politik. Sebagai orang dalam, KD panggilan Krisdayanti yang berasal dari daerah pemilihan Malang, Jawa Timur, saat berdialog dengan Akbar Faisal terasa santai mengungkap sisi dalam dan pernak-pernik lembaga politik beserta perangai personalnya. KD seperti menjadi "insider" di sebuah perusahaan yang sedang membuat pengakuan membongkar kejahatan perusahaannya sendiri di hadapan publik. Pelbagai previlage, kemudahan, dan pelayanan prioritas yang dimiliki anggota DPR RI terlontar tanpa sensor. Krisdayanti terlihat nyaman dan menikmati saat mengupas sisi under cover DPR RI. Senyaman dan sesantai KD saat tampil di panggung konser musik. Menariknya, KD begitu gamblang blejetin angka demi angka uang negara dalam parlemen yang kantornya pernah diduduki ratusan ribu mahasiswa saat dianggap tak berfungsi sebelum pecah reformasi. Nominal yang sangat besar dan menggiurkan untuk ukuran kerja politik seadanya yang dituntut hasil maksimal oleh rakyat. Apalagi kemewahan hidup anggota DPR itu seiring sejalan dengan kesengsaraan hidup rakyat di tengah pandemi. Bisa ditebak, pro dan kontra menyeruak merespons pengakuan panas KD. Sikap dan pandangan kontra sudah bisa dipastikan berasal dari kalangan atau kolega parlemen sendiri dan partai politik yang menjadi induk semangnya. Partai politik dan perpanjangan tangannya di Senayan, merasa seperti ketahuan belangnya. Seperti merasa dibeberkan kenyataan-kenyataan minor yang sebenarnya, dari lembaga dan orang-orang yang diberi gelar terhormat dan mewakili rakyat. Sementara di lain sisi, respons positif datang dari publik atas penampilan dan argumentasi politik KD. Cantik, cukup cerdas, kaya raya, dan polos membeberkan fakta seputar anggota legislatif pusat itu. Kontan mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat. KD seperti oase di tengah gurun pasir. Memberi kesejukan dan keteduhan di tengah gersangnya imej DPR RI selama ini. Besar Pasak dari padaTiang Jika melihat dan mendengar langsung narasi gamblang Krisdayanti soal anggota legislatif di tingkat pusat, ada beberapa poin penting yang bisa menjadi ajang refleksi dan evaluasi kinerja punggawa DPR RI itu. Berikut yang paling mendasar terkait fasilitas yang ada dan kinerja yang dihasilkan. 1. Dengan gaji dan fasilitas yang cukup besar peran anggota DPR RI dirasakan belum memuaskan. Pencapaian kinerja masih dianggap jauh dari maksimal. Baik dari produk legislasi yang dihasilkan, fungsi kontrol dan pengawasan pemerintahan terkait kebijakan politik dan anggaran, maupun pendampingan dan advokasi permasalahan rakyat. Penilaian itu sulit dibantah mengingat, sejauh ini banyak kasus yang berkolerasi dengan lemahnya kinerja anggota DPR RI. Dari sekian banyak persoalan, sebut saja beberapa diantaranya. Semisal polemik UU HIP dan Minerba. DPR RI terkesan mengabaikan suara dan aspirasi rakyat. Begitu juga yang aktual soal pandemi. Selain kisruhnya uu kesehatan termasuk soal karantina dan prokes. DPR RI bersama pemerintah gagal menyelamatkan kepentingan rakyat. Penanganan yang berlarut-larut hanya menimbulkan kemerosatan ekonomi, kekacauan politik, dan korban nyawa rakyat. 2. Anggota DPR RI bersama partai politiknya telah menjadi bagian dari oligarki yang dibangun dan bersumber dari borjuasi korporasi besar. Meraka pada akhirnya menjadi 'patron klein' dari pemilik modal dan mafia yang selama ini menggunakan jubah pengusaha kakap. Praktis keadaan itu membuat performa DPR RI jauh dari kata berkualitas dan memiliki integritas. Bahkan sejak dari menjadi calon legislatif yang transaksional dan kapitalistik hingga kinerja yang asal-asalan dan suara-suara mereka di parlemen yang mudah dibeli dan mengangkangi aspirasi rakyat. Wajar saja, jika pada akhirnya rakyat sangat apriori dan skeptis terhadap keberadaan dan eksistensi DPR RI. Rakyat akhirnya lebih suka mencari saluran alternatif dan membuka sumbatan-sumbatan aspirasi yang mampu mewakili mereka. Demokrasi jalanan akhirnya menjadi pilihan dan dipakai rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Menyuarakan kebenaran dan keadilan melalui media sosial dan kreatifitas lainnya seperti mural, spanduk, gerakan tutup kuping dsb. 3. Kemandulan DPR RI ini bukan semata menjadi indikator kegagalan peran dan fungsi insitusi politik yang vital dan strategis tersebut. Lebih dari itu telah terjadi pergeseran makna dan hakekatnya. Bahwasanya menjadi anggota DPR RI dan jenjang di bawahya bukan lagi sebagai tugas kenegaraan dalam mewakili dan mengemban amanat penderitaan rakyat. Kini lembaga politik itu telah cenderung menjadi orientasi dan kumpulan orang-orang oportunis yang mengejar ekonomi dan status sosial. Jabatan anggota DPR RI yang melekat pada dirinya, tak ubahnya seperti jabatan karir ekonomi dan profesi semata. Kondisi yang demikian diperparah dan semakin hancur dengan perilaku maksiat seperti korupsi, kebohongan publik dll. Oleh karena itu harapan besar rakyat terhadap kinerja DPR RI dalam memperjuangkan rakyat seperti menjadi uthopis. Rakyat seperti merasa dikhianati dan terus-menerus menjadi korban politik dari kekuasaan. Baik dari institusi pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Krisdayanti untuk sesaat telah mewakili suara rakyat. Mengungkap pengkhianatan politisi pada rakyat. Sebagai bagian dari kumpulan pelaku-pelaku politik dan pemangku kebijakan di Senayan. Krisdayanti juga vulgar menyampaikan perselingkuhan aspirasi anggota dewan yang terhormat. Tetap cantik, bersuara indah dan polos untuk sang Diva. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Moeldoko dan Semburan Fitnah

By M Rizal Fadillah MOELDOKO saat berkunjung ke Pesantren Lirboyo Kediri Jawa timur menyebutkan bahwa "faham radikal sudah menyusup di tengah-tengah masyarakat dan lembaga pendidikan. Ini harus kita waspadai karena gerakannya sistematis dan terstruktur". Perlu klarifikasi ucapan Kepala KSP ini. Sepanjang hal itu bias dan hanya melempar isu saja, maka Moeldoko telah melakukan semburan fitnah. Semburan fitnah atau konteks politiknya adalah "firehose of falsehood" berasal dari doktrin Pemerintah Rusia. Operasi ini digunakan Rusia tahun 2012-2017 dalam krisis Crimea, konflik Ukraina, dan perang sipil Suriah. Semburan fitnah dilakukan untuk melemahkan perjuangan lawan dengan melakukan kebohongan untuk memecah belah. Ketika timbul ketidakpercayaan sesamanya maka kelemahan itu segera dimanfaatkan. Serangan masif kepada umat Islam dan institusi keagamaan tentang radikalisme, intoleransi ataupun terorisme jelas membahayakan dan menciptakan iklim yang tidak kondusif. Negara dan para pejabat negara yang terus menyemburkan fitnah adalah pelaku kejahatan sistematis dan terstruktur. Betapa keji tuduhan yang dilakukan tanpa adanya pembuktian. Negara sebenarnya memiliki perangkat lengkap untuk melakukan tindakan nyata atas sesuatu yang dinilai mengancam. Bukan melempar-lempar isu yang tidak jelas. Apalagi menyasar kepada lembaga pendidikan keagamaan seperti Pesantren. Nah, agar pemerintah atau negara tidak menjadi institusi penyembur fitnah, maka: pertama, jelaskan makna atau batasan radikal itu agar menjadi tidak bias dan berbenturan dengan keyakinan atau keimanan. Sepakati batasan tersebut dengan tingkat obyektivitas tinggi. Jangan radikalisme itu dimaknai semata berdasarkan faham atau persepsi subyektif dari Pemerintah. Kedua, segera buktikan lembaga pendidikan mana yang telah tersusupi beserta langkah yang telah diambil dalam rangka pencegahan atau tindakan terhadap lembaga pendidikan yang telah tersusupi oleh paham radikalisme tersebut. Ketiga, membuat takut masyarakat dan lembaga pendidikan atas kemungkinan terjadinya penyusupan paham radikal justru merupakan radikalisme itu sendiri. Negara tidak boleh menjadi teroris. Teror bukan bagian dari pendidikan politik rakyat yang sehat. Paham radikal menurut Moeldoko masuk ke lembaga pendidikan itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Moeldoko harus mempu menjelaskan bagaimana gerakan radikal yang tersistematis dan terstruktur itu. Adakah gerakan tersebut bersifat original atau artifisial? Sebelumnya pengamat intelijen Susaningtyas Nefo juga dikualifikasi menyemburkan fitnah tentang ciri-ciri teroris yang di samping belajar dan menggunakan bahasa Arab, juga berada di madrasah-madrasah yang berkiblat pada Thaliban. Nefo sendiri tidak bisa menampilkan mana madrasah-madrasah yang berkiblat pada Thaliban tersebut. Moeldoko harus membuktikan tuduhannya. Tanpa hal itu maka ia telah menyebarkan fitnah dan melakukan teror psikologis kepada umat Islam. Moeldoko lupa bahwa dirinya justru pernah melakukan gerakan radikal dengan mencoba melakukan kudeta kepemimpinan partai melalui kongres abal abal. Muldoko adalah seorang radikalis dan Istana telah tersusupi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Arah Demokrasi Terpimpin

By M Rizal Fadillah DEMOKRASI Terpimpin adalah sistem demokrasi di masa Pemerintahan Orde Lama pimpinan Soekarno pasca 1959 hingga keruntuhan 1966. Melalui jembatan kudeta PKI bulan September 1965 Pemerintahan Soekarno berakhir. PKI menjadi anak emas rezim yang menunggangi sistem Demokrasi Terpimpin tersebut. Ideologi tetap Pancasila akan tetapi Pancasila itu telah diinterpretasi dan dijalankan dalam versi kewenangan dan kesewenang-wenangannya sendiri. Pemerintahan Jokowi pun saat ini masih mengandalkan Pancasila. Bahkan ada lembaga Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) segala. Tapi mudah disimpulkan bahwa Pemerintahan Jokowi bergaya dan mengarah pada pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin. Jika dahulu Soekarno berangkat dari karisma dan otoritas dirinya sebagai "Bapak Revolusi" kini Jokowi mengandalkan kekuatan oligarkhi yang mengitarinya. Rezim investasi "Bapak Infrastruktur". Jokowi yang "dikawal" Megawati Soekarno puteri sejak terpilih untuk keduakalinya mulai menjalankan pola Demokrasi Terpimpin yang diawali dengan penghancuran KPK, pembungkaman oposisi, serta politisasi pandemi. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas saat berdiskusi soal pelumpuhan KPK menyatakan bahwa Presiden Jokowi itu dikelilingi dan berpola pada sistem dinasti oligarkhi berbasis keluarga dan taipan hitam. Keberadaan buzzer ternyata menambah kumuh kubangan oligarkhi. Dalam rangka mengukuhkan kepatuhan semua diarahkan pada kebijakan yang memusat. Kedaulatan rakyat telah diambil habis oleh Partai Politik. DPR menjadi mitra oligarkhi sekaligus pendukung arah dari sistem Demokrasi Terpimpin tersebut. Ketua Dewan Pengarah BPIP adalah Megawati Soekarnoputri. Disiapkan aturan UU dalam Prolegnas 2021. Kegagalan RUU HIP oleh penentangan keras rakyat ternyata tidak mematahkan keinginan untuk tetap mengendalikan ideologi secara terpimpin. Bahkan kini dicanangkan implementasi berupa Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). PPHN telah dicanangkan PDIP sejak Kongres V PDIP di Bali yang dimaksudkan sebagai "GBHN" untuk menggabungkan pola perencanaan pembangunan Orde Lama dan Orde Baru. Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mewakili PDIP menyatakan "usul kami mengkombinasikan konsep pembangunan nasional yang dilakukan pada era Presiden Soekarno dan juga GBHN pola era Presiden Soeharto". Ia menegaskan bahwa konsep Orde Lama adalah Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). PNSB yang sandarannya Manipol/Usdek menjadi landasan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Penggabungan antara GBHN dan PNSB konsepnya bisa dibuat oleh Bappenas dan Badan Riset Nasional yang akan dibentuk. Ternyata itu adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Megawati Soekarnoputeri Ketum PDIP menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Akademisi mengkritisi lembaga ilmiah yang dikendalikan oleh politisi. Dewan Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P Wiratraman menyatakan prihatin akan sains yang berada di bawah kekuasaan politik "lembaga riset semestinya untuk memperkuat dan mengutamakan sains". Luar biasa, Ketua Dewan Pengarah dua lembaga strategis yaitu BPIP dan BRIN dijabat oleh satu orang yang sama yaitu Megawati. Ini sinyal dari penguatan Demokrasi Terpimpin. Jokowi bersama taipan dan buzzer, Luhut bersama RRC, dan Megawati bersama partai koalisi menjadi pilar kekuasaan. Didukung oleh Kepolisian dan akhir-akhir ini TNI yang tidak semakin netral. Inilah wajah pimpinan Demokrasi kontemporer. BRIN akan menjadi "think tank" Pemerintahan Jokowi dengan Ketua Dewan Pengarah Megawati yang memiliki kewenangan besar. Bukan kolektif kolegial melainkan dominan otoritas Ketua. Perpres No 78 tahun 2021 memberi kewenangan luar biasa kepada Megawati dari mulai mengevaluasi, memberi rekomendasi, persetujuan, hingga membentuk Satgas Khusus. Diberi hak pula mengangkat empat staf khusus. Jika wacana tentang perpanjangan masa jabatan Jokowi benar terjadi. Maka Demokrasi Terpimpin bukan arah lagi melainkan kenyataan. Perulangan sejarah. Orde Baru dan Orde Lama memang bergabung. Rakyat di samping menderita oleh banyak paksaan politik, akan tetapi sebenarnya senang juga karena kondisi ini merupakan pertanda bahwa Pemerintahan Jokowi akan semakin cepat berakhir. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Teror Eskavator, Perlawanan dari Sentul

Oleh Ady Amar *) ESKAVATOR, setidaknya tampak dua unit, nongkrong tidak lebih 50 meter dari tempat tinggal Rocky Gerung. Somasi 7×24 jam dari pengembang PT Sentul City, Tbk (SC) untuk mengosongkan rumah yang ditinggalinya sejak 2009, yang ia beli dari pemilik sebelumnya, itu tidak menyiutkan nyalinya. RG masih bisa terima kawan-kawan yang berempati padanya, masih bisa tertawa-tawa lepas dengan canda cerdasnya. Seolah teror eskavator dari SC itu cuma hal kecil saja, seperti nyamuk yang mengiang di telinga saat menjelang tidur. Itu bukan sesuatu yang menakutkan buatnya. Eskavator yang dikirim SC buatnya itu hal kecil yang tidak akan sampai mengganggu waktunya untuk tetap bersikap kritis. Kenekatan SC melawan RG itu memang mencengangkan. Tentu orang lalu menganggap, nekatnya itu pasti tidak berdiri sendiri, pasti punya backing orang super kuat di belakangnya. Tanpa itu mustahil teror eskavator itu berani dilakukan. Memakai teror eskavator pada RG itu bukanlah langkah tepat. Tidak semua bisa diperlakukan dengan "semena-mena", menggusur hanya berdasar status tanah yang diada-adakan. RG berujar, ini bukan hanya masalahnya saja, tapi juga masalah 90 KK (6.000 orang), yang juga akan digusur, padahal di antara mereka ada yang sudah menempati tanah itu sejak tahun '60-an. Lanjutnya, jika hanya ia sendiri yang digusur tidak masalah, tapi tidak pada 90 KK/6.000 orang tadi yang harus digusur. Jika RG yang digusur, buatnya itu tidak masalah. Pastilah ia tidak sampai harus terlunta-lunta seperti orang kebanyakan yang tidak punya kekuatan tawar. Subhanallah muncul banyak tawaran rumah buatnya, dari banyak pihak, bahkan dari orang yang tidak dikenalnya. Konon sudah ada 37 tawaran rumah untuk ditempatinya, sesukanya tanpa batas waktu, dan 4 apartemen mewah. Bagaimana dengan 90 KK/6.000 orang itu jika harus digusur, semacam penggusuran di tempat-tempat lain oleh para pengembang besar, yang mudah mendapatkan izin penggunaan tanah melawan orang kecil yang mendiami tanah tanpa secarik kertas Hak Guna Bangunan (HGB). Menempati tanah warisan berpuluh tahun lalu itu tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan hukum yang didapat para pengembang dengan begitu mudahnya. Kali ini SC menemui lawan berat. Lawan tidak main-main, yang gemanya tidak cuma di Bojong Koneng, kawasan Sentul, tapi menyeruak tidak saja di tingkat nasional, tapi akan tersiar ke manca negara. Dan semua akan melihatnya tidak semata masalah hak atas sebidang tanah, tapi sifatnya lebih pada politik. Kasus RG ini bisa membuka kotak pandora persoalan tanah berjuta hektar yang hanya dikuasai segelintir orang. Bahkan ada satu pengusaha menguasai tanah perkebunan sampai 5,2 juta hektar. Apa gak koplak ini. Sedang lebih dari seratus juta warga tidak memiliki tanah meski hanya belasan meter persegi saja. Kasus RG versus SC, sepertinya sudah diatur Tuhan untuk mengoreksi ketidakadilan berkenaan dengan kepemilikan tanah. Jika eskavator benar-benar nekat bergerak meratakan rumah yang didiami RG itu, dan tentu yang didiami 90 KK/6.000 warga yang ada di sekitarnya. Sungguh miris melihat rumah sederhana, yang di dalamnya mengoleksi beribu buku, dan hutan kecil hasil reservasi selama bertahun, dengan berbagai pohon terutama pinus yang menjulang tinggi menggapai langit, anggrek dan lainnya, burung-burung dan makhluk hidup lain yang hidup di sana bersamanya. Termasuk monyet-monyet liar yang datang dari sekitarnya, yang dijamunya dengan hidangan pisang. Setiap 2 hari sekali 2 tandan pisang digantungnya untuk konsumsi monyet-monyet itu. Dengan akan diratakannya dengan tanah, jika SC tetap nekat, maka semua makhluk hidup di sana akan musnah, terutama pohon-pohon dan bunga yang ditanamnya. Perlawanan dari Sentul Tanah yang dikuasai RG itu cuma 800 meter persegi. Rumahnya kecil saja, hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur, sedang lainnya ia konservasi layaknya hutan kecil. Dan itu untuk menghindari longsor, karena posisinya di lereng yang punya tingkat kemiringan cukup ekstrem. Tanah yang terbilang kecil itu, diklaim SC sebagai tanah miliknya. Itu berdasar sertifikat HGB yang dimilikinya. Tidak persis tahu sertifikat HGB itu keluar tahun berapa, yang itu sudah dianggap mampu menggusur tanah rakyat yang didiami puluhan tahun. Kasus RG versus SC ini menjadi menarik, karena mampu mengungkap persoalan tanah yang cuma dikuasai beberapa gelintir taipan. Adalah Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengungkap bahwa 68 persen tanah Indonesia dikuasai perorangan dan kelompok pengusaha. Angka itu memperlihatkan ketimpangan penguasaan lahan terburuk sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 5/90 disahkan. "Saat ini indeks ketimpangan penguasaan tanah sudah mencapai ketimpangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kita, 1 persen pengusaha atau badan usaha menguasai 68 persen aset tanah nasional," ujar Dewi. Dan katanya pula, KPA mencatat, bahwa konflik Agraria meningkat tajam di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tercatat, ada 2.291 konflik Agraria, selama 2015, hampir dua kali lipat dibandingkan 10 tahun era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebanyak 1.770. Perlu diingat, jabatan Presiden Jokowi, pada periode ke-2 nya baru berjalan dua tahun. Tersisa tiga tahun lagi, yang bisa jadi konflik yang terjadi jumlahnya akan bertambah. Akankah perseteruan RG versus SC akan berkepanjangan, yang itu tidak mustahil akan memantik perlawanan dengan eskalasi yang lebih besar, yang itu dimulai dari Sentul. Masalah RG bisa menjadi perlawanan rakyat, menunggu momentum yang pas. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dirasakan rakyat, itu jalan masuk untuk membersamai RG dan 90 KK/6.000 orang untuk membela haknya... Wallahu a'lam. (*) *) Kolumnis

Memburu Tahta dan Harta Seraya Mengubur Aqidah

Oleh: Yusuf Blegur Ini bukan menyoal politik identitas. Ini juga bukan tentang intoleransi. Gonjang-ganjing republik tidak hanya memapar kehidupan rakyat pada ekonomi dan politik. Seiring terdegradasinya kebhinnekaan dan kemajemukan, umat muslim juga paling kentara terdampak kecenderungan deislamisasi. Bukan hanya pelecehan ulama dan penistaan agama, upaya mendowngrade umat Islam semakin marak dengan pendangkalan aqidah dan pemurtadan. Lebih memilukan lagi, fenonena yang dibingkai melalui politik sekulerisasi dan liberalisasi itu, semata-mata berorientasi hanya karena tahta dan harta. Termasuk oleh segelintir politisi dan ulama yang mengaku dan berlabel muslim. Merendahkan, menista dan mengolok-olok ulama serta agama, seperti menjadi keharusan dan syarat bagi para buzzer, politisi dan birokrat untuk sekedar diterima dan menjadi bagian dari lingkar utama kekuasaan. Sebelum lebih jauh mengulik hal tersebut, ada baiknya buat semua berpegang pada dalil sebagaimana yang tertuang dalam Al Quran. QS. At-Taubah Ayat 65 وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Kemudian dilanjutkan dengan, QS. At-Taubah Ayat 66 لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ ۗ اِنْ نَّعْفُ عَنْ طَاۤىِٕفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَاۤىِٕفَةً ۢ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا مُجْرِمِيْنَ "Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa". Belakangan ini umat Islam di Indonesia, mengalami kemunduran dan termarginalkan dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa. Positioning politik yang sedemikian itu memang bukan hal baru bagi entitas keagamaan yang paling mulia dalam peradaban manusia. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan hingga tercetusnya proklamasi yang menandai kelahiran NKRI. Mengarungi bahtera kehidupan dan perjalanan bangsa hingga saat ini. Islam terhempas dari panggung politik negara. Realitas itu menjadi perspektif nilai dan tradisi yang dijaga pemerintahan berkuasa selama ini yang menganut sistem politik memisah relasi agama dan negara. Alhasil, sebagai mayoritas pemeluk agama di republik, Umat Islam ditelan sekulerisme dan liberalisme. Pemimpin dan Pejabat Terpapar Pandemi WAHN Dinamika kekuasaan dalam penyelenggaran negara, bukan saja menyuguhkan pemerintahan yang tidak berpijak pada landasan agama. Birokrasi juga lepas kendali memanifestasikan praktek-praktek Machiavellis, diktator dan otoriterian. Bahkan untuk sekedar vaksinasi saat pemerintah sampai mengeluarkan perpres dengan sanksi denda dan penghentian layanan administrasi dan bantuan sosial. Boleh jadi menjadi sanksi pidana, seperti sebelumnya pada pelanggaran prokes.. Apalagi dalam hal peribadatan. Shalat di masjid disekat dan dibatasi dengan alasan prokes. Serta tidak sedikit orang bermotif gila menganiaya Imam masjid. Begitulah hal yang sederhana tapi menunjukan kekuasaan rezim yang radikalis dan fundamentalis terhadap umat Islam. Para pemimpin dan pejabat pemerintahan yang notabene muslim pun, sengaja membiarkan represi terhadap umat Islam bahkan ikut mereduksi nilai Islam. Masih segar dalam ingatan umat Islam pernyataan seorang pemimpin salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang dianggap sering mengolok-olok, menyudutkan dan mendiskreditkan umat Islam. Umat Islam juga belum melupakan pernyataan seorang menteri agama yang tidak ingin berkembangnya populisme Islam. Begitu juga yang baru saja terjadi pada seorang pejabat militer. Entah disadari atau tidak. Entah karena kejahiliyahannya, entak memang tak peduli dan masa bodoh. Secara serampangan Jenderal penurun baliho ulama itu, mengeluarkan statemen serampangan soal agama. Semua itu jelas dan nyata bahwa pendangkalan aqidah dan pemurtadan, tidak hanya bisa terjadi pada orang awam saja, melainkan juga pada orang terdidik dan terhormat. Memang menjadi wajar ketika sistem politik dan pemerintahan yang sekuler, performensnya tidak saja menghasilkan kegagalan berkelanjutan menciptakan kesejahteraan dan keadilan rakyat. Melainkan para penguasa itu mengidap satu penyakit yang sangat sulit disembuhkan. Berupa penyakit hati yang kering iman dan hidayah. Penyakit hitamnya nurani dan kegelapan spiritual. Apa yang disebut oleh Islam sebagai penyakit WAHN. Hidupnya dirasuki kecintaan pada dunia dan takut mati. Mengejar harta duniawi tanpa henti dan takut meninggalkan kenikmatan hidup karena kematian. Mengejar harta dan jabatan berlebihan, sementara nilai-nilai Islam dinegasikan. Ditempatkan sebagai penghalang hawa nafsu mereka. Dari Tertindas Menuju Kebangkitan Umat Islam Bagi umat muslim ada kalam Ilahi yang tegas yang merujuk pada keteguhan memegang dinnul Islam. Diantaranya, Allah Azza wa Jalla berfirman: إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]. Allah Azza wa Jalla berfirman: أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ “Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada dilangit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya-lah mereka dikembalikan ?” [Ali ‘Imran: 83]. Allah Azza wa Jalla juga berfirman: وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: َاْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى. “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya. Oleh karena itu, sungguh menjadi kebodohan dan kerugian bagi orang siapapun dia yang merendahkan dan menistakan agama Islam. Hanya Islam yang mampu mengatur segala kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya secara sempurna. Kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta'Ala telah ditunjukan dengan keberadaan langit dan bumi beserta hamparannya yang luas. Islam dengan Al Quran diturunkan menjadi petunjuk dan pembeda pada yang hak dan batil. Begitu Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam yang sesungguhnya bertugas untuk memperbaiki akhlak manusia. Hingga para ulama yang menjadi Warisatul Anbiya yang memelihara Al Quran dan Sunah untuk generasi selanjutnya. Merupakan tuntunan yang memberikan jalan keselamatan kehidupan dunia dan akherat. Bukan semua itu nyata bagi orang-orang yang menggunakan akal pikirannya?. Betapapun keadaan umat Islam sekarang ini seperti buih ditengah lautan. Tidak sedikit tapi terombang-ambing dan lenyap dipermainkan gelombang. Sejatinya Islam akan tetap tegak dan meraih kejayaannya seperti pada zaman kekhalifahan. Bagaimanapun politik dan sistem yang jahat berusaha keras dan dengan segala cara memisahkan umat dari Islam. In syaa Allah. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Mendamba Independensi Jurnalisme

Oleh: Yusuf Blegur Sontak, Gardu Banteng Marhaen yang ujug-ujug itu, memperkarakan Hersubeno Arief. Upaya yang terkesan iseng dan coba-coba menempuh jalur hukum terhadap seorang jurnalis senior. Terkait tudingan menyebarkan hoax pemberitaan ketua umum PDIP yang dalam keadaan sakit dan kritis. Selain cenderung menjadi kekeliruan intepretasi menangkap pemberitaan yang direlease dalam Forum News Network (FNN). Berangkat dari ramainya kabar itu di media sosial. Berangsur bisa menjadi stimulus mengurai peran media dan hubungannya dengan pemerintah, serta upaya memutilasi suara rakyat. Seperti yang sebelumya pernah dialami Forum Keadilan, GATRA dsb. Rasanya, semua berita yang mampu menampar pipi dan memekakkan gendang telinga penguasa, harus dimatikan. Setidaknya dikecilkan volumenya atau dibuat senyap. Terkait kebenaran atau kebohongan seputar pemberitaan kondisi kesehatan Megawati Soekarno Putri yang menyedot perhatian publik. Dari persoalan itu ada yang menarik untuk ditelisik terutama masalah peran media dalam mengangkat isu strategis dan menyentuh kepentingan rakyat dan negara. Berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pesatnya dunia teknologi informasi. Menciptakan trend setiap orang atau komunitas yang lebih luas menjadi subyek sekaligus obyek pemberitaan. Seiring era digitalisasi yang melahirkan keberlimpahan informasi. Munculnya ragam media alternatif dan kemudahan masyarakat dalam memanfaatkannya. Selain cepat dan mudah menyebar, media komunikasi dan informasi berbasis masyarakat itu juga rentan dari aspek validitas dan akuntabilitas. Untuk penyajian berita yang informatif, edukatif dan sehat. Sangat bergantung pada kearifan menyerap, mengunyah dan memuntahkannya. Namun yang patut digarisbawahi, fenomena itu juga ekuivalen terhadap pergeseran peran sebagian besar media mainstream yang sebelumnya pernah menjadi sentral arus informasi dan salah satu pilar demokrasi. Media konvensional berusia tua itu terlihat terseok-seok juga beriringan dengan dinamika arus informasi berkarakter website dan media online. Meski media mainstream juga bertransformasi menjadi bagian dari itu. Kemudian media mainstream tetap eksis dengan pengakuan publik dan tingkat presisinya. Tetap saja semodel website dan media online yang tidak terafiliasi dengan media mainstream, menjadi lebih istimewa. Karena kepraktisannya, menghadirkan kecepatan penyajian berita dan tagline informasi dalam genggaman. Tentu saja media sosial yang menjadi salah satu konversinya, sangat mudah diakses, dibentuk dan dikelola penggunanya. Menjadi bagian dari teknologi komunikasi dan informasi yang seiring jaman memang sudah disiapkan menjadi senjata dan strategi menguasai masyarakat bahkan dunia. Jika mau melihat lebih jauh dan lebih dalam dari aspek sosiologis kemanusiaan. Media sosial menjadi layaknya entitas yang memengaruhi pelbagai aspek kehidupan seperti sosial ekonomi, sosial politik, sosial hukum, sosial keamanan dll. Media sosial yang menjadi turunan dari media online itu menjadi representasi dan respon masyarakat terhadap ketidaksesuaian komunikasi massa yang dibangun pemerintah dan negara. Termasuk mayoritas media mainstream. Tidak sekedar menghadirkan 'citizen jounalism', media sosial dengan keragaman platformnya merupakan bentuk pemberontakan komunikasi dari publik. Ia menjadi simbol kebebasan. Ia juga membentuk perlawanan. Ia mewujud demokrasi jalanan saat sekaratnya parlemen dan konstitusi. Media dan ruang-ruang sosial milik masyarakat, tak akan berhenti mengusik dan menghantui bentuk apapun yang dirasakan sebagai tiran. Suatu ketika ia muncul sebagai narasi. Juga dalam audio visual. Tiba-tiba serentak berwajah mural. Lain waktu dalam bentangan spanduk atau karton. Atau mengintip dan mengusik lewat meme dan karikatur. Selalu ada aliran dan mata air suara yang keluar menyeberang watak otoriter dan diktator. Standar Ganda Media Mainstream Belakangan ini, ruang publik tidak terisi penuh oleh kebenaran dan keadilan informasi. Sebagai salah satu kekuatan penyeimbang dalam pola interaksi negara dengan rakyatnya. Media mainstream terlihat mulai kehilangan karakter profesional dan ketajaman sosialnya. Independensinya terus mengalami kemerosotan. Mata jurnalistiknya mulai rabun melihat dibalik peristiwa. Semakin kabur saat menentukan baik buruk untuk masyarakat, atau buat pemerintah atau mungkin juga buat media sendiri. Semangat redaksi juga sudah melemah keberpihakannya terhadap obyek penderitaan, utamanya yang dialami orang kecil dan terpinggirkan. Pemimpin dan pengelolanya lebih condong pada kekuasaan. Memang tidak menyebarkan berita bohong atau fitnah. Tapi acapkali mayoritas media mainstream menyembunyikan dan menutupi kenyataan yang sesungguhnya. Banyak media mainstream dalam beberapa tahun ini bungkam terhadap fakta dan realitas. Apalagi jika itu dianggap mendeskreditkan dan merugikan penyelenggara negara. Porosnya lebih kepada menjaga kepentingan pemerintah semata. Ironinya tidak sedikit irisannya menjadi bagian dari pemerintahan. Cawe-cawe dalam pos-pos birokrasi. Media mainstream gagal membangun keseimbangan peran ekonomi dan fungsi kontrol sosial. Orientasi kapital lebih dominan ketimbang peran penjaga moral. Seperti pepatah koalisi segan, oposisi tak mau. Beberapa prinsip jurnalistik mulai terabaikan. Transparasi, cover boothside, mengangkat fakta yang menegakan obyektifitas, kebenaran dan keadilan. Semua itu semakin permisif untuk menjadi absurd. Para pemilik modal dan bagian korporatisme negara dari media formal konstitusional itu. Lebih nyaman memburu harta dan tahta daripada informasi atau berita yang layak diperjuangkan. Sepatutnya media mainstream tidak amnesia dan mengalami ahistoris. Betapapun keintiman dengan pemerintah yang mengabaikan rakyat, tak akan berumur panjang dan selamanya. Masih ingat dan tak akan pernah hilang dalam catatan sejarah kasus Udin Bernas dan sederet kriminalisasi kalangan jurnalis lainnya oleh persekongkolan pengusaha dan rezim kekuasan. Sewaktu-waktu penguasa juga bisa menunjukan tindakan represi kepada media yang menopangnya. Sebaliknya, bukan tidak mungkin media dapat ikut melawan kekuasaan. Mengikuti suasana dan momen yang tepat. Bermain dua kaki tak akan membuat media mainstream menjadi memenuhi kepentingan semua pihak. Justru malah membuat media hanya sekedar boneka dan mainan cantik kekuasaan. Menarik selama masih bagus. Menyenangkan selama masih bisa menghibur. Namun jika tak sesuai lagi dengan selera memenuhi lapar dan dahaga yang hinggap. Sewaktu-waktu dapat dibuang atau tersimpan kumuh tak terpakai lagi. Untuk Hersubeno Arief dan jurnalis-jurnalis pejuang lainnya. Begitu juga dengan media massa yang betapapun sulit membangun dan memelihara idealismenya. Terlebih saat DPR tak mewakili rakyat. Hukum tak memberi keadilan rakyat. Intelektual tak mencerdaskan rakyat. Pemerintah tak menyejahterakan rakyat. Militer tak kuasa melindungi rakyat. Jangan sampai, mediapun meninggalkan rakyat yang sendiri tanpa negara. Tetaplah media massa mewujud dan menerus gelombang resonansi suara rakyat. Memisah yang hak dan batil. Tetap menjadi cahaya, meski siang dan malam terus berganti. Semoga media tidak menjadi sekadar media. Lebih dari itu ia juga dapat menjadi kekuatan sejati rakyat dalam menyuarakan keheningan rakyat. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Rocky Gerung dan Perlawanan kepada Oligarki

Oleh Radhar Tribaskoro KEMARIN, Rabu 15 September 2021, saya dan beberapa kawan, diantaranya Said Didu, Prof. Hafid Abbas, Bachtiar Chamsyah, Jumhur, Adhie Massardi, Syahganda, Ahmad Yani, Ubeidilah Badrun, Gde Siriana dan sejumlah wartawan, mampir ke rumah RG. Rumah itu berdiri di atas lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 800 m2 tetapi sangat rimbun. Tanah rumahnya itu adalah tanah kritis yang sangat curam, kemiringannya mencapai 60-70%. Sewaktu dibeli, tanah itu kosong. Kemiringannya mengancam longsor setiap saat. Rocky menanami tanah itu dengan pinus dan puluhan jenis tanaman lain. Sekarang sekitar 1.500 tanaman sentosa tegak di sana. Ada aneka anggrek yang indah, suplir, palem, pisang dan aneka buah-buahan. Di pagi hari Rocky senang melihat segerombolan monyet, entah darimana, menyantap pisang yang digantungnya di teritis rumahnya. Rocky membangun rumahnya di sela-sela pepohonan. Rumah utama kecil, mungkin berukuran 36m2 cukup untuk sebuah kamar, ruang tengah yang digabung dengan dapur. Rocky meletakkan komputernya di meja dapur yang sudah penuh oleh gelas kopi, teh, multi-stop kontak, peralatan makan-minum dll. Tidak ada TV di rumah itu. Rocky juga membangun 3 pergola yang sangat sederhana. Hanya terdiri dari kayu dan bambu, beratap rumbia, berukuran 2x2m. Di sanalah ia mengajak tamu-tamunya mengobrol. Salah satu pergola disiapkannya untuk mushola. Ia menyediakan sajadah, sarung dan mukena bagi yang membutuhkan. Buku-bukunya sangat banyak, hampir semua berbahasa asing. Ia meletakkan buku-buku itu di semua sudut rumah dan pergola. Tidak ada sudut yang tidak dihiasnya dengan buku. FILOSOFI HAK TANAH Rocky membeli tanah yang ditempatinya itu pada tahun 1994 dari seorang petani penggarap. Ia seorang yang teliti, ia telah menyelidiki genealogi tanah itu. Sejauh penelusurannya tanah itu dimiliki oleh seorang Belanda pada tahun 1930an. Ketika orang Belanda itu pulang ke negaranya ia telah membagibagi tanah itu kepada petani dan keturunannya. Masing-masing memiliki garapan. Hak garap adalah hak yang diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Lepas dari sisik-melik hukum pertanahan, saya senang dan setuju dengan uraian Rocky tentang filsafat tanah dan kehidupan. Menurut Rocky, hal yang paling penting dan asasi tentang tanah adalah penguasaan fisik. Pertama-tama tanah adalah anugerah Tuhan. Tuhan menyerahkannya kepada manusia untuk dimanfaatkan. Orang yang memanfaatkan dengan mengambil air, kayu, atau sekadar meletakkan kaki di sungai, telah memberi kehidupan. Tanpa disadari ada telur ikan di kaki, dan setelah beberapa lama sungai tetiba dipenuhi oleh ikan. Ternyata di bekas kayu tebang, muncul jamur, cacing dan berbagai organisme, kehidupan meluap dari aktivitas manusia kepada tanah. Pada kesempatan pertama tanah adalah milik penggarapnya, anugerah Tuhan. HAK MEMBERONTAK Kalau tiba-tiba ada raja mengklaim tanah, itu adalah klaim yang sewenang-wenang (arbitrary). Itu politik yang harus dimainkan karena kekuasaan bekerja seperti itu. Namun seorang raja yang paling kejam sekalipun mengerti, ia tidak boleh mengusir orang begitu saja dari tanahnya. Ia mengusir administratur tetapi tidak menyingkirkan petani penggarap. Paling jauh ia hanya akan meminta pajak dari penggarap. Ketika raja kalah oleh penjajah, kita tidak bisa menerima klaim bahwa semua tanah di Nusantara dimiliki oleh Ratu Wilhelmina. Ratu itu tidak pernah menginjakkan tanah di Nusantara, kok mengaku-aku pemilik. Maka kalau mau dirunut moral dasar pemberontakan kepada penjajahan adalah klaim hak milik yang tidak berdasar itu. Situasi yang dihadapi Rocky tidak berbeda dengan apa yang dihadapi Diponegoro dua ratus tahun lalu. Diponegoro tidak bisa menerima klaim bahwa semua tanah adalah milik ratu belanda, sehingga mereka bisa membuat jalan semaunya di tanah yang telah ia garap. Betul, penolakan itu adalah sebuah pemberontakan dalam arti perlawanan terhadap klaim kepemilikan penjajah. Pemberontakan itu dibenarkan oleh prinsip keadilan. Orang entah darimana berdasar kepada kekuasaan siapapun tidak bisa menyingkirkan hak dari seorang penggarap. Karena itu adalah perbuatan tidak adil. Hak itu bukan untuk Rocky Gerung saja. Petani dan masyarakat adat yang telah menghuni gunung, merawat hutang, menjelajah sungai dan danau, tidak boleh disingkirkan dari habitat mereka, hanya gara-gara negara telah mengeluarkan HGU atau HGB atas tanah dan habitatnya. Jutaan rakyat telah tersingkir karena perlakuan tidak adil pengusaha real estate, perkebunan dan pertambangan yang didukung oleh pemerintah. Catatan untuk Sentul City, mereka telah melakukan semua kejahatan agraria di atas sebelumnya. Rakyat diusir dengan mempergunakan preman. Pada tahun 2014 pemilik Sentul City terbukti menyuap bupati sehingga menerima vonis 5 tahun penjara. HGB yang dibilang mencakup tanah milik Rocky Gerung dibikin tahun 2013, pantas diduga terkait dengan suap itu. Rocky sendiri bilang, ia berjuang bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk 6.000 orang yang disingkirkan oleh Sentul City. Rocky dan kawan-kawannya memberontak kepada Sentul City, kepada hukum yang tidak adil. Hukum yang. sama sekali mengabaikan hak manusia atas anugerah Allah yang digarapnya, yang telah hidup dan menghidupi dirinya. Semoga Allah SWT memberkati."

Ada Pisang, Monyet, dan Eskavator di Sentul

Oleh: Gde Siriana Yusuf *) SETIAP dua hari sekali, Rocky Gerung (RG) menyiapkan dua tandan pisang yang digantung di beranda rumahnya, satu tandan di beranda rumah utama, satunya lagi di beranda gazebo yang letaknya di bawah rumah utama. Sekilas ini bagian dari style penyajian si empu rumah, agar pisang setandan yang digantung di antara ribuan pohon pinus dan anggrek dapat mengundang selera tamu atau kawan-kawan RG untuk mencicipinya. Saya jadi teringat sajian pisang setandan di meja saat kondangan (pernikahan) ala Betawi. Konon, pisang melambangkan pernikahan akan mendatangkan banyak rejeki dan anak, seperti banyaknya pisang setandan. Karena sejak kecil saya hidup di lingkungan Betawi, maka pemandangan ini sering saya saksikan. Memang pemandangan itu terlihat 'kampungan' di kota Jakarta, namun saya selalu senang menyaksikannya. Makan pisang bisa di mana saja dan menjadi hal biasa. Tetapi ketika dimakan bersama kawan-kawan semeja tentu sensasinya berbeda, apalagi ketika terdengar suara seruput kopi hitam panas di bibir piring kecil 'lepek'. Obrolan pun seperti mendapatkan bahan bakar, yang menghidupkan terus budaya kekerabatan yang sudah berusia tua. Pisang setandan di rumah RG punya nilai lebih dari sekadar budaya kekerabatan lokal. Dia bukan saja untuk dimakan orang, tetapi RG sengaja menyiapkannya untuk monyet-monyet hutan yang mampir ke rumahnya. Dalam tiga tahun terakhir monyet liar memang sudah meresahkan warga sekitar Bogor karena kerap kali masuk ke pemukiman penduduk bahkan menyerbu pasar tradisional. Monyet-monyet yang kelaparan akibat habitatnya telah dirusak oleh pembangunan kawasan perumahan. Setiap malam atau pagi monyet-monyet ini mampir ke rumah RG untuk menikmati pisang gratis. Apa yang dilakukan RG sejak tinggal menetap di kawasan Sentul, tepatnya Bojong Koneng, bukanlah seperti layaknya orang Jakarta memiliki vila-vila mewah di kawasan Puncak. Rumahnya lebih tepat disebut gubuk panggung. Ini dikarenakan kemiringan tanahnya yang tidak cocok untuk dijadikan rumah beton. Dengan bentuk rumah panggung, maka air buangan atau air hujan dapat terserap tanah 100 persen karena tidak tertutup beton. Sehingga tidak merusak keseimbangan neraca air yang dapat menyebabkan longsor dan banjir. Selama lebih dari 10 tahun hidup di situ RG menanam ribuan pohon pinus yang kini tingginya sudah menantang langit. Juga tanaman hias seperti Anggrek, Hanjuang, Nona Makan Sirih, pohon buah-buahan dan lain-lain. RG mengkreasikan hutannya sendiri, di mana dia merasa menemukan kehidupan sejatinya. Dia bukan hanya melakukan konservasi alam, melainkan preservasi lingkungan, yaitu upaya untuk mempertahankan kondisi saat ini dari suatu wilayah, unit biologis atau ekosistem agar tidak dirusak oleh aktifitas manusia. Hari ini sulit menemukan orang kota yang masih serius memikirkan kelestarian lingkungan seperti RG. Sama sulitnya menemukan pemandangan pisang setandan dalam kondangan betawi di Jakarta. Kehidupan metropolitan yang materialistik membawa nilai-nilai baru, seperti keindahan dan kemegahan kota, efisiensi, serta mengutamakan profit yang pelan-pelan menggerus nilai-nilai lama. Kehidupan tidak lagi dipandu oleh moral dan kebaikan tapi bagaimana manusia harus selalu tunduk pada aturan kekuasaan yang mengutamakan keuntungan material. Monyet-monyet yang sering mampir di gubuk panggung RG pun harus tunduk pada kekuasaan, manakala eskavator yang hari ini sedang bekerja di depan mata RG mengancam ketersediaan makanannya, pisang setandan. Eskavator, dalam makna positif dan negatif, cara bekerjanya adalah menggaruk bumi. Menggaruk bumi adalah lambang kesombongan modal dan kekuasaan. Seperti halnya senjata mematikan, eskavator yang dikendalikan oleh moral maka dia akan bekerja untuk kebaikan manusia seperti digunakan dalam normalisasi atau regularisasi sungai. Tetapi ketika dikendalikan oleh nafsu keuntungan bisnis semata maka dia akan digunakan untuk merobohkan pohon-pohon hutan, merusak ekosistem dan menyingkirkan kehidupan sebagian manusia lainnya. Seharusnya, apa yang telah dirintis RG dengan melakukan preservasi lingkungan di rumahnya di Sentul dapat menjadi inspirasi bagi Pemerintah Daerah setempat atau para pengembang untuk ikut melestarikan lingkungan. Sudah terlalu lama negeri ini berhadapan dengan pengembang besar yang hanya mengeruk keutungan besar dari perusakan lingkungan dan konflik pertanahan yang seringkali terjadi pada setiap pembangunan kawasan perumahan. Selama ini negeri ini diam, tapi tidak untuk kali ini. *) Pengamat politik.

Keteladanan dari Sang Presiden

Oleh Fauzul Iman *) PRESIDEN sebagai pimpinan tertinggi di dalam suatu negara merupakan referensi strategis bagi rakyat atau umat di negara tersebut. Setiap pimpinan apa lagi presiden selalu didambakan rakyatnya untuk menunjukkan perilaku dan keteladanan yang baik demi kemaslahatan kolektif. Ekspektasi rakyat cukup beralasan karena presiden dipilih melalui pemilu yang sah dengan tahapan yang cukup panjang dan dengan menghabiskan energi dan anggaran negara yang cukup tinggi. Di Indonesia rakyat bersyukur telah memiliki Presiden Joko Widodo yang terpilih dua kali periode. Periode pertama berpasangan dengan Wakil Presiden M. Yusuf Kala dan periode kedua berpasangan dengan Wakil Presiden Makruf Amin. Satu kali periode pemilu tercatat tidak ada persoalan serius dari rakyat atau dari partai kontestan yang mengadukan ke pengadilan sehingga pemilu dibatalkan dan dilakukan pemilu ulang. Kegaduhan memang terdengar dari kontestan pemilu pada periode ke dua pendukung pasangan Prabowo - Sandi yang tidak puas dan menuduh lembaga KPU berkonspirasi dengan pihak pemenang melakukan kecurangan pemilu melalui pembobolan suara di jaringan IT . Tuduhan lain ditujukan kepada aparat yang kerap melakukan tekanan dan ancaman kepada petugas saksi di KPPS. Menurut pihak pengadu, akibat tekanan dan ancaman aparat menyebabkan para petugas saksi di KPPS terancam jiwanya sehingga sebanyak kurang lebih lima ratusan yang meninggal dunia. Bahkan pihak Prabowo meminta petugas yang wafat agar segera divisum untuk mencari kejelasan penyebabnya. Namun semua tuduhan itu tidak terbukti setelah diproses melalui persidangan MK dan pemilu pun dinyatakan sah. Pasangan Joko Widodo -Maruf Amin pun dinyatakan sebagai pemenang dan dilantik di depan MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan keadaan aman. Sebagai presiden yang terpilih dua kali periode, Presiden Jokowi menjadi kebanggaan dan idola rakyat. Tidak sedikit yang memberikan apresiasi dan menjadikan referensi sebagai Presiden yang patut diteladani karena sikap kebersahajaan dan kesederhanaanya. Presiden Jokowi juga terkenal sosok yang dekat dengan masyarakat biasa. Setiap kali kunjungan dan blusukan di kampung dan desa desa tidak segan-segan berkomunikasi dengan rakyat dan tidak ragu melakukan cipika cipiki dengan mereka. Penulis sendiri merasakan sikap kebersahajaan Presiden Jokowi saat tiga kali pertemuan di istana. Setiap kali bertemu , beliau selalu menyapa lebih dahulu dengan menanyakan , "apa kabar Pak Rektor". Mungkin ini sikap kebersahajaannya yang tidak pernah melupakan seseorang yang pernah di kenalnya beberapa saat lalu. Senyatanya terdapat pesan-pesan penting yang merupakan komitmen Presiden Jokowi saat disampaikan dalam pertemuan di istana. Beliau seingat penulis menyatakan banyak hal dalam pertemuan itu tapi di sini cukup tiga poin yang menurut penulis sangat penting disampaikan. Pertama, Presiden jokowi sangat tinggi komitmen dan tekadnya untuk selalu berpihak mensejahterakan rakyat Indonesia. Beliau sangat tegas menyatakan bahwa dirinya bukan orang partai krena tidak pernah aktif di partai. Dengan kata lain beliau berjuang menjadi presiden seutuhnya demi membangun bangsa Indonesia berkualitas dan memiliki daya saing tinggi agar makin maju dan sejahtera. Kedua, bidang ekonomi dan pendidikan. Presiden Jokowi menginginkan bidang ini bergerak maju sejajar. Indonesia hrus berdiri tegak membangun ekonomi jangan sampai kebutuhan pokok seperti beras atau kebutuhan lain seperti garam mengandalkan impor. Untuk bidang pendidikan Presiden Jokowi mendorong adanya perubahan kurikulum atau Prodi di Perguruan Tinggi yang dinamis sesuai dengan perkembangan teknologi yang makin maju dalam rangka pembentukan akhlak , keterampilan dan mengisi lapangan pekerjaan. Ketiga, di bidang hukum Presiden Jokowi berkomitmen menindak tegas pelaku KKN / korupsi demi tegaknya keadilan hukum dan stabilitas perekonomian nasional dan keuangan negara. Penulis dan para tokoh yang hadir dalam pertemuan itu berkeyakinan bahwa Presiden Jokowi bersikap tulus menyatakan komitmennya dan pasti lahir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Apa lagi di situasi tersebut perhelatan pesta politik baru saja selesai. Sebelumnya mengalami ketegangan dan penuh konflik telah diakhiri dengan kepiawaian Presiden Jokowi sendiri berhasil merangkul Prabowo sebagai lawan politiknya untuk bergabung bersama mengisi kabinet pemerintahan. Sebuah kondisi atau iklim baru yang diyakini akan membawa negara menjadi lebih kondusif , kokoh, berintegritas dan berkeadilan membawa kemajuan di segala bidang pembangunan. Salah satu komitmen bidang pendidikan yang telah penulis rasakan dari Presiden Jokowi adalah membantu percepatan perubahan dari IAIN ke Universitas Islam Negeri Banten. Sungguh yang sangat membanggakan kami beliau sendiri berkenan hadir untuk menyampaikan orasi ilmiah pada acra Dies Natalis UIN Banten yang ke 57. Waktu terus berjalan dan komitmen tegas Presiden Jokowi yang sudah mempublik itu ternyata mulai mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan. Presiden Jokowi dipandang telah melakukan dan membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan pernyataan dan komitmennya sendiri. Antara lain jokowi telah mengizinkan anak dan menantu berkompetisi untuk meraih posisi walikota. Meskipun kompetisi ini tidak dilarang oleh undang undang, posisinya sebagai Presiden, Jokowi dinilai tidak etis mengizinkan anak dan menantu berkompetisi di posisi itu karena bagaimanapun akan turut mempengaruhi suara kemenangan signifikan. Hal ini sangat rentan melanggar janji dan komitmen Presiden Jokowi sendiri di dalam upaya memberantas KKN dan menegakkan keteladanan di level kepemimpinan lainnya. Kritikan makin merebak setelah Indonesia digoncang bencana pandemi. Pemerintah yang sejatinya membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat dinilai elitis karena nyaris semua rancangan undang-undang dibahas tidak melibatkan publik secara terbuka. Sejak rancangan HIP, minerba, Omnibus Law cipta kerja, pembengkakan utang , pendirian kota baru, penegakan hukum tebang pilih , tenaga kerja asing , pengangkatan pimpinan partai sebagai pembina pada lembaga yang seharusnya netral/steril dari intervensi politik dan terakhir upaya pelemahan KPK dengan bernasib digusurnya 70 pegawai KPK. Kebijakan elitis itu ditengarai oleh banyak pengamt akibat dari koalisi pemerintah dengan partai-partai pemenang yang terlalu kuat di satu sisi dan pihak kepentingan oligarki di sisi lain. Inilah yang kemudian menjadi penyebab makin tajamnya dugaan kritis publik kepada pemerintah yang ingin mengembalikan sistem pemerintahan gaya orde baru demi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Indikasinya pemerintah mulai bertindak represif dengan menangkap para oposisi yang melakukan kritik keras pada pemerintah. Pemerintah bisa saja membantah semua kritikan ini yang jelas kritikan itu makin mengarah pada gorengan berita hoax atau provokasi kemana-mana di hampir semua jaringan medsos. Kemana- mana dalam bahasa Elisabeth Noella Neumann dalam bukunya The Spiral of Silence Public Opinion - Our Social Skin ( 1993) adalah ubikuitas bahasa latinnya ubique yang artinya di mana-mana. Suatu bentuk upaya menebar opini untuk merusak kohesi sosial ( retrograsi). Caranya memprovokasi dengan membanjiri berita lewat opini, berita, perbincangan terutama televisi partisan dan media sosial. Terlepas semua yang disebut di muka merupakan kriitik objektif atau berita hoax dan provokatif. Pemerintah bisa saja membantah dengan fakta- fakta dan argumen yang kuat. Namun kritikan dari publik yang belum bisa dibendung hingga munculnya mural pada Presiden Jokowi dan pemberian gelar The King of Lip Service dari BEM UI, Pemerintah tentunya tidak boleh sekedar membantah atau berteriak dengan suara permisif belaka dengan mempersilahkan publik mengkritik asal dengan sopan dan lain-lain. Tidak juga dengan tindakan represif yang berakibat makin menggumpalnya rasa luka psikologi publik. Tindakan yang yang paling elegan, menurut penulis, yang sudah lama mengenal dan mengagumi kebersahajaan dan komitmen Presiden Jokowi yaitu menyarankan kepada beliau perlunya membangun keteladanan baru. Caranya dengan menunjukkan sikap jiwa besar seraya berkontemplasi melakukan evaluasi dan membangun kepercayaan publik makin tinggi tanpa dengan pencitraan melainkan dengan dinamika baru untuk tetap membenahi dan melanjutkan kepemimpinan sampai tahun 2024. Penulis yakin isu-isu terkini yang terkait dengan keinginan sebagian publik yang mendorong untuk mencalonkan Jokowi menjadi Presiden periode ke tiga, dengan cara amandemen UUD 1945 tidak akan diterima karena Presiden Jokowi telah berkomitmen menegakkan cita-cita reformasi dan ingin menumbuhkan demokrasi di tangan rakyat sipil. Inilah keteladanan yang perlu dipetik dari sang Presiden. Semoga ! *) Guru Besar dan Rektor UIN Banten (2017-2021)